Apa yang muncul di benakmu tentang hutan Indonesia pada 1987? Tampaknya rimba kita masih betul-betul perawan kala itu. Katakanlah, masih banyak sisi hutan belum terjamah. Belantara yang penuh kicauan burung dan suara orangutan bersahutan, bukannya suara alat berat merengsek masuk membuldoser, membakar, mengeksploitasi setiap inci mineral berharga, atau menebangi kayu-kayu gagah yang tadinya berdiri megah.
Itulah yang terjadi 34 tahun lalu, ketika dua mahasiswi Institut Pertanian Bogor (IPB) mengemas ransel mereka dan siap bertualang sebagai venturer sebuah ekspedisi global bernama Operation Raleigh 10F di Taman Nasional Manusela, Seram.
Mirza Dikari Kusrini (Miki) dan Jeni Shannaz (Nene) bersama lebih dari 150 orang dari berbagai negara mengarungi perjalanan panjang yang menghancurkan kaki di belantara Manusela. Rekan satu fakultas sekaligus sahabat sekardus alias teman satu kamar kost itu berjumpa dengan makanan-makanan aneh, berinteraksi dengan orang dari berbagai latar belakang budaya, bahkan berhadapan dengan tragedi yang merenggut dan mengancam nyawa dua rekan mereka yang menjadi peserta ekspedisi.
Miki dan Nene kembali menuliskan kenangan itu dalam sebuah buku. Mereka mendapat persahabatan yang tulus dengan masyarakat setempat dan kesetiakawanan yang tak lekang oleh waktu.
- Judul buku: Bukan Carita Parlente (Kisah Operation Raleigh 10F di Taman Nasional Manusela, Seram)
- Penulis: Mirza Dikari Kusrini dan Jeni Shannaz
- Ilustrator: Alienda M Fauzia
- Penyunting bahasa: Aditya Dwi Gumelar dan Kania Gita Lestari
- Desain sampul: Syra Adinda
- Jumlah halaman: 374 halaman
- Dimensi buku: berat 500 gram, panjang 23 cm, lebar 15 cm
- Cetakan: 1 September 2021
- Penerbit: PT Penerbit IPB Press
- Nomor ISBN: 978-623-256-820-4
- Genre: Kisah perjalanan/ petualangan (non-fiksi)
- Harga: Rp 175 ribu
Profil dan Catatan Penulis
Kotak-kotak berdebu di sudut gudang itu perlu dibersihkan. Terbukanya kotak-kotak itu menghamburkan berbagai ingatan seiring dengan ditemukannya buku harian, foto-foto, surat-surat, dan kliping.
Beberapa kali jari-jari tertegun memegang kertas-kertas itu. Pandangan mata lalu menerawang pada suatu masa. Ingatan kisah yang telah lampau. Saat perjalanan kaki berjam-jam dengan ransel yang beratnya hampir separuh massa tubuh bukan masalah besar. Memasuki hutan belantara dengan berbagai satwa liar yang tidak dikenal dihadapi dengan gairah menyala.
Pada beberapa bagian, kertas-kertas pada buku harian itu sudah menguning. Buku-buku harian ini bukan buku istimewa. Ada yang berupa buku tulis sekolah yang tipis, atau sekadar buku notes. Beberapa tulisan yang tertera di atasnya buram dan samar, terutama tulisan yang menggunakan pensil tipis. Perlu upaya khusus membacanya. Tidak ada jalan lain, kertas-kertas itu difoto dan dipindai, lalu diperbesar. Lekukan-lekukan tulisan tipis itu tidak bisa menyembunyikan adukan emosi yang terbaca. Rasa lelah, frustasi, kemarahan, ketakutan, kesedihan, kebahagiaan, gairah petualangan, campur aduk menjadi satu.
Empat windu lebih sudah berlalu dari kisah perjalanan itu. Perlahan, ingatan ini mulai terkuak. Teman-teman seperjalanan lalu berbagi kisah. Mereka lalu membongkar catatan lama. Kertas-kertas kliping koran memuat kisah mereka yang disimpan orang tua yang kangen. Laporan perjalanan bagi sponsor yang telah menguning dan dimakan rayap. Para senior yang menyiapkan kegiatan juga berbagi pengalaman, entah lewat tuturan langsung mau pun melalui tulisan di whatsapp group. Tulisan-tulisan lama dari berbagai majalah dan koran dikumpulkan.
