https://www.googletagmanager.com/gtag/js?id=G-8K50HN0MMT window.dataLayer = window.dataLayer || []; function gtag(){dataLayer.push(arguments);} gtag(‘js’, new Date()); gtag(‘config’, ‘G-8K50HN0MMT’);

Coping Mechanism pada Orang Tua Anak Autisi


Denial atau penyangkalan pasti dialami semua orang tua yang anaknya pertama kali didiagnosis autisme.

“Anak saya cuma speech delay, bukan autis.”

“Anak saya cuma PDD atau PDD-NOS.”

“Anak saya cuma ADHD + GDD.”

“Anak saya perempuan. Biasanya kan yang autis itu anak laki-laki.”

Sering kali saya mendengar atau membaca pernyataan seperti itu di beberapa grup dan komentar Instagram. Hmmm, seketika saya tarik napas.

Wajar, saya pun pernah ada di tahapan itu. Enam bulan lamanya saya menyangkal sejak suami mencurigai Rashif autis ketika berumur satu tahun.

Saya tetap bersikukuh Rashif cuma speech delay, bukan autis. Kenyataan itu baru bisa saya terima ketika Rashif berumur 1,5 tahun.

Saya sebetulnya gak mau julid, tapi tahu gak? Autisme memang mayoritas dialami anak laki-laki, tapi bukan berarti anak perempuan tidak bisa mengalami hal sama. Speech delay, PDD-NOS, ADHD, dan GDD dalam banyak kondisi adalah nama lain dari autisme.

Apalah arti sebuah nama? Demikian kutipan Shakespeare yang terkenal dalam kisah roman Romeo dan Juliet. Ungkapan ini sama sekali gak bisa kita pakai untuk mengabaikan kondisi anak kita yang mengidap autisme.

Namun, saya maklum banyak orang tua gak siap dengan diagnosis ini. Gimana pun juga saya pernah berada di tahap itu.

Autisme punya sejarah buruk. Penyakit ini zaman dahulu dicap sebagai kutukan, tidak bisa disembuhkan, dan selama ratusan tahun berada di grey area.

Dulu banyak dokter gak mau atau malah takut mendiagnosis pasiennya autis, gak peduli seberapa jelas terlihat gejala autisme pada anak itu. Dokter gak mau menyakiti perasaan orang tua dengan melabeli anak mereka autis.

Hingga pada 1967 Profesor Lovaas memperkenalkan Metode Appelied Behavior Analysis (ABA) untuk penyembuhan autisme yang terus diperbaharui hingga mendekati sempurna saat ini. Di Indonesia kita mengenal Metode Smart ABA yang dikembangkan untuk anak autisi sejak 2010.

Tahapan Coping Mechanism Orang Tua Anak Autis

Orang tua yang gak paham apa itu autisme mungkin diagnosis autisme pada anaknya gak akan berpengaruh bagi mereka. Namun, jika orang tua tahu atau mulai paham akan autisme, mereka akan mengalami rangkaian reaksi yang disebut coping machanism.

Coping mechanism umum terjadi pada orang yang sedang menghadapi atau mengalami kenyataan berat dalam hidup. Misalnya ketika seseorang diberi tahu menderita kanker, atau ketika seseorang mendadak kehilangan orang yang dicintai.

Berikut adalah tahapan coping mechanism yang terjadi pada orang tua dengan anak autisi.

1. Kaget (shock)

Kaget adalah reaksi spontan yang saya alami begitu dr Andi Gunawan di Surabaya mendiagnosis Rashif memiliki autism spectrum disorder (ASD). Padahal putra saya waktu itu masih berumur 18 bulan.

2. Menyangkal (denial)

Respons kedua orang tua yang baru pertama kali mendengar anaknya didiagnosis autis adalah menolak. Bisa jadi kemudian orang tua mencari second opinion dari dokter lain,  bahkan mungkin tidak cukup 1-2 dokter saja.

Saya pun ada di tahapan ini, melakukan shopping dokter. Saya bikin janji setidaknya sama tiga dokter setelah dr Andi, yaitu dr Wawan dan dr Sasanti di Surabaya, kemudian dr Rudy di Bekasi.

autism is curable

Seandainya waktu itu saya bertemu dokter yang tidak mendiagnosis anak saya ASD, melainkan hanya speech delay misalnya, mungkin saya akan menjadikan jawaban tersebut sebagai tameng dan gak mau lagi mencari tahu tentang apa yang terjadi pada anak saya.

Mungkin saya gak akan melakukan intervensi dini pada Rashif. Padahal intervensi dini sangat dibutuhkan anak autisi, khususnya sebelum mereka berusia tiga tahun.

Denial ini biasanya didukung bisikan-bisikan orang ketiga. Mitos-mitos tentang anak pun bermunculan.

“Anak laki-laki biasa kok terlambat bicara. Kan dia bisa jalan duluan?”

