Akhirnya aku dan mas sampai juga di fase lima tahun pernikahan. We are not going to win any golden awards by the way, hehehe. Tapi, bagi mereka yang sudah menikah cukup lama di zaman seperti sekarang ini pasti tahu, lima tahun adalah sebuah pencapaian besar.
Layaknya tumbuh kembang anak, tahun pertama hingga kelima adalah masa-masa pembentukan. Demikian juga dalam pernikahan. Lima tahun pertama lah yang menentukan keberhasilan pernikahan di masa depan.
Lima tahun setelah penghulu KUA dan saksi pernikahan mengatakan “sah” saat ijab kabul, aku menyadari pernikahanku dalam arti sebenarnya dimulai jauh jauh jauh setelah para tamu datang menyantap hidangan di tenda undangan di rumahku 14 Februari 2014 lalu.
Pernikahan sesungguhnya dimulai setelah suntiang itu dilepas dari kepalaku, setelah baju anak daro itu tak lagi kukenakan, dan setelah kebaya serta jas akad nikah bernuansa serba ungu itu kami simpan kembali di lemari. Sejak itu aku berdoa dan berjanji itu adalah yang pertama dan terakhir kalinya aku mengenakan semuanya, dan itu hanya bersama mas di sampingku. Eaaaa.
Ada beberapa hal kupelajari selama lima tahun pernikahan ini. Tahun pertama salah satu yang terindah. Setiap hari rasanya seperti di surga. Bercinta, makan, minum di mana suka, berapa pun uang yang keluar tak jadi masalah. Apalagi kami menjalani LDR Jakarta-Kupang, sehingga setiap detik pertemuan sangat berharga. Sekali tiga bulan kami bertemu, entah itu mas yang ke Jakarta, aku yang ke Kupang, atau kita janjian ketemu di Bandung.
Hubungan jarak jauh berakhir di tahun kedua. Kami akhirnya tinggal serumah di Bali dan belajar bagaimana membuat keputusan bersama, bukan individu. Kami belajar bagaimana mengelola finansial keluarga, menyelaraskan pekerjaan dan hubungan asmara, menghadapi stres pasangan, dan belajar berdamai jika mas tidak setuju dengan keputusan yang kubuat.
Sebelum menikah, dua bosku di kantor (Jakarta) pernah bilang, love lives for 3 years only. Setelah itu, banyak suami istri merasakan hubungan pernikahan kurang ideal seperti sebelum menikah. Kenyataannya bagiku, setelah tiga tahun menikah dengan mas, kami lebih cenderung bisa menerima kekurangan dan merasa lebih nyaman satu sama lain. Apalagi tahun ketiga ini kami dipercaya Allah memiliki buah hati kami yang pertama.
Kuakui tahun ketiga tahun terberat dari sisi manajemen rumah tangga. Kehadiran Maetami mengubah sebagian besar pertimbangan kami. Kami mulai berpikir bagaimana caranya berhemat untuk membeli rumah. Kami mulai berpikir bagaimana caranya berinvestasi untuk masa depan anak. Kebiasaan bersenang-senang yang mungkin rutin dilakukan selama tahun pertama dan kedua pernikahan pada akhirnya ditekan seketat mungkin.
Kami mulai mencari cara lain untuk tetap bahagia menikmati hidup. Sebagai contoh, biasanya makan di restoran enak tiap weekend, sekarang jadinya sekali dua minggu aja. Kalo ajak anak ke playground mahal, tapi makannya pas pulang di Bakso Malang Cak Sis atau Bakmi Jogja Pak Toro aja. Biasanya cuti dan liburan khusus tiap tiga bulan, sekarang nyari tempat wisata atau rekreasi keluarga yang murah meriah, kadang gratisan, misalnya cukup ke Lapangan Renon atau Lumintang.