Taman Nasional Manusela di Seram, Maluku adalah hutan hujan tropis yang hingga saat ini bisa dikatakan jarang dikunjungi orang luar. Dengan gunung-gunung tinggi dan lembah yang curam, Taman Nasional Manusela adalah tantangan fisik dan mental bagi pengunjungnya. Anak-anak muda dari berbagai negara tanpa rasa takut menjelajahi setiap sudut di dalamnya atas nama sebuah ekspedisi.
Ini adalah kisah Operation Raleigh 10F di Taman Nasional Manusela, Seram di tahun 1987. Serpihan kenangan yang dirajut bersama berbagai pelaku dari Indonesia, mulai dari panitia yang memungkinkan kegiatan ini berjalan sampai para penjelah muda. Buku ini adalah penanda tentang para penjelajah muda Indonesia bertahun lampau.
Mirza Dikari Kusrini, biasa dipanggil Miki saat mengikuti ekspedisi ini merupakan mahasiswi semester enam di Fakultas Perikanan IPB, sekaligus anggota pecinta alam Lawalata IPB. Selama Operation Raleigh 10F berlangsung, Miki menjadi venturer di bidang kesehatan masyarakat bersama Noorman Herryadi dkk, community development di Desa Manusela dan penelitian anggrek bersama Margareth Dickson.
Miki sama sekali tidak memiliki ketertarikan dengan ular selama di Seram, walaupun pernah berjalan bersama anggota tim ular di sekitar Solea. Siapa sangka dalam pekerjaannya kini, Miki dekat dengan reptil dan amfibi. Dosen di Fakultas Kehutanan IPB ini dikenal sebagai ahli ekologi satwa liar dengan fokus herpetologi.
Saya pribadi pernah menjadi mahasiswi beliau medio 2005-2008. Ibu Miki di mata saya dosen yang sangat humble, dekat dengan mahasiswa, tapi sangat disiplin. Bimbingan beliau tahu lah bagaimana beliau di poin terakhir ini.
Laboratorium dan ruangan Bu Miki selalu ramai oleh mahasiswa, terutama anak-anak Phyton, Kelompok Pemerhati Herpetofauna (KPH) di bawah Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekowisata (Himakova).
Meskipun saya berada di grup lain, yaitu Kelompok Pemerhati Burung (KPB) Perenjak, tapi saya sangat mengidolakan Ibu Miki. Apalagi Ibu Miki juga bersahabat dengan Ibu Yeni, pembina saya di KPB.
Anak-anak Perenjak dan anak-anak Phyton sering berangkat ke lapangan bareng, entah itu dalam bentuk pelatihan anggota, praktikum, atau ekspedisi tahunan bernama Surili (Studi Konservasi Lingkungan). Kami di lapangan sering berseloroh, anak Perenjak sama anak Phyton itu gak bakal bisa bersatu. Soalnya dunia anak-anak burung itu pagi hari, sedangkan dunia anak-anak reptil dan amfibi itu malam hari.
Di saat anak-anak burung berangkat pengamatan, anak-anak herpet (sebutan kami untuk KPH Phyton) masih tertidur lelap dalam tenda. Demikian juga di saat anak-anak herpet pengamatan, anak-anak burung sudah mimpi indah. Namun, pada kenyataannya enggak tuh. Banyak anak Perenjak dan Phyton yang berakhir di pelaminan, termasuk dua sahabat sekelas saya di Angkatan-42.
Jeni Shannaz, biasa dipanggil Nene juga mahasiswa semester enam di Fakultas Perikanan IPB. Nene gemar berolah raga dan menjadi anggota tim basket putri IPB. Dia juga menggeluti bela diri karate, menyelam, dan hiking.