“Anak cewek biasanya pintar ngomong dulu, baru pintar jalan. Anak cowok kebalikannya, pintar jalan dulu, baru pintar ngomong.”

“Anak itu punya fase masing-masing. Tunggu saja setahun lagi. Kalo gak juga bisa bicara, baru ke dokter.”

“Si Anu umur segini juga belum bisa ngomong kok. Ntar juga setahun dua tahun pasti lancar ngomongnya. Sabar aja.”

“Keluarga kami gak ada keturunan autis. Gak mungkin anak kami autis.”

Familiar dengan kalimat-kalimat seperti itu? Mitos-mitos begini yang memperkuat denial pada orang tua anak autisi. Mereka larut dalam mitos  tanpa menyadari anak makin hari makin besar, usianya makin bertambah, dan perilakunya semakin mengalami kemunduran (regresi).

3. Marah dan menyalahkan diri (self-blam)

Lama kelamaan anak autisi memperlihatkan kemunduran perilaku. Orang tua yang tadinya menyangkal mulai bertanya-tanya lagi apa yang terjadi pada anaknya.

Anak mereka semakin berbeda dari anak-anak sebayanya. Orang tua kemudian membandingkan si anak dengan kakaknya, dengan anak tetangga, atau dengan sepupunya.

Seiring berjalannya waktu, anak tak kunjung mengalami kemajuan sesuai yang diharapkan, misalnya gak juga pandai bicara, gak juga mau bersosialisasi sama lingkungan, tetap gak noleh saat namanya dipanggil. Langkah selanjutnya adalah orang tua meneruskan shopping dokter untuk mendapatkan diagnosis berikutnya.

Begitu orang tua bertemu dengan dokter yang mengerti autisme, bisa menjelaskan dengan baik, meyakinkan dengan data dan dasar-dasar ilmu pengetahuan tentang autisme, reaksi orang tua berikutnya adalah marah dan menyalahkan diri sendiri.

Respons ini biasanya bersifat pasif. Orang tua berperang dengan batinnya sendiri, baik dari pihak ibu atau pun ayah. Mereka marah terhadap berbagai hal dan menyalahkan semua yang terjadi pada anak mereka.

Orang tua marah pada diri sendiri karena merasa tak cepat tanggap dengan kondisi anak. Ada pula suami dan istri bertengkar dan saling menyalahkan.

Orang tua bisa juga menyalahkan orang lain, misalnya saudara, kakek nenek yang sebelumnya ikut menyangkal diagnosis dokter dengan mengatakan si cucu baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Bahkan, ada orang tua yang marah dan menyalahkan Tuhan, bertanya-tanya mengapa mereka diberi anak autis. Why me?

4. Bertanya dan mencari tahu (knowing)

Orang tua biasanya paling lama berada di tahap denial. Ada yang tetap bersikukuh anaknya tidak autis beberapa minggu atau bulan saja, tapi ada juga yang tetap menyangkal hingga bertahun-tahun, bahkan belasan tahun.

Setelah tahap denial terlampaui, tahap berikutnya adalah bertanya dan mencari tahu lebih banyak lagi informasi tentang autisme dan diagnosis autisme.

Jangan terjebak dalam istilah autisme ringan. Tidak ada yang namanya autisme ringan. Definisi autisme adalah gangguan neurobiologis berat.

Kadang kita terbuai dengan kata ringan, sehingga tanpa sadar kita lalai mengejar kesembuhan anak.

5. Menerima (acceptance)

Orang tua pasrah dan menerima kenyataan sebenarnya bahwa anaknya memiliki autisme. Beruntunglah orang tua yang bisa melalui empat tahapan sebelumnya dengan cepat hingga mencapai fase menerima.

Ada orang tua yang bisa melalui seluruh tahapan dengan cepat. Ada pula yang lambat di satu atau dua fase, misalnya orang tua tidak percaya terus, marah-marah terus, menyangkal terus, atau kelamaan bertanya sana sini, tapi tak kunjung mengambil tindakan.

autism is curable

Dalam hal ini, orang tua lah yang seharusnya terlebih dahulu diterapi. Terapi paling tepat untuk orang tua adalah terapi rohani, yaitu mendekatkan diri pada Allah, sabar, tawakal, serta yakin terhadap takdir, berupa qadar baik dan qadar buruk yang sudah digariskan Allah untuk hamba-Nya.

Allah pasti mempunyai rencana mengapa kita diamanahi anak autisi, dan rencana Allah itu pasti baik. Allah tidak pernah berencana buruk atau berniat mendzalimi hamba-Nya. Boleh jadi hal yang buruk bagi kita atau hal yang tidak kita sukai sesungguhnya adalah hal baik yang disiapkan Allah untuk kita.

Pesan untuk Orang Tua Anak Autisi

Sebagai orang tua kita sebaiknya tidak membuang waktu atau mencoba-coba metode pengobatan autisi yang tidak ada dasar ilmiahnya, tidak ada penelitian yang membuktikan efektivitas dan efisiensinya.

