Resign kerja
Resign kerja

Lulus kuliah tahun 2010, alhamdulillah saya nggak sempat ngalamin masa nganggur. Langsung cus kerja di Agroedutourism (AET), Direktorat Bisnis dan Kemitraan IPB, yang sekarang namanya jadi Direktorat Pengembangan Bisnis dan Kewirausahaan. Dunia terasa indaaaah banget waktu itu #Eaaa. Maklum, saya paling junior dan paling muda di sana.

Di AET, saya merasa benar-benar diterima dan disayang. Teteh, mba, mas, semuanya baik-baik banget. Ada Mba Wina, Mba Noni, Teh Ulfah, Mba Ana, Mas Anton. Belum lagi pimpinannya masya Allah super baik. Bapak Meika Syahbana Rusli dan Bapak Heri Ahmad Sukria. Pembimbing AET juga idola, Bu Harini dan Pak Bambang. Pokoknya betaaaaah banget.

Sebagai sarjana baru dengan umur masih belia (uhuk! uhuk!), meninggalkan lingkungan kampus itu beratnya luar biasa. Apalagi harus keluar dari Bogor. Jadi begitu ada tawaran kerja di rektorat, saya langsung terima tanpa babibu. Kenapa ditolak kalau masih bisa ngekos dekat kampus, biaya hidup murah, bisa ketemu teman-teman yang masih berkeliaran di kampus, dan ke rektorat pun cukup jalan kaki? Nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan?

Hampir setahun mengembangkan AET, barulah muncul keinginan untuk coba tantangan baru. Saya mengajukan lamaran ke International Animal Rescue (IAR), NGO yang bergerak di bidang pelestarian satwa liar. Cocok banget sama background kuliah saya di KSHE, Fakultas Kehutanan IPB.

Baru dua hari setelah apply ke IAR, saya malah melihat lowongan reporter di Republika. Impian lama untuk kerja di dunia media tiba-tiba muncul lagi.

Sebelum masuk IPB, saya pernah minta izin ke ayah untuk ambil jurusan komunikasi. Tapi sebagai anak pertama, ayah kurang setuju. Ayah yang seorang petani ingin anaknya tetap kuliah di kampus pertanian—Faperta atau Fahutan. Katanya, “Kamu udah pintar nulis, buat apa kuliah lagi? Jadikan hobi saja. Kuliahnya tetap di pertanian ya…”

Begitu dengar nama Republika, yang terbayang langsung salah satu harian nasional besar selain Kompas dan Tempo. Yang bikin Republika terasa istimewa, salah satu pendirinya adalah Bapak BJ Habibie, putra terbaik bangsa. Koran ini juga identik dengan komunitas Muslim di Indonesia.

Saya pun izin ke Pak Meika untuk mencoba peruntungan di IAR dan Republika. Beliau merestui. Bahkan bilang saya tak perlu buru-buru resign—kalau diterima di salah satunya, baru saya boleh keluar dan mencarikan pengganti. Kalau nggak lolos, ya lanjut lagi kerja seperti biasa. Masya Allah, baik banget si bapak.

Saya beberapa kali izin kantor untuk tes dan wawancara di IAR, Bogor. Di saat yang sama, saya juga bolak-balik Bogor–Jakarta mengikuti serangkaian tes di Republika.

Republika pertama menghubungi saya untuk tes administrasi, lalu psikotes di Wisma Pertanian Ragunan. Lulus. Lanjut tes TOEFL di LIA Pasar Minggu. Lulus. Terus tes kesehatan di Lakespra Dr Saryanto. Lulus lagi. Sampai akhirnya masuk wawancara akhir di kantor pusat, Warung Buncit Raya.

Itu pertama kalinya saya bertemu jajaran redaksi Republika: Pak Irwan Ariefyanto (Kang One), Pak Subroto (SBT), Pak Irfan Junaidi (Kang Irfan), dan Ismail Lazarde (Kang Mail). Wawancaranya ngeri-ngeri sedap—kadang bercanda, kadang serius.

Saya masih ingat Pak SBT bertanya, “Jika suatu saat kamu menikah, kamu akan memilih tetap bekerja di sini atau jadi ibu rumah tangga?” Dengan polos dan pede-nya saya jawab, “Saya tetap berkomitmen bekerja. Saya yakin bisa membagi waktu.”
Aduh… kalau inget, rasanya pengen ketawa sendiri. Sekarang saya paham, jawabannya nggak sesimpel itu. Mungkin kalau Pak SBT baca ini, beliau ikut cekikikan. Hehehe.

