Banyak orang bilang, tak ada tempat yang lebih baik dan lebih aman selain di rumah sendiri. Pernyataan ini rupanya tak selalu benar.
Ketika Covid-19 menyebar di Indonesia, pemerintah pusat mengeluarkan berbagai kebijakan ketat, mulai dari pembatasan sosial berskala besar (PSBB) hingga berubah namanya menjadi pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Selama itu pula masyarakat kita harus tinggal di rumah supaya tetap aman dari virus.
Namun, sadarkah kita? Kondisi ini menempatkan sebagian orang, khususnya perempuan dan anak-anak pada bahaya lebih besar hingga berisiko mematikan, seperti kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Bagi banyak perempuan, ancaman terbesar justru muncul dari tempat yang seharusnya paling aman buat mereka, yaitu di rumah sendiri. Memang benar, PSBB atau PPKM bisa menekan angka penyebaran Covid-19, tetapi di sisi lain bisa menjebak perempuan ‘terpaksa’ tinggal bersama pasangan hidup yang kasar.
Pada 18 Juni 2021, seorang pria bernama I Made Maranada (34 tahun) membunuh istrinya, Ni Luh Putu Russiani (24 tahun) di garasi mobil. Warga Banjar Sibang, Desa Jagapati, Abiansemal, Kabupaten Badung, Provinsi Bali itu ternyata stres semenjak menjadi pengangguran usai dirumahkan alias PHK akibat pandemi Covid-19.
Maranada dan istrinya kerap cekcok mulut karena hal tersebut. Hal memilukan, ibu kandung Maranada sempat menyaksikan bagaimana putranya membantai menantunya.
Di tempat terpisah, pria berinisial AH (30 tahun), warga Desa Sepaso Barat, Bengalon, Kutai Timur tega membunuh istri dan anaknya yang masih balita pada 13 Juni 2021. Motif pelaku stres karena terlilit utang, sehingga melampiaskan emosinya kepada anak dan istri di kebun belakang rumahnya.
Seorang perempuan yang merupakan tenaga medis sebuah rumah sakit di Depok dirudapaksa oleh pria yang belum lama dikenalnya lewat aplikasi pencari jodoh. Pelaku memaksa korban meminum minuman keras dan melakukan perbuatan bejatnya, kemudian meninggalkan korban dalam kondisi tak sadarkan diri. Peristiwa itu terjadi di tengah pandemi Covid-19, yaitu 23 Mei 2020.
Jauh sebelum pandemi Covid-19 menghampiri negara kita, kondisi perempuan Indonesia sudah banyak yang berada di lingkaran kekerasan. Pandemi dua tahun terakhir memperburuk kondisi tersebut, sehingga wajar apabila PBB menyebut kekerasan terhadap perempuan pada masa ini sebagai pandemi bayangan atau shadow pandemic.
Perhatian dunia saat ini fokus pada penanggulangan Covid-19. Selama itu pula muncul berbagai faktor yang terkesan ‘melanggengkan’ kekerasan terhadap perempuan.
Tinggal di rumah selama pandemi memperparah mekanisme pelaku kekerasan seksual untuk mengisolasi perempuan yang menjadi korban. Pengangguran, ketidakstabilan ekonomi, dan stres memicu pelaku kehilangan kendali diri, yang pada gilirannya memperburuk perilaku kasar mereka terhadap istri, atau pasangan hidup yang belum menikah.
Pada saat sama, perempuan sebagai korban terhambat mengakses berbagai layanan penting untuk menyelamatkan jiwa mereka, entah itu bantuan hukum, layanan medis, layanan konseling, atau mencari tempat perlindungan.
Penyebab merebaknya shadow pandemic berupa kekerasan terhadap perempuan selama badai Covid-19 bukanlah virus itu sendiri, bukan melulu krisis ekonomi yang diakibatkannya. Berikut adalah penyebab sesungguhnya.
1. Ketidakadilan gender
Ketidakadilan gender berbeda dengan perbedaan gender. Kalau kita bicara perbedaan gender, maka perbedaan gender itu bisa menyebabkan berbagai ketidakadilan, bisa terhadap laki-laki, bisa juga terhadap perempuan.
Kalau kita bicara tentang ketidakadilan gender, maka secara khusus kita membahas pembatasan peran, pembatasan pemikiran, dan perbedaan perlakuan yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran atas pengakuan hak asasi perempuan atau persamaan hak antara perempuan dan laki-laki.
Perempuan memiliki beban ganda. Ini bisa menjadi salah satu bentuk ketidakadilan gender.
