Sang Giri adalah antologi kedua Komunitas Rimbawan Menulis yang juga menjadi antologi ketujuh saya bersama teman-teman. Sejak menginisiasi komunitas ini akhir 2021 lalu, saya terinspirasi melahirkan karya-karya unik bersama rekan-rekan saya sesama alumni Fakultas Kehutanan IPB.
Dari judulnya saja, pembaca bisa menebak kalau buku ini berisi cerita-cerita pendakian. Ya, betul. Ada 30 kisah pendakian dari 30 pendaki yang dirangkum dalam satu buku setebal 254 halaman ini.
Blurb dan Identitas Buku Sang Giri
Pendakian bisa jadi sulit, tetapi itu adalah perjalanan beharga yang pernah dilakukan seorang rimbawan. Pendakian menantang mereka menemukan cadangan energi, kekuatan diri, dan pola pikir yang mungkin selama ini tak pernah bangkit seolah mati suri.
Ketika para rimbawan melangkah bersama melintas alam, merantai kekuatan mereka dengan genggaman tangan satu sama lain, hal simbolis terjadi. Mereka membangun kepercayaan, kekompakan, jiwa korsa, dan mengikat tali persahabatan sejati.
Buku ini mengisahkan perjalanan 30 rimbawan melakukan pendakian di berbagai pegunungan dan bentang alam Indonesia. Mereka tenggelam dalam keindahan alam dan melihat kehidupan dari perspektif berbeda layaknya tanjakan, belokan, turunan yang mereka lalui sepanjang perjalanan menuju Sang Giri.
- Judul buku: Sang Giri (Kumpulan Kisah Pendakian Rimbawan Petualang)
- Editor: Mutia Ramadhani
- Penyunting bahasa: Anida Lestari
- Korektor: Siti Julaeha
- Desain sampul: Mutia Ramadhani
- Sumber foto sampul: Ragil Satriyo Gumilang
- Penata isi: Alfyandi
- Jumlah halaman: 254 + 16 halaman romawi
- Edisi cetakan: 1 Agustus 2022
- Penerbit: IPB Press
Berikut adalah para penulis dan judul cerita masing-masing.
- Tersesat di Gunung Sumbing oleh Angga Aleksander
- Pendakian, Sebuah Perjalanan Kehidupan oleh Ardiansyah
- Puncak Pulau Buru dan Wisuda untuk Ibu oleh Arif Prasetyo
- Matra Tacit Knowledge di Tiga Puncak Tertinggi Jawa oleh Aswin Rahadian
- Srikandi di Wajah Sang Giri oleh Azizah Seiger
- Mendaki Suaka demi Sokola Rimba oleh Beatrix Gracella Pardede
- Perencanaan Makanan untuk Pendakian oleh Danu Prasetyawan
- Rumah Kedua Masa Remaja oleh Dera Syafrudin
- Terjebak di Gunung Salak oleh Dody Permana
- Sepasang Hati di Puncak Merpati oleh Doris Debora
- You’ll Never Hike Alone oleh Faradina Puspita Rivanisa
- Jangan Terusik karena Fisik oleh Ino Haryanti
- Jurai Semangat di Masurai oleh Irfan Kemal Putra
- Selusur Leang Pute di Bentala Maros oleh Irzal Fakhrozi
- Ceremai dalam Candu dan Rindu oleh Ivan Meidyana Ramdhan
- Rinjani di Rembang Petang oleh Isni Permatasari
- Merah Putih di Gunung Birah oleh Jadda Muthiah
- Eunoia Meru Agung oleh Juniar Prayogi
- Pendaki dalam Senandika oleh Khairul Umam Gunawan
- Sehari di Merbabu oleh Mokhamad Rifai
- Restu Orang Tua adalah Segalanya oleh Muhammad Maz’um Dahlan
- Menjemput Mimpi ke Marapi oleh Mutia Ramadhani
- Membasuh Peluh di Danau Gunung Tujuh oleh Nisa Qodriyanti
- Untung tak Hilang di Gunung Singgalang oleh Ragil Satriyo Gumilang
- Salak 1 Cukup 1 Kali oleh Rahmat Darmawan
- Demi Syal Rimpala oleh Shinta Oktavia Kusumah Dewi
- Mahameru dan Sejuta Aku oleh Sulistyo Ariebowo
- Pesona Ancala di Puncak Slamet, Sumbing, dan Sindoro oleh Tian Partiani
- Herping di Ketinggian Sibolangit oleh Welni Dwista Ningsih
- Senyum Fajar di Tepian Ranu Kumbolo oleh Yoki Putra Yolanda
Cerita favorit di Sang Giri
Sebagai editor, jujur, saya bingung ketika diminta tim memilih mana cerita favorit di antara 30 tulisan ini. Bagi saya, seluruh penulis menuangkan kisahnya dengan keunikan masing-masing.