Percaya gak, cinta dan benci setelah menikah itu bedanya tipis banget, kadang gak bisa bedainnya. Dulu mungkin kamu tertarik pada suamimu karena beberapa hal yang dimilikinya. Seiring berjalannya waktu, hal yang tadinya mengagumkan bisa menjadi hal yang sangat mengganggu.
Pemicunya berbagai hal, misalnya istri yang selalu berpegang pada anggaran keluarga untuk menghemat uang, namun suami di sisi lain sering ada pengeluaran tak terduga yang bagi istri semestinya itu tak perlu. Padahal dulu waktu pacaran senang banget diajak jalan atau ditraktir si dia. Setelah menikah, istri jadi lebih ketat, dan ujung-ujungnya ini bisa membuat frustasi suami, karena terkesan dibatasi atau dikendalikan. Semoga si mas gak merasa demikian yaaa. Heheee.
Komunikasi yang utama. Aku dan mas saling memberi kesempatan mengekspresikan perasaan masing-masing, tanpa terkesan menghakimi atau membela diri. Dalam hal ini, mungkin aku ada di pihak yang paling ekspresif, atau mungkin kebanyakan istri memang begitu? Hehehe.
Tanpa adanya ekspresi emosi, terutama emosi negatif yang disampaikan secara baik-baik atau positif, itu bisa menimbulkan keraguan yang berujung ketidakpercayaan dalam penikahan. Kepercayaan emosional itu penting, bukan cuma kepercayaan finansial doang.
Berani meminta maaf lebih dulu. Sejak berumur 17 tahun, aku seorang mandiri dan menjalani semuanya sendiri, mulai dari kuliah, lulus, dan bekerja. Jadi, meminta maaf, apalagi bergantung pada seseorang rasanya bukan aku banget, sebab aku bisa melakukan banyak hal sendiri.
Setelah menikah tentu saja semua berubah 100 persen. Ini bukan tentang siapa yang benar dan siapa yang salah, namun keberanian meminta maaf duluan pada pasangan adalah cara terbaik untuk memulai komunikasi yang tadinya buruk kembali membaik.
Jangan memaksakan perubahan. Pernah dengar atau baca petikan kalimat ini tidak? Women enter into a marriage expecting the man to change and men enter into a marriage expecting the woman to never change.
Tahun demi tahun seiring berjalannya waktu kita semua pasti akan berubah. Kadang kita merasa pak suami lah yang harus berubah lebih dulu dan tanpa sadar kita memaksakan, padahal dia belum siap. Kita tak bisa melakukan itu pada pasangan karena hanya membuat kita berjalan di dua arah berbeda. Sementara menikah hakikatnya adalah berjalan bersama, bersisian, berdampingan, bergandengan tangan satu sama lain.
Selalu ada waktu untuk berdua. Aku dan mas sesekali meluangkan waktu untuk berdua, ya hanya berdua, dan kebanyakan itu kami habiskan menonton film di bioskop. Saat anak sudah tidur, jika masih terjaga, aku menyempatkan diri menemaninya di luar kamar, apakah itu pas mas lagi ada kerjaan yang harus diselesaikan, atau sekadar nonton TV bareng.
Kuakui sejak hamil dan melahirkan si kembar di tahun keempat, aktivitas seperti ini mulai jarang. Namun, semoga seiring berjalannya waktu kami semakin bisa beradaptasi dengan putra putri kami. Orang bilang, romance changes as your love mature.
Semua perlakuan romantis layaknya anak muda pacaran pada akhirnya akan memudar seiring waktu. Namun, romantis itu sejatinya tetap ada, hanya saja berbeda. Bisa saja pesan whatsapp lucu saat jam makan siang selama hari kerja terasa sangat menghibur. Bisa saja mas tidur di pangkuanku saat menonton TV di ruang tamu terasa lebih mesra dibanding nonton bareng di bioskop, meski itu tak bertahan lama sebab Maetami akan selalu mengacaukannya. Hehee. Kami terus belajar menghargai hal-hal kecil, perlakuan sederhana tanpa meninggalkan kesan romantis.