Puncak kebahagiaan datang beberapa hari setelah wawancara terakhir. Sekitar jam 10 pagi, saya ditelepon Mas Eman Sulaeman dari sekretariat Republika (yang ternyata juga alumni IPB). Beliau mengabarkan saya diterima sebagai calon reporter (carep). Saya diminta mulai orientasi minggu depannya.

Eh, kebahagiaan saya belum selesai. Hari itu juga, sekitar jam 16.00 sepulang dari rektorat, pihak IAR menghubungi dan memberi kabar baik bahwa saya diterima bekerja di sana.

Tapi tidak ada keraguan. Dari awal saya sudah bernazar: siapa yang lebih dulu menghubungi, di situlah saya akan bekerja. Maka saya mantap hijrah ke ibu kota.

Pindahan dari Bogor ke Pejaten Alhamdulillah nggak ribet. Mas Eman membantu mencarikan kos yang super dekat dari kantor. Setiap hari cukup jalan kaki lima menit, sampai deh.

Niners

Republika akhirnya mempertemukan kami, sembilan carep angkatan 2011. Saya berkenalan dengan Nawang, Nita, Ria, Ocha, Rosita, Sahlan, Irfan, dan Reza. Kami menamai diri Niners, ya karena… kami memang bersembilan.

Kami datang dari kampus dan jurusan yang berbeda-beda. Ada lulusan Undip, UGM, UMY, Unpad, sampai IPB. Ada anak pertanian, kehutanan, hukum, sampai sejarah. Komplit banget macam nasi rames.

Sebagai geng baru, kami cepat sekali akrab. Roti Bakar Eddy di Jalan Warung Buncit Raya jadi markas wajib. Hampir setiap malam jam 19.00–21.00 WIB kami mampir ke sana, sekadar makan, ngobrol, atau curhat sebelum pulang ke kos masing-masing. Tempatnya sederhana, tapi suasananya selalu penuh tawa. Kadang ada reporter senior yang tiba-tiba nongol dan ikut nimbrung, cerita pengalaman mereka waktu jadi carep. Rasanya kayak punya abang-kakak tambahan.

Selain itu, kami juga sering nongkrong di Inul Vista Pejaten Village (Penvil), mall yang letaknya kebetulan persis di seberang kantor. Kang One, Kepala Newsroom waktu itu, paham betul kami lagi digempur masa-masa orientasi lapang yang super melelahkan. Jadi, beliau dan beberapa “dewa” di kantor sering banget mentraktir kami makan di sana. Masya Allah, baiknyaaa…

Lama-lama kami sadar satu hal, angkatan kami ini ternyata suaranya bagus-bagus. Ciee pede amat ya? Yang paling jago sih Ria alias Kokom dan Irfan alias Ipeng. Lagu-lagu wajib kami di ruangan VIP Inul Vista nggak pernah jauh dari Friday I’m in Love (The Cure), Sweet Child O’ Mine (Guns N’ Roses), Beautiful Day (U2), lagu favorit Kang One, Love of My Life (Queen), sampai soundtrack film Mendadak Dangdut, “Jablay.” Hahaha, campur aduk macam playlist radio iseng.

Justru di ruangan karaoke itulah kami sadar, ternyata gak ada redaktur galak di Republika. Mereka hanya tegas dan profesional saat bekerja, tapi di luar itu mereka teman yang asik dan menyenangkan.

Momen tak terlupakan lainnya bersama Niners adalah ketika kami diminta tampil di acara Lukmanul Hakim Award 2011. Awalnya kami panik mau menampilkan apa. Akhirnya tercetuslah ide absurd nan brilian, parodi boyband SM*SH dengan lagu “I Heart You.” Boyband Suju KW ini memang lagi populer banget masa itu. Rosita langsung berubah jadi instruktur tari dadakan kami.

Sebagai carep bau kencur, jujur kami malu banget tampil di depan banyak orang. Apalagi penontonnya se-kantor! Belum lagi ada Pak Daniel Wewengkang duduk manis di depan. Ya ampuuuun, rasanya pengen menguap dan ngumpet di balik speaker.

Tiba-tiba salah satu dari kami nyeletuk, “Eh, gimana kalau kita pakai topeng aja? Topeng redaktur pembimbing masing-masing!”

IDE GILA ITU DISETUJUI. Itu berarti saya harus pakai topeng Pak SBT. Habis sudah riwayatku.

