Wanita yang terus memantaskan diri
Wanita yang terus memantaskan diri

Awal pekan perdana nih, emak ikutan kajian Al Hijrah di rumah salah seorang teman di Denpasar. Topiknya menarik banget, memantaskan diri sebagai hamba Allah, ibu, istri, dan saudara/ sahabat, di bawah bimbingan Ustaz Nur Ansyur.

Pesertanya cuma tujuh orang yang bisa hadir. Mayoritas emak-emak yang juga istri karyawan Telkomsel Bali Nusra (Periskasel). Karena memang pengajian ini digelar pribadi oleh Mba Nana, jadinya kita semua khusyu banget dengerin ceritanya ustaz, apalagi penyampaiannya menarik.

Dulu di sekolah, seusai guru menerangkan materi pelajaran, kita suka bikin resume di buku tulis. Nah, kali ini emak tertarik bikin rangkuman pengajian kemarin. Bisa buat dibaca lagi, atau sekadar mengingatkan diri jika kelak menghadapi masalah sama. 

Ustaz Nur Ansyur membuka pengajian dengan bertanya pada kami. Dari empat peran wanita, yaitu sebagai hamba Allah, istri, ibu, dan saudara/ sahabat, kira-kira peran mana yang paling banyak kami jalani setiap harinya? Kompak semua menjawab, ibu.

Ternyata, ibu yang sukses itu adalah ibu yang bisa menjadi hamba Allah yang baik, dan istri yang baik. Seorang wanita tidak mungkin menjadi ibu yang baik, jika tidak sukses menjadi istri yang baik, dan hamba Allah yang baik. Kalo dibikin diagramnya kira-kira begini urutannya:

Hamba Allah –> Istri –> Ibu –> Saudara/ Sahabat

Jangan sampai wanita mengorbankan suami hanya karena anak. Kondisi ini paling banyak terjadi sekarang. Sering kali wanita hanya fokus pada anak, sehingga banyak kewajiban lain tertinggal. Misalnya, sebagai istri, dia tak lagi menampakkan cinta pada suami. Cinta pada suami semakin hambar. Buktinya? Setelah menjadi ibu, wanita tak lagi perhatian pada penampilannya, lantaran sibuk terus dengan anaknya.

Padahal, kata Ustaz Nur Ansyur, istri yang perhatian pada suami adalah istri yang perhatian pada penampilan diri. Rasulullah pernah ditanya tentang wanita bagaimana paling baik di matanya? Beliau menjawab sesuai dengan yang diriwayatkan HR Ahmad, “Jika dipandang (suami) ia menyenangkan, jika diperintah ia taat, dan ia tidak menyelisihi suaminya dalam perkara-perkara yang dibencinya, baik dalam diri maupun harta.”

So, ciri pertama wanita terbaik menurut Islam adalah menyenangkan jika dipandang suami. Menyenangkan di sini tidak melulu soal fisik, namun lebih kepada inner beauty.

Jika suami memandang istrinya, maka dia bisa tersenyum, gembira, senang, adem. Istri yang belum apa-apa sudah emosian melihat suami, maka akan berimbas balik pada suami yang juga akan merasa tidak senang melihat sang istri.

Istri yang terlalu sibuk dan akhirnya capek karena anak, tetap saja salah dalam pandangan agama. Ketika wanita fokus menjadi ibu, dan dalam waktu bersamaan juga mampu menjadi istri dan hamba Allah yag baik, maka kelak dia akan dihormati anak-anaknya. Jika yang terjadi sebaliknya, ibu hanya membesarkan anak yang kelak mudah melawan kepada orang tua. Ini berkaca pada perilaku ibu yang kerap mengabaikan suaminya.

Ustaz Nur Ansyur menambahkan, saudara atau sahabat yang baik pasti bisa memuaskan saudara atau sahabatnya setelah bisa menjadi ibu yang baik bagi anaknya, istri yang baik bagi suaminya, dan hamba yang baik bagi Tuhannya. Jika tahapannya dari atas sudah lemah, maka lemah pula ke bawahnya.

