Pulau Rote
Pulau Rote

Kapal motor yang kutumpangi mulai menepi di Desa Oeseli, Kecamatan Rote Barat, Kabupaten Rote Ndao, Rabu (3 Oktober 2012) malam. Bersama tim PLN Wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT), aku baru saja pulang mengunjungi Pulau Ndana Rote, titik nol sekaligus mutiara terselatan teritorial Republik Indonesia.

Air laut sedang surut, kapal tak sempurna merapat. Aku terpaksa bertelanjang kaki berjalan 500 meter mencapai daratan.

Perjalanan panjang dan suasana yang gelap membuat rasa takut itu datang. Hingga sebuah cahaya lampu berwarna putih bersinar di depan sana. Asrap, bocah berusia lima tahun yang baru kukenal itu bersorak memanggilku.

“Kakak nona, kakak nona, ke sini, ke sini,” katanya.

Asrap menarik tanganku. Cahaya lampunya menuntunku mencapai daratan. Asrap memegang sebuah lampu super ekstra hemat energi (sehen). Benda itulah yang menerangi jalanku dan teman-teman wartawan lainnya yang berjalan bersamaku sedari tadi. Mereka adalah rekan-rekan dari AN TV, SCTV, Sindo, dan Inilah.com.

Sejak PLN memperkenalkan sehen di Oeseli awal tahun ini, desa terpencil di Kecamatan Rote Barat itu tak lagi gelap gulita. Asrap dan teman-temannya kini dapat belajar tenang dimalam hari.

Lampu sehen adalah jenis lampu paling hemat energi yang tenaganya bisa digunakan berulang kali karena tersambung dengan energi matahari. Satu unit perangkatnya terdiri dari tiga bola lampu. Lampu sehen bisa digunakan dimana saja, dan dapat dipindahkan setelah diisi daya listrik tenaga surya siang harinya.

General Manajer PLN Wilayah NTT, Pak Richard Safkaur, menceritakan padaku bahwa masyarakat NTT yang menggunakan fasilitas lampu ini mendapat garansi tiga tahun.

Pak Richard juga berjanji jika dalam satu desa ada pemasangan 100 lampu sehen, maka PLN akan memberikan bonus satu unit perangkat parabola, dan televisi untuk dimiliki bersama oleh masyarakat desa. 

Sangat mudah mendistribusikan lampu sehen di NTT. Nilai investasinya berkisar Rp 1,8 juta per perangkat. Untuk memperolehnya, masyarakat cukup membuka rekening di Bank Daerah NTT, kemudian menyetorkan tabungan minimal Rp 250 ribu.

“Uang tabungan itu akan dipotong hanya Rp 35 ribu setiap bulannya. Dengan demikian, yang bersangkutan sudah terdaftar sebagai pelanggan PLN,” kata Pak Richard.

Hingga akhir tahun, PLN Wilayah NTT menargetkan pelanggan lampu sehen mencapai 200 ribu orang. Beberapa daerah yang sudah menggunakannya antara lain Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Alor, Belu, Rote Ndao, Ende, Manggarai, Ngada, Sumba, Sikka, dan Flores.

Penggunaan lampu sehen juga potensial menambah tingkat ketersediaan listrik atau rasio elektrifikasi NTT dari 46 persen menjadi 62 persen akhir tahun ini. Rasio yang masih di bawah 50 persen menunjukkan belum separuh dari penduduk NTT yang teraliri listrik.

Jika penduduk hanya menunggu masuknya kabel jaringan listrik ke daerah mereka, rasanya tak mungkin. Secara investasi, nilainya sangat mahal. Jauh lebih efisien jika penduduk memanfaatkan sumber-sumber energi terbarukan, seperti tenaga surya (PLTS), minihidro (PLTM), uap (PLTU), panas bumi (PLTP), serta angin atau bayu (PLTB).

1.000 PLTS untuk Indonesia

Indonesia memang telah mengakui pentingnya energi terbarukan untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil listrik. Namun, sejauh mana pengakuan itu diberikan?

Pembangunan 1.000 Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di seluruh wilayah Indonesia sepanjang 2012- 2016 mungkin bisa menjadi pembuka awal kunci jawabannya. Seribu PLTS untuk Indonesia digagas selama lima tahun oleh pemerintah melalui PLN.

Khusus wilayah terpencil yang belum terdapat jaringan listrik, PLTS akan diaplikasikan dengan penggunaan sehen. Program 1.000 PLTS untuk Indonesia itu juga mendapatkan pengakuan dari Bank Dunia.

“Ini rencananya akan dibantu oleh Bank Dunia,” kata Pak Richard.

Dari total PLTS tersebut, 88 lokasi terdapat di NTT. Sebanyak 65 lokasi di antaranya sudah mendapatkan alokasi tanah pembangunan dan dokumennya sudah dikirim ke pusat. Jumlah PLTS di NTT termasuk yang terbanyak di Indonesia. Sebab, selama delapan bulan setiap tahunnya, bumi NTT selalu disinari matahari dimusim panas yang panjang.