Dan benar saja, sampai acara selesai dan hari-hari berikutnya, penampilan kami resmi jadi bahan ledekan dari para redaktur. Hari-hari penuh tawa, malu-malu, tapi berkesan banget.

Masa orientasi

Seminggu pertama kami habiskan untuk orientasi di kantor. Kami diajak berkeliling mengenal keluarga besar Republika, mulai dari satpam, HRD, awak redaksi koran dan online, para reporter senior, sampai kunjungan ke pabrik percetakan di Pulo Gadung.

Gedung Buncit 37, begitu kami menyebutnya, punya keunikan tersendiri. Tampilan luarnya mirip bangunan antik Belanda. Sudah direnovasi, tapi bentuk aslinya tetap dipertahankan. Rasanya seperti masuk ke kantor yang punya jiwa dan sejarah panjang.

Selama orientasi, kami belajar dasar-dasar jurnalistik, gaya penulisan khas Republika, sampai nonton bareng film All the President’s Men. Kata Kang Setan Martabak alias Kak Stevi Maradona, salah satu redaktur yang mendampingi kami, film thriller politik tahun 1976 ini wajib ditonton wartawan. Film yang mengisahkan jurnalisme investigasi ala Bob Woodward dan Carl Bernstein itu memang membuka wawasan kami tentang betapa kuatnya peran pers.

Begitu orientasi kantor selesai, tibalah waktunya orientasi lapang. Masing-masing dari kami dipasangkan dengan redaktur pembimbing. Saya kebagian dibimbing Pak Subroto. Setiap kali ada reporter senior nanya, “Siapa pembimbingmu?” dan saya jawab, “Pak SBT,” wajah mereka mendadak penuh rasa iba. Lah kenapa?

Konon, Pak SBT itu redaktur yang paling “galak.” Semua bimbingannya pasti dapat tugas-tugas berat. Rata-rata pernah nangis. Ada juga yang akhirnya resign.

Omaigat… saya langsung bergidik. Padahal waktu wawancara beliau terlihat asyik-asyik saja. Masa seseram itu? Untuk memastikan, saya tanya Bang Hafil. Barulah saya dapat pencerahan. Katanya, benar Pak SBT termasuk yang paling “ditakuti.” Tapi bimbingannya biasanya jadi tangguh dan matang di dunia jurnalistik. Beliau mencontohkan Bang Blek (Fitriyan Zamzami), yang waktu itu sudah jadi salah satu redaktur termuda di lantai empat.

“Bismillah saja,” batin saya. Toh yang saya hadapi manusia, bukan werewolf. Hihihi.

Saya naik ke lantai empat, lantai yang konon katanya tempat “para dewa Republika” berkantor. Hahaha. Begitu ketemu meja Pak SBT, saya langsung diajak ngobrol. Singkat cerita, dimulailah “ospek kedua” saya setelah lulus kuliah.

Setiap hari Pak SBT memberi saya tugas wajib, mengenal minimal tiga orang baru di kantor. Bebas siapa saja, entah itu redaktur, editor bahasa, satpam, sekretariat. Saya harus tahu nama lengkapnya, panggilannya, asalnya, dan apa pekerjaannya. Pokoknya saya sudah kayak petugas sensus BPS.

Hari pertama saya langsung kenalan dengan seorang teteh cantik yang sedang sibuk mengedit berita, duduk persis di depan meja Pak SBT. Namanya Teh Ririn Liechtiana. Hingga hari ini, beliau masih jadi kakak sekaligus sahabat saya.

Setelah misi “kenalan” itu, barulah tugas-tugas lapangan mulai diberikan. Minggu pertama, saya diminta liputan ke berbagai terminal bus di Jakarta, mulai dari Pasar Minggu, Kampung Rambutan, Rawamangun, sampai Lebak Bulus. Saya harus wawancara pengunjung, pengguna jasa terminal, pedagang kaki lima, kepala terminal, sampai calo tiket. Setiap hari saya wajib membuat 5–10 judul berita plus paragraf pertamanya.

Sebagai pendatang baru di Jakarta yang belum terbiasa busway tanpa AC, saya harus naik angkot ke sana kemari, panas-panasan, jalan kaki, bahkan hampir kena copet di Kampung Rambutan. Pengalaman yang… luar biasa.

