Budget lifestyle selalu masuk daftar perencanaan keuangan pasangan muda, juga anak-anak milenial masa kini yang sudah berpenghasilan sendiri. Persis seperti yang dijabarkan Mba Icha dalam personal blognya, Icharming. Komponennya macam-macam, mulai dari biaya traveling, nongkrong di coffee shop tiap pekan, nonton ke bioskop, makan di restoran, beli baju baru, langganan Netflix, biaya ke salon, dan sebagainya.
Perencanaan keuangan itu beragam porsinya. Dua metode umum yang digunakan adalah 50-20-30 dan 60-20-20.
Metode 50-20-30 artinya 50 persen pendapatan kita untuk kebutuhan pokok sehari-hari, apakah itu cicilan utang, makan, belanja bulanan, asuransi, pulsa, air, listrik, dan sebagainya. Sisanya 20 persen untuk tabungan atau investasi, dan 30 persen untuk hiburan.
Metode kedua sama dengan metode pertama. Hanya saja porsi untuk kebutuhan pokok lebih banyak, yaitu 60 persen.
Ada juga yang lebih spesifik mengalokasikan anggaran menjadi 40-30-10-10. Artinya, 40 persen untuk kebutuhan hidup, 30 persen untuk cicilan utang, 10 persen untuk dana proteksi asuransi, 10 persen untuk tabungan, dan 10 persen untuk budget lifestyle.
Sayangnya budget lifestyle sering menjadi parasit yang memakani alokasi anggaran lain. Akibatnya kita tak memiliki tabungan, tidak punya asuransi, tidak punya dana darurat.
Anggaran untuk senang-senang ini bahkan mengambil porsi kebutuhan pokok lainnya. Ini yang membuat berapapun gaji yang kita terima, selalu habis tak bersisa.
Tips Menyusun Budget Lifestyle
Perencanaan keuangan itu prosesnya tak mudah, demikian kata Mas Agus Helly, perencana keuangan favorit saya nih dalam diskusi online beberapa waktu lalu. Gak ada tuh ceritanya orang yang baru belajar perencanaan keuangan 1-2 kali langsung mulus menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, terlebih jika dikaitkan dengan lifestyle.
Masing-masing kita mempunyai kebiasaan alias habit yang sudah kita bangun puluhan tahun. Apalagi jika kita sudah bekerja hampir 10 tahun atau bahkan lebih, serta sudah terbiasa menikmati lifestyle yang sama.
Mengatur budget lifestyle itu, menurut Mas Agus gak jauh beda dengan cara kita berolah raga. Memang, tidak mudah memaksa tubuh kita yang tadinya terbiasa mager di rumah, kemudian mendadak rutin berolah raga. Awalnya memang berat, tapi kadang sesuatu yang baik harus dipaksakan.
Perencanaan keuangan itu learning by doing. Kita bakal memahami ilmunya jika kita mau menerapkannya. Lantas, gimana sih caranya menyusun budget lifestyle yang baik, supaya perencanaan keuangan jangka panjang kita tetap sehat?
1. Pastikan kebutuhan pokok sudah terpenuhi
Ingat loh, budget lifestyle tidak boleh lebih besar dari pendapatan. Kebutuhan pokok merupakan prioritas kita setiap bulan.
Biaya makan sebulan, pulsa listrik, iuran PDAM, bayar kontrakan, bayar kosan, dan dana bulanan lainnya jangan diganggu gugat deh. Itu udah gak mungkin ditawar lagi.
2. Dana darurat tetap dianggarkan
Setiap menulis tentang perencanaan keuangan, saya selalu menekankan pentingnya dana darurat, demikian juga yang disarankan siapapun perencana keuangan yang saya kenal. Dana darurat itu ada yang setara tiga kali biaya hidup, enam kali biaya hidup, bahkan setahun biaya hidup.
Gimana cara menghitungnya? Misalnya nih, gaji kita Rp 6 juta per bulan, sementara kebutuhan sehari-hari kita Rp 3 juta per bulan. Dana darurat yang perlu kita siapkan adalah Rp 3 juta x 6 bulan, yaitu Rp 18 juta.
Mas Agus bahkan berpendapat dana darurat itu dihitung bukan sekadar setara biaya kebutuhan hidup sebulan, tapi setara gaji sebulan. Ya, itu balik lagi ke gaya hidup masing-masing ya. Yang penting kita harus mengusahakan alokasi dana darurat dalam kondisi apapun.
3. Sesuaikan gaya hidup dengan penghasilan
Tolak ukur kebahagiaan itu cuma kita yang tahu. Ada yang bahagia jika bisa traveling setiap tahun. Ada yang bahagia jika bisa menabung. Ada yang bahagia jika bisa makan-makan enak di restoran yang disuka.
Kita tidak sadar tahu-tahu sudah membelanjakan uang dalam jumlah besar. Kita terlena dengan transaksi kartu debit, kartu kredit, atau uang elektronik yang bentuk fisik uangnya tidak terlihat.
Pertanyaannya, apakah gaya hidup kita sudah sesuai dengan penghasilan yang kita terima? Jangan sampai besar pasak dari pada tiang.
