Lebih dari 180 anak tangga menjadi pijakan kaki kami saat berkunjung ke Sang Giri, sebuah penginapan di jantung Bali yang jauh dari hiruk pikuk kehidupan khas perkotaan. Apa yang lebih membahagiakan selain menghabiskan malam di bawah bintang-bintang dari balik sebuah tenda di tengah hutan?
Ke sini lah keluarga kecil kami menghabiskan liburan sehari akhir September lalu. Hanya mas, aku, dan putri kecil kami, Mae. Liburan tanpa televisi, tanpa suara musik, radio, koneksi internet, wifi, juga sinyal ponsel.
Tent Resort Pertama di Bali
Sang Giri Mountain Tent Resort terdiri dari delapan tenda eksklusif, seperti berada di bumi perkemahan. Pengunjung uniknya tetap bisa menikmati semua fasilitas yang mereka butuhkan layaknya presidential suite dipasang lengkap di dalam sebuah tenda. Ini adalah satu-satunya penginapan dengan konsep tent resort pertama di Bali.
Nama tempat yang diambil dari bahasa sanskerta yang berarti Sang Gunung ini terletak di Desa Jatiluwih Kangin, Penebel, Kabupaten Tabanan, dikelilingi hutan, sungai, air terjun, dan sawah bertingkat. Sang Giri berdampingan langsung dengan Subak Jatiluwih, salah satu warisan dunia yang dilindungi lembaga PBB, UNESCO. Kamu cukup berkendara lima menit untuk mangakses hamparan sawah terluas di Indonesia ini.
Pulau Dewata memang identik dengan pantai, tapi, di Sang Giri kamu akan menemukan nuansa khas ekosistem tropis hutan hujan pegunungan. Itu sebabnya banyak wisatawan mancanegara tertarik berlibur ke sini.
Kamar-kamar tenda di Sang Giri dibungkus dinding polyester kuat yang benar-benar tahan air. Ada bagian tenda yang bisa disingkap untuk melihat pemandangan sekitar jika cuaca dingin yang membuatmu enggan keluar tenda. Suhu di malam hari mencapai 18’C.
Tenda-tendanya luas, teduh, nyaman dengan sebuah kursi kayu untuk bersantai. Di samping kursi ada sebuah gazebo dilengkapi kasur kecil nan empuk dan selembar kantong tidur (sleeping bag) yang siap membungkus hangat tubuh. Kamu pun bisa menikmati pemandangan hutan lebat dengan pepohonan tinggi menjulang dari teras pribadi yang berlantaikan kayu.
Sunrise Spektakuler
Di pagi hari, sebelum pukul 05.30 WITA, kamu dapat menyaksikan indahnya matahari terbit dari balik Gunung Batukaru usai terjaga oleh kicauan burung atau hembusan angin di sela-sela pepohonan. Pagi hari juga waktu paling tepat untuk pengamatan burung (bird watching).
Sang Giri menyediakan perpustakaan kecil di sebelah restoran. Kamu akan menemukan buku identifikasi burung Jawa dan Bali dan kamu bisa meminjamnya kapan saja. Saat melihat buku itu, aku merasa sedang berada di kampus. Dulu, sewaktu masih jadi mahasiswi Fakultas Kehutanan IPB, bird watching adalah aktivitas rutin kulakukan bersama teman-teman yang tergabung dalam Kelompok Pemerhati Burung ‘Perenjak.’ Buku ini selalu kami bawa kemana pun pergi.
Banyak jenis burung bisa dijumpai di hutan Sang Giri, seperti Perenjak jawa (Prinia familiaris), Cinenen jawa (Orthotomus sepium), Elang jawa (Spizaetus bartelsi), Kehicap ranting (Hypothymis azurea), dan Kedasih hitam (Surniculus lugubris). Dua kali setiap tahunnya dari sisi selatan Gunung Batukaru, kamu bisa menyaksikan migrasi burung elang yang menuju ke Timur sekitar Oktober-November, atau kembalinya mereka ke Barat sekitar Maret-April.
Sang Giri benar-benar mengantarmu ke alam liar, berkemah di alam tanpa meninggalkan kenyamanan menginap. Item dekorasinya khas tenda pada umumnya, seperti adanya lampu gantung, kantong tidur, kursi lipat, kantong sampah, kursi kayu, sandal jepit, hingga payung.
“Misi tent resort ini memang mengkreasikan orang-orang untuk lebih mencintai alam,” kata pemilik Sang Giri, Pak Yunzar Lumakeki padaku.
Sosok pria ini sangat ramah, cerdas, dan murah senyum. Selain Pak Yunzar, aku juga bertemu dengan istrinya, Bu Kurtati, juga dua buah hatinya, Marina dan Aaron. Keluarga kecil ini terlihat sangat kompak.
Bu Tati bercerita Sang Giri didirikan pada 2010 di atas lahan seluas 1.100 meter per segi. Awalnya hanya terdiri dari tiga unit tenda, kemudian berkembang menjadi delapan unit hingga hari ini. Sebanyak 80 persen pasarnya adalah wisatawan Jerman dan Belgia. Tamu-tamu dari dua negara Eropa tersebut rutin berkunjung, bahkan sampai lima hari dalam sepekan.