Mereka boleh saja mendaki gunung yang sama, tetapi pengalaman yang mereka petik masing-masingnya berbeda. Pada buku Sang Giri ini, ada empat penulis berkisah tentang pendakian ke Semeru.
Tak perlu heran sebab Semeru memang gunung primadona para pendaki di Indonesia. Mahameru adalah puncak tertinggi Pulau Jawa, puncak tertinggi para dewa.
Semeru dengan sejuta mitos yang melatarbelakanginya bagaikan magnet yang menarik orang-orang dari penjuru daerah bahkan dunia untuk datang ke sana.
Aswin Rahadian dalam tulisannya Matra Tacit Knowledge di Tiga Puncak Tertinggi Jawa berkisah tentang pendakian ke tiga puncak tertinggi Jawa, salah satunya Semeru. Aswin sempat ingin menyerah menyelesaikan perjalanan terakhir setelah melalui Cemoro Tunggal.
Dia bahkan tertinggal paling belakang. Pada satu titik, Aswin berjumpa dengan seorang pendaki tak dikenal di kegelapan malam. Pendaki asing itu menyemangatinya untuk terus maju selangkah demi selangkah.
Aswin menyambung perjalanan dengan sisa tenaga. Dia fokus mengikuti jejak kaki pendaki asing itu dari belakang hingga tak terasa jejak itulah yang menuntunnya berhasil sampai di puncak. Anehnya, saat Aswin hendak berterima kasih pada teman barunya itu, pendaki asing tadi bagai hilang di hamparan pasir Mahameru yang tak begitu luas.
“3.676 mdpl, done!” ujar Aswin dalam hati.
Juniar Prayogi dalam tulisan berjudul Eunoia Meru Agung mendaki Semeru dalam kondisi fisik yang buruk. Dia sempat sakit saat hendak melakukan summit attack dini hari ke Mahameru.
Sayangnya, dia tak boleh terlihat lemah karena menjadi leader pendakian. Jun membawa empat orang rekan dan dua di antaranya memutuskan harus sampai ke puncak.
Saat itulah Jun berusaha menjaga intonasi suaranya tetap enerjik selama berkomunikasi. Dia percaya, mindset apa pun di kepala akan mengeluarkan vibrasi sama terhadap sekitar. Jun memutuskan tetap positif di momen kritis ini.
Sepanjang perjalanan menggapai Mahameru, Jun membayangkan dirinya sudah sampai di puncak. Eunoia membuat pikirannya menyusun skenario tentang hal yang akan dia lakukan sesampainya di sana.
Jun ingin berswafoto mengenakan kemeja biru dan dasi kesayangan berlatar belakang puncak gunung yang agung. Siapa sangka eunoia tersebut membawanya sampai tujuan.
Sulistyo Ariebowo lirih memanggil nama seorang gadis yang dia sukai saat melalui Tanjakan Cinta. Mitos yang berlaku di sana, pendaki yang bisa menyelesaikan jalur Tanjakan Cinta tanpa menoleh sekali pun ke belakang akan meraih cinta sejatinya kelak.
Bowo, demikian panggilan akrab penulis ikut tenggelam dalam mitos tersebut. Dalam salah satu bagian tulisan berjudul Mahameru dan Sejuta Aku, Bowo iseng mikir, mengapa dia hanya menyebut satu nama saja di Tanjakan Cinta? Bukankah lebih bagus jika dia menyebut lebih banyak nama?
Apabila cinta gadis pertama gagal diraih, masih ada nama kedua, ketiga hingga nama kesepuluh. Alhasil, Bowo menyebut 10 nama sepanjang perjalanan di Tanjakan Cinta.