Wanita kadang disibukkan oleh satu amalan, namun tidak ada hasilnya. Banyak suami sibuk melihat istrinya ikut pengajian ke sana ke mari, namun manfaatnya tak dirasakan. Kenikmatan itu hendaknya dirasakan lebih dulu oleh orang-orang terdekat. Dalam hal ini, kenikmatan dan kebaikan istri harus lebih dulu dirasakan suami, kemudian anak-anaknya di rumah.

Rasulullah SAW pernah bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik bagi keluarganya. Dan aku orang yang paling baik bagi keluargaku.” (HR At Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Jangan pernah mengaku kita ibu yang baik, jika anak sendiri belum memberikan testimoni bahwa “Ibuku adalah yang terbaik” atau “My Mom is the best.” Hehehe.

Peran Ayah Ibu yang Tertukar

Fenomena ini terjadi sekarang ini. Ayah yang seharusnya mengajarkan kemandirian, kedisiplinan, dan ketangguhan dalam kehidupan, sekarang perannya berganti dengan ibu. Justru ibu yang di mata anaknya bak raksasa.

Anak-anak sekarang, ketika ditanya, lebih takut ayah atau ibu? Jawabannya pasti lebih takut ibu. Ustaz Nur Ansyur menilai peran yang tertukar ini menjadi masalah besar di kemudian hari.

Ketika anak sedih, seharusnya ibu adalah tempatnya menangis. Jika anak butuh bantuan, ibu adalah pembela. Kenyataannya sekarang, ayah lah yang menjadi pembela. Ayah menjadi penyelamat hidup seorang anak.

Tertukarnya peran ayah dan ibu di rumah bisa menumbuhkan bibit-bibit penyimpangan seksual anak. Tak perlu heran jika gay dan lesbian zaman sekarang semakin banyak. Ini sebab anak sudah kehilangan peran ayah, dan lebih didominasi peran ibu. Banyak anak perempuan juga menjadi lesbian salah satunya karena faktor ini.

Sesibuk apapun laki-laki, kata Ustaz Nur Ansyur wajib meluangkan waktu untuk anak dan istrinya di rumah. Kalo LDR gimana ustaz? Meski LDR sekali pun, jawab ustaz.

Belajarlah ilmu LDR dari Nabi Ibrahim, bapak para Nabi. Nabi Ibrahim meski pun meninggalkan kedua istrinya, Hajar dan Sarah di dua tempat berbeda, kedua putranya, Ismail dan Ishaq tetap menjadi Nabi. Hajar dan Sarah selalu menceritakan kisah-kisah kepahlawanan suaminya kepada masing-masing putranya. Sesedih apapun mereka, Hajar dan Sarah tak pernah menceritakan keburukan suaminya kepada anak-anaknya.

Sayang ya? Pengajian kemarin pesertanya cuma emak-emak. Harusnya ada bapak-bapaknya juga nih, biar sama-sama dapat ilmu mengenai peran masing-masing dalam rumah tangga. Kekeke

Wanita Bebas Memilih Pintu Surga

Rasulullah SAW bersabda, “Jika seorang wanita menunaikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kehormatan, dan menaati suaminya, niscaya akan dikatakan padanya: “Masuklah ke dalam surga dari pintu manapun yang kau mau.” (HR Ahmad)

Perkataan Rasulullah di atas menunjukkan betapa Allah dan Rasul memuliakan wanita, terlebih seorang ibu. Perempuan lebih mudah masuk surga ketimbang laki-laki. Ini karena laki-laki memiliki tanggung jawab besar, atas dirinya dan keluarganya.

Sering kali istri dongkol sama suaminya karena berbeda pendapat. Kondisi ini terkadang membuat istri khilaf dan akhirnya tidak taat pada suami. Solusinya?