Inovasi biasanya muncul di tengah adanya keterbatasan. Kondisi geografis NTT tak memungkinkan jaringan kabel listrik bisa menjamah seluruh pelosok negeri. Pasalnya, wilayah NTT terdiri dari banyak pulau kecil, namun tak disertai sebaran penduduk yang merata.

Staf Hubungan Masyarakat PLN NTT, Bapak Paul Bolla yang juga bersamaku saat itu menceritakan bahwa satu pulau kecil di NTT bahkan ada yang hanya dihuni 20-30 orang saja, sedangkan investasi listrik bersifat padat modal yang diprioritaskan untuk wilayah potensial berpenduduk padat, seperti Jawa.

“Tak ada cara lain bagi NTT, kecuali mengoptimalkan pemanfaatan energi terbarukan,” katanya.

Beberapa proyek pembangkit listrik dengan energi terbarukan di NTT terus direalisasikan. PLTS Alor misalnya, pembangkit ini berpotensi menyimpan tenaga listrik 150 – 250 kilo watt peak (kwp). PLTS Rote, hingga awal 2013, telah mengoperasikan tiga lokasi baru. Daya terpasangnya lima hingga enam mega watt (MW). Jumlah pelanggan PLTS di Rote saat ini mencapai 23.326 orang dengan komposisi dominan rumah tangga.

PLTP Ulumbu Unit I sudah beroperasi dengan kapasitas 2×2,5 MW di Flores Barat. Berikutnya PLTP Mataloko akan menghubungkan wilayah Ruteng, Borong, dan Bajawa dengan kapasitas 1,8 MW. Pada 2014, Pulau Sumba akan diresmikan menjadi ikon energi terbarukan atau nonfosil fuel island. Pulau Sumba akan menjadi pulau yang menyiapkan energi tanpa bahan bakar solar.

PLN juga tengah membangun PLTM Sumba berkapasitas tiga dan delapan mega watt (MW). Nilai investasinya berkisar tiga miliar rupiah. Di Sumba Barat Daya, tiga unit PLTM Lokomboro telah rampung. Dua unit terakhir, yaitu unit empat dan lima akan dibuka setelah Oktober 2012.

Merdeka Itu Terang

Bak pungguk merindukan bulan. Begitulah yang dirasakan Yusuf Boboy (60 tahun), penduduk Desa Oenitas, Kecamatan Rote Barat, setiap kali ia mendengar kata ‘listrik.’ Rumahnya begitu terisolasi dari jaringan listrik dan terpencil dari pusat kota.

Pulau Rote, Alor, Sumba, dan Sabu yang tergabung ke dalam wilayah NTT merupakan garda terdepan yang membatasi wilayah Indonesia dengan Australia dan Timor Leste. Meski negara ini sejak 68 tahun lalu sudah merdeka, Yusuf merasa kemerdekaan yang sesungguhnya baru dirasakannya tahun ini.

“Merdeka itu terang. Selama ini kami gelap, jadi kami belum merdeka,” kata Yusuf padaku dimalam itu.

Sepanjang 60 tahun usianya, selama itu pula ayah enam anak ini hidup tanpa listrik. Sejak kecil hingga rambutnya memutih, kegelapan setia menemani Yusuf. Terang itu baru datang saat PT PLN (Persero) mulai memperkenalkan lampu sehen di Desa Oenitas pada Maret 2012.

“Adanya ini (sehen) sangat membantu kami” katanya.

Berkat lampu sehen pula, Nippon Boboy (12 tahun) lulus sekolah dasar dan menjadi siswa deretan rangking teratas sekolahnya. Putera bungsu Yusuf ini padahal awalnya sangat malas belajar karena tak adanya penerangan.

“Sejak ada sehen, beta (saya) jadi semangat belajar,” katanya.

Maret hingga September 2012, sebanyak 287 rumah di Desa Oenitas sudah menggunakan lampu sehen. Nippon juga menyimpan harapan besar, suatu hari, desanya akan teraliri listrik dengan sempurna, siang dan malam. Impiannya adalah bisa mengakses alat komunikasi lebih luas, seperti televisi, laptop, dan ponsel.

Bupati Kabupaten Rote Ndao, Lens Haning, mengatakan Roten Ndau memunyai luas 1.820 kilometer persegi. Wilayahnya terdiri dari 10 kecamatan, 82 desa, dan tujuh kelurahan. Jumlah penduduknya mencapai 130 ribu jiwa yang menempati 29.824 rumah.

“Namun, baru 12 ribu rumah yang terlayani listrik,” katanya.

Tahun ini, pemerintah daerah Rote Ndao rencananya akan menerangkan delapan ribu rumah. Rinciannya seribu rumah dengan pendekatan jaringan kabel listrik, dan tujuh ribu rumah dengan pendekatan lampu sehen. Artinya, masih tersisa sembilan ribu rumah lagi untuk dilistriki.