Yoki Putra Yolanda dalam tulisan berjudul Senyum Fajar di Tepian Ranu Kumbolo sukses mendeskripsikan keindahan golden sunrise di tepian danau itu. Ranu Kumbolo adalah danau yang menjadi lokasi transit para pendaki sebelum melanjutkan perjalanan menuju Mahameru.
Letaknya di ketinggian 2.400 mdpl. Yoki dan teman-temannya menikmati keindahan matahari pagi yang muncul memerah samar di ufuk timur, di antara dua bukit di sana.
Itu baru empat cerita berbeda di Gunung Semeru. Masih ada 26 cerita lainnya yang pastinya bikin pembaca penasaran. Rasanya seperti kita membaca banyak buku yang dirangkum dalam satu jilid.
Beberapa keindahan gunung yang diceritakan penulis, antara lain Gunung Rinjani (Nusa Tenggara Barat), Gunung Masurai (Jambi), Gunung Singgalang dan Marapi (Sumatra Barat), Gunung Gede, Pangrango, Ceremai, dan Salak (Jawa Barat), Gunung Slamet, Sindoro, Sumbing (Jawa Tengah), Gunung Kapalatmada (Maluku) serta Gunung Birah (Kalimantan Selatan).
Pasti penasaran kan? Kalau kamu mau baca seluruh ceritanya silakan pesan bukunya ke nomor berikut atau beli versi e-booknya di link berikut.
Memaknai pendakian
Saya baru melakukan pendakian pertama saya sampai puncak sebuah gunung saat berusia 21 tahun. Tujuan saya waktu itu adalah Gunung Marapi.
Padahal, saya dibesarkan di Sumatra Barat, salah satu jalur ring of fire di Indonesia. Sumatra Barat memiliki 29 gunung yang tersebar di 19 kabupatan dan kota. Gunung tertinggi atau atap Sumatra Barat itu sendiri adalah Gunung Talamau (2.913 mdpl) yang jelas-jelas berada dekat rumah saya.
Lucu ya, kalau dipikir-pikir lagi. Namun, sejujurnya saya tidak tertarik harus mencapai puncak sebuah gunung. Inilah kenapa saya selalu menolak jika teman-teman mengajak saya nanjak sampai puncak.
Kendati demikian, saya sering mendaki gunung sampai ketinggian tertentu. Contohnya, Gunung Salak, Gunung Pangrango, termasuk Gunung Talamau.
Biasanya, saya menuju salah satu objek menarik di sana, seperti Air Terjun Puti Lenggogeni di Talamau, Telaga Biru di Gede, Curug Seribu dan Curug Pangeran di Salak.
Saya lebih senang disebut pegiat lintas alam. Saya tidak ada rencana khusus mendaki puncak Semeru, Jayawijaya, atau Himalaya. Saya hanya ingin menikmati dan memaknai setiap perjalanan pendakian, terlepas sampai puncak atau tidak.
Ada banyak makna dan pelajaran hidup bisa dipetik dengan mendaki gunung.
1. Manusia tak bisa hidup tanpa orang lain
Pendakian mengajarkan saya bahwa manusia tidak bisa berdiri sendiri. Setiap kali saya mendaki, saya merasa bersyukur dan berterima kasih pada pendaki-pendaki terdahulu yang telah membuka jalur pendakian ini sampai bisa diakses dengan baik oleh pendaki-pendaki setelah mereka, termasuk saya.
Pernah enggak kita membayangkan kita mendaki gunung yang belum ada jalur pendakiannya? Peluang tersesat amat tinggi. Jika itu terjadi, bisa apa kita? Apakah ilmu survival kita cukup?
Pendakian menjadi pengingat diri kita bahwa kita bisa menikmati perjalanan ini berkat orang lain, berkat kerja keras mereka yang mendaki lebih dahulu dari kita.
2. Kadang, diam itu emas.
Saya suka keheningan dan ketenangan di jalan setapak kosong sepanjang jalur pendakian. Itu mengingatkan saya bahwa kadang, diam itu emas.
Pendakian adalah ajang bagi saya merenung dan mengenali diri lebih dalam. Saat mendaki Marapi, saya merenungi perjuangan saya menamatkan pendidikan di Fakultas Kehutanan IPB dahulu.
