Anak-anak yang sering disebut anak nakal itu sebenarnya serupa bola basket di tengah ruangan yang dipenuhi bola bekel. Bola bekel mungkin hanya bisa memantul setengah meter atau semeter, sementara bola basket bisa memantul hingga menyentuh langit-langit ruangan. Semakin sering dia memantul, semakin tinggi capaiannya.
Kita bisa belajar dari anak nakal tentang banyak hal, sebagaimana yang dipaparkan Mba Enny di personal blognya. Coba lihat sekeliling kita. Banyak sekali orang-orang sukses dahulunya dicap anak nakal. Namun, jangan pula disalahartikan bahwa anak kita harus menjadi anak nakal dulu supaya sukses di kemudian hari.
Bill Gates, orang terkaya di dunia di masa remajanya sering berurusan dengan polisi. Dia pernah dibui karena kerap melarikan mobil orang tuanya diam-diam, tanpa SIM, dan suka kebut-kebutan.
Pendiri Apple, Steve Jobs terkenal sebagai anak paling jahil di rumah dan sekolah. Saking jahilnya, orang tua angkatnya Paul dan Clara Jobs kehabisan akal menghadapinya.
Suatu hari Jobs dan temannya pernah membuat pengumuman tertulis Bring Your Pet to School. Pengumuman itu dibuat seapik mungkin, sehingga kesannya pihak sekolah yang memerintahkan. Keesokan harinya semua anak murid membawa hewan peliharaannya dan satu sekolah pun heboh.
Anak Nakal dan Anak Manja
Anak nakal bisa disebabkan banyak faktor. Namun, penyebab paling umum bisa jadi karena orang tua terlalu memanjakan. Anak berperilaku buruk, seperti susah diatur karena ada keinginannya tak tercapai. So, anak manja merupakan produk dari orang tuanya.
Memanjakan anak bisa dimulai dari hal-hal kecil, seperti sebungkus permen, hingga frekuensinya semakin sering seiring pertambahan usia. Nah, anak-anak kita yang menjadi generasi digital saat ini sangat rentan menjadi manja.
Mereka terbiasa menerima banyak mainan dan materi lainnya sejak usia dini. Isi acara TV anak sekarang banyak sekali bermuatan iklan komersial, apakah itu produk mainan atau makanan.
Ada baiknya kita mengenal lebih dulu perkembangan emosional dan perilaku anak sejak lahir hingga balita.
Usia baru lahir hingga 1 tahun
Bayi baru lahir membutuhkan ikatan (bonding) erat dengan kedua orang tuanya. Kita tidak bisa mencap orang tua terlalu memanjakan anaknya pada rentang usia ini. Bayi di bawah setahun sering digendong, sering dipeluk, sering dicium, itu tidak bisa dibilang orang tua terlampau memanjakan anak. Lucu aja kalo ada yang bilang anak tersebut sudah ‘bau tangan.’
Bayi baru lahir sampai berumur sembilan bulan belum bisa berperilaku manipulatif. Bayi pasti menangis ketika benar-benar membutuhkan sesuatu, misalnya menyusu, mimik botol, atau ganti popok. Selama waktu ini orang tua cukup membantu bayi tetap merasa nyaman.
Usia 1-3 tahun
Kita sering melihat anak mudah menangis, merengek, atau marah pada rentang usia ini. Hal kecil saja bisa menjadi sumber masalah, misalnya rambutnya susah disisir, pipinya dicolek tamu yang datang ke rumah, boneka kesayangannya kejepit di belakang pintu, atau kakinya gatal minta digaruk.
Kita tak serta merta mencap anak kita manja hanya karena menunjukkan perilaku-perilaku tersebut. Ini bagian yang sangat normal dalam perkembangan emosional.
Anak usia 1-3 tahun sering meledak-ledak menyampaikan rasa bahagia juga frustasinya. Kita mungkin pernah menegur anak karena tertawa cekikikan sambil lari-larian dalam rumah. Kita mungkin pernah menganggap tangisan anak terlampau lebay. Ya, kan? Ini sebetulnya normal loh.