Selama Operation Raleigh 10F, Nene menjadi venturer untuk penelitian ngengat, community development di Desa Manusela dan penelitian moluska mangrove bersama Yanti Irmawati di Pasahari. Bisa mengunjungi Pulau Seram, berinteraksi dengan penduduk setempat, juga orang-orang dari berbagai kebangsaan sungguh merupakan pengalaman tak terlupakan bagi Nene.
Nene akhirnya paham bahwa warna kulit tidak menjadikan status seseorang lebih tinggi dari orang lainnya. Pertemanan dengan para venturer, peneliti, dan panitia Operation Raleigh 10F merupakan network berharga dalam menunjang karier Nene, berkegiatan, dan bekerja.
Setelah empat tahun bekerja di sektor perbankan, Nene berlabuh di bidang pelestarian alam yang memang menjadi minatnya sejak SD. Nene pernah menulis tiga buku mengenai Panduan Patroli Jalak Bali di Taman Nasional Bali Barat. Burung-Burung Terancam Punah di Indonesia, dan Teknik Pengamatan Burung saat bekerja di Birdlife International.
Saat ini Nene bekerja di Yayasan Gibbon Indonesia, Yayasan Penyelamatan Orangutan Sintang, dan Yayasan Masarang dengan fokus bidang organizational development. Nene juga menjadi relawan di Yayasan Alumni Peduli IPB (YAPI) untuk membantu adik-adik kelasnya yang tidak mampu untuk tetap bisa melanjutkan pendidikan.
Apa Itu Operation Raleigh?
Operation Raleigh adalah ekspedisi keliling dunia yang diprakarsai Pangeran Charles dari Inggris. Ekspedisi ini pertama kali dimulai pada 1984 dan dicanangkan sebagai kegiatan empat tahunan.
Tujuannya mengikutsertakan empat ribu anak muda usia 17-24 tahun dari berbagai negara yang separuhnya berasal dari Inggris. Mereka disebut venturer (penjelajah) dan dilibatkan dalam berbagai proyek petualangan menantang di bidang sains dan pengembangan masyarakat.
Nama ekspedisi ini diambil dari nama seorang tokoh di zaman Ratu Elizabeth I, yaitu Sir Walter Raleigh. Dia adalah penulis, penyair, tentara, politisi, punggawa, mata-mata, dan penjelajah. Raleigh berperan penting dalam kolonisasi Inggris di Amerika Utara. Dia diberikan paten kerajaan untuk menjelajahi Virginia, membuka jalan bagi pemukim asal Inggris.
Raleigh juga berlayar ke Amerika Selatan untuk mencari Kota Emas El Dorado. Meski kisah hidupnya tragis, mati dipancung karena dianggap berkhianat, masyarakat Inggris tetap mengenang Raleigh sebagai salah satu penjelajah besar yang mengharumkan nama bangsa mereka.
Operation Raleigh terdiri dari 16 fase di mana satu fasenya berlangsung tiga bulan. Indonesia menjadi tuan rumah kegiatan ini selama dua fase, yaitu 10F dan 11E yang dilaksanakan di dalam dan sekitar Taman Nasional Manusela, Seram.
Mengapa Manusela?
Emil Salim yang menjabat sebagai Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup pada masa itu mengatakan Pulau Seram dipilih sebagai lokasi Operation Raleigh karena satu-satunya daratan yang dilalui Garis Wallacea.
Ketika SMP kita belajar Geografi, di situ dijelaskan, Garis Wallace adalah garis yang memisahkan wilayah geografi hewan Asia dan Australasia. Ada lagi Garis Weber, yaitu garis yang memisahkan flora dan fauna di Indonesia menjadi tipe asiatis dan tipe australia.
Nah, Garis Wallace dan Weber ini digunakan sebagai dasar pemisah penyebaran flora dan fauna di Indonesia. Inilah kenapa Pulau Seram dinilai paling cocok, karena flora dan faunanya unik, juga hutan hujan tropisnya yang ditemukan mulai dari dataran rendah sampai tinggi.
Erna Witoelar didapuk menjadi Ketua Operation Raleigh Indonesia. Beliau dulunya Ketua Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), merekrut anggota dari mulut ke mulut hingga akhirnya terbentuk kepanitiaan.