Allah menciptakan manusia berpasangan, sehingga jangan pernah bercita-cita untuk menyamakan apa yang dipikirkan istri dan apa yang dipikirkan suami. Sampai kiamat pun ini tak mungkin terjadi. Satu pasang itu tak mungkin sama.

Istri adalah milik suami, sehingga istri wajib menaati suami. Kepemimpinan seorang suami bagai kepemimpinan imam dalam gerakan shalat. Suami itu diktator selama dia benar. Apapun gerakan imam, jamaah harus mengikuti. Imam menjadi imam untuk diikuti. Shalat jamaah tak akan sah jika tidak mengikuti imam. Tidak mungkin imam ruku, jamaah sujud duluan. So, selama imam benar, dia tak boleh dibantah. Namun, jika imam salah, maka imam harus bersedia diingatkan. Inilah demokratisnya kehidupan berumah tangga dalam Islam.

Ustaz Nur Ansyur menggarisbawahi dua hal dalam kehidupan suami istri yang tidak boleh berbeda. Pertama, arah dan tujuan hidup. Tujuan hidup kepada Allah tak boleh berbeda. Ini yang perlu disampaikan selalu oleh istri kepada suaminya.

Kedua, tempat kembali jika ada masalah. Sekiranya suami istri menghadapi masalah, kembalilah kepada Allah dan Rasul-Nya. Jangan pernah kembali kepada teman, sahabat, apalagi orang tua. Istri hanya boleh bercerita kepada tiga, yaitu kepada Allah (dalam doa), kepada suami, dan kepada seseorang yang dipercaya bisa memberi solusi (seperti ustaz, ahli agama, atau sahabat dekat). Selain tiga itu, haram hukumnya curhat colongan kepada siapapun tentang rumah tangga.

Suami perlu menyadari, istri akan memikul beban berat jika dia tak mampu mencari tempat untuk mengadu. Hal terberat bagi istri adalah ketika suaminya tak bisa lagi menjadi tempat mengadu.

Khalifah Umar bin Khattab pernah menghadapi kecerewetan istrinya. Umar adalah sahabat Rasulullah yang paling tegas, garang, sekaligus yang paling berhati lembut. Suatu hari, seorang laki-laki berniat datang kepada Umar untuk mengadukan istrinya yang suka marah-marah dan cerewet. Tepat ketika laki-laki tersebut hendak mengetuk pintu rumah Umar, dia tak sengaja mendengar Umar sedang dimarahi istrinya. Nada suara istri Umar tinggi dan membahas hal yang sebetulnya sepele. Apa yang dilakukan Umar? Umar tetap mendengarkan dan pasif menghadapi kemarahan istrinya.

Laki-laki yang tadinya ingin curhat kepada Umar langsung balik kanan. Umar yang melihat bayangan di depan, langsung memanggil laki-laki tersebut dan menanyakan keperluannya.

Laki-laki itu kemudian berbalik dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, aku datang untuk mengadukan perangai buruk istriku dan sikapnya kepadaku. Tapi, aku mendengar hal yang sama pada istrimu.”

Umar pun tersenyum dan menjelaskan mengapa dia yang begitu keras begitu sabar menghadapi istrinya. Apa kata Umar?

“Bagaimana aku bisa marah kepada istriku karena dialah yang mencuci bajuku, dialah yang memasak roti dan makananku, dia juga yang mengasuh anak-anakku, padahal semua itu bukanlah kewajibannya. Karena istriku, aku merasa tenteram (untuk tidak berbuat dosa). Maka, aku harus mampu menahan diri terhadap perangainya. Maka, hendaknya engkau mampu menahan diri karena yakinlah hal tersebut hanya sebentar saja.”

Beban istri begitu banyak, sehingga suami hendaknya bisa menjadi tempatnya mengadu. Suami, kata Ustaz Nur Ansyur perlu meluangkan waktu untuk menampung keluh kesah istrinya. Cerewet istri merupakan bagian dari caranya meluapkan masalah.