Hal yang bisa dilakukan orang tua adalah tidak langsung bereaksi negatif dengan memarahi anak. Jangan pula serta merta mengabulkan semua permintaan anak supaya mereka tidak rewel. Mengapa?
Pertama, kita tanpa sadar mengajarkan anak bahwa rewel adalah cara paling efektif meminta sesuatu atau mendapatkan apapun yang diinginkan. Kedua, kita tidak mengajarkan anak bagaimana cara menghibur diri sendiri. Padahal, anak perlu belajar mengendalikan emosinya.
Usia 3-4 tahun
Setelah anak berusia tiga tahun, dia mulai mengerti tak semua keinginannya bisa didapat. Ini sebabnya anak seumuran 3-4 tahun tidak marah dan tidak emosi berapi-api ketika keinginannya tak dikabulkan.
Meski demikian, anak-anak rentang usia ini masih suka kelepasan saat mengontrol emosi. Akibatnya sesekali dia akan menunjukkan ekspresi tidak senang pada orang tua.
Pada usia ini kita bisa menerapkan beberapa aturan, misalnya anak tak boleh minta dibelikan mainan baru setiap waktu. Ada kalanya dia akan dibelikan mainan baru, misalnya sekali sebulan, atau saat liburan.
Mengubah Nakal Jadi Kooperatif
Anak balita atau usia prasekolah sudah mengerti mana yang boleh dan tidak boleh. Hanya saja mereka akan terus berusaha mendapatkan apa yang diinginkan, meski keinginannya tersebut dilarang.
Jangan pernah berteriak kepada anak. Berteriak hanya menunjukkan kita bukan orang tua baik bagi anak-anak.
Jangan pernah melihat anak-anak kita dari kacamata kiri. Anak tak akan pernah menjadi musuh kita, tak peduli seberapa sulit diaturnya dia, tak peduli seberapa buruk kelakuannya.
Anak ya tetap anak. Balita itu masih terlalu muda dan pemikirannya belum matang. Mereka masih membutuhkan bantuan kita dalam mematangkan emosi.
Semua anak secara alami akan menguji batas ketegasan orang tuanya. Saat saya mengatakan si kakak hanya boleh bermain ponsel Sabtu dan Minggu, saya tahu saya akan menghadapi hari-hari menyebalkan.
Setiap hari, Senin-Jumat saya harus menjawab pertanyaan sama dari kakak, “Bun, HP-nya Sabtu Minggu ya?” Dia selalu bertanya hal tersebut. Jawaban konsisten saya pada kakak setiap harinya berbuah manis. Kakak menjadi pakem bahwa dia hanya boleh meminta ponsel di akhir pekan. Dia tak lagi bertanya atau meminta izin lagi pada hari kerja.
Adakah cara mengubah anak kita yang tadinya terkesan nakal menjadi anak yang kooperatif?
1. Beri anak pelukan
Strategi ini cukup efektif bagi saya. Begitu si kakak kumat, misalnya saya tak memberikannya es krim yang jelas-jelas ada di kulkas, kakak akan protes dan memancing emosi saya. Caranya, dia mulai memukul-mukul sofa, menghentak-hentakkan kaki, melempar alat gambarnya, atau merobek kertas bukunya.
Saya mencoba menahan diri dan membiarkan si kakak beberapa menit, kemudian mendekatinya dan memberi pelukan. Awalnya si kakak sedikit berontak, tapi akhirnya luluh juga.
Saya mencoba menerangkan pada kakak bahwa dia boleh makan es krim begitu pileknya sembuh. Jika dia tetap bersikeras makan es krim dalam kondisi hidung meler, maka dia bisa demam dan harus ke dokter.
2. Masa bodoh sama komentar orang lain
Pertahanan orang tua luluh lantak mana kala anaknya nakal di tempat umum. Kita tergoda untuk menyerah karena malu dilihat orang lain.
Kejadiannya paling sering di mall nih, saat anak bersikeras minta dibelikan mainan baru. Anak berteriak, menangis, sampai berguling di lantai. Biarkan anak meluapkan emosinya beberapa waktu.