Hal pertama yang mereka lakukan adalah penjajagan ke Pulau Seram yang dilakukan tiga senior pecinta alam Indonesia. Baru tahap penjajagan saja, saya baca buku ini udah nyaris sesak napas.
Perjalanan ke Pulau Seram era 80-an tak semudah sekarang. Dari Ambon, mereka menuju Masohi, di Barat Pantai Selatan Seram. Dari Masohi, mereka menuju Tehoru naik kapal kecil yang membawa tong minyak, mengarungi lautan yang arusnya ekstrem. Perahu mereka bahkan sempat terbalik dan mereka berjuang menyelamatkan diri beserta peralatan penting, khususnya kamera.
Di Tehoru, tim berkenalan dengan Bapa Raja Tehoru yang kelak membantu banyak di lapangan. Barulah mereka bisa masuk ke Taman Nasional Manusela. Tim sempat berkenalan dengan Suku Hualu yang masih menganut animisme.
Tidak mudah mengatur kepanitiaan dan merekrut venturer untuk Operation Raleigh 10F. Kegiatan ini diikuti 200 relawan dari 14 negara, yaitu Inggris, Indonesia, Amerika Serikat, Australia, Bahama, Belanda, Prancis, Hong Kong, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Singapura, dan Switzerland.
Perekrutan petualang muda Indonesia dibagi kedalam rekrutmen Jawa dan Kalimantan, Ambon, dan Bali. Miki dan Nene dua di antaranya. Anggota termuda dari Indonesia masih berusia 17 tahun dan baru lulus SMP bernama Rarte Bayu Wardoyo.
Calon-calon venturer ini mengikuti tes fisik, wawancara, dan tes psikologi. Tes fisiknya berat, yaitu lari dan renang. Nantinya mereka akan ditempatkan di dua basecamp berbeda, yaitu Solea dan Kanikeh.
Setelah resmi dinyatakan lulus, para venturer mengikuti kegiatan pembekalan dan orientasi di Cibubur, seperti:
- Pelatihan survival dan perlengkapan perjalanan
- Pelatihan navigasi darat
- Pelatihan kesehatan perjalanan dan pertolongan gawat darurat (P3K)
- Community development dan participatory action research, mulai dari pengolahan makanan dan hasil bumi, budidaya dan teknik pertanian, pengolahan hasil hutan, teknologi tepat guna, dan sebagainya.
- Pelatihan caving, rock climbing, dan diving.
- Pelajaran bahasa inggris
- Penelitian botani
- Penelitian zoologi
- Penelitian sosiologi
- Pelatihan kesehatan masyarakat (Posyandu)
Operation Raleigh 10F bukan ekspedisi biasa. Ini bukan sekadar ajang anak-anak mapala ngumpul, trus hiking, masuk hutan, atau naik gunung. Mereka melakukan penelitian ilmiah dan pengembangan masyarakat bersama para venturer asing dari negara-negara berbeda.
Petualangan Dimulai!
Hari yang dinanti tiba. Pada 15 Juli 1987, sebanyak 200 relawan, terdiri dari venturer, peneliti, panitia lokal, dan wartawan berlayar ke Pulau Seram. Mereka menaiki KM Rinjani, milik Pelni.
Perjalanan ke Pulau Seram memakan waktu empat hari. Kapal relawan berhenti di tiga Pelabuhan berbeda, yaitu Surabaya, Ujung Pandang (Makassar), dan Bau-Bau, sebelum akhirnya berlabuh di Kota Ambon pada 19 Juli 1987.
Relawan masih melanjutkan perjalanan dengan kapal yang lebih kecil menuju Seram. Mereka berlayar 14 jam dalam kondisi laut lebih ekstrem dibanding saat menaiki KM Rinjani. Beberapa venturer mabuk laut parah.
Sesampainya di Seram, relawan dibagi menjadi dua tim besar. Tim besar pertama diberangkatkan ke Basecamp Solea, sedangkan tim besar kedua diberangkatkan ke Basecamp Kanikeh. Ada lagi dua basecamp tambahan untuk memudahkan pergerakan venturer di dalam taman nasional, yaitu Basecamp Manusela dan Basecamp Sawai.