Banyak yang bilang, kuliah di IPB itu susah masuk dan susah keluar. Ada kalanya saya ingin menyerah, khususnya saat semester kedua di mana nilai saya sempat jeblok.
Namun, saya terbayang lagi wajah ayah, ibu, dan adik saya. Sebagai anak pertama dalam keluarga, saya adalah role model mereka. Jika saya gagal, mereka akan malu, mereka akan kecewa, dan adik saya juga tak lagi mempunyai kebanggaan akan kakaknya.
Pendakian ke Marapi membuat saya bangkit dan menyelesaikan kelulusan dengan capaian terbaik.
3. Kita bisa mencapai tujuan jika bersungguh-sungguh
Orang-orang mempunyai dua pilihan saat mendaki gunung, yaitu mencapai puncak atau cukup di kaki bukitnya saja. Kita harus tahu dahulu apa yang kita mau.
Jika kita memang ingin mencapai puncak, kita butuh ketekunan dan kesungguhan. Kita tak boleh menyerah menapaki ketinggian itu selangkah demi selangkah.
Ketika pendakian mulai terasa sulit, istirahat sejenak. Namun, jangan menyerah. Ingat lagi tujuan awal kita, yaitu puncak dan teruslah berjalan sampai tak ada lagi bukit yang harus kita daki.
4. Hidup sederhana jauh lebih baik
Pendaki yang bijak hanya membawa barang-barang yang dia butuhkan saat mendaki gunung. Pendakian mengajarkan kita hidup sederhana.
Bayangkan jika seluruh barang kita bawah, percayalah, kita tak akan pernah sampai ke puncak. Kalau pun kita sampai ke puncak, waktunya tentu lebih lama dari pendaki yang membawa barang seperlunya.
Saat pendaki bermalam dan melakukan misi terakhir perjalanan ke puncak, mereka biasanya meninggalkan barang bawaan di tenda sekitar cadas. Mereka hanya membawa air minum, obat-obatan, dan makanan ringan dalam tas kecil. Makin ringan beban di punggung, makin cepat mereka menyelesaikan perjalanan.
5. Hati-hati melangkah
Saat mendaki, setiap langkah kita beharga. Kita harus fokus menjejakkan kaki dengan saksama. Salah langkah bisa berakibat fatal.
Perjalanan summit attack ke Semeru dari Arcopodo kurang dari 1 km, tetapi waktu tempuhnya bisa mencapai 3-4 jam. Itu karena puncak Semeru berupa onggokan pasir yang labil.
Satu langkah maju diganjar 3-5 langkah mundur. Jika tak sabar, jika tak memadu langkah, Mahameru hanya sekadar impian.
Lama pendaki boleh berada di puncak Semeru hanya sekejap. Mereka harus turun sebelum jam 9.30 WIB jika tak ingin menghirup racun dari kawah di sebelah tenggara.
Pendakian sama dengan perjalanan kehidupan. Inilah pesan Ardiansyah dalam tulisannya berjudul Pendakian, Sebuah Perjalanan Kehidupan.
Pendakian kadang terasa sulit. Namun, kita tetap harus mengencangkan tali sepatu, menarik napas panjang, memantapkan tujuan karena setiap langkah pasti sepadan dengan hasilnya.
Saat kita menanjak, godaan menyerah begitu kuat. Namun, ingat, jalan menurun sama berisiko dengan jalan menanjak. Menyerah memang mudah, tetapi pendaki yang tidak tekun melalui tebing-tebing curam itu, melawan hawa dingin itu, meraih puncak tertinggi itu, maka dia akan kehilangan berkah Tuhan yang luar biasa.
Hati-hatilah melangkah. Jika lelah, istirahatlah, tetapi jangan pernah menyerah.
6. Mendakilah, maka kamu bisa melakukan apa saja dalam hidup.
Secara teknis, mungkin kalimat keenam saya ini tidak selalu benar. Namun, ini bisa menjadi mantra yang memotivasi saya tiap menghadapi kerikil kehidupan.
Bisa menjejakkan kaki di puncak tertinggi, gunung apa pun itu, adalah sebuah pencapaian fisik, mental, dan emosional yang mengesankan. Ini mengingatkan saya bahwa tidak ada mimpi yang mustahil selama kita mau berusaha keras mewujudkannya.
Go climb a mountain. You’ll love it.
Leave a Comment