Kalo gaji kita kurang dari Rp 5 juta per bulan, ya jangan maksa pengen ngopi Starbucks tiap akhir pekan. Kalo gaji kita belum dobel digit, ya jangan maksa mau jalan-jalan ke Eropa. Beda cerita jika jalan-jalannya gratis ya, atau kita benar-benar mau berusaha keras mewujudkan impian kita dengan keras kepala alias gigih.
4. Buat perencanaan keuangan terperinci
Supaya kita bisa mengidentifikasi jumlah uang yang kita butuhkan untuk mendukung gaya hidup kita, maka kita perlu membuat perencanaan keuangan terperinci. Benar-benar rinci loh.
Mas Agus yang kebetulan rutin memberi kelas di Financial Evolution (Fin:E) mengarahkan dengan jelas bagaimana kita menggambarkan cara kita membelanjakan uang setiap bulannya. Semacam dibikin spread sheet gitu. Nantinya kita bisa menilai gaya hidup kita dikaitkan dengan kesehatan finansial kita.
5. Kurangi latte factor dan impulsive buying
Buat yang masih bengkung alias bandel, tetap ingin traveling meski penghasilan pas-pasan, bisa kok disiasati. Coba cek lagi pos-pos yang tidak perlu. Inilah gunanya kita mencatat dan menyusun perencanaan keuangan terperinci tadi.
Nantinya kita akan menemukan pengeluaran-pengeluaran yang mengagetkan untuk gaya hidup yang tak direncanakan, disebut juga latte factor. Contohnya saja kita terbiasa me-laundry pakaian yang setelah dihitung pengeluarannya mencapai Rp 500 ribu per bulan. Ini berarti dalam setahun kita sudah mengeluarkan Rp 6 juta hanya untuk cuci pakaian.
Kita terbiasa facial atau menikur pedikur ke salon sekali dua minggu, setara Rp 400 ribu per bulan. Ini berarti dalam setahun kita sudah mengeluarkan uang hampir Rp 5 juta hanya untuk ke salon.
Kira-kira kita sanggup gak jika mencuci pakaian sendiri? Kira-kira kita sanggup gak facial sendiri di rumah, maskeran sendiri, perawatan sendiri, atau minimal ke salon sekali sebulan saja?
Hanya dari dua sumber pengeluaran saja, laundry dan salon, kita bisa menghemat hampir Rp 11 juta per tahun. Jumlah ini sudah berlipat ganda sekiranya kita mengalihkannya ke pos investasi, seperti reksa dana, saham, obligasi, atau deposito.
Waspada juga godaan impulsive buying. Dalam kebanyakan kasus kita sering terbuai dengan tawaran promo dan diskon sesaat. Ujung-ujungnya jika uang habis kita terdorong mencari sumber utang, atau menggunakan layanan pay later.
Hotel-hotel ngasih promo menginap murah, tapi jika gak masuk budget kita, ya jangan maksa. Tidak semua keinginan kita harus dipenuhi. Keinginan manusia itu tak terbatas, tapi yang namanya uang pasti terbatas.
6. Tambah income
Tren saat ini banyak anak muda memiliki lebih dari satu pekerjaan alias side job. Selain bekerja di perusahaan utama, anak-anak muda kreatif berusaha mencari tambahan income dari sumber lain.
Hobi masak? Bisa dong jualan makanan online. Hobi nulis? Bisa dong jadi freelance writer atau content writer. Jago public speaking? Bisa dong jadi MC atau agen asuransi sekalian.
Nah, penghasilan kita dari pekerjaan sampingan ini bisa ditabung untuk memenuhi gaya hidup, misalnya buat traveling.
7. Gunakan return investasi
Ini cara cerdas yang gak bakal bisa direalisasikan dalam waktu singkat. Cara ini butuh perencanaan matang dan aksi konkret.
Punya tabungan Rp 50 juta atau Rp 100 juta? Taruh di instrumen investasi, misalnya reksa dana pasar uang atau saham dengan return minimal 10 persen per tahun. Ini berarti kita sudah memiliki keuntungan investasi Rp 5 juta hingga Rp 10 juta per tahun.
Apakah uang ini boleh digunakan untuk gaya hidup, misalnya merayakan Tahun Baru di Bali? BOLEH BANGET.
Intinya sih ya, lifestyle itu butuh pengorbanan. Namun, pengorbanan di sini bukan berarti bunuh diri dengan cara terlilit utang loh. Kita bisa mengorbankan pos-pos anggaran yang bisa disubtitusi.
Budget lifestyle itu memang urusan pribadi. Namun, tetap saja membutuhkan perencanaan keuangan yang matang.
Berpatokan pada perencanaan keuangan yang telah dibuat mendorong kita lebih pintar mengendalikan pengeluaran. Kita bisa mengevaluasi banyak hal supaya bisa menerapkan gaya hidup sesuai kebutuhan.
Jika gaji kita saja tidak bisa atau pas-pasan membiayai kebutuhan hidup, ya gak usah sok-sok-an mau hedon. Mas Agus bilangnya, “Gak usah banyak gaya lah.”
Leave a Comment