Listrik adalah nafas awal kehidupan. Tanpanya, aspek sosial, ekonomi, hingga pendidikan tak akan berjalan. Jika semua tak berjalan, maka ujungnya adalah keterbelakangan pembangunan dan sumberdaya manusia Republik Indonesia.

Pahlawan dari Mutiara Selatan

Dari barat (Sabang) hingga timur (Merauke), dari utara (Miangas) hingga selatan (Pulau Rote). Empat daerah di penjuru mata angin itu merupakan garda terdepan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Keberadaannya yang strategis membuat wilayah-wilayah tersebut membutuhkan pengawasan ketat demi terjaganya keutuhan teritorial merah putih.

Pratu Marinir Didit Setiawan (25 tahun) segera memasuki tahun kelimanya bertugas di Pulau Ndana Rote (Dana Rote), Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT). Aku berkenalan dengannya dalam perjalanan kami selama tiga jam bersauh ke Pulau Ndana Rote, pulau terselatan Indonesia.

Putera pertama Mas Didit masih berusia enam bulan ketika dia bercerita padaku. Putra semata wayangnya itu kini tinggal bersama istrinya di Surabaya, Jawa Timur, bahkan belum sempat ia temui sejak lahir. Peluk cium sayang untuk isteri tercinta masih menjadi sebatas rindu yang ia simpan.

“Namanya tugas, harus dipatuhi. Jarak patroli tak berbatas dijalani pasukan angkatan laut (AL) sampai perbatasan Australia sana,” kata Mas Didit padaku.

Namun, betapa mirisnya kondisi pasukan merah putih di sana. Pasukan penjaga mutiara selatan RI itu bagaikan prajurit yang tak siap tempur. Mereka yang terdiri dari 10 orang staf angkatan darat (AD) dan 30 orang staf AL itu hanya dibekali dua perahu karet sebagai peralatan patroli.

Minimnya fasilitas patroli membuat pergerakan pasukan merah putih serba terbatas. Khususnya kala musim hujan memasuki bulan Oktober, yang membawa angin laut barat yang ekstrem. Saat itu, tingginya ombak bisa melebihi dua meter.

“Patroli dengan perahu karet lebih hati-hati dilakukan. Kami biasanya lebih sering menggunakan informasi nelayan jika ada kapal asing yang terlihat melintas di laut RI,” kata Mas Didit.

Di tengah keterbatasan itu, Mas Didit dan rekan-rekannya tetap menjalankan tugas dengan ikhlas. Pada 2010 lalu, mereka menangkap 65 imigran gelap yang umumnya berasal dari Pakistan. Mereka ditangkap di perairan Ndana Rote saat ingin diselundupkan ke Australia.

Maraknya penyelundupan imigran (people smuggling) melalui perairan Indonesia menjadi pembicaraan hangat belakangan ini. Sengketa perbatasan yang memanas antara Indonesia dengan Malaysia sepatutnya perlu menjadi lampu kuning bagi wilayah perbatasan lainnya.

Ketidaktegasan pemerintah RI terhadap Malaysia menjadikan perbatasan Indonesia lainnya rawan dicaplok negara tetangga. Di selatan, posisi NTT rentan karena berbatasan dengan dua negara sekaligus, yaitu Australia dan Timor Leste.

Pulau Pasir yang menjadi sumber penghidupan nelayan Rote sedari dahulunya sudah berpindah tangan ke Australia. Nelayan lokal diusir dari kedaulatannya. Demikian yang dirasakan Pak Nurun (60 tahun), nelayan yang menjadi nahkoda kapan kami dalam perjalanan ke Ndana Rote. Bapak tua ini tak lagi berani berlayar ke Pulau Pasir yang membutuhkan waktu delapan hingga 10 jam dari Rote.

“Jika kita melaut ke sana, mereka (Australia) patroli pakai helikopter. Nelayan takut,” kata Nurun padaku.

Selepasnya Pulau Pasir, Pulau Ndana Rote menjadi sasaran empuk berikutnya oleh Australia. Menurut Mas Didit, pulau ini sempat diklaim dan dikelola menjadi pulau pariwisata oleh seorang pengusaha asal Benua Kangguru itu. Berikutnya Pulau Batek, di wilayah Amfoang Utara, Kabupaten Kupang, yang juga diincar agar bisa masuk ke kantong Timor Leste.

Gugusan kepulauan NTT sangat potensial akan kekayaan laut, bawah laut, dan pariwisatanya. Wilayah ini sekarang tengah dijaga ketat oleh aparat TNI Yonif 744 Satya Yudha Bhakti, dan pasukan Korem 161 Wirasakti, Kupang. Pak Richard mengatakan padaku bahwa PLN ikut ambil andil dalam pemeliharaan pulau-pulau Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara tetangga.

“Pulau-pulau terpencil itu harus dibuat terang benderang,” katanya.

Caranya, PLN terlibat dalam pengembangan pembangkit listrik, khususnya dari energi yang terbarukan di pulau-pulau terluar Indonesia.

Share:

Leave a Comment