Selesai urusan terminal, saya mendapat tugas menulis feature tentang kehidupan pemulung pancing di bawah Jembatan Kali Sentiong. Tahun 2011, Kali Sentiong kamu pasti tahu lah ya gimana kotornya, gimana baunya. Dan saya gak boleh pakai masker karena harus membaur.

Begitu turun ke lokasi, semua pemulung kabur melihat saya. Mereka kira saya petugas dinas sosial atau Satpol PP. Ya jelas lari lah, wong saya datang pakai batik, celana bahan, sepatu, gaya PNS banget. Hahahahaha.

Di hari kedua dan ketiga barulah saya berhasil pendekatan dengan dua pemulung. Tidak ada lagi kabur-kaburan. Saya pakai pakaian lebih sederhana, kaos lengan panjang, jins, sandal gunung, jilbab sorong, baru mereka mau diajak ngobrol. Salah satu dari mereka di akhir wawancara memberi kode minta uang. Ya sudah, saya kasih Rp50 ribu. Mereka bahagia, saya pun senang bisa sedikit membantu.

Pemulung pancing bekerja dengan menjaring sampah menggunakan pancing kayu berjaring. Ketika musim banjir, sampah-sampah yang hanyut lewat di bawah jembatan akan mereka tangkap untuk dijual kembali.

Saya sangat tersentuh dengan kisah hidup mereka yang tinggal di rumah kardus di bawah jembatan. Dan saya sama sekali tidak menyangka feature itu akhirnya muncul di halaman satu Republika edisi akhir pekan. Tentu sudah melewati proses editing dari Pak SBT. Itu pertama kalinya tulisan saya, dengan kode carep C-07, tampil di halaman depan. Saya senang, bangga, dan terharu. Terima kasih, Pak SBT.

Tugas berikutnya makin horor. Setelah Kali Sentiong, saya diminta investigasi soal calo SIM dan oknum petugas yang bermain dalam denda tilang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Gajah Mada. Astaga… ramainya antrian sidang seperti antre sembako gratis. Saya harus pura-pura jadi warga yang kena tilang dan mau mengambil SIM. Kebayang kan, saya harus berakting macam artis sinetron Indosiar. Hahaha.

Puncak penugasan saya adalah kamar mayat RSCM. Di sana saya harus menghitung berapa jenazah yang masuk dalam semalam, mengetahui penyebabnya, apakah itu karena kecelakaan, kriminal, penembakan, dan mewawancarai keluarga jenazah.

Subhanallah… sampai hari ini saya masih ingat bau kamar mayat itu. Setiap ada bandeng, istilah untuk mayat di kalangan reporter kriminal, datang, saya langsung membaca doa-doa. Dua malam setelah itu saya gak bisa tidur. Bayangan jenazah, darah, dan aroma kamar mayat masih mengikuti kemana-mana.

Kabar kota

Kabar Kota adalah desk pertama saya di Republika, begitu juga bagi seluruh anggota Niners. Kami bersembilan disebar ke sembilan daerah di Jabodetabek. Saya kebagian “wilayah kekuasaan” Tangerang Selatan. Kata Kang One, maksimal satu tahun kami akan ditempatkan di daerah sebelum resmi diangkat sebagai reporter tetap.

Dari titik ini, saya benar-benar mulai merasakan lelahnya jadi wartawan. Belum selesai capek orientasi di Jakarta, saya sudah dilempar ke daerah baru.

Untungnya ada Bang Amri Amrullah, senior sekaligus carep angkatan sebelum saya yang baru beberapa bulan ditarik kembali ke Jakarta. Bang Amri sangat membantu saya, mulai dari mencarikan kos, mengenalkan saya ke bagian humas Pemkot Tangsel, sampai memperkenalkan saya ke teman-teman reporter lokal. Bang Hafil juga pernah ngepos di Tangsel, jadi saya bisa bertanya banyak hal ke beliau.

Saya masih ingat bagaimana saya membawa seli alias sepeda lipat saya ke Pamulang, tempat saya ngekos. Kos saya sangat dekat dengan kantor humas pemkot, jadi saya sering liputan sambil gowes. Minggu pertama saya habiskan untuk mengenali medan, seperti mencatat jalur angkot dari Pamulang ke Ciputat, Pamulang ke Serpong, Pamulang ke Bintaro, dan seterusnya.

Allah Maha Baik. Saya dipertemukan dengan Mba Nopi Revo, wartawan Suluh Bali yang baru pindah dari Palembang ke Tangsel. Mba Nopi punya motor, jadi kami sering liputan bareng, tandem setiap hari.