Beban kerja perempuan itu majemuk, tapi mereka sering kali tidak dihargai dan usaha mereka kerap dipandang sebelah mata.
Perempuan yang sudah berstatus istri dari seorang laki-laki berperan mengurusi rumah tangga. Dia memastikan suami dan anak-anaknya dalam keadaan baik. Dia melahirkan, menyusui, mengasuh anak saat suami bekerja. Belum lagi kalau perempuan itu sendiri ikut menjadi tulang punggung keluarga.
2. Budaya patriarki yang masih mengakar
Budaya patriarki sudah dipraktikkan masyarakat Indonesia sejak zaman Kolonial Belanda. Ini menyebabkan ketimpangan dan ketidaksetaraan gender yang mendorong kekerasan seksual terhadap perempuan.
Singkat cerita, kekerasan seksual terhadap perempuan karena faktor patriarki ini sudah terjadi secara sistemik.
Budaya patriarki adalah kondisi sosial di mana otoritas dipegang dan didominasi kaum laki-laki. Kalau kita pernah melihat di rumah, ayah sebagai kepala keluarga selalu menjadi pengambil keputusan tunggal, tanpa mempertimbangkan pendapat ibu, maka itu contoh budaya patriarki.
Coba kita perhatikan iklan-iklan di TV, di YouTube, di media sosial, di mana pun. Perempuan seringnya digambarkan sebagai sosok yang hanya peduli pada penampilan, sosok yang mengurus anak dan suami, sosok yang mengerjakan pekerjaan rumah, seperti memasak, bersih-bersih, mencuci baju, dan sebagainya. Tontonan-tontonan seperti itu secara tidak sadar kian menyuburkan budaya patriarki di Indonesia.
Pernah tidak kita melihat iklan deterjen di mana yang mencuci baju adalah bapak-bapak? Pernah tidak kita melihat iklan susu anak di mana si bapak yang menyeduhkan susu tersebut untuk buah hatinya? Jawabannya, TIDAK.
Wajar toh, budaya patriarki masih tertanam kuat di tengah masyarakat kita yang mengaku modern. Seandainya RA Kartini masih hidup, saya yakin beliau menangis melihat kenyataan ini.
3. Norma sosial yang menempatkan perempuan di posisi salah (victim blaming)
Banyak perempuan Indonesia yang menjadi korban kekerasan atau pelecehan seksual, tapi posisinya disalahkan (victim blaming).
Mengapa perempuan kerap disalahkan atas segalanya?
Ketika perempuan langsing berparas cantik dirudapaksa atau diperkosa, dia kemungkinan besar akan disalahkan karena terlalu tampil menarik. Sebagian besar masyarakat kita menganggap pemerkosa hanya menyerang perempuan yang menarik dan seksi.
Ketika perempuan dengan kelebihan berat badan dirudapaksa, dia kemungkinan besar akan disalahkan karena terlalu jelek dan gemuk, sukar menyelamatkan diri, sehingga hanya bisa pasrah pada pelaku. Perempuan yang terancam kesuciannya seharusnya menolak dengan keras, mencoba melarikan diri, atau minimal berteriak minta tolong.
Norma sosial yang berlaku di masyarakat kita seolah terus menyasar perempuan dan anak perempuan sampai menemukan ada yang salah dengan mereka, atau ada sesuatu yang mereka lakukan salah, sehingga bisa ‘menjelaskan’ mengapa mereka dirudapaksa, dianiaya, atau bahkan dibunuh.
4. Stereotipe gender
Stereotipe didasarkan pada asumsi, mitos, dan sebagainya yang berasal dari budaya di masyarakat, terutama yang terkait dengan seksualitas perempuan.
Contoh paling menyedihkan buat saya, ketika terjadi kehamilan di luar nikah karena perempuan dirudapaksa oleh laki-laki yang menjadi pelakunya, oknum polisi menganggap kedua pasangan sebaiknya berdamai. Pelaku dan korban dinikahkan demi menjaga aib keluarga.
Persepsi ini muncul karena oknum polisi masih berkaca pada mitos kehamilan anak perempuan di luar nikah adalah persoalan keluarga yang sebaiknya diselesaikan secara kekeluargaan, bukan secara hukum. Padahal di banyak negara, kasus-kasus seperti ini dikategorikan kriminal.
Persepsi ini menurut saya sangat fatal. Bagaimana bisa perempuan dipaksa menikah dengan orang yang telah merudapaksanya?