Bukan Carita Parlente mengisahkah bagaimana perjuangan para venturer, berjalan kaki puluhan kilometer sambil menyandang ransel berisi penuh. Taman Nasional Manusela jalurnya kerap melewati sungai yang berkelok. Kaki basah, bau, lecet, keseleo, dan terkilir umum terjadi dalam kondisi ini.
Hidup di tengah hutan tanpa ada desa membuat para venturer bukan saja pintar tidur di tengah rimba, tapi juga membiasakan diri buang air kecil dan buang air besar di mana saja. Tidak perlu WC, cukup di balik semak, pohon, atau batu besar, ya asal tidak kelihatan sama teman.
Miki bahkan pernah mengalami diare. Kebayang kan, bagaimana dosen kesayangan saya ini sebentar-sebentar melipir ke pinggir nyari tempat aman buat ‘nongkrong.’ Untung saja ada persediaan Imodium yang dijamin ces pleng mengatasi diare (noted: bukan iklan).
Saya terkagum-kagum membaca halaman demi halaman buku ini. Para petualang muda ini masuk hutan tanpa GPS dan tanpa peta. Saya masih ingat ketika 2007 ekspedisi ke Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung di Pangkep, kami sempat tersesat di hutan lantaran terobsesi mengejar Si Julang, burung yang menjadi maskot Sulawesi.
Padahal waktu itu kami pakai GPS loh. Untung saja di tengah perjalanan kami bertemu dengan anak-anak Sarpedon, Kelompok Pemerhati Kupu-Kupu (KPK) yang mengarahkan kami jalan pulang. Makanya saya salut sama venturer Operation Raleigh 10F yang bisa dibilang ‘jarang’ kesasar.
Ngomongin soal kesasar, Miki, Oki, dan Nazir pernah ‘hilang’ sekali di Solea. Untuk hal ini, tipsnya adalah jangan panik. Miki dan teman-temannya memutuskan berhenti ketika tak kunjung menemukan jalan yang benar.
Mereka menghibur diri dengan berenang, sambil tidur-tiduran di pinggir sungai, keluarin sleeping mat dan sarung, sambil ngemil. Teorinya adalah nanti pasti ada yang mencari. Nah, benar juga, akhirnya ada beberapa rekan berhasil menemukan mereka, ya meski pun dapat bonus omelan.
Nene bersama rekannya, Jopi juga sempat kesasar di Solea. Mereka memotong jalan setelah berkali-kali keluar masuk sungai, sampai hari menjelang senja dan tak kunjung menemukan jalan.
Panik? Pastilah, tapi tidak boleh terus-terusan. Sepanjang perjalanan Jopi tak hentinya bernyanyi menghibur Nene yang tampak letih. Mereka kembali menyusuri sungai, meski tanpa senter. Sungguh menyulitkan. Alhamdulillah akhirnya mereka selamat dan sukses kembali ke basecamp.
Buku ini sangat deskriptif. Miki dan Nene menuliskannya begitu terperinci. Saat menceritakan desa-desa enclave di Taman Nasional Manusela misalnya, lengkap dengan budaya dan kearifan lokal masyarakatnya. Saya terbawa seolah saya masuk ke buku itu dan menjadi venturer di masa itu.
Pada beberapa halaman disisipkan foto-foto penunjang, lengkap dengan catatan Miki dan Nene yang masih ditulis tangan, berikut infografisnya yang sederhana.
Buku ini sepintas serius dan deskriptif, tapi makin ke tengah, makin banyak cerita lucu yang saya baca. Salah satu yang membuat saya terpingkal-pingkal adalah cerita tanah dan batu oleh para peneliti tanah dan geologi.
Tim sudah capek membuat jalur transek gila-gilaan, mulai dari dataran rendah sampai puncak gunung. Mereka ambil semua sampel tanah dan batu di sana.
Nah, sampel-sampel tanah dan batu ini mereka serahkan ke porter yang merupakan masyarakat lokal untuk dibawa. Ketika penelitian dan pengambilan sampel selesai, lalu mereka kembali ke laboratorium sederhana di basecamp, begitu tim membuka ransel, isinya kosong.
