Alergi makanan bisa menghasilkan peradangan di seluruh tubuh. Anak dengan gangguan autism spectrum disorder (ASD) kerap bermasalah dengan makanan, termasuk alergi dan intoleransi.
Pada anak autisi, alergi makanan bisa menjadi mimpi buruk. Apalagi anak autisi nonverbal atau belum dapat berkomunikasi, belum bisa memahami dan menjelaskan kondisi tidak nyaman dalam tubuhnya.
Sebagian besar orang tua bisa menerima ketika anak autisinya dianjurkan diet susu, diet terigu, diet gula, diet jagung, diet soya, dan sebagainya.
Pertanyaan sering muncul ketika orang tua dianjurkan mendietkan anaknya telur dan madu. Nah, kali ini saya ingin spesifik membahas alasan anak autisi dilarang mengonsumsi telur sementara waktu.
Alergi Telur pada Anak Autisi
Dokter Rudy Sutadi yang merupakan dokter anak sekaligus konsultan Smart ABA untuk autisme mengatakan anak autisi umumnya alergi dengan telur. Ini berdasarkan pengalamannya selama puluhan tahun menangani pasien dengan gangguan autisme.
Dokter Diana Dewi yang putra sulungnya didiagnosis ASD, Dastan Harahap memiliki pengalaman serupa. Sebelum menjalankan Smart BIT (Biomedical Intervention Therapy) untuk autisme, Dastan menjalani tes IgG Food Alergy. Hasilnya Dastan ternyata tidak diperbolehkan makan telur, baik putih maupun kuningnya.
Tes IgG Food Alergy kedua kembali dilakukan setelah Dastan menjalani Smart BIT kurang lebih 24 bulan di KIDABA Bekasi. Hasilnya menunjukkan Dastan sudah boleh makan telur, putih dan kuningnya.
Masih banyak contoh anak-anak yang setelah menjalani Smart BIT dengan baik dan benar, bahan-bahan makanan yang tadinya dilarang dikonsumsi boleh dikonsumsi kembali setelah anak menunjukkan perbaikan perilaku dan kognitif.
Mengapa anak autisi umumnya bereaksi negatif terhadap telur?
Sistem kekebalan tubuh anak autisi salah mengenali protein telur sebagai zat yang membahayakan tubuh. Tubuh mereka akhirnya bereaksi dengan melepaskan histamin ke dalam darah, sehingga memicu alergi.
Histamin adalah zat kimia yang diproduksi sel-sel tubuh ketika mengalami reaksi alergi atau infeksi. Mirip lah dengan perilaku satwa ketika berhadapan dengan bahaya, seperti cumi-cumi yang mengeluarkan tinta beracun, atau tanaman pulus yang jika tersentuh kulit kita menyebabkan rasa gatal dan panas.
Gejala yang muncul pada seseorang yang alergi terhadap telur, antara lain:
- Reaksi kulit, seperti gatal-gatal, eksim, kulit pucat atau membiru
- Bibir atau lidah membengkak
- Sakit perut, mual, diare, atau muntah
- Kesulitan bernapas
- Meler atau hidung tersumbat
- Detak jantung semakin cepat
- Batuk berulang
- Suara serak
- Pusing
- Kebingungan
- Syok anafilaktik yang dalam kasus terparah bisa mengancam nyawa karena detak jantung dan napas berhenti seketika.
Alergi telur biasanya muncul ketika usia anak masih dini, antara 6-15 bulan. Gejala khas pada anak-anak adalah gatal-gatal di sekitar mulut, kemerahan pada wajah, dan ruam kulit.
Khusus alergi telur yang timbul pada anak autisi, sebut dr Rudy seringnya tidak terlihat. Anak autisi tidak melulu gatal-gatal atau ruam pada kulit.
Manifestasinya ada di saraf yang menimbulkan berbagai masalah perilaku. Dokter Rudy mengatakan anak autisi yang mengonsumsi telur sering mengalami perburukan perilaku, seperti:
- Mengamuk atau tantrum
- Hiperaktif
- Melukai diri sendiri
- Menyakiti orang lain
- Sulit berkonsentrasi atau susah fokus
- Perilaku berulang atau stimming
Kandungan Telur pada Makanan dan Non-Makanan
Cara terbaik mengatasi alergi telur adalah menghindari makan telur. Sayangnya telur bisa menjadi bahan tersembunyi dalam banyak jenis makanan bahkan non-makanan.
Tugas berat orang tua adalah menyeleksi makanan untuk anak yang tidak mengandung telur. Pasalnya telur hampir selalu ditemukan di dalam roti, pasta, sereal, kue kering, kue basah, dan kue-kue lainnya.
Telur juga sering muncul dalam permen, isian krim, dan saus salad. Makanan restoran yang digoreng, termasuk kentang goreng tepung itu bisa menggunakan telur supaya rasanya enak. Ini tanpa disadari bisa memicu alergi pada anak.
Sebagai orang tua kita harus cerdas membaca label bahan pada kemasan makanan. Setiap makanan pabrikan yang mencantumkan kata-kata emulsifier, binder, coagulant, atau bahan apapun yang dimulai dengan kata ova- pasti mengandung telur.
Bahan lain yang perlu juga diperhatikan adalah:
- Albumin (protein telur)
- Perasa buatan atau alami
- Egg substitute atau pengganti telur yang biasanya dibuat dengan putih telur
- Globulin
- Lecithin E322
- Livetin
- Lysozyme
- Mayonnaise
- Meringue
- Silici albuminate
- Simplesse
- Vitellin
Waspada juga produk non-makanan yang kemungkinan besar mengandung telur, seperti cat kuku, sampo, obat-obatan tertentu, kosmetik, dan beberapa vaksin, termasuk vaksin flu dan MMR (measles, mumps, and rubella).
Ini penting saya sampaikan sebab tidak semua orang tua dari anak autisi bisa menerima konsep diet komprehensif. Banyak orang tua menolak mendietkan anak karena alasan kasihan atau dietnya terlalu berat. Padahal jauh lebih kasihan lagi ketika anak autisinya tak kunjung sembuh, meski sudah diterapi bertahun-tahun lamanya.
Ketahuilah anak autisi perlu menjalani diet komprehensif, setidaknya delapan jenis diet, yaitu:
- Casein-free Diet
- Gluten-free Diet
- Sugar-free Diet
- Corn-free Diet
- Soya-free Diet
- Low phenol Diet
- Diet elektronik
- Diet bahan kimia
- Rotation & Elimination (RnE) Diet
Saya percaya anak autisi bisa berperilaku lebih baik, belajar lebih baik, tampil lebih baik, dan kualitas tidur lebih baik ketika tubuhnya terasa baik. Ketika anak autisi mengalami alergi atau mengalami intoleransi makanan, kenyamanan tubuhnya terganggu. Inilah yang dapat memperburuk perilaku anak dan menyebabkan apa yang orang tua sebut hari-hari buruk (bad days).
Hari-hari buruk ini tidak berlangsung sehari saja, tapi bisa 3-7 hari, bahkan satu bulan. Ini karena saluran pencernaan pada anak autisi tidak berfungsi sempurna sebagaimana anak-anak lainnya. Mereka kerap mengalami disfungsi metabolisme.
Jika kita peka dan mengevaluasi respons anak autisi terhadap makanan tertentu, itu memungkinkan mereka semakin dekat dengan kesembuhan. Terapi saja tidak akan cukup tanpa disertai dengan diet, obat, dan suplemen.
Leave a Comment