Tahun 1981, Pak Usman memutuskan untuk mengubah nasibnya dengan mengikuti Program Transmigrasi yang diadakan oleh pemerintah, sebagai cikal bakal berkembangnya Desa Nusantara.
Ia berangkat dari Pulau Jawa menuju Air Sugihan, sebuah wilayah di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan.
Tujuannya sederhana: mencari kehidupan yang lebih baik. Namun, yang ia temui di sana jauh dari bayangan indah yang selama ini ia impikan.
Di kampung halamannya, Pak Usman terjebak dalam kondisi yang serba sulit. Tanah warisan keluarga yang ia miliki sangat sempit, dan jumlah ahli waris yang banyak membuat pembagian lahan semakin kecil.
Kalau pun dibagi, luasannya hanya 1-2 meter saja. Tak ada harapan untuk bisa menggarap tanah tersebut menjadi lahan yang produktif.
Ketika peluang untuk berubah datang lewat Program Transmigrasi, Pak Usman tak berpikir panjang. Mungkin, di tanah seberang, ia bisa menemukan kehidupan yang lebih layak.
Sayangnya, kedatangannya ke Sumatera untuk memperbaiki nasib ternyata tidaklah mudah. Bersama puluhan ribu transmigran lainnya, ia dihadapkan pada kenyataan pahit.
Rumah yang dijanjikan oleh pemerintah ternyata lebih mirip “tempat jin buang anak.” Tanpa akses jalan yang memadai, tanpa halaman, dan dengan bangunan yang hanya berupa rumah panggung, kondisi tersebut jauh dari yang diharapkan.
Ketika Pak Usman turun dari lantai rumah panggung, kakinya langsung menginjak genangan air. Rumah baru yang mereka dapatkan bahkan tak bisa memberikan kenyamanan dasar. Binatang pun enggan tinggal di sana, apalagi manusia.
Proyek Transmigrasi di Air Sugihan pada era Orde Baru (1981-1982) bisa dibilang hampir gagal total. Rawa gambut yang luas di sana hampir mustahil disulap menjadi lahan pertanian atau persawahan.
Tanah yang seharusnya subur justru menjadi lahan yang sulit untuk digarap, dan kehidupan yang dijanjikan tak kunjung datang. Bukan hanya Pak Usman, banyak transmigran lain yang merasakan kekecewaan serupa.
Meski menghadapi kenyataan pahit, Pak Usman tidak menyerah. Perlahan, ia mulai menanamkan harapan di tanah yang keras itu. Bersama para transmigran lainnya, ia mulai menggali potensi dari apa yang ada.
Desa Nusantara, tempat yang dulunya hampir tak ada harapan, mulai berkembang. Keuletan Pak Usman dan rekan-rekannya untuk bertahan dan terus berjuang di tanah yang keras itu akhirnya melahirkan sebuah kisah tentang bagaimana perjuangan dan keteguhan hati bisa membangun sebuah komunitas yang kuat.
Bangkit beradaptasi
Dua tahun pertama, Pak Usman hanya merenung dan meratap. Setiap harinya ia menjalani hidup dengan bergantung sepenuhnya pada pasokan ransum dari pemerintah. Setiap kali membuka paket bantuan, ada campuran rasa syukur dan keprihatinan yang muncul.
“Mula-mula masih cukup, tetapi kami tahu subsidi itu tak mungkin selamanya,” ujar Pak Usman saat berbagi cerita kepada kami, Eco-blogger Squad, Jumat lalu.
Hidup di Desa Nusantara memang tidak mudah. Penderitaan Pak Usman tidak hanya datang dari ketergantungan pada bantuan sosial, tetapi juga datang dari kegagalan bertani yang tak terhindarkan.
Hasil panen sawah mereka terus gagal, akibat berbagai tantangan yang datang silih berganti. Konflik dengan satwa liar, seperti gajah dan monyet yang sering memasuki ladang mereka, memperburuk keadaan.
Hama tikus dan babi juga tak kunjung reda, menyerang tanaman mereka hingga tidak ada yang tersisa untuk dipanen.
Sumber air bersih yang menjadi kebutuhan dasar juga sangat sulit didapatkan. Meski sudah menggali sumur dalam, air yang didapatkan tidak jauh berbeda dengan air gambut yang berwarna kecoklatan, hampir mirip teh.
Pak Usman dan seluruh warga desa terpaksa mengonsumsinya demi bertahan hidup. Namun, tak ada yang lebih mengerikan dari ingatan Pak Usman tentang kejadian kelam pada tahun 1982, yang tak pernah luput dari ingatannya. Saat itu, kematian begitu dekat dengan mereka.