Rupanya para porter berpikir, buat apa mengangkut tanah dan batu? Toh di dekat desa juga banyak tanah dan batu. Lantas, semua sampel batu dan tanah yang sudah dikumpulkan peneliti, mulai dari hutan dataran rendah sampai puncak gunung tadi dibuang di tengah jalan oleh porter.
Nangis? Saya rasa pastilah ada venturer nangis. Hahaha. Namun, mereka tak punya pilihan. Ya ulangi saja penelitian dan pengambilan sampelnya. Gitu aja kok repot.
Ada juga cerita seorang bapak warga sana yang diwawancarai tim dokter. Mereka mendapat jawaban yang tak disangka-sangka.
- Dokter: Punya anak berapa?
- Bapak: Tinggal dua
- Dokter: Kenapa?
- Bapak: Sudah mati
- Dokter: Mati kenapa?
- Bapak: Ah, kepanah.
- Dokter: Kena panah siapa?
- Bapak: Saya
Wakwawwwww. Sampai sini saya gak tahu harus nangis atau meringis. Polos sekali jawabannya paaaaaak.
Dapatkan kisah-kisah unik dari peneliti Indonesia mulai dari halaman 170 buku ini.
Mungkin dari tadi yang membaca ulasan saya ini bertanya-tanya, kenapa judul bukunya Bukan Carita Parlente?
Jawabannya baru saya temukan di halaman 147, diceritakan oleh Rudyanto dan Rahman S Adi, dua venturer Indonesia. Saat itu mereka kerap berkomunikasi dengan Bapa Raja Kanikeh selaku tetua dan pemimpin masyarakat di basecamp tempat mereka menetap sementara.
Jadi, Bukan Carita Parlente bisa diartikan Bukan Cerita Bohongan. Yup, buku ini memang bukan buku fiksi. Semua yang dituliskan Miki dan Nene dalam buku ini adalah cerita riil mereka di lapangan.
Negeri Pelangi dan Penyanyi
Masyarakat desa di pedalaman Seram dikenal suka sekali bernyanyi. Sampai di sini saya teringat mendiang penyanyi Glenn Fredly.
Pada beberapa halaman, Miki dan Nene menyisipkan syair-syair lagu nan indah yang sering dinyanyikan masyarakat. Setiap ada kesempatan, orang-orang Seram akan menyanyikan lagu-lagu ciptaan mereka, diiringi petikan gitar.
Setiap ada acara besar, masyarakat pasti mengadakan pesta dansa dansi yang mereka sebut wayase. Mereka yang mengikuti pesta ini harus cukup umur dan harus bersepatu. Jika tidak, silakan mengintip saja dari luar.
Berdansa dan bernyanyi adalah dua kegiatan untuk mendekatkan diri dengan penduduk. Dari sinilah para venturer mengumpulkan informasi terkait penelitian mereka.
Desa Manusela yang menjadi basecamp peneliti Indonesia terletak di jantung taman nasional. Membaca catatan buku harian Ibu Miki di atas, saya sangat iri pada beliau karena setiap hari bisa melihat pelangi.
Cahaya pelangi di Manusela bahkan tetap menyeruak di antara kabut tebal, membuat suasana di sana bagaikan berada di Negeri Mimpi.
Desa Manusela memang berada di pelosok, tapi perayaan Hari Kemerdekaan RI di sana tak kalah khidmat dengan di kota. Para venturer Indonesia tak ketinggalan merayakannya dengan berbagai kegiatan, mulai dari pertandingan sepak bola, lomba hela rotan (seperti tarik tambang), lomba makan kasbi (makanan tradisional Maluku terbuat dari singkong), lomba menggambar, hingga lomba menyanyi dan menari.
Malam perayaan Hari Kemerdekaan RI di Manusela ditutup dengan api unggun. Venturer melebur bersama masyarakat menarikan Mako-Mako, tarian tradisional Seram yang ditarikan dengan melingkar beramai-ramai sambil menyanyikan pantun sejarah mereka.
Good Bye, Paul!