Kami rajin berdiskusi soal isu-isu perkotaan yang layak diberitakan. Kadang Mba Nopi libur, tapi tetap mau nemenin saya liputan. Militan banget pokoknya. Kami gak suka bergerombol bareng wartawan-wartawan lain. Tim kecil kami cukup dua orang, tapi produktif.

Kami bangga sekali karena banyak liputan kami yang eksklusif. Pulang liputan, saya sering numpang ngetik berita di rumah Mba Nopi karena deadline Kabar Kota maksimal pukul 15.00 WIB. Ritme kerja cepat, tekanan besar, tapi rasanya menyenangkan.

Di sisi lain, Nita, sahabat saya yang ngepos di Bekasi, sering banget “menang HL” alias headline Kabar Kota. Bekasi itu wilayahnya luas, banyak isu menarik, dan Nyit2 (begitu kami memanggilnya) memang rajin banget. Saya ikut terpacu.

Akhirnya beberapa tulisan saya juga sempat beberapa kali jadi HL, bahkan ada yang “dicomot” redaktur Nasional. Waktu itu saya dibimbing Mba Maghfiroh Yenny.

Meski bangga, hidup saya di Tangsel sangat melelahkan. Kulit saya menggelap parah karena tiap hari panas-panasan. Adik saya sampai nelpon ayah ibu, menyuruh saya berhenti jadi wartawan. Katanya, “Kakak udah mirip itik buruk rupa.” Hadeuuh. Kakakaka.

Setiap Jumat malam, kami wajib evaluasi kerja di Buncit 37. Dari Pamulang saya naik bus menuju Pejaten. Lelah? Banget. Tapi hati saya ikut bersemangat karena Jumat malam berarti… ketemu Niners!

Habis evaluasi sekitar pukul 20.30, kami hampir selalu lanjut nongkrong ke Roti Bakar Eddy. Pernah juga kami “lari” sampai Taman Suropati, Menteng. Momen bertukar cerita, bercanda, dan saling memulihkan energi adalah obat penguat kami untuk kembali mengejar berita keesokan harinya. Lawakan khas Ipeng vs Rosita, atau Reza vs Kokom, bisa bikin kami ngakak sampai lupa penat.

Saya masih ingat kejadian ulang tahun saya. Malam itu Kang Mail dan Kang One menghajar saya habis-habisan dengan kritik bahwa saya dibilang makin malas, kirim berita sedikit, kualitas menurun, kurang kritis, dan sering telat deadline. Saya sampai nangis.

Lagi sedih-sedihnya, tiba-tiba ruangan gelap. Lampu dimatiin. Teman-teman muncul bawa kue ulang tahun. Ternyata saya dikerjain. Begitu ya, pola cinta mereka. Hahaha.

Zaman itu kami diwajibkan mengirim minimal tiga berita per hari, dengan 2–3 narasumber, panjang 2.500–3.000 karakter. Kalau mau headline, harus lebih lengkap lagi dan minimal 3.500 karakter. Berat? Jelas. Tapi kami jalani dengan semangat masa muda.

Salah satu momen paling kocak adalah ketika kami ikut lomba futsal cewek khusus media yang diadakan Soho Group. Pertandingan pertama, lawannya… anak-anak Tabloid Bola. Ya sudah, habislah kami dibantai. NGAKAK BANGET.

Tapi meski kalah, hati kami menang karena banyak teman kantor yang datang khusus menyemangati. Mereka gak malu sama kekalahan kami. Justru bangga. Rasanya disupport banget.

Desk ekonomi

Saya termasuk carep yang hanya enam bulan bertahan di Kabar Kota. Suatu malam saya ditelepon Kang One dan diminta datang ke kantor. Belakangan saya baru sadar, itu adalah pengumuman rolling reporter.

Saya ditarik kembali ke Jakarta dan ditugaskan ngepos di Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Koperasi UMKM, serta Kementerian Kehutanan. Teman-teman ikut bahagia karena akhirnya saya “bebas” dari jeratan Kabar Kota. Hahaha.

Di desk ekonomi Republika, saya bertemu tim baru yang jauh lebih kompleks dan senior. Ada Uni Pipit (Fitria Andayani) yang memegang BI, perbankan nasional, BUMN, dan ESDM; Bang Ikhsan (M. Ikhsan Shiddieqy) yang pegang Kemenko Perekonomian, Bapepam, dan Bappenas; Sefti Oktarianisa yang fokus di perbankan syariah dan BEI; serta Mas Ichsan Alamsyah yang memegang Kementerian Perdagangan, Perindustrian, Bulog, dan KKP.

