[START CHART / 22 Juni 2013]

Rifki M Bogara:

“Banyak BTS yang mati sayang. Aku pusing sendiri.”

Mutia ‘Muthe’ Ramadhani:

“Captain, semangat ya? I wanna hold your hand, give you spirit. Tapi sekarang, aku cuma bisa bilang, semangat sayang.”

Rifki M Bogara:

“Itu udah lebih dari cukup sayang. Chat dengan Tia seperti ini bisa ngurangin pusing. Hehehe. Satu pasien sudah hampir sembuh 80 persen, pasien yang satunya lagi 50 persen. Christian bantuin pasien yang satu lagi.”

Mutia ‘Muthe’ Ramadhani:

“Tia temani Mas ya? Anything I can do, tell me.” 

Rifki M Bogara:

“Cerita saja yuk? Tentang Indonesia, sayang. Isu yang lagi hot apa ya?”

Mutia ‘Muthe’ Ramadhani:

“Yang hot di Indonesia ya hot spot kebakaran hutan di Riau, sayang. Hee.”

Rifki M Bogara:

“Asapnya semakin parah ya sayang?”

Mutia ‘Muthe’ Ramadhani:

“Tinggal empat titik kok sayang. Forest rangernya Indonesia itu jago lho.”

Rifki M Bogara:

“BTW. Sayang, besok jadi ke rumah?”

Mutia ‘Muthe’ Ramadhani:

“Insya Allah jadi sayang.”

Rifki M Bogara:

“Sayang, apa Mas pulang saja? Biar Tia ada temannya ketemu Mama.”

Mutia ‘Muthe’ Ramadhani:

“Gak apa-apa sayang, Tia berani kok sendiri. Cuma ya itu, Tia deg-degan. Hehehe.”

Rifki M Bogara:

“Sayang tenang saja ya? Mama santai kok orangnya. Rara dan Gifan juga. Oya, baju-baju untuk ke Malang udah siap?”

Mutia ‘Muthe’ Ramadhani:

“Iya Mas, Tia berusaha tenang. Sudah sayang, perlengkapan ke Malang sudah beres.”

[END CHAT]

Aku mengatakan pada Mama akan sampai di Bekasi sekitar pukul 13.00 WIB. Kuputuskan berangkat dari Pejaten sekitar pukul 10.45 WIB. Aku sengaja berangkat lebih awal untuk mengantisipasi macet. Tapi nyatanya, jalanan Pejaten, Mampang, hingga aku memasuki pintu tol Bekasi Timur lancar jaya, beda dari keadaan biasanya.

Alhasil, masih pukul 11.10 WIB, aku sudah keluar pintu tol Bekasi Timur. Aku pun gugup dan menghubungi Rifki. Lewat pesan, Rifki sebelumnya menyampaikan akses ke rumahnya, Perumahan Taman Rafflesia. Kebetulan, Mas Anton, supir taksi yang kutumpangi ternyata adalah warga Bekasi dan sudah tahu alamat yang kutuju.

Rasa gugup menghampiriku. Begitu melewati kompleks perumahan itu, aku minta Mas Anton untuk terus jalan dan mengajakku berkeliling kota itu dulu, sembari aku menyiapkan diri. Apalagi, Mama mengirimkan sms padaku bahwa di rumah Rifki saat ini sudah ada nenek, sepupunya, Zona, Resa, Ayu, juga ada Buk De. Ya Allah, bagaimana ini? Aku hanya sendiri, tanpa Rifki. Ini adalah pengalaman pertama bagiku.Mas Anton menghentikan taksinya di sebuah mini market. Di sana aku membeli minuman. Rifki meneleponku dan malah menertawakanku.

“Sayang, gak usah kabur. Nanti bayaran taksinya makin mahal. Habis ini, langsung ke rumah ya? Santai saja sayang.”

Akupun menuruti saran Rifki. Begitu masuk gerbang Taman Rafflesia, Rifki mengarahkan taksiku ke kanan, kemudian ke kiri, ke kanan, lalu ke kiri lagi. Sampailah aku di sebuah rumah dengan pagar bewarna hijau itu. Aku yakin itu adalah rumah yang Rifki maksud. Usai kututup telepon, aku melihat seorang ibu keluar dari gerbang itu. Ibu itu melihat kanan kiri dan akhirnya mengarah ke taksiku. Apakah ini Mama Rifki? Batinku.

Senyum manisnya ke arahku membuatku semakin yakin itulah Mama Bogara, demikian aku memberikannya nama di ponselku. Ternyata benar, Mama langsung menghampiriku bahkan sampai ke pintu taksi. Setelah salaman dan berkenalan langsung, aku pun menghampiri Mas Anton, memintanya menungguku hingga pukul 15.30 WIB. Sebab, aku harus melanjutkan perjalanan ke bandara di Cengkareng untuk terbang ke Malang. Mama pun melarangku melakukannya.

“Tia, nanti biar kami antar ke Damri. Jadi, taksinya berangkat saja. Nanti diantarin. Ya?”

Aku pun melakukan sesuai dengan yang Mama minta. Alhasil di sinilah aku, di dalam rumah Captain Bogara. Rumah itu cukup luas. Dari pintu masuk, aku bisa melihat kursi tamu denga furniture kayu. Berjalan ke ruang tengah, itu adalah ruang keluarga. Ada tiga kamar tidur, yang seluruh pintunya mengarah ke ruangan itu. Ruang keluarga itu, pada salah satu sisinya, ditempeli dinding kaca, sehingga menambah luas pandangan mata. Di sana, kulihat sederet orang yang pastinya adalah saudara Rifki duduk berbaris dengan rapi.