Kisah kecelakaan Paul Claxton (25 tahun), fotografer Operation Raleigh dan Ashley Hyett (23 tahun) dari Inggris menjadi cerita terkelam ekspedisi ini. Paul ditemukan meninggal dunia, sedangkan Ashley bertahan beberapa hari di puncak Gunung Binaia sebelum kemudian ditemukan selamat dalam kondisi cukup parah.
Paul dan Ashley awalnya berniat memotret matahari terbit (sunrise) dari puncak Gunung Binaia (3.019 m) yang merupakan gunung tertinggi di Pulau Seram. Mereka ingin melengkapi portofolio fotografi kegiatan Operation Raleigh.
Matahari belum lama beranjak menyinari Bumi ketika Paul dan Ashley meninggalkan Camp III menuju Binaia pada 15 Agustus 1987. Sehari sebelumnya Paul meninggalkan Basecamp Kanikeh menapaki jalur pendakian seorang diri.
Paul sempat tak mendapat izin Bapa Raja Kanikeh untuk mendaki karena akan ada perayaan Hari Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1987. Desa Kanikeh sampai saat ini menjadi desa terakhir sebelum mendaki Gunung Binaia.
Biasanya setiap pendaki Gunung Binaia harus didampingi pemandu lokal sebagai ‘pemilik tempat.’ Paul melanggar kesepakatan itu dan memutuskan berangkat seorang diri. Padahal Steve Oliver, penanggung jawab Flying Camp Binaia sempat menulis surat kepada peneliti ngengat di Camp III yang isinya permohonan tenaga pemandu untuk Paul. Sayangnya surat tersebut tidak disampaikan oleh yang bersangkutan.
Paul berjumpa tim peneliti ngengat di tengah perjalanan. Tim yang dipimpin Dr Jeremy Holloway itu sedang perjalanan turun. Lagi-lagi, Dr Jeremy tidak ‘merestui’ Paul ke puncak seorang diri.
Paul kemudian mengajak Ashley yang baru selesai bertugas di tim tersebut untuk menjadi relawan pembawa makanan. Ashley menyanggupi, kemudian keduanya melanjutkan pendakian.
Perjalanan ke Puncak Binaia sangat menantang lantaran jalan setapak yang ada sering sekali tertutup. Pendaki kira-kira membutuhkan sembilan jam untuk mencapai puncak dari Desa Kanikeh. Mereka melewati hutan tropis dengan kanopi rapat dan semak belukar, kemudian beralih menjadi hutan montana, hutan subalpin, dan hutan alpin mendekati puncak.
Paul dan Ashley pada 15 Agustus 1987 tersebut memutuskan menginap di puncak untuk menunggu matahari terbit. Keesokan harinya usai mengambil gambar keduanya turun.
Sayangnya kabut tebal meliputi Puncak Binaia saat Paul dan Ashley turun pada 16 Agustus 1987. Jarak pandang mereka terbatas dan tanpa sadar keduanya melenceng dari jalur sesungguhnya.
Paul dan Ashley malah mengikuti jalur rusa dan hilang arah. Jalur rusa sepintas memang menyerupai jalan setapak di jalur pendakian. Bedanya adalah jalur rusa lebih curam dan pastinya arahnya tidak menuntun mereka kembali ke Desa Kanikeh.
Paul dan Ashley sempat memutuskan kembali ke atas untuk memantapkan posisi. Mereka mengikuti dasar sungai kering, tapi malah tiba di jurang yang kian curam, dan harus naik ke atas tebing yang kemiringannya nyaris mendekati garis vertikal.
Dalam usaha menapaki tebing jurang itulah pijakan Paul runtuh dan pegangan tangannya terlepas. Tubuhnya meluncur ke bawah jurang.
“Saya kehilangan pegangan!” adalah teriakan terakhir Paul yang didengar Ashley. Ashley sempat berteriak memanggil nama Paul, tapi nasibnya tak jauh berbeda. Pegangannya lepas dan tubuhnya meluncur ke jurang, terguling, hingga terjatuh beberapa meter di bawah posisi Paul.
Di tempat terpisah, para venturer, panitia, dan penduduk di Seram merayakan Hari Kemerdekaan RI ke-42. Tidak banyak yang tahu bahwa pada saat sama Basecamp Kanikeh tengah diselimuti kekhawatiran karena dua peserta belum kembali ke basecamp.