Redaktur kami adalah Kang Firkah Fansuri, Kang Irwan Kelana, Kang Zaky, dan Mba Una. Zaman itu baru heboh BlackBerry, jadi kami punya grup khusus untuk pembagian tugas liputan setiap hari.

Teman-teman jurnalis di desk ekonomi ini sangat berkesan. Daniel Wesly (Media Indonesia), Rosalina alias Ocha (Tempo), Tria Dianti (Jurnal Nasional), Mba Alina, Daddy Sugi, Mba Fenty, Mas Asep, Mas Qayuum, Mba Eko, Panda, dan masih banyak lagi. Chemistry kami kuat sekali.

Sejak masuk desk ekonomi, liputan luar kota jadi makanan sehari-hari. Saya mengawal agenda Menteri Pertanian (Pak Suswono) dan Menteri Kehutanan (Pak Zulkifli Hasan). Kadang saya ikut agenda Menteri Perdagangan Ibu Mari Elka Pangestu, atau Menteri Kelautan dan Perikanan Bapak Fadel Muhammad.

Bagian paling menyenangkan? Saya ikut hampir seluruh agenda Menhut. Pokoknya, di mana ada Pak Zul, hampir pasti ada Muthe. Kami keliling Indonesia, Jawa, Sumatera, Kalimantan, sampai Sulawesi. Saya bahkan pernah naik jet pribadi bareng si bapak. Emangnya Syahrini aja yang bisa? Kekekeke. I loved this job so much.

Saya jadi akrab dengan agenda-agenda kiriman Pak Cucung. Setiap beliau SMS, SEMUA HURUFNYA KAPITAL. Yang belum kenal pasti mengira beliau lagi MARAH. Hahaha.

Saya juga dekat dengan Mba Diany, Mas Setyadi, dan Uda Firdaus, staf humas yang super helpful. Background saya sebagai anak kehutanan benar-benar terpakai di pos ini. Tidak heran ini menjadi pos terlama saya, lebih dari satu tahun.

Seiring datangnya carep-carep baru, rotasi kembali dilakukan. Saya tetap di ekonomi. Pernah dua bulan menggantikan Mas Ichsan di Kemendag dan KKP, lalu digeser memegang BUMN, ESDM, dan Kementerian Perhubungan. Liputannya makin berat, isu makin strategis, dan rasanya… makin bikin migrain. Hahaha.

Untungnya pers room BUMN penuh orang asik. Ada Feby Dwi Sutanto (Detik), Fiki Aryanti (Liputan6), Bang Roy (Antara), Bowo (Media Indonesia), Kak Susan Silaban (IMQ), Kak Linda, Idris, dan Keykey. Kami sering kumpul, gosip hal-hal receh, sambil nunggu menteri keluar ruangan.

Pos BUMN paling seru karena waktu itu Menteri BUMN-nya Pak Dahlan Iskan. You know lah ya… betapa populernya beliau di era SBY. Kalau nggak “ditongkrongin” setiap hari, bisa-bisa berita kita jebol didahului media lain. Ujung-ujungnya redaktur kirim BBM,

“Muthe, dapat statement Pak Dahlan yang ini nggak? Tolong di-follow up ya.”

Hadeeeh. Maka saya baru geser ke pos ESDM kalau Pak Dahlan lagi ke luar kota atau ada isu besar seperti kasus Freeport.

Di ESDM saya bertemu teman-teman seru, sebagian besar penggemar K-Pop. Ada Gusti, Wilda, Ayu, Mba Fitri, Dedeth (teman lama dari Pertanian), juga Rangga, Maikel, dan Saugy. Pers room Medan Merdeka itu selalu riuh dengan lagu Suju, SNSD, 2PM, atau TVXQ.

Kadang mereka sibuk streaming drama Korea. Walaupun mereka mayoritas fans SM dan JYP, sedangkan saya YG garis keras, pertemanan kami tetap akur. Tidak seperti fandom sekarang yang kayaknya lebih sering berantem. Hahaha.