Semua pandangan tertuju padaku. Tak lama, seorang nenek berdiri. Nah, itu pastilah Nenek Bogara. Aku pernah melihat fotonya di Facebook Rifki. Sang Nenek berjalan ke arahku, aku pun menyalami dan menciumnya. Nenek Bogara masih terlihat sangat sehat. Wajah nenek sangat mirip sekali dengan Almarhumah nenekku yang sudah meninggal tujuh tahun lalu di Sintang, Kalimantan Barat. Sebuah kejutan saat kutahu bahwa usia nenek ternyata sudah kepala 9.

Aku semakin kikuk manakala bertemu dengan Pak Indra. Rasanya sudah lebih dari setahun terakhir aku tak bertemu beliau. Terakhir kalinya, kami makan siang di Kantin Manggala, ketika aku liputan bersama Menteri Kehutanan yang kebetulan dihadiri Pak Indra. Beberapa bulan setelah itu, Pak Indra sempat mengajakku bertemu beberapa kali, sayangnya, ketatnya jam liputan dihari kerja membuatku tak bisa mengiyakannya. Banyak hal yang kami bicarakan di ruangan keluarga itu. Khususnya ketika kami makan siang bersama lesehan di sana. Terasa sekali kearaban dan kebahagiaan di Keluarga Bogara, ditambah dengan tingkah polah Brenisha, putri kecil Zona.

Aku juga sempat bersama angota keluarga lain membantu syuting tugas akhir Gifan untuk ‘Permainan Karatu.’ Ya, Gifan adalah adik kedua Rifki yang sedang menjalankan tugas akhir di President University. Rifki juga memilik adik perempuan, Rara, yang saat ini sedang bekerja di Singapura.

“Jadi, kapan rencananya Tia?” Mama bertanya padaku disatu kesempatan setelah makan siang.

Aku mengerutkan kening sambil sedikit tersipu, mencoba menebak arah pembicaraan Mama.

“Kapan, Bu?”

Mama hanya tertawa ke arahku, kemudian melanjutkan kata-katanya.

“Rifki itu bersemangat sekali kalo cerita tentang Tia. Dulu juga ada dia sempat dekat dengan cewek, teman Zona juga, tapi tidak seperti bercerita tentang Tia sekarang. Rifki senang sekali. Ya, kalian kan sudah sama-sama dewasa. Ibu hanya mendoakan semoga kalian berjodoh. Masalah jarak dan pekerjaan, ibu selalu meyakinkan pada Rifki bahwa itu semuanya bisa dibicarakan bersama. Kadang, untuk mencapai satu tujuan, tidak seluruhnya harus kita dapatkan sekaligus, ada tahapannya. Tia bagaimana? Ada cocok sama Rifki?”

Aku hanya tersenyum mendengarkan ucapan Mama. Dalam hatiku juga tersenyum, darahku berdesir, aku bahkan sangat khawatir jika Mama mendengarkan bunyi jantungku yang berdetak keras saat itu.

“Rifki baik, Bu. Tia juga senang bisa mengenal Rifki, juga menjalani hubungan dengannya. Masalah ke depan, Tia selalu sampaikan kepada Rifki, Tia belum bisa menjanjikan apa-apa. Rifki sebaiknya kenal dengan keluarga Tia dulu, tahu bagaimana kondisi ayah ibu Tia di Pasaman.”

Mama kembali melontarkan senyumannya.

“Iya, Rifki sudah bilang ke Ibu begitu. Lebaran tahun ini, rencananya keluarga besar Bapak ada acara kumpul-kumpul di Padang Panjang. Insya Allah, jika Rifki bisa dapat cuti sedikit lama, dia akan ikut ke Padang. Nanti, kami sempatkan main ke rumah Tia. Boleh?”

“Silakan, Bu. Boleh sekali. Perjalanan ke rumah Tia lumayan jauh. Mungkin jika Ibu dan keluarga ingin menginap di rumah Tia, juga boleh. Cuma, keluarga Tia sederhana saja Bu. Meski begitu, Tia senang sekali jika Ibu datang.”

Di tengah pembicaraaan kami, tiba-tiba Rara memanggil Mama dan menyerahkan ponsel padanya.

“Mama, Mas Cici telepon.”

Ibu pun mengangkat telepon. Ternyata, Mas Cici yang dimaksud Rara adalah Rifki. Rifki pernah bilang, di rumahnya ia dipanggil Cici. Kurang dari empat jam aku menghabiskan waktu di rumah Rifki. Setelah menunaikan shalat ashar, aku pun pamit untuk pergi ke bandara. Aku harus ada di sana karena penerbanganku jam 6 sore.

Papa dan Mama Bogara, beserta kedua adiknya mengantarkanku ke Terminal Damri di Bekasi. Aku pamit liputan ke Malang. Kusampaikan bahwa aku sangat senang dengan pertemuan hari itu. Tak lupa, kuucapkan terima kasih atas doa seluruh keluarga untuk keberlanjutan hubungan Rifki dan aku ke depan. Terima kasih Mama, terima kasih Papa.

Share:

Leave a Comment