Dalam satu hari saja, Pak Usman melihat banyak warga, teman-temannya sendiri, yang meregang nyawa karena kekurangan pangan, air yang terkontaminasi, serta penyakit yang ditularkan oleh hewan-hewan hama.
“Saya bersyukur bisa bertahan hidup,” kenangnya sambil berlinang air mata. Ia mengingat bagaimana penyakit menyebar begitu cepat, dan bagaimana hidup mereka yang sangat bergantung pada alam menjadi semakin sulit.
Kendati diterpa begitu banyak kesulitan, masyarakat Desa Nusantara tidak pernah menyerah. Mereka tetap berusaha untuk bertani, meskipun hasilnya sering kali tidak menentu.
Dalam beberapa tahun terakhir, luas lahan pertanian mereka berkembang pesat. Awalnya, hanya sekitar 10-20 meter persegi per kepala keluarga, kini luas area pertanian mereka mencapai 1.200 hektare. Ini adalah sebuah pencapaian besar yang tidak datang begitu saja.
Sekarang, 600 kepala keluarga bergotong royong mengelola lahan pertanian tersebut. Dari total luas yang ada, mereka bisa memanen hingga 3,7 ton beras per hektare.
Dengan hasil itu, Desa Nusantara berhasil menghasilkan Rp 30,8 miliar dari sektor pertanian pangan setiap tahun. Jika dibagi per kepala keluarga, setiap keluarga bisa menghasilkan sekitar Rp 41,4 juta dalam sekali panen.
Produksi beras yang cukup besar menjadikan Desa Nusantara bahkan mampu memenuhi kebutuhan beras untuk 41.509 jiwa per tahun.
Mereka kini memiliki 28 gudang beras dan penggilingan padi, yang menjadi andalan dalam menjaga kestabilan pasokan beras bagi warga desa.
Tidak hanya beras, Desa Nusantara juga kaya akan hasil bumi lainnya. Kopi liberica, nanas, nangka, buah naga, jeruk kunci, dan cabai rawit adalah beberapa produk unggulan yang dihasilkan. Beberapa warga juga berkebun karet dan beternak sapi serta kambing.
Selain itu, ada pula berbagai jenis ikan yang ditemukan di sana, seperti betok, gabus, lele, dan belut. Ikan-ikan ini datang begitu saja saat banjir melanda, menunjukkan betapa suburnya alam desa ini.
Sungguh, meskipun dihadapkan dengan banyak tantangan, masyarakat Desa Nusantara telah menunjukkan bahwa dengan semangat, kerja keras, dan keteguhan hati, mereka bisa bangkit dan sejahtera.
Mereka telah membuktikan bahwa meskipun alam kadang memberi cobaan, dengan keberanian dan usaha yang tak kenal lelah, mereka mampu menghadapi segala rintangan.
Desa Nusantara adalah bukti nyata bahwa kekuatan sejati sebuah masyarakat terletak pada ketahanan dan kebersamaan mereka.

Cobaan datang
Hidup memang tidak pernah lepas dari tantangan, dan di Desa Nusantara, tantangan itu terasa begitu nyata. Setiap hari, petani di Desa Nusantara harus berjuang untuk mendapatkan hasil yang layak dari tanah mereka.
Seringkali mereka harus menghadapi ketidakadilan yang datang dari orang-orang yang seharusnya mendukung mereka. Salah satu tantangan besar yang mereka hadapi adalah monopoli yang merugikan mereka.
Laporan dari Walhi Sumatra Selatan mengungkapkan bagaimana seorang penyuluh pertanian yang juga seorang warga desa, telah memanfaatkan posisinya untuk melakukan monopoli terhadap kebutuhan petani.
Pupuk dan pestisida, dua hal yang sangat penting bagi para petani, ternyata hanya bisa mereka dapatkan dari satu sumber: orang ini.
Bahkan seluruh gudang beras dan penggilingan padi di desa pun dikuasainya. Para petani, yang sangat bergantung pada bahan-bahan ini untuk bertani, tidak memiliki pilihan lain selain membeli darinya.
Dan yang lebih buruk lagi, sejak awal penanaman, mereka sudah terjebak dalam hutang kepada orang tersebut.
Tentu saja, ketergantungan ini semakin dalam. Saat petani ingin melunasi utang mereka, bukan uang yang diminta, melainkan bagian dari hasil padi mereka. Tak hanya itu, ia juga menginginkan sebagian hasil padi yang digiling di tempat penggilingannya.