Pernah juga anak memancing perkelahian di sebuah acara ulang tahun karena tidak bisa meminjam mainan temannya. Kita bisa menarik anak kita ke sudut aman sampai dia tenang. Jelaskan kepadanya bahwa mainan tersebut bukan miliknya. Jangan langsung mendebat anak di hadapan teman-temannya. Anak akan malu, dan ujung-ujungnya semakin tantrum demi menunjukkan kekuatannya.
3. Hindari hot spot
Saya tahu anak saya bakal rewel setiap lewat di depan toko mainan, seperti Kidz Station. Makanya setiap kami jalan-jalan ke mall, atau ke pasar kaget saat car free day, kami menghindari melintas di depan penjual mainan.
Saya dan suami punya kode tersendiri untuk mengalihkan perhatian si kakak. Begitu saya atau suami melihat pedagang mainan, kami akan berkata “May day, May day.” Salah satu dari kami langsung berakting bak artis sinetron untuk mengalihkan pandangan kakak dari lapak mainan yang akan dilaluinya.
Menghindar adalah jalan terbaik. Jika si anak kelamaan tantrum di tempat umum, orang tua biasanya menyerah dan akhirnya mengabulkan keinginan anaknya. Biasanya sih begitu.
4. Gak usah dibawa serius
Saat anak tiba-tiba memakai sandal atau sepatunya masuk ke rumah, loncat-loncatan di sofa, ambil napas panjang, embuskan. Jangan terlalu serius memikirkannya.
Jaga nada suara tetap normal dan menyenangkan. Bila perlu tetap senyumin anak, meski dalam hati kita udah gedeg banget karena sofa ruang tamu jadi kotor. Hampiri anak dan tegur dengan setengah bercanda.
“Ya ampuuuun, itu sepatu Cinderella kok dipakai buat loncat-loncatan di sofa? Sepatu Cinderella itu dipakai buat berdansa. Mana ada princess loncat-loncatan di sofa?”
Peluk anak kita, gendong dia, buat sedikit gerakan dansa seolah dia seorang puteri, kemudian pelan-pelan lepaskan sepatu di kakinya. Selesai deh urusan tanpa perlu didramatisir.
5. Menangislah saat itu harus dilakukan
Biasanya ini jurus terakhir saya kalo anak tetap menolak kooperatif. Saya akan pura-pura menangis kecewa dan menjadi ibu yang menderita, juga perlu dikasihani.
Saya tahu si kakak sangat sayang sama saya. Dia mempunyai empati tinggi terhadap orang tua dan adik-adiknya. Jika biasanya si kakak yang provokatif, maka sekarang saatnya saya yang provokatif. Setelah si kakak mengalah dan berhenti bersikap keras kepala, saya langsung memancingnya untuk ketawa.
Anak Nakal atau Anak Penuh Semangat?
Kita lebih senang melabeli anak kita dengan anak nakal atau anak penuh semangat?
Ketika kita melihat anak kita sebagai anak yang penuh semangat, kita akan fokus pada kekuatannya, bukan kekurangannya.
Anak kita suka berteriak? Bisa jadi dia kelak menjadi motivator handal yang bisa menyemangati orang lain. Bisa jadi pelatih sepak bola untuk timnas juga loh.
Anak susah disuruh tidur malam, maunya main terus? Siapa tahu kelak dia menjadi dokter yang tugas di UGD dan menyelamatkan banyak nyawa orang.
Ketika kita melihat anak kita nakal, keras kepala, menjengkelkan, mengganggu, kita otomatis menganggap perilakunya di depan umum sebagai ancaman yang hanya membuat kita malu. Fisiologis dan bawah sadar kita akan mempersiapkan diri untuk berdebat dan bertengkar dengan anak. Reaksi negatif ini yang membuat kita enggan berempati pada anak sendiri.
Semua orang tua frustasi ketika anaknya berperilaku buruk yang oleh banyak orang disebut nakal. Cara kita bereaksi terhadap perilaku anak menentukan kematangan emosional anak di masa depan.
Leave a Comment