Selama ini kita sebetulnya sudah tahu cara mengendalikan emosi sebelum memarahi anak. Hanya saja harus kita akui, praktiknya ternyata tak semudah teori. Selalu ada tekanan dari dalam diri yang membuat emosi kita membuncah dan akhirnya marah pada anak. Padahal, kita ingin membesarkan anak-anak yang bahagia sebagai kunci keberhasilannya di masa depan, sebagaimana dijabarkan Mba Siswiyanti Sugi di laman personal blognya.
Setelah kita marah, kemudian tak berapa lama situasi terkendali, kita menyadari sebetulnya tantangan pengasuhan anak itu hanya bisa ditaklukkan saat kita tetap tenang. Badai amarah kerap membuat kita tak bisa menguasai diri dan kita merasa berhak marah.
Kita memandang anak kita nakal, gak tanggung jawab, gak pengertian, gak tahu terima kasih, bahkan menganggapnya jahat.
Cara Mengendalikan Emosi sebagai Orang Tua
Orang tua juga manusia yang terkadang bisa marah pada anak. Saat anak menggebrak pintu karena kesal, kita menarik kesimpulan anak kita temperamental. Saat anak berteriak, kita merasa gagal menjadi ayah atau ibu.
Rangkaian pemikiran seperti ini mengantar kita pada rasa takut, cemas, bahkan rasa bersalah, kemudian hanya dalam hitungan detik kita marah. Pernah mengalaminya? Itu NORMAL.
Orang tua dan anak sama-sama bisa menjadi korek yang menyulut api amarah satu sama lain. Anak kita boleh saja memencet tombol merah itu, tapi kita yang menentukan bagaimana respons kita terhadap anak. Mau langsung marah, atau tetap tenang? Nah, berikut tips penting cara mengendalikan emosi sebelum memarahi anak yang bisa kita praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
1. Tetap tenang, pakai masker oksigen terlebih dahulu.
Kita pastinya pernah mendengar prosedur keselamatan dalam penerbangan sipil yang disampaikan pramugari setiap kali naik pesawat. Dalam kondisi krisis, pakai masker oksigen Anda terlebih dahulu sebelum membantu orang lain.
Kita sebagai orang tua adalah role model anak dalam belajar mengelola emosi. Orang tua pemarah akan membesarkan anak-anak pemarah pula.
Saat salah seorang anak saya selesai disapih menyusui, ada masanya dia sangat rewel di malam hari. Bagaimana tidak, puting ibu yang biasa menenangkannya ketika gamang, tidak nyaman, atau mungkin mimpi buruk di malam hari sudah tak ada lagi.
Malam pertama, kedua, ketiga, saya masih bisa menolerir rewel anak saya. Hingga tiba suatu malam di mana saya benar-benar lelah dan tak bisa lagi mengontrol emosi.
Saya meremas punggung anak saya beserta bajunya sedikit keras di tengah kondisi setengah sadar dan setengah mengantuk. Ya, saya mencubitnya secara tak langsung.
Begitu saya sadar apa yang saya lakukan, ditambah lagi bekas merah di punggung anak saya, seketika itu juga saya menghabiskan hari dengan perasaan mengerikan, sedih, menangis.
Apa sebenarnya yang ingin disampaikan anak saya adalah, “Ibun, aku gak bisa tidur. Aku gak tahu kenapa. Aku cuma ingin ibun menggendongku, memelukku sekarang. Tolong bun, peluk aku ya?”
Sayangnya dalam kondisi energi sudah habis, emosi terkuras, saya tak mendengarkan isi hati anak saya yang bahkan belum lancar berbicara itu. Saya tahu menjadi ibu itu tidak mudah, tapi kita tak boleh menyerah menjadi ibu yang baik untuk anak kita.
Ketika situasi sama muncul di malam berikutnya. Saya terbangun ketika anak saya menangis. Ambil napas, kasih jeda beberapa detik, lalu hadapi anak dengan tenang.
Analogi pakai masker dalam kondisi darurat dalam pesawat memberi pesan bahwa kita perlu tetap tenang dalam kondisi genting sekali pun. Respons emosional kita hanya bisa dikendalikan jika kita tenang.
2. Rangkul semua emosi anak
Kalau kita pikir ulang, sebetulnya tak perlu kita membedakan emosi positif dan emosi negatif. Bukankah semua emosi itu nyata adanya di dalam jiwa kita sebagai manusia? Anak secara bertahap seiring pertambahan usia tentunya mengenal berbagai bentuk emosi baru.
Peran kita sebagai orang tua bukan menilai dan memilah emosi anak, mana yang positif, mana yang negatif. Tugas kita adalah merangkul dan memahami semua emosi mereka apa adanya, kemudian mengajarkan mereka cara mengendalikannya.
- Jika kita melihat anak yang sedang marah itu menjengkelkan, respons kita pada mereka juga sama. Kita pasti ikutan jengkel sama anak.
- Jika kita menyuruh diam anak yang sedang menangis, kita memberinya kesan menangis itu tidak baik.
- Jika kita memerintah anak untuk pergi atau menyingkir dari bahaya yang sebetulnya tidak terlalu membahayakannya, kita pelan-pelan menciptakan rasa takut dalam diri anak.