Kadang perlu abai dengan hal-hal kecil. You have to learn to let the little things go, so that you can tackle bigger issues together. Percaya lah, mau suami, mau istri, pasti punya annoying habits. Mas misalnya suka naruh kacamata sembarangan, sampai beberapa kali pernah keinjak olehku. Dia juga suka ngusilin aku dengan kentut sembarangan, plus sering lupa nutup kloset kamar mandi setelah digunakan. Kekeke.
Aku juga suka sebel setiap mas lupa mengembalikan tuas keran shower ke keran air biasa. Alhasil kepala dan bajuku sering basah kesiram air shower di atas pas lagi wudhu.
Hal yang paling bikin kesel adalah mas suka lupa tanggal dan momen penting kami, tapi dia selalu ingat setiap numerik dan detail angka perihal kerjaannya. Hari ini aja dia lupa ulang tahun pernikahan kita seperti dua tahun lalu. Hahaha. Lupanya nyaris 24 jam karena baru ngucapin malam hari. Finally, our anniversary starts like any other day.
How do I feel? Hurt, disappointed, angry, but I remain silence, menunggunya mengingat hari spesial ini dengan sendirinya. Kuakui, aku mungkin satu dari sekian banyak perempuan yang ‘hobi’ mengingat, khususnya momen penting kami sebagai pasangan, apakah itu hari ulang tahun, hari pertunangan, hari pernikahan, dan sebagainya.
Meski demikian, kecewaku pada mas gak bisa berlarut. Dia selalu punya kartu joker buat bisa bikin aku ketawa lagi dan lupa semua hal gak enak yang terjadi hari ini. Gimanapun, how he treats me for the rest of the year is far more important to me.
Malam ini dari Bandung sana, dia menyanyikanku Heart to Heart-nya James Blunt. Suara mas kalah jauh bagus dari penyanyi aslinya (kekeke), tapi cuma pas dia yang nyanyiin aku bisa nangis, terharu, deg-degan, plus tertawa lepas. Kapan terakhir dia kirimin aku rekaman suara kayak gini? Mungkin enam tahun lalu 😀
So, kesimpulannya, in the last five years, I have learned nothing can prepare you for how tough marriage is, but love will make it worthwhile. Cieee.
Selamat lima tahun pernikahan mas. Doaku semoga pernikahan kita terus tumbuh 6 tahun, 10 tahun, 50 tahun, 70 tahun ke depan hingga maut memisahkan. Doaku semoga aku bisa terus memperbaiki diri menjadi istri terbaik untukmu, mendukungmu, menyemangatimu, menghormati peranmu sebagai pelindung hidupku dan anak-anak kita.
Aku mau bilang, aku senang kamu membantuku mengekspresikan emosi dan perasaanku dengan cara lebih baik. Aku senang setiap kali kamu memberi tahu jika aku melebih-lebihkan masalah terlalu jauh. Aku senang setiap kamu mengingatkanku jika aku marah. Aku harap aku semakin bijak menerima masukan darimu, sehingga aku bisa menyelesaikan masalah satu per satu dengan lebih mudah.
Udah lima tahun ya mas? Aku sekarang ngerti banget arti dari lagu-lagu band jadul yang liriknya ngomongin soal cinta tanpa akhir, cinta tanpa syarat. Kupikir Dewa19, Tere, Katon Bagaskara, Kerispatih, Element, Sheila On 7 dan lainnya gak sekadar sok puitis atau hiperbola bikin lirik-lirik lagunya. Buktinya, tahun-tahun yang udah lewat sama sekali belum mengurangi cinta dan sayangku padamu (assedapppp). Justru cintaku makin nambah seiring bertambahnya berat badan kita.
Aku berterima kasih padamu, pada waktu, karena telah memberiku lebih banyak kesempatan mengenalmu dengan baik. Thank u for having given me so many happy years. You are the cheese to my macaroni. You are sugar to my tea. You are the best decision I ever made. Mmmuach!
Leave a Comment