Mendidik anak bukan cuma di sekolah, tapi juga di rumah. Orang tua mana yang tak ingin buah hatinya sukses di masa depan? Sejak kecil anak diberi ASI, diasupi makanan bergizi, diajarkan berbagai keterampilan, didaftarkan ke sekolah favorit, dibiayai kursus dan les ini itu. Apalagi tujuannya kalo bukan anak tumbuh sehat, pintar, dan berprestasi?
Kebanyakan orang tua terlibat aktif dalam pendidikan akademik anak di sekolah. Mereka berkomunikasi intensif dengan para guru, memantau prestasi anaknya, memastikan anaknya mengerjakan tugas dengan baik dan menyelesaikan pekerjaan rumah alias PR tepat waktu.
Orang tua pasti menyadari – meski sering lupa – bahwa pendidikan akademik anak sama pentingnya dengan pendidikan karakter di rumah. Ciri anak muda yang akan menjadi orang hebat di masa depan bukan hanya berpengetahuan luas secara akademik, sebagaimana dipaparkan Uda Fadli di laman blog gaya hidup dan edukasi. Banyak lagi sikap penting yang mendorong kesuksesan anak ketika dewasa dan itu semua berpangkal pada didikan orang tua di rumah.
Cara Mendidik Anak di Rumah
Mendidik anak di rumah itu mudah secara teori, sulit secara praktik. Kok sulit? Sebab orang tua sering lupa menjadi teladan yang baik bagi anak.
Contoh sederhana, kita ingin mendidik anak berbicara lemah lembut pada orang lain. Namun, ketika anak menumpahkan segelas susu ke lantai suara papanya sudah menggelegar macam singa ketemu macan. Ibunya ngomel terus macam ayam berkotek mau bertelur.
Kita ingin mendidik anak berkasih sayang dengan saudaranya. Namun, kita masih suka mempertontonkan mereka drama perdebatan orang tua secara terbuka alias bertengkar di depan anak. Mirip lah seperti cerita sinema pintu taubat di Indosiar yang judulnya panjang bikin keseleo lidah itu.
Contoh lainnya, kita ingin anak pintar dan berprestasi. Namun, ketika anak banyak bertanya, bahkan perihal sama setiap hari, kita malah menyebutnya cerewet. Keingintahuan alami anak seolah gangguan bagi orang tua yang super sibuk. Padahal, sifat kepo si anak adalah akar kesuksesannya di masa mendatang.
Apa saja yang bisa orang tua lakukan di rumah supaya anak tumbuh menjadi pribadi sukses? Rahasianya jangan lupakan tujuh hal ini.
1. Terus motivasi anak agar bahagia
Kalo saya membaca berita-berita sekarang jadi ngeri sendiri. Banyak remaja bunuh diri karena depresi. Hidup mereka seperti penuh tekanan, mulai dari tuntuntan selalu menjadi yang terbaik dari orang tua, kompetisi di sekolah, hingga perundungan (bullying).
Anak bahagia berasal dari orang tua bahagia. Jadi, yang pertama bahagia harus orang tuanya dulu.
Saya sering menjumpai situasi di mana saat saya stres dan emosi, pasti menular ke ketiga anak saya. Si kakak akan ikut marah-marah dan serampangan. Adik-adik kembarnya mendadak jadi rewel dan nangis terus.
Penularan emosi orang tua ke anak ini sudah fenomena psikologis. Yah, namanya juga hubungan darah. Orang tua dan anak bisa menangkap perasaan satu sama lain.
Orang bilang, berdoa supaya bisa terus bahagia dan minta panjang umur itu melawan takdir. Namun, bukankah selalu ada jalan menemukan kebahagiaan?
Gimana anak-anak bisa bahagia di masa depan? Sama kayak tanaman, benihnya harus dirawat dari sekarang, sedari mereka kecil. Salah satu caranya orang tua mendidik anak dengan menghabiskan banyak waktu bersama, khususnya dalam rentang usia anak 3-11 tahun. Demikian menurut sejumlah penelitian.
2. Ajarkan anak melakukan pekerjaan rumah tangga
Sekarang sudah bukan zamannya menjadikan anak laki-laki sebagai raja yang dilayani dan anak perempuan sebagai sosok lemah yang perlu dilindungi. Saya percaya anak-anak yang terbiasa dibesarkan dengan tugas-tugas kelak menjadi sosok mandiri dan berempati karena tahu seberapa besar usaha menyelesaikannya.