Inilah bentuk monopoli yang benar-benar mengikat para petani, membuat mereka sulit untuk maju dan berkembang. Mereka bukan hanya terbelenggu dalam hutang, tetapi juga terjebak dalam sistem yang menekan dan merugikan mereka.
Tantangan yang dihadapi oleh petani Desa Nusantara tidak berhenti di situ. Pada tahun 2005, sebuah perusahaan sawit berinisial SAML, yang mendapat izin prinsip dari Bupati OKI, mengklaim tanah persawahan warga sebagai hak guna usaha (HGU).
Luasnya mencapai 42 ribu hektar yang tersebar di 18 desa, termasuk Desa Nusantara. Pada 2007, Forum Petani Nusantara Bersatu (FPNB) dibentuk sebagai respons terhadap klaim tanah ini.
Warga Desa Nusantara yang merasa tidak pernah mengambil tanah orang lain sejak pertama kali datang ke desa tersebut merasa sangat terkejut.
Mereka tidak pernah menerima tawaran pembayaran untuk pembebasan lahan tersebut dan menolak klaim dari perusahaan.
Mereka merasa tanah yang mereka kelola sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka sejak lama, dan mendadak ada pihak yang datang mengklaimnya begitu saja.
Masalah semakin memanas. Pada 2009, tiga petani Desa Nusantara, yaitu Sukirman, Syaiful, dan Tursiman, menjadi tersangka dalam pengaduan yang dilayangkan oleh perusahaan sawit tersebut.
Mereka dihadapkan pada ancaman hukum yang sangat berat, meskipun mereka hanya berjuang untuk mempertahankan tanah yang mereka kelola selama bertahun-tahun. Namun, semangat perjuangan warga Desa Nusantara tidak padam.
Mereka terus berjuang, kompak dan bersatu, melawan segala bentuk penindasan yang mereka hadapi. Hingga 2015, meski penuh perjuangan, mereka berhasil menghentikan langkah perusahaan tersebut, dan tanah mereka tetap di tangan mereka.
Perjuangan warga Desa Nusantara adalah contoh nyata bagaimana tantangan hidup tidak hanya datang dari kesulitan alam, tetapi juga dari kekuatan yang lebih besar yang berusaha merampas hak-hak mereka.
Meskipun dibayang-bayangi oleh monopoli dan klaim tanah yang tak sah, semangat dan persatuan warga Desa Nusantara telah membuktikan bahwa mereka tidak akan menyerah begitu saja.
Dalam setiap perjuangan, meskipun penuh rintangan, ada harapan bahwa keadilan akan tetap terjaga dan hak-hak mereka akan dilindungi.
Ancaman penyeragaman komoditas terjadi di desa
Belajar dari Desa Nusantara, kita bisa melihat ancaman penyeragaman komoditas yang semakin meluas di desa-desa Indonesia.
Salah satu dampak nyata yang kini sering ditemukan adalah konversi lahan yang sebelumnya merupakan areal hutan, gambut, sawah, atau ladang menjadi kebun kelapa sawit.
Di satu sisi, kelapa sawit memang telah menjadi komoditas yang menyumbang pendapatan nasional terbesar setelah sektor migas, di sisi lain, praktik konversi lahan ini seringkali mengabaikan kualitas lingkungan.
Kita tak bisa menutup mata bahwa banyak aktivitas yang berhubungan dengan perkebunan sawit yang justru merusak ekosistem lokal.
Proses pembukaan lahan yang sering menggunakan cara-cara yang merusak tanah, menghilangkan hutan, serta mengganggu keberagaman hayati telah menambah deretan masalah lingkungan di desa-desa.
Akibatnya, masyarakat lokal seringkali kehilangan akses terhadap lahan yang menjadi sumber hidup mereka. Padahal, tanah dan alam sekitar merupakan bagian penting dari identitas dan kesejahteraan mereka.
Salah satu langkah penting yang diambil oleh Walhi Sumatra Selatan untuk mengatasi masalah ini adalah dengan mendampingi masyarakat Desa Nusantara.
Direktur Eksekutif Walhi Sumatra Selatan, Yuliusman, menegaskan bahwa meskipun masyarakat Desa Nusantara telah berhasil mempertahankan wilayahnya dari ancaman konversi lahan, perjuangan mereka belum sepenuhnya selesai.
“Walhi ke depan akan membantu masyarakat memastikan ruang kelola itu selamat dan tetap terproteksi,” katanya.
Walhi berkomitmen untuk mendampingi desa-desa yang terancam agar tetap dapat mengelola wilayahnya dengan cara yang berkelanjutan dan berbasis pada kearifan lokal.
Salah satu pendekatan yang diusung oleh Walhi adalah dengan menerapkan Sustainable Land Use Planning (SLUP).