“Sekarang pengunjung sudah bervariasi, mulai dari Cina, Korea, hingga Arab Saudi,” katanya.
Konsisten dalam hal kualitas pelayanan, menurut wanita asli Malang ini menjadi kunci Sang Giri mempertahankan pasar. Ini yang membuat tingkat okupansi penginapan selalu di atas 90 persen setiap tahunnya.
Jumlah karyawan Sang Giri berkisar 15-20 orang, sisanya adalah karyawan lepas. Tarif menginap di sini mulai dari Rp 1,3 juta per malam.
Wisata menginap bukan satu-satunya aktivitas di Sang Giri. Resor ini juga menjual paket-paket wisata, seperti Sang Giri Wild & Romantic, dan The Journey of Spritual Bali. Bu Tati mengatakan Sang Giri dalam pengembangannya nanti maksimal hanya terdiri dari 12 tent resorts.
“Kami tak mau menjadi besar karena tanggung jawab menjaga alam lebih penting,” kata Bu Tati.
Wisata Berbasis Masyarakat
Tent resort paling tepat diaplikasikan untuk taman nasional di Indonesia, sebab konsepnya adalah ekowisata. Pak Yunzar menilai banyak taman nasional sesungguhnya bisa memberi manfaat ekonomi lebih bagi masyarakat sekitar, sekaligus pemasukan untuk pemerintah dengan mengembangkan tent resort.
Pariwisata di Indonesia kini semakin dikenal dunia, namun taman nasional di banyak daerah masih berhadapan dengan ancaman pemburu, pencuri kayu, serta konflik masyarakat lokal. Pak Yunzar meyakini bahwa tent resort akan memberi efek luar biasa bagi masyarakat dan pemerintah.
“Kita bisa mengarahkan sumber pendapatan baru untuk mereka dengan cara legal, yaitu ekowisata. Tak ada bentuk akomodasi yang lebih cocok untuk taman nasional di Indonesia selain tenda,” ujarnya.
Kue pembangunan, kata pria berdarah Makassar ini hendaknya bisa dinikmati seluruh masyarakat. Itulah salah satu alasannya membangun tent resort ini. Sang Giri mempraktikkan konsep wisata berbasis masyarakat atau community based tourism dengan desa sekitar, misalnya mengembangkan atraksi wisata berlibur bersama keluarga Bali.
Pengelola membangun gazebo di beberapa rumah penduduk. Gazebo itu berfungsi untuk tempat berkumpul atau menginap wisatawan yang ingin berinteraksi dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Bali.
Penghasilan dari kegiatan wisata ini 50 persennya untuk pengelola dan 50 persen lainnya untuk desa. Jika uang yang dinvestasikan pengelola untuk membangun gazebo itu telah kembali, gazebo menjadi sepenuhnya hak masyarakat. Mereka tetap bisa menerima kunjungan menginap tamu-tamu Sang Giri dan biaya yang dibayarkan tamu seluruhnya menjadi hak keluarga bersangkutan.
Pemasukan konstan untuk desa dari sektor pariwisata, kata Pak Yunzar menjaga masyarakat untuk tidak menjual tanah dan sawahnya. Urbanisasi pun bisa dibendung. Masyarakat yang hidup di sekitar hutan membutuhkan solusi, bukan sekadar mengikat mereka dengan aturan.
Wisata tanpa Gawai
Berlibur, menikmati waktu luang, terpisah dari dunia digital adalah hal paling restoratif yang bisa dilakukan untuk diri sendiri. Daniel Sieberg, penulis buku ‘The Digital Diet’ merekomendasikan seseorang untuk memutus semua koneksi digitalnya saat tengah berlibur.
Sulit menyangkal dampak dari gawai atau gadget secara konstan karena pengguna mengaksesnya 24 jam sepekan. Survei Expedia, portal perjalanan online populer di dunia menyebutkan 61 persen orang Amerika memeriksa email mereka secara rutin ketika berlibur. Seseorang rata-rata memeriksa ponselnya setiap 6,5 menit atau 150 kali sehari.
Hal tersebut tidak berlaku sepenuhnya di Sang Giri. Resor tenda ini memang ditujukan untuk pengunjung yang ingin istirahat sejenak tanpa terganggu rutinitas kerja.
Sang Giri menjadi tempat sempurna untuk detoks digital dan ‘menculik’ sebentar Si Mas Engineer yang kerjaannya tak pernah lepas dari gadget. Hehehe. Tempat ini hanya menyajikan koneksi wifi di Restoran Pakis, restoran tradisional terbuat dari bangunan bambu. Sebuah tungku perapian siap menghangatkan pengunjung yang terpaksa membuka laptop atau gadgetnya untuk terkoneksi.