Anak-anak perlu diajak melakukan pekerjaan rumah tangga, seperti membuang sampah, mencuci piring sendiri, mencuci pakaian sendiri, bahkan keterampilan memasak. Saya mikirnya sederhana, jika anak saya tidak mencuci piring makannya sendiri, kelak harus ada orang lain melakukan tugas tersebut untuknya. Siapa?
Ibunya? Ya kalo ibunya masih ada, masih sehat-sehat saja.
Pembantu? Ya kalo dia setelah dewasa dan bekerja, bergaji tinggi sehingga bisa membayar pembantu.
Istri? Ya itu kalo dia sudah menikah dan punya istri cekatan. Nah, kalo istrinya juga sama selebornya dengan dia gimana? Jadi perkara kan?
Anak kita perlu belajar yang namanya tugas harus diselesaikan. Anak juga belajar masing-masing orang punya kontribusi untuk kebaikan bersama.
3. Ajarkan anak kemampuan bersosialisasi
Kita memang perlu mengajarkan anak mandiri dalam beberapa hal, tapi tidak semua hal. Ajarkan anak kita kemampuan bersosialisasi dengan baik sebab fitrahnya manusia adalah makhluk sosial.
Anak yang pandai bersosialisasi, punya banyak teman kelak dalam hidupnya mudah bekerja sama dengan siapa saja. Dia akan cekatan dalam tim, mengajak semua teman-temannya sukses bersama. Thereβs no winner in the losing team.
Anak yang pandai bersosialisasi tak akan berhitung untung rugi saat menolong orang lain. Anak lebih mudah berempati, berinisiatif, bahkan mengulurkan bantuan sebelum diminta.
Beberapa anak memang terlahir dengan kharisma, sehingga kepribadiannya tampak ramah dari luar, memudahkannya bergaul dengan siapa saja. Sebagian anak mungkin menemui kesulitan dalam bersosialisasi dan orang tua butuh waktu mendidik anak hal tersebut.
Nah, puteri saya termasuk golongan terakhir. Saya sekarang masih terus berusaha melatih si kakak yang berusia 3,9 tahun untuk tidak terlampau pemalu dan mau berteman dengan lebih banyak anak sebayanya.
4. Ajarkan anak matematika sedini mungkin
Saya gak mau anak-anak saya seperti ibunya yang alergi banget sama matematika. Mau sebenci apapun kita sama ilmu satu ini, faktanya penguasaan keterampilan matematika sejak usia dini bukan cuma memengaruhi prestasi anak, namun juga keberhasilannya di masa depan.
Jangan langsung bereaksi negatif tentang matematika di depan anak. Sikap tersebut bisa berpengaruh pada pandangan anak kita kelak tentang mata pelajaran terkait di sekolah. Dorong anak berprestasi di bidang ini karena berpeluang meningkatkan potensinya dalam berkarier.
Bekerja di mana pun membutuhkan kemampuan analisis, cara berpikir sistemis, dan logis. Itu semua merupakan wajah matematika.
Matematika mengajarkan logika dan disiplin. Kalo dipikir-pikir lagi, manfaatnya amat besar dalam kehidupan sehari-hari. Persamaan matematika misalnya mengajarkan anak bagaimana menemukan solusi untuk masalah kompleks.
Rasanya nyaris mustahil anak-anak bisa mandiri tanpa keterampilan dasar matematika. Secara sederhana begitu masuk sekolah dasar mereka sudah diberikan uang jajan. Usia SMP hingga SMA anak mulai diajarkan mengatur uang saku sendiri.
Saat dewasa, mau apapun pekerjaannya nanti, anak tetap tak bisa lepas dari matematika. Jadi tukang nasi goreng aja harus bisa menghitung total pesanan, bayaran, uang kembalian, keuntungan, dan sebagainya. Apalagi profesi bergaji tinggi, seperti dokter spesialis, engineer, ahli kontruksi, ahli pertambangan, teknisi perminyakan, dan sebagainya? Relevansi matematika begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari.
5. Ajarkan anak berhubungan baik dengan saudaranya
Anak yang berhubungan baik dengan saudara, apakah itu kakak atau adiknya akan meminimalisir konflik keluarga di masa depan. Orang tua saya mungkin termasuk gagal dalam hal ini.
Saya anak pertama dari dua bersaudara. Usia kami hanya berjarak dua tahun. Sejak kecil ayah dan ibu kerap mendidik kami saling berkompetisi satu sama lain, khususnya dalam hal prestasi sekolah. Dulu mungkin saya melihatnya sebagai motivasi, namun sekarang saya menyadari itu lebih ke kompetisi tidak sehat.