Ustaz bilang, “Jika istrimu diam, anak-anakmu tak akan bisa bicara. Jika istri tak punya tempat untuk mengadu, jangan heran jika kelak kemarahannya dilampiaskan kepada anak.”

Padahal, kata ustaz, suami sangat mudah menghadapi istri yang cerewet dan emosional. Cukup dengarkan. Istri itu tidak akan banyak tuntutan. Istri tidak butuh solusi dan jawaban. Mereka hanya membutuhkan satu hal, didengarkan.

Belajar Mengenal Watak Pasangan

Jangan pernah berhenti memelajari watak suami dan istri masing-masing. Ini terangkum menjadi makna cinta dalam keluarga.

Pertama, peduli (care). Cinta akan ada apabila kita peduli dan perhatian. Cinta pasti dusta tanpa adanya perhatian.

Kedua, rasa hormat (respect). Cinta itu ada jika ada rasa saling menghormati. Rasulullah saja misalnya merelakan paha dan bahunya untuk diinjak istrinya sesaat akan menaiki unta ketika bepergian ke luar rumah.

Ketiga, tanggung jawab (responsibility). Tanggung jawab suami bukan sekadar duniawi, namun juga akhirat, yaitu menjaga keluarganya dari api neraka. Kewajiban pasangan dalam hal ini adalah saling menasihati, saling mengingatkan dalam hal kewajiban.

Agama suami bergantung agama istri, dan agama istri bergantung agama suami. Iklim nasihat menasihati hendaknya selalu ada dalam kehidupan rumah tangga. Allah akan sayang pada istri yang bangun tengah malam, menunaikan shalat (tahajud), kemudian membangunkan suaminya untuk melakukan hal sama. Demikian sebaliknya.

Kerja sama dalam kebaikan adalah keniscayaan dalam keluarga. Di antara fungsi keluarga ada fungsi agama, yaitu saling mengingatkan keimanan. Jika itu hilang, bersiaplah akan adanya prahara dalam rumah tangga.

Keempat, terus belajar dan meningkatkan pengetahuan (knowledge). Maksudnya suami dan istri terus belajar memahami kepribadian masing-masing. Jangan pernah berhenti mengenali pasangan sampai mati.

Terus memelajari watak pasangan bukanlah untuk dijadikan alasan atau senjata untuk mengetahui lebih banyak keburukannya. Semakin kita paham pasangan kita, semakin kita bisa memakluminya.

Imam Syafi’i menasihati, “Wahai perempuan, jika engkau mendapati kekurangan suamimu, carilah 70 alasan untuk memakluminya. Wahai laki-laki, jika engkau mendapati kekurangan istrimu, carilah 70 alasan untuk memakluminya.”

Duuuh, adem bener dengerin ceramah Ustaz Nur Ansyur ya. Diskusi dengan beliau insya Allah akan berlanjut bulan depan. Semoga bisa gabung lagi di pengajian berikutnya. Terima kasih teman-teman sudah berkunjung ke blog emak yang satu ini. Hehehe. Semoga sedikit banyaknya bisa bermanfaat untuk kita semua. Amiiin.

Share:

3 responses to “Wanita yang Terus Belajar Memantaskan Diri (Kajian Alhijrah)”

  1. Kajian Al Hijrah: Memperkuat Tauhid Lahir dan Batin – Mutia 'Muthe' Ramadhani

    […] sebelumnya kita membahas tentang fiqih wanita bersama Ustaz Nur Ansyur, kali ini kita lebih serius membahas tentang tauhid bersama Ustaz Zainuddin. Ustaz mengawali […]

  2. […] sebelumnya kita membahas tentang fiqih wanita bersama Ustaz Nur Ansyur, kali ini kita lebih serius membahas tentang tauhid bersama Ustaz Zainuddin. Ustaz mengawali […]

  3. […] fiqih wanita bersama Ustaz Nur Ansyur, kali ini kita lebih serius membahas tentang tauhid bersama Ustaz Zainuddin. Ustaz mengawali kajiannya dengan membacakan sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim. […]

Leave a Comment