Ini adalah metode perencanaan wilayah yang menempatkan masyarakat adat atau masyarakat lokal sebagai perencana utama, bukan hanya sekedar penerima keputusan.
SLUP memungkinkan masyarakat untuk memiliki kontrol penuh atas perencanaan dan pengelolaan wilayah mereka, serta menjaga agar praktik pengelolaan lahan tetap berkelanjutan.
Desa Nusantara nantinya akan memiliki batas-batas wilayah yang telah dipetakan secara rinci, dengan mempertimbangkan potensi alam dan kebutuhan sosial-ekonomi masyarakat setempat.
Dengan adanya pendampingan ini, diharapkan desa-desa tidak hanya dapat bertahan, tetapi juga berkembang dengan cara yang menghargai keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan kelestarian alam.
Sebab, keberlanjutan hidup masyarakat desa sangat bergantung pada bagaimana mereka mengelola sumber daya alam yang ada.
Jika pengelolaan dilakukan dengan bijak dan berkelanjutan, desa dapat tetap menjaga ekosistemnya, sekaligus meningkatkan taraf hidup warganya tanpa harus merusak lingkungan.
Dana Nusantara dukung wilayah kelola rakyat
Dana Nusantara adalah program pendanaan yang dikembangkan oleh Walhi sejak 2022 dan telah diimplementasikan di 12 lokasi wilayah kelola rakyat. Tujuannya mendukung inisiatif komunitas dalam pengelolaan sumber daya berkelanjutan.
Manajer Pengembangan Potensi Rakyat Walhi Nasional, Adam Kurniawan menyayangkan pemerintah justru mau menyeragamkan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Izin konsesi bentang alam banyak diberikan pada perusahaan swasta, seperti pemegang izin tambang dan perkebunan besar.
Adam mencontohkan luasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 24 juta ha. Hal ini menyebabkan masyarakat adat dan komunitas lokal tersingkir dari ruangannya.
Apa saja manfaat implementasi Dana Nusantara di Indonesia?
1. Mendorong kemandirian komunitas lokal
Masyarakat Desa Nusantara memiliki alasan yang kuat dalam menolak kehadiran perusahaan sawit.
Bagi mereka, menjadi buruh harian di perkebunan sawit tidak sebanding dengan keuntungan yang bisa mereka dapatkan dari memanen padi.
Dalam sekali panen, setiap Kepala Keluarga (KK) bisa meraup hingga Rp 41,4 juta.
Selain keuntungan finansial, bertahan dengan bertani padi memberikan jaminan ketahanan pangan yang lebih stabil, karena mereka tetap dapat mengakses pangan di saat kondisi sulit atau paceklik.
Dengan cara ini, masyarakat Desa Nusantara tidak hanya menjaga kesejahteraan ekonomi, tetapi juga melindungi kemandirian pangan mereka.
2. Meningkatkan partisipasi komunitas lokal dalam pengelolaan sumber daya alam
Forum Petani Nusantara Bersatu di Desa Nusantara, yang hingga kini telah memiliki 700 anggota, berfungsi sebagai wadah yang menyatukan suara warga untuk memperjuangkan hak dan kesejahteraan mereka.
Meskipun awalnya dibentuk sebagai perlawanan terhadap perusahaan sawit yang merambah tanah mereka, forum ini kini berkembang menjadi kekuatan penting dalam membangun kesadaran dan partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam.
Desa Nusantara tidak hanya menjadi tempat tinggal, tetapi juga contoh nyata bagaimana komunitas bisa dilibatkan secara langsung dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi setiap kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan alam.
Masyarakat setempat memiliki peran yang sangat penting dalam merumuskan kebijakan lokal, mulai dari pemanfaatan lahan hingga pelestarian lingkungan, dengan prinsip keberlanjutan yang diutamakan.
Keberhasilan forum ini tidak hanya terlihat dari peningkatan kesejahteraan petani, tetapi juga dari munculnya rasa kebersamaan dan kekuatan kolektif dalam menghadapi tantangan.
Semangat gotong royong mereka berhasil menciptakan desa yang mandiri, berkelanjutan, dan berdaya saing, yang dapat menjadi contoh bagi banyak desa lainnya di Indonesia.
Forum Petani Nusantara Bersatu bukan hanya sekadar wadah, melainkan jantung dari perubahan sosial yang mendorong kemajuan berkelanjutan di desa mereka.
3. Membangun kesadaran komunitas lokal terhadap isu lingkungan
Isu kerusakan lingkungan bukanlah masalah yang terbatas pada satu wilayah saja. Ketika bencana alam atau degradasi lingkungan terjadi di Indonesia, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh negara kita, tetapi juga oleh seluruh dunia.