Banyak aktivitas bisa dilakukan di penginapan ini tanpa harus terhubung dengan sinyal wifi, ponsel, dan radio. Kamu bisa lebih akrab dengan pasangan, bersosialisasi dengan pengunjung lain, membuat pertemanan baru, tidur nyenyak, pijat relaksasi, berendam dengan air hangat di jacuzzi, atau sekadar menikmati yoga pagi di viewing deck.
Pak Yunzar mengatakan Sang Giri memang dibangun ke arah luxury. Resor ini terlalu mewah untuk ukuran pecinta alam, sebab memang ditujukan khususnya untuk ibu-ibu Indonesia supaya mau mengajak keluarganya kembali ke alam.
Peran ibu di keluarga sangat penting. Meski seorang bapak ingin berlibur ke hutan, kata Pak Yunzar, jika si ibu tidak senang, maka wisata keluarga pun bisa batal. Nah, Sang Giri membuat ibu-ibu Indonesia merasa nyaman dan dimanjakan dengan layanan di dalamnya, sehingga pelan tapi pasti mereka mulai menyukai wisata alam.
Pak Yunzar dan Bu Tati misalnya menanamkan rasa cinta kepada dua buah hatinya dengan cara unik. Aaron dan Marina sering diajak mendaki gunung setiap liburan kenaikan kelas. Keduanya sudah menaklukkan Gunung Arjuna, Semeru, Ijen, Agung, hingga Rinjani sejak masih berusia muda.
“Kami menginginkan anak-anak Indonesia, dalam kondisi apapun sebaiknya kembali ke alam. Alam sangat bersahabat dan menerima manusia kapanpun,” kata Bu Tati.
Aktivitas Wisata Beragam
Ada lebih dari 10 aktivitas wisata yang bisa dilakukan di Sang Giri. Kegiatannya mulai dari bersepeda gunung melalui rute-rute perdesaan, trekking di hutan hujan, trekking ke sawah, menikmati matahari terbenam dan terbit, kunjungan ke pura untuk mendapatkan pengalaman spritual, serta treking ke air terjun di mana ada lebih dari empat titik yang bisa dieksplorasi.
“Kami menginap di tenda enam. Pemandangan dari tenda ini sangat bagus dan nyaman. Saya senang melihat pemandangan matahari terbitnya. Kami juga cukup berjalan kaki 30 menit menuju terasering Jatiluwih,” ujar Anthonie, seorang pengunjung dari Njimegen, Belanda.
Sekitar dua kilometer dari Sang Giri terdapat Pura Luhur Batukaru, candi suci umat Hindu yang disakralkan. Pura ini merupakan satu dari sembilan Kayangan Jagat, atau salah satu pura yang dipercaya masyarakat melindungi Bali dari pengaruh roh-roh jahat.
Pura ini dibangun pada abad ke-11 dan didedikasikan untuk para leluhur raja di Tabanan. Umat Hindu yang ingiin berziarah ke puncak Gunung Batukaru setahun sekali pasti akan berhenti pertama di pura ini. Banyak wisatawan berkesempatan menyaksikan dan mengenal bentuk-bentuk wisata spritual di sini.
Pengunjung di Sang Giri juga bisa mengikuti kursus singkat memasak dengan koki berpengalaman yang menggunakan bahan-bahan segar dari kebun organik. Ada tiga orang pemandu wisata lokal yang siap melayani pengunjung dalam dua bahasa, Inggris dan Prancis. Ketiganya adalah masyarakat lokal yang diberikan kursus bahasa oleh pengelola.
Aksesibilitas
Jatiluwih adalah sebuah desa pegunungan yang terletak di lembah kaki Gunung Batukaru. Desa ini terletak di ketinggian 850 meter di atas permukaan laut (m dpal). Gunung Batukaru merupakan gunung berapi tertinggi kedua di Bali setelah Gunung Agung.
Desa Jatiluwih berada di Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Jaraknya sekitar 40 kilometer (km) dari pusat kota Tabanan atau 60 km dari Denpasar.
Pengunjung akan melalui jalan kecil cukup sempit dan menanjak. Sesampainya di Desa Penebel, perjalanan masih berlanjut hingga ke Pasar Senganan dan di sana pengunjung akan menemukan perempatan jalan, kemudian belok ke kiri menuju Desa Jatiluwih.
Memasuki jalan menuju Desa Jatiluwih pengunjung diwajibkan membayar Rp 10 ribu untuk wisatawan domestik dan Rp 15 ribu untuk wisatawan mancanegara. Berikutnya pengunjung akan menemukan restoran ‘Billys Terrace.’ Pengunjung bisa menghubungi salah satu nomor telepon pengelola di (0361) 4742039 atau (0361) 256245 yang akan menjemput dan mengarahkan perjalanan menuju Sang Giri.
Cara paling mudah adalah menggunakan Google Map dan mengakses lokasi Sang Giri langsung. Pengunjung cukup mengikuti arahan yang diberikan tanpa takut tersesat. Selamat berpetualang!
(Tulisan ini adalah versi lengkap, pernah dipublikasikan di Harian Nasional, Republika edisi Minggu, 30 Oktober 2016)
Leave a Comment