Setiap konferensi pers, menghadapi Jero Wacik adalah tantangan tersendiri. Statement beliau sering normatif, biasa, atau kadang… meh. Ditanya gimana pun, jawabannya tetap saja begitu. Beliau juga sering tiba-tiba kabur dengan alasan ada panggilan presiden atau ratas. Tapi karena beliau menteri, namanya harus tetap masuk berita. Jadi kami wawancara sekadar memenuhi syarat, setelah itu buru-buru cari dirjen.

Tiga bulan bertugas di BUMN dan ESDM, tiba-tiba saya dilempar ke Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Bapepam (sekarang OJK). Sumpah, itu pertama kalinya saya merasa harus kuliah lagi. Belajar saham, asuransi, indeks, membaca laporan keuangan, puyeng puyeng syantik. Untungnya ada Daniel, sahabat saya sejak pos Pertanian yang ikut di-rolling ke BEI.

Di bursa saya bertemu lagi Kak Linda, berkenalan dengan Kak Feifei, Kak Melani, Nia, Ino, Suchi, Mas Feri, Mas Nung, Mas Ayub, dan banyak lagi. Mereka semua jadi guru saya yang mengajarkan cara membaca IHSG, fluktuasi indeks, memahami keterbukaan informasi, membaca laporan keuangan triwulan sampai tahunan, hingga mengenal kode emiten blue chip.

Reporter bursa itu seru banget. Awal tahun saat pembukaan indeks, musim IPO, sampai laporan akhir tahun emiten-emiten besar selalu jadi momen panen berita. Pertemuan biasanya di SCBD atau Mega Kuningan, lumayan lah buat cuci mata, keluar masuk hotel bintang lima. Hahaha.

Tapi baru nyaman-nyamannya ngepos di BEI, saya dirotasi lagi. Kang One bilang saya sudah “khatam” tiga bulan di BEI. Saya ditugaskan ke Bank Indonesia (BI) dan liputan perbankan konvensional. Ya ampuuun… rasanya mau pasrah aja.

Di BI saya kembali bertemu Daniel. Untung banget. Pers room BI itu nyaman luar biasa. Luas, banyak colokan, makanan banyak, ada TV, CCTV, komputer, bisa karaoke, bisa main game, buka sampai malam, pokoknya surga reporter. Seimbang lah dengan materi liputannya yang berat, menyangkut inflasi, kebijakan moneter, BI rate, kurs rupiah, pertumbuhan ekonomi nasional, dan tetek bengeknya.

Saya akrab dengan Kak Grace, Bang Bulus, Bang Roy, Maikel, Satria, Tassia, Nina, Rika, dan Ghea. Sering juga kami liputan luar kota ke Bandung atau Yogya untuk pelatihan jurnalis BI, atau ngekorin Pak Darmin Nasution dan Pak Agus Martowardojo. Perpisahan dengan Pak Darmin adalah salah satu momen paling mengharukan.

Dua tahun menjadi reporter ekonomi di koran, saya akhirnya ditarik ke Republika Online (English Version). Bye-bye liputan lapang. Saya resmi “ditanam” di kantor. Mba Yenny, redaktur cantik, sabar, dan forever young, membimbing saya memperbaiki gaya penulisan yang waktu itu masih acakadut. Terima kasih banyak, Mba Yeyen. Jasamu tiada tara.

Kerja di kantor membuat saya punya lebih banyak waktu membuka laptop dan menonton televisi (berita ya, bukan sinetron). Karena tugas saya hanya menulis lima sampai enam berita berbahasa Inggris per hari, saya punya waktu luang membuat kolom lain.

Bagian paling menyenangkan? Saya berkesempatan menonton LIVE dan menulis satu halaman review konser idola-idola saya, seperti L’Arc~en~Ciel, BIGBANG, dan konser solo G-Dragon. Konser Laruku bahkan berdekatan dengan ulang tahun saya. Duh, bahagianya sampai nangis. Saat orang lain harus nabung lama demi beli tiket, saya justru nonton gratis karena tugas kantor. Nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan? 🙂

Sekitar 2013, saat masih pegang desk ROL EV, saya berkenalan dengan Rifki Muhamad Bogara, yang alhamdulillah sampai hari ini masih berstatus suami saya ketika Anda membaca tulisan ini. Kekekeke. Kisah lengkap pertemuan, perkenalan, pertunangan, sampai pernikahan sudah pernah saya tulis di blog sebelumnya. Setiap hari kami komunikasi lewat chat dan Skype, bahkan sampai setahun pertama menikah. Sungguh, LDR Jakarta–Kupang ini membunuhku. Eaaaa.