Tim inti Operation Raleigh merasa keterlambatan Paul dan Ashley selama satu hari belum dianggap perlu melakukan pencarian, sebab sering kali setelah itu peneliti dan venturer akan melapor sendiri. Barulah pada 18 Agustus 1987 tim melakukan pencarian.
Hal menarik perhatian saya di sini adalah tekad Ilham dan Lody dari tim panitia Operation Raleigh Indonesia yang hendak membantu pencarian Paul dan Ashley, tapi ditentang tim panitia Operation Raleigh International. Alasannya keduanya dianggap tidak punya kompetensi karena tidak mengantongi sertifikat SAR internasional.
Akhirnya Ilham dan Lody memutuskan ‘jalan sendiri’ dengan mengajak rekan mereka, Tay Soo Jin dari Singapura dan beberapa pemburu dari desa. Hebatnya tiga venturer inilah yang pada akhirnya menemukan jasad Paul dan menyelamatkan Ashley yang sekarat.
Ashley menggantung di teras tebing dalam kondisi hidup, tapi terluka parah. Kepala dan kakinya yang robek telah dihinggapi belatung. Hutan yang masih perawan hanya memungkinkan Ashley dievakuasi dengan tandu. Minggu, 23 Agustus 1987, jenazah Paul sampai di Desa Kanikeh
Keberhasilan tim Operation Raleigh Indonesia mengevakuasi jenazah Paul dan Ashley membuat malu tim internasional. Mereka merasa bersalah telah menganggap remeh tim SAR Indonesia. Permohonan maaf itu disampaikan langsung oleh Kapten Chris Kendall dari Inggris.
Kisah Paul dan Ashley waktu itu diliput berbagai media, nasional dan asing. Kompas, bahkan Majalah Tempo menuliskannya dalam edisi khusus.
Penutup
Saya ingin berterima kasih pada Ibu Miki dan Ibu Nene yang telah menuliskan buku ini dengan begitu apik. Saya sangat menikmatinya tanpa ingin meloncati satu halaman pun.
Saya menyelesaikan buku ini selama enam minggu setelah menerimanya 15 September lalu. Waktu yang cukup lama untuk membaca mengingat aktivitas saya mengasuh tiga balita yang salah satunya istimewa di rumah.
Bukan Carita Parlente benar-benar paket komplet. Miki dan Nene bukan hanya menceritakan kisah mereka selama di Taman Nasional Manusela, tetapi juga kejadian setelah itu, bagaimana mereka dan venturer lainnya melanjutkan hidup setelah Seram.
Ada bagian khusus, refleksi Operation Raleigh 10F dari kacamata venturer-venturer Indonesia yang mengikutinya, panitia yang all-out, dan bagaimana Seram menjadikan mereka sosok-sosok tangguh.
Miki dan Nene juga tak segan menuliskan sisi lain yang kurang enak, seperti kegagalan peneliti Indonesia memanfaatkan kesempatan dalam ekspedisi global ini, koneksi antarbangsa yang rapuh, dan hilangnya sejumlah dokumentasi berharga.
Never regret. If it’s good, it’s wonderful. If it’s bad, it’s experience. Throw away the bad experience, but save the lesson. Membaca bagian-bagian yang mengecewakan itu, saya merasa seperti Ibu Miki sedang berada di hadapan saya, mengajarkan saya pengalaman hidup yang berharga. Terima kasih Ibu Miki dan Ibu Nene.
Ulasan saya ini baru sebagian kecil dari kisah-kisah menarik Operation Raleigh 10F. Ada 374 halaman menunggu untuk dibaca. Kamu gak harus berlatar belakang pecinta alam atau petualang muda untuk menikmati buku ini. Kamu gak harus mahasiswa biologi atau kehutanan untuk membaca buku ini.
Tertarik? Silakan kunjungi website IPB Press dan dapatkan buku Bukan Carita Parlente di sana. Terima kasih sudah membaca. Silakan berbagi kesan pesan di kolom komentar ya temans.
Leave a Comment