Respons kita dalam tiga contoh di atas hanya menjarakkan anak kita dengan emosinya. Ini tentu saja bisa merusak ikatan orang tua dan anak, juga merusak proses belajar anak mengenal emosi.
Anak-anak, apalagi balita menginginkan penerimaan dari orang tuanya. Mereka ingin mencoba banyak hal, dan ingin didukung. Ketika anak sedih, marah, atau mungkin frustasi, kita perlu menerima dan mengakui terlebih dahulu apa yang dia rasakan. Kemudian, sambutlah apapun emosi anak kita, rangkul dia, dan bantu dia meluruskan emosinya pelan-pelan.
3. Ingat, emosi anak itu berlapis-lapis, kayak wafer tango.
Emosi itu kompleks dan berlapis-lapis, kayak wafer Tango. Puteri saya, Maetami (4 tahun) secara emosional sangat dekat dengan papanya.
Suatu hari suami saya pergi menyervis mobil ke bengkel. Maetami terus minta ikut, tapi papanya tak berkenan karena sedang musim virus di luar sana. Penolakan tersebut membuat Maetami sedih, menangis, sementara papanya tetap pergi.
Sebagai ibu saya merasa memberi si kakak pelukan, menghapus air matanya, dan mengatakan papanya nanti pasti pulang dan main bareng lagi, ternyata tidak lah cukup. Perasaan anak di mata kita mungkin simpel, tapi apa yang anak rasakan lebih kompleks.
- Ada perasaan ditinggalkan, “Papa ninggalin Mae.”
- Ada perasaan khawatir, “Nanti kalo papa dikejar monster corona gimana?”
- Ada perasaan takut, “Papa gak ngajak Mae karena Mae nakal?”
Perasaan anak yang kompleks itu kerap membuat anak terus menangis, rewel, dan ujung-ujungnya tantrum. Nah, ketika anak mulai tantrum, luangkan waktu sejenak mengingatkan diri kita bahwa emosi anak itu kompleks.
Di bawah lapisan sedih, marah, dan kecewa itu ada lagi ternyata lapisan-lapisan lain yang jika semakin dikupas, semakin menguras air mata. Persis kayak kita mengupas bawang. Jadi, pahamilah emosi anak kita.
4. Buat anak nyaman mengekspresikan perasaannya
Kita tak ubahnya jangkar bagi anak-anak kita. Orang tua bagaikan jangkar, emosi anak adalah kapalnya. Kita bertugas menciptakan ruang nyaman bagi anak untuk mengekspresikan perasaannya.
Ketika anak mengalami krisis emosional, kita bisa melakukan beberapa hal di bawah ini.
- Hadir di dekatnya. Pegang bahunya, kemudian peluk dia. Apapun yang anak butuhkan, dampingi dia. Jangan pergi hanya karena kita capek mendengar anak menangis.
- Tetap di sampingnya. Anak kita mungkin menyuruh kita pergi dan menolak bantuan kita secara fisik dan verbal. Tidak apa-apa. Biasanya, ketika anak menyuruh kita pergi, dia tidak sungguh-sungguh. Kadang anak hanya ingin tahu seberapa tulus, seberapa cinta orang tuanya padanya dan memilih untuk tinggal.
- Ungkapkan emosi anak. Bantu anak mengakui emosinya. Bisa dengan cara mengatakan, “Ibu tahu kakak sedang marah karena papa gak bolehin kakak ikut papa ke bengkel.” “Ibu tahu kakak khawatir papa pergi sendiri, nanti bertemu monster corona.” “Ibu tahu kakak bingung, takut kalau papa gak bolehin kakak pergi karena kakak berbuat salah.”
5. Menghentikan emosi anak tanpa emosi
Anak saya, mungkin juga anak-anak lain pada umumnya, kadang tidak tahu kapan harus berhenti dengan emosinya. Itu kerap menyulut kemarahan kita. Tiba-tiba anak menghentakkan kaki, melempar barang, menutup pintu dengan keras, bahkan ada juga yang memukul atau menggigit orang tua.
Kita bisa menghentikan emosi anak tanpa emosi. Beri anak sedikit penekanan, misalnya memintanya berhenti beberapa kali, kemudian ulangi seperlunya. Lakukan dengan sabar sampai anak berhenti sendiri.
Kita bisa membantu anak memilih cara menyalurkan emosinya. Meninju bantal misalnya, berbicara dengan bonekanya, berlari, atau mengatakan “aku marah” sebanyak mungkin seberapa pun dia mau.
Cara mengendalikan emosi di atas membantu anak melepas energi terpendamnya yang mungkin tak cukup dikeluarkannya dengan cara menangis.
Yah namanya juga kita manusia. Kadang kita menemukan diri kita dalam mode fight or flight saat anak mulai terlihat seperti musuh. Kesannya kita secara fisik siap bertarung dengan mereka.
Adrenalin membanjiri tubuh kita, bikin otot tegang, detak jantung meningkat, bernapas pun lebih cepat dari biasanya. Mustahil kadang untuk tetap tenang dalam kondisi begini.
Hal terpenting untuk kita ingat adalah ada cara lebih baik untuk memarahi anak. Tidak harus seketika itu juga. Jadi, berjanjilah mulai hari ini untuk tidak langsung mengumpat anak, menghukum anak, meneriaki, apalagi memukulnya saat marah. Semoga kita semua tetap bertahan waras ya mak!
Leave a Comment