Kenaikan suhu permukaan bumi yang terus meningkat sebagian besar dipicu oleh aktivitas tak bertanggung jawab dari negara-negara besar di berbagai belahan dunia.
Polusi udara, deforestasi, dan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari industri besar tak mengenal batas negara.
Namun, di tengah tantangan besar ini, ada secercah harapan yang datang dari masyarakat adat dan komunitas lokal.
Walhi, sebagai lembaga yang mengusung wilayah kelola rakyat, selalu berkomitmen untuk mendukung upaya masyarakat lokal dalam memulihkan kembali sumber daya alam mereka. Salah satu contoh inspiratif adalah Desa Tanjung Aur di Bengkulu.
Dulunya, desa ini menghadapi masalah besar berupa lahan gundul yang rentan terhadap erosi dan bencana alam.
Berkat upaya gigih masyarakat setempat yang dibimbing oleh Walhi, desa ini berhasil menghutankan kembali wilayahnya dan menjadikannya sebagai contoh sukses pemulihan ekosistem.
Desa Tanjung Aur menunjukkan bahwa dengan kerjasama dan komitmen, masyarakat lokal bisa memainkan peran penting dalam menyelamatkan alam, memperbaiki kerusakan, dan menjaga warisan sumber daya alam untuk generasi mendatang.
4. Mewujudkan keberlanjutan pengelolaan sumber daya alam
Alokasi Dana Nusantara untuk komunitas-komunitas pengelola wilayah kelola rakyat merupakan langkah strategis yang dapat memberikan dampak berantai bagi keberlanjutan lingkungan dan masyarakat.
Dengan mendukung inisiatif pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan, dana ini membantu masyarakat setempat untuk mengelola dan memelihara ekosistem mereka dengan cara yang lebih efektif.
Hal ini tidak hanya bermanfaat bagi kelestarian alam, tetapi juga membuka peluang ekonomi yang berkelanjutan bagi komunitas.
Melalui pengelolaan yang bijaksana, masyarakat dapat menjaga keseimbangan alam dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, seperti deforestasi atau polusi.
Dana yang dialokasikan juga memberi kesempatan kepada masyarakat untuk lebih mandiri dalam mengelola sumber daya alam, sekaligus menciptakan sistem yang menguntungkan semua pihak, baik secara ekonomi maupun ekologis.
Dampak positif lainnya adalah meningkatnya kesadaran dan partisipasi aktif dari masyarakat dalam melestarikan alam, yang akhirnya akan menciptakan budaya konservasi yang lebih kuat.
Ketika masyarakat terlibat langsung dalam pengelolaan sumber daya alam, mereka menjadi lebih peduli terhadap kelangsungan hidup ekosistem dan sadar akan pentingnya menjaga warisan alam untuk generasi mendatang.
5. Meningkatkan partisipasi dan dukungan berbagai pihak
Implementasi program Dana Nusantara telah berhasil meningkatkan partisipasi dan dukungan dari berbagai pihak yang terlibat dalam upaya pelestarian lingkungan hidup.
Masyarakat, pemerintah, dan berbagai organisasi semakin sadar akan pentingnya menjaga kelestarian alam dan mengelola sumber daya alam secara bijaksana.
Keterlibatan multipihak ini menciptakan sinergi yang luar biasa, membuka peluang untuk kolaborasi yang lebih erat antara berbagai sektor, mulai dari komunitas lokal hingga organisasi global.
Tantangan besar masih ada di depan mata. Hak-hak rakyat, terutama yang berkaitan dengan tanah dan sumber daya alam, harus terus diperjuangkan.
Krisis agraria yang terjadi saat ini menyebabkan terjadinya monopoli dan penguasaan tanah oleh korporasi besar, baik itu milik negara, swasta, maupun multinasional.
Fenomena ini mengancam keberlanjutan hidup masyarakat yang bergantung pada tanah untuk bertani dan mencari nafkah.
Mau sampai kapan kita diam? Sudah saatnya kita bersatu dan bersuara lebih keras, memperjuangkan hak-hak rakyat dan lingkungan yang semakin terpinggirkan.
Dengan partisipasi aktif dari berbagai pihak, kita bisa mengubah arah kebijakan yang lebih pro-rakyat, memastikan bahwa kekayaan alam negeri ini dapat dikelola untuk kesejahteraan bersama, bukan hanya segelintir pihak.
Bersama, kita bisa menciptakan masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan seperti Desa Nusantara.
Leave a Comment