Bali

Akhir 2014, Pak Ink (Nasihin), Pemimpin Redaksi Republika saat itu, merestui kepindahan saya ke Bali untuk ikut suami. Awalnya saya berniat resign, tapi alhamdulillah Pak Ink memberi saya kesempatan menjadi reporter nonbiro di sana. Kebetulan Pak Ahmad Baraas, wartawan senior Republika yang berbasis di Bali, segera purnatugas, jadi saya bisa melanjutkan estafet beliau.

Di Bali, saya bertemu kembali dengan sahabat lama, Mas Feri Kristianto. Dulu saya menjulukinya master, karena dia selalu nongkrong di pers room Bapepam, yang sekarang jadi OJK, dan benar-benar khatam dunia asuransi serta investasi. Hampir semua narasumber kenal dia, dan mereka “sungkan” kalau Mas Feri sudah menelepon. Hebat banget kan? Hehehe.

Saya gak menyangka, Mas Feri kini tinggal di Bali, sudah berkeluarga, dan punya satu anak. Yang dulu menulis untuk Kontan, sekarang menulis untuk Bisnis Indonesia. Lalu saya bertemu lagi Bang Donald, teman lama waktu masih ngepos di BEI. Ternyata Bang Donald sudah naik jabatan jadi Kepala Perwakilan Bisnis Indonesia Bali. Keren betul abang satu ini.

Berkat Mas Feri, saya gak butuh waktu lama untuk beradaptasi dengan dunia liputan Bali. Dari beliau, saya dikenalkan pada banyak wartawan daerah yang tidak kalah seru karakternya. Liputan di Bali jauh lebih menantang daripada liputan di pusat, tapi suasana Pulau Dewata yang hangat, ramah, dan pelan-pelan meresap, membuat saya betah. Meski harus meng-cover sembilan kabupaten/kota, semuanya terasa menyenangkan.

Lima tahun di Bali menjadi penutup perjalanan panjang saya sebagai jurnalis Republika. Di titik itu saya memutuskan berhenti, mengabdi penuh untuk keluarga kecil saya, yaitu suami dan tiga buah hati saya. Semua pengalaman yang saya kumpulkan selama bersama media ini akan selalu abadi di hati.

Tidak mudah melupakan sembilan tahun lebih kebersamaan di Republika. Dalam sembilan tahun itu pula saya setia mengabdi untuk perusahaan yang lebih tepat saya sebut sebagai rumah kedua. Di tempat inilah saya menumpahkan tawa, air mata, amarah, lelah, semangat, dan mimpi-mimpi saya sebagai seorang wartawan muda.

Republika adalah kampus terbaik saya. Di sini saya belajar banyak hal baru, dari hutan ke ekonomi, dari perbankan ke investasi, dari isu politik hingga liputan kriminal. Republika menempa saya, membentuk saya, dan menjadikan saya insan yang lebih kuat, lebih kritis, lebih rendah hati.

How lucky I am to have something that makes saying goodbye so hard.

Terima kasih, REPUBLIKA.

Share:

9 responses to “Terima Kasih, REPUBLIKA! (Resign Kerja)”

  1. Yusuf Muhammad Avatar
    Yusuf Muhammad

    Wah, sembilan tahun.. Angka 9 kayaknya sangat bermakna bagi Teh Muthe.. Selamat ya Teh..

    1. bogarawife Avatar
      bogarawife

      Terima kasih dek 😀 Berkah juga untukmu sekeluarga

  2. Saya Pamit (Resign) – Bogara Family

    […] kantor pusat. Hehehe. Tapi, apa daya, apa mau dikata, sampai detik terakhir saya mengajukan surat pengunduran diri, semua sebatas […]

  3. Yusuf Muhammad Avatar

    Wah, sembilan tahun.. Angka 9 kayaknya sangat bermakna bagi Teh Muthe.. Selamat ya Teh..

    1. darmawan Avatar
      darmawan

      See You, Muthe. Insya Allah selalu dalam barakah…

      1. bogarawife Avatar
        bogarawife

        Sampai jumpa lagi kang. Hehehe

      2. bogarawife Avatar

        Sampai jumpa lagi kang. Hehehe

    2. bogarawife Avatar

      Terima kasih dek 😀 Berkah juga untukmu sekeluarga

  4. […] kantor pusat. Hehehe. Tapi, apa daya, apa mau dikata, sampai detik terakhir saya mengajukan surat pengunduran diri, semua sebatas […]

Leave a Comment