Contoh kedua, masih banyak masyarakat kita menganggap suami diperbolehkan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk mendisiplinkan istrinya, apabila sang istri tidak menjalankan perannya dengan baik dan tidak patuh kepada suaminya.
Contoh terakhir, perempuan harus perawan saat dinikahi. Masyarakat umum menyimpulkan perempuan yang tidak perawan saat menikah cenderung sudah pernah berhubungan seksual di luar nikah.
Pada peringatan Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2021, Komisi Nasional (Komnas) Perempuan merilis catatan tahunan yang menyoroti masih tingginya kekerasan terhadap perempuan, terutama di ranah domestic sepanjang pandemic Covid-19.
Hasilnya, DKI Jakarta menjadi provinsi dengan kasus KDRT tertinggi sebanyak 2.461 kasus. Berikutnya Jawa Barat (1.011 kasus), Jawa Timur (687 kasus), Bali (612 kasus), dan Jawa Tengah (409 kasus).
Kekerasan di ranah domestik atau personal mencapai 6.480 kasus atau 79 persen, sedangkan kekerasan di ranah publik atau komunitas mencapai 1.731 kasus atau 21 persen.
Data di atas masih berupa puncak gunung es dari persoalan kekerasan terhadap perempuan. Fakta di lapangan pasti jauh lebih banyak dibanding data yang dihimpun dengan mengandalkan jumlah korban yang melapor atau disurvei lembaga.
5. Diskriminasi terhadap perempuan
Perempuan Indonesia masih berada dalam pusaran diskriminasi dan intoleransi yang memicu kekerasan terhadap mereka. Karena saya Muslim, saya mengutip firman Allah SWT dalam Al-Quran Surah An-Naml ayat 23.
“Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.”
Perempuan yang Allah SWT maksud itu adalah Ratu Balqis. Sepanjang kepemimpinannya, Ratu Balqis membawa rakyatnya pada kemakmuran dan ketenteraman. Melalui ayat ini Allah menegaskan posisi perempuan yang mampu menjadi pemimpin ketika dia memiliki kapasitas dan kapabilitas.
Ini Allah yang bicara loh. Mengapa masyarakat kita malah cenderung melakukan hal sebaliknya?
Tahun lalu (2020) saya sempat melihat cuplikan konferensi virtual Menteri Luar Negeri RI, Ibu Retno Marsudi dengan menteri luar negeri perempuan dari delapan negara. Mereka membahas diskriminasi terhadap perempuan saat pandemi Covid-19.
Perempuan-perempuan tangguh ini mengupas habis kendala yang dihadapi perempuan mulai dari sisi ekonomi, layanan kesehatan, sampai ke ranah stimulus pemerintah. Padahal Organisasi Kependudukan PBB (UNFPA) dan UN Women menunjukkan peran perempuan dalam menanggulangi Covid-19 sangat signifikan.
Fakta pertama, 70 persen tenaga medis di dunia adalah perempuan. Sebanyak 64 persen pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di Indonesia adalah perempuan dan 60 persen dari UMKM yang memproduksi ‘senjata’ untuk memerangi Covid, seperti cairan pembersih tangan, baju hazmat, dan masker di negara ini dimiliki perempuan.
Pertanyaan untuk kita semua, berapa banyak sih perempuan yang terjun langsung menjadi bagian dari pengambil keputusan atau penyusun kebijakan dalam Gugus Tugas Covid-19? Selain walikota atau gubernur perempuan, bisa dihitung dengan jari jumlah perempuan yang dilibatkan dalam hal ini.
Minimnya kehadiran perempuan dalam Gugus Tugas Covid-19 secara nasional menjadikan negara ini kurang peka dan kurang sensitif terhadap masalah-masalah yang dihadapi perempuan di masa pandemi, salah satunya kekerasan seksual terhadap perempuan.
Kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan adalah pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi hampir setiap hari di seluruh dunia, bahkan semakin meningkat di masa pandemi ini. Data UN-Women menunjukkan satu dari tiga perempuan di dunia mengalami kekerasan fisik atau seksual yang sebagian besar dilakukan pasangannya.
Bagaimana cara kita bisa turut serta mengakhiri kekerasan terhadap perempuan selama pandemi Covid-19 ini?
1. Dukung para penyintas kekerasan seksual
Penyintas adalah mereka yang pernah mengalami pelecehan seksual dan bertahan hidup sampai hari ini. Beri ruang dan dukungan bagi para penyintas ini untuk berbicara lebih luas.
Percayai mereka sepenuhnya, tanpa menempatkan mereka dalam posisi terpojok. Kita semua bertugas memberi mereka kesempatan untuk berbicara dan didengar.