Saat adik saya mendapatkan nilai kurang memuaskan, ayah langsung menjustifikasi dengan membandingkan adik saya dengan saya. Positifnya saya selalu menjadi juara kelas dan lulus dengan nilai tinggi hingga masuk ke salah satu perguruan tinggi negeri favorit tanpa tes. Namun, saya melihat hal berbeda terjadi pada adik saya.
Saya tahu adik saya merasa tertekan setiap kali ia dibandingkan dengan kakaknya (tuh kan, saya jadi nangis lagi menulis ini). Sejak sekolah dasar hingga kuliah sikap orang tua kami tetap sama.
Adik saya selalu merasa diikuti bayang-bayang saya. Akibatnya apa? Hubungan kami berdua tak begitu sehat. Setiap ada masalah dalam keluarga, kami akan ‘berperang’ satu sama lain. Adik saya sekarang terus berusaha mandiri dengan caranya sendiri dan kesannya ingin jauh dari orang tua.
Jangan sampai hal ini terjadi pada anak-anak saya. Masing-masing anak bersinar dengan caranya sendiri, seperti matahari dan bulan yang tak akan pernah muncul bersamaan.
6. Motivasi anak terus belajar dan haus ilmu pengetahuan
Allah SWT mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu. Golongan ini tujuh derajat lebih tinggi dari lainnya. Jarak masing-masing derajat itu adalah 500 tahun. Masya Allah.
Kita perlu terus memotivasi anak supaya tak pernah berhenti belajar dan haus ilmu pengetahuan dunia akhirat. Ajarkan anak supaya tak henti belajar, mau itu ilmu agama atau ilmu pengetahuan umum.
Tujuan anak berilmu pengetahuan adalah untuk diamalkan. Jadi, jangan patahkan semangat anak untuk berkuliah, melanjutkan pendidikan S2 atau S3, menuntut ilmu ke pesantren, ikut kursus keterampilan ini itu, dan sebagainya, mau itu anak perempuan atau anak laki-laki.
Sayangnya zaman sekarang masih banyak masyarakat kita menilai anak perempuan tak perlu sekolah terlampau tinggi. Ada anak perempuan berusia hampir 30 tahun menunda menikah demi melanjutkan S3 atau menjadi profesor muda malah dicemooh bakal jadi nenek peot, gak enteng jodoh, perawan tua. Ingat buk pak, hukum menuntut ilmu dalam Islam sebagian besar fardlu ‘ain dan sebagian lagi fardlu kifayah, sementara menikah hukumnya sunnah.
Menikah itu hak prerogatif anak. Jika dia sudah siap dan bertemu jodohnya, insya Allah dia akan memberi orang tuanya calon mantu. Sabar aja ya.
7. Ajarkan anak selalu memiliki harapan
Kita perlu mengajarkan anak selalu memiliki harapan, bukan selalu ngarep dalam artian negatif. Hehehe. Memiliki harapan berarti menginginkan hidup lebih baik. Harapan tak hanya membantu anak dalam situasi sulit, namun juga menuntunnya keluar dari masalah, sebab ada motivasi untuk terus berusaha mewujudkannya.
Harapan adalah bagian dari kehidupan setiap orang. Semua orang pasti berharap akan sesuatu. Itu sifat dasar manusia. Jadi, harapan adalah peluang.
Anak perlu diajarkan harapan yang spesifik supaya bisa fokus mewujudkannya. Contohnya, harapan diterima bekerja di satu perusahaan, harapan lulus sekolah dengan nilai terbaik di kelas, harapan bisa melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi yang diinginkan. Membayangkannya saja sudah membuat kita bahagia.
Harapan melibatkan tiga hal, yaitu perencanaan, motivasi, dan tekad. Coba kita lihat, banyak orang dengan masa kecil menyedihkan bisa sukses di masa depan karena harapan.
Bapak Dahlan Iskan misalnya, bagaimana perjuangan beliau untuk bersekolah dengan berjalan kaki sejauh enam kilometer tanpa sandal dan sepatu. Harapan laksana lilin kecil yang menuntun kita saat berada di terowongan gelap, sampai kita menemukan jalan di depan, dan akhirnya keluar dari masalah.
Hidup bisa sangat sulit, bahkan untuk anak-anak. Anak perlu diajarkan sifat tangguh melewati masa-masa sulit itu. Ketika anak belajar menjadi ulet, mereka lebih mampu menghadapi masalah, bahkan trauma.
Leave a Comment