Sejauh ini hanya ABA satu-satunya metode untuk penyembuhan autisme dikenal sejak 1968. Berikut pesan bagi bagi orang tua yang diamanahi Allah SWT anak autisi.

  • Ketahui dan sadari bahwa ada suatu mekanisme yang merupakan refleks tubuh dalam menghadapi kenyataan berat.
  • Jangan berlama-lama apalagi tertahan pada satu fase yang menyebabkan tertundanya anak mendapat intervensi dini yang sesuai. Berkonsultasilah pada ahli di bidangnya. Bila perlu orang tua  bertemu psikolog atau psikiater untuk berdiskusi. Jangan lupakan terapi rohani.
  • Jika kita melihat ada orang tua yang tak juga menerima kenyataan tentang anaknya, atau salah satu suami/ istri menyadari kondisi tersebut pada pasangannya, sebaiknya tolong yang bersangkutan dengan cara menghubungi orang lain, entah itu ustaz, alim ulama, atau pemuka agama yang nasihatnya mau didengarkan orang tua tersebut.
  • Setelah berduka, segera pelajari segala sesuatu tentang autisme, terutama mengenai terapi yang tepat.
  • Orang tua anak autisi harus kritis terhadap berbagai hal, khususnya tentang metode terapi, tempat terapi, dan terapis yang menangani anak.

Terkait hal terakhir, kita perlu memilih tempat terapi yang menggunakan metode terapi yang dirancang khusus untuk autisme. Metode ini harus terbukti ilmiah dan ada dasar-dasar penelitiannya.

Pilihlah tempat terapi dan terapis yang yakin bahwa autisme adalah penyakit yang bisa disembuhan. Autism is curable. Autism is treatable. Pasalnya masih banyak orang percaya autisme tidak bisa disembuhkan, hanya bisa dimaksimalkan dengan cukup menjadikan anak mandiri.

Percayalah, hanya dokter dan terapis yang percaya autisme bisa disembuhkan yang akan jatuh bangun, jumpalitan, kalo perlu sampai kayang menangani anak autisi kita dengan segenap tenaga dan kemampuannya.

Sebelum kita memasukkan anak kita ke tempat terapi, tanyakan terlebih dahulu kurikulum, program, dan aktivitas yang akan diterapkan untuk anak kita. Banyak terapis melakukan terapi tapi gak ada assessment sama sekali.

Kita gak perlu malu dibilang ayah atau ibu yang cerewet atau bawel sama tempat terapi saking banyaknya bertanya. Orang tua berhak mendapat informasi cukup sebagai bagian dari informed-consent sebelum anak menjalani terapi.

autism is curable

Hal yang tak kalah penting adalah bergabunglah dengan orang tua atau komunitas yang mempunyai keyakinan autisme bisa sembuh. Ini membuat kita tak merasa sendirian di dunia ini. Kita juga bisa saling berbagi suka duka, berbagi pengalaman positif, berbagi solusi tentang anak-anak spesial kita.


6 responses to “Coping Mechanism pada Orang Tua Anak Autisi”

  1. ya, memang sih kebanyakan orang tua menyangkal kalau anaknya terdapat gejala autisme dibanding pergi memeriksa atau mengobatinya. Sebab pasti tidak ada orang tua yang mau anaknya terkena autisme :(.
    kita doakan semoga orang tua punya kesadaran yang sama

    Like

  2. Siapapun pasti mengalami fase seperti ini ya mba ketika mengalami situasi kaya gitu aku bisa bayangin sih, beda tipis sama orang kena penyakit berat, pasti bakal ada coping mechanism ini, tapi semoga dengan banyak artikel yang menjelaskan dan edukasi jadi proses copingnya lebih singkat jadi anak lebih cepat tertangani sejak dini

    Like

  3. Choping mechanism ya, noted. Saya pernah mengalami gini juga untuk problem lain. Alhamdulillah sekarang masih knowing terus dan acceptance juga. Insyaallah selalu ada jalan bagi kita yang mau terus berikhtiar tanpa henti. Semangat terus ya, Muthe!

    Like

  4. Autism is curable. Autism is treatable….Ini yang mesti terus disosialisasikan agar anak autis segera dapat pertolongan. Gimana mereka bisa dapat intervensi dini jika orangtuanya sendiri denial..hiks
    Memang berat, tapi jika segera menerima maka anak akan segera mendapat penanganan sehingga bisa tumbuh dan berkembang seperti anak non-autisi

    Like

  5. Bagus sekali sharing pengalamannya, mbak. Memang banyak sekali orang tua yang masih sulit menerima kalau anaknya autis.

    Tapi kita ga bisa terus sprt itu, supaya bisa mengambil keputusan tindakan apa yg akan dilakukan.

    Makasih utk sharingnya ya mbak. Tetap semangat, sabar, dan kuat ya mbak ❤️

    Like

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Blog at WordPress.com.