2. Pelajari tanda-tanda kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan
Kita semua harus tahu berbagai bentuk kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan. Jenisnya mulai dari kekerasan fisik, kekerasan verbal, dan perilaku yang membuat tidak nyaman dan emosional.
Ini diperlukan jika sewaktu-waktu ada kerabat, teman, sahabat, kenalan, atau kita sendiri mengalaminya. Jika kita merasa itu indikasi kekerasan seksual atau pelecehan, yakinlah kita tidak sendiri. Banyak bantuan tersedia.
Berikut beberapa tanda kekerasan dan pelecehan seksual yang umum terjadi pada perempuan.
- Laki-laki menyakiti perempuan secara fisik, seperti menampar, memukul, menendang, mendorong, meninju, menggigit, bahkan mengancam perempuan dengan senjata.
- Laki-laki memaksakan aktivitas seksualnya tanpa meminta persetujuan pasangan.
- Laki-laki menghina penampilan perempuan, meremehkan kesenangannya, merendahkan kecerdasannya, dan mempermalukan di depan umum.
- Laki-laki yang cemburu buta terus menerus menuduh perempuannya berselingkuh.
- Laki-laki bersikeras mengetahui kata sandi untuk mengakses media sosial, email, dan akun penting pasangannya.
- Laki-laki emosi karena pasangannya terlambat membalas chat, email, SMS, atau mengangkat panggilan telepon.
- Laki-laki ingin selalu tahu posisi perempuannya di mana setiap saat.
- Dan lain-lain.
3. Ajari anak-anak kita tentang gender
Mumpung pandemi dan kita memiliki waktu lebih banyak 24 jam bersama anak di rumah, kita bisa menyisipkan pendidikan gender untuk mereka.
Sedini mungkin anak-anak kita perlu mengetahui hak-hak anak perempuan yang sama dengan anak laki-laki. Mereka perlu belajar tentang penerimaan, tidak membeda-bedakan gender berdasarkan stereotipe masyarakat tradisional.
Ketika kita melakukannya, itu sama artinya kita membangun masa depan lebih baik untuk generasi akan datang.
4. Berani bersuara dan bersikap
Berani bersuara dan bersikap di sini contohnya bukan meminta pelaku pemerkosa menikahi korbannya ya. Salah besar itu.
Yang namanya kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan itu bukan cuma di ranah domestik, tapi bisa terjadi di ranah umum, seperti ruang publik dan tempat kerja.
Ada banyak bentuk kekerasan dan pelecehan di ruang publik, salah satunya catcalling. Ini bentuknya bisa berupa siulan, panggilan, dan komentar seksis dari laki-laki kepada perempuan.
Kita harus berani mengambil sikap dengan menegur pelaku kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi semua orang. Pelaku harus merefleksikan perilakunya sendiri.
Caranya pelaku meminta maaf langsung pada korban, atau meminta maaf di depan umum. Kalo kita merasa tidak aman dan nyaman, kita bisa meminta bantuan pihak lain, misalnya kepolisian, lembaga bantuan hukum (LBH), dan Komnas Perempuan.
5. Berkontribusi untuk organisasi wanita di Indonesia
Saat ini banyak organisasi, lembaga, dan komunitas lokal yang memberdayakan perempuan. Mereka menjadi penyambung lidah perempuan yang termarginalkan, memperkuat suara mereka, mendukung para penyintas kekerasan seksual, dan mempromosikan kesetaraan gender di berbagai kesempatan.
Kita bisa berdonasi untuk organisasi, lembaga, dan komunitas tersebut.
6. Cari bantuan profesional
Kita bisa mencarikan bantuan profesional untuk tempat teman kita atau kenalan kita berbagi kekhawatiran. Beri tahu mereka bahwa kita ingin membantu. Hormati privasi mereka untuk menyetujui atau tidak menyetujui ide kita.
Para perempuan yang menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual sering kali berurusan dengan perasaan malu, stigma negatif, dan rasa tidak nyaman dengan diri mereka sendiri. Saat meminta bantuan profesional, sebagian dari mereka ingin identitasnya dirahasiakan.
Saat ini banyak aplikasi atau platform yang menjadi sahabat bagi perempuan berbagi apa saja, termasuk persoalan penanganan kasus kekerasan seksual. Salah satu yang saya rekomendasikan adalah Female in Action (FIA).
Female in Action adalah startup pertama yang menghadirkan kemudahan akses pembelajaran karier dan skill lain untuk pengembangan diri perempuan muda. Platform ini juga mengampanyekan Women Support Women untuk kemajuan perempuan muda di Indonesia, khususnya yang berusia 18-30 tahun (generasi milenial), masyarakat perkotaan kelas menengah, berstatus sebagai pelajar, mahasiswa, pekerja muda, dan mereka yang aktif mengembangkan diri melalui platform online.
Female in Action (FIA) atau PT Karya Perempuan Indonesia adalah platform perempuan muda Indonesia yang berkomitmen menjadi sahabat dalam berbagi pengetahuan, pengalaman demi mencapai versi terbaik dirinya dalam hal mimpi, karier, dan ambisi. Gambaran lengkap platform ini secara keseluruhan bisa kita ketahui melalui website FIA.
Tim FIA Care berisi para profesional yang siap membantu perempuan muda Indonesia yang menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual, serta menjamin privacy mereka.
Fitur Aplikasi FIA
September lalu Female in Action meluncurkan aplikasi FIA bernama FIA Apps yang bisa diakses gratis di Play Store dan App Store. Aplikasi ini sudah diunduh kurang lebih 500 pengguna di seluruh Indonesia.
Berikut penjelasan singkat mengenai fitur-fitur yang terdapat dalam FIA Apps.
1. FIA Coaching
Fitur ini membantu perempuan muda Indonesia mengembangkan diri lebih fleksibel. FIA menghubungkan mereka dengan berbagai coach di bidang karier dan skill dunia kerja melalui sistem one on one chatting.
Materinya mulai dari seputar leadership, self branding, time management, financial planning, digital dan teknologi, domunikasi, design thinking, enterpreneurship, talent and creativity, hingga career preparation. Pengguna akan menerima kurikulum, e-book, dan sertifikat.
2. FIA Care
Fitur ini menjadi wadah pelaporan kekerasan pada perempuan. Para penyintas kekerasan seksual akan terhubung langsung dengan konselor-konselor berpengalaman dan kerahasiaannya terjaga.
Korban dan para penyintas kekerasan seksual cukup membuka aplikasi dan memilih fitur FIA Care. Nantinya kita akan diarahkan mengisi data diri dan kronologi singkat tentang kekerasan yang dialami. Setelah itu kita tinggal klik LAPORKAN. Tunggu Tim FIA Care menghubungi kita.
3. FIA Consultation
Fitur ini fokus pada kesehatan mental dan manajemen emosi perempuan muda. Pengguna akan terhubung dengan jutaan psikolog Indonesia dengan sistem one on one chatting dan e-book.
Materinya mulai dari seputar leadership, self branding, time management, financial planning, digital dan teknologi, domunikasi, design thinking, enterpreneurship, talent and creativity, hingga career preparation.
Setelah kita masuk ke fitur ini, kita akan disajikan daftar profil para konsultan yang kompeten di bidangnya. Kita tinggal pilih namanya dan beli paketnya, ada yang harian, mingguan, dan bulanan.
- Paket harian (daily) dibanderol dengan tarif Rp 50 ribu per 45 menit atau satu kali coaching. Jam konsultasinya sudah tertera dan kita pilih sesuai waktu yang bisa kita alokasikan.
- Paket mingguan (weekly) dibanderol dengan tarif Rp 150 ribu untuk empat kali coaching. Aksesnya dibuka sepanjang jam kerja.
- Paket bulanan (monthly) dibanderol dengan tarif Rp 500 ribu untuk 10 kali coaching. Tanggalnya ditentukan dan open akses sepanjang jam kerja.
4. FIA Events
Fitur ini menyediakan berbagai kelas online, training, seminar, dan sebagainya. Semuanya akan menambah wawasan dan skill para pengguna supaya menjadi expert sesuai passion yang dimiliki.
5. Emotional tracker
Ini salah satu fitur unggulan yang masih menjalani riset supaya bisa dinikmati lebih banyak perempuan Indonesia. Fitur ini berfungsi untuk mengenali diri dan emosi lebih mendalam. Pengguna akan mendapatkan banyak afirmasi positif yang bisa menunjang aktivitas.
Visi FIA adalah menjadi platform startup pemberdayaan pertama di Indonesia yang mendukung penuh mimpi dan ambisi perempuan muda untuk mencapai versi terbaik dirinya dalam berkarir, memimpin, dan memberikan inspirasi kepada orang lain lewat kemajuan teknologi dan inovasi.
Keuntungan atau profit yang diterima FIA akan dialokasikan untuk penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Inilah alasan FIA menjadi solusi cerdas untuk memajukan perempuan Indonesia di masa depan.
Leave a Comment