Ini adalah tulisan terpanjang sekaligus kisah paling sedih yang hendak saya ceritakan. Tadinya saya berharap tulisan ini selesai 23 Juli 2020, bertepatan dengan Hari Anak Nasional. Namun, kondisi yang saya hadapi kali ini tak memungkinkan, sehingga saya baru menyelesaikannya sehari kemudian.
Saya yakin tak semua orang tua bisa menerima kenyataan bahwa anak kesayangannya didiagnosa menderita gangguan spektrum autisme (GSA). Ya, salah satu anak saya mengalaminya.
Saya memberanikan diri menulis ini dengan harapan ibu-ibu lain di luar sana yang mungkin merasa berada di posisi saya bisa mengintervensi anak-anaknya sedini mungkin. Berani untuk menyadari ada yang berbeda dari anak kita. Berani mengambil sikap tanggap begitu ada indikasi keterlambatan tumbuh kembang anak kita.
Jangan terus berlindung di balik kalimat, “Semua anak punya waktunya masing-masing.” Betul, kalimat ini ada betulnya. Namun, yang namanya waktu ada batasnya. Waktu tak pernah berjalan mundur. Jangan sampai kita menyesal di kemudian hari.
Saya berharap mendapat kekuatan lebih dari kalian semua yang membaca, sekaligus memohon doa untuk kesembuhan anak saya.
Juli 2020, pertama kalinya saya merasa Allah memberikan ujian terberat dalam hidup saya. Dokter menyatakan salah satu putera kembar saya, Rashif mengalami autisme ringan level-1.
Mau itu autisme ringan atau berat, di mata saya ini adalah penyakit serius.
Orang tua mana yang tak sedih anaknya divonis GSA? Melihatnya demam pascaimunisasi saja hati saya sedih, apalagi dokter mendiagnosanya autis?
Anak saya sakit, tapi sakit kali ini bukan sakit seperti dia jatuh dan lecet ketika bermain kejar-kejaran bersama kakaknya. Tidak pula sama dengan sakit demam setelah dia diimunisasi.
Dua minggu pertama di awal Juli, Rashif menunjukkan gejala berbeda. Dia sulit tidur di malam hari. Rashif terbangun setiap dua jam, tantrum, dan selalu ingin digendong.
Saya pikir bayi 1,5 tahun saya itu sedang growth spurt, tapi rasanya tak mungkin ‘semburan kedewasaan’ ini berlangsung hingga dua minggu.
Kami sempat membawa Rashif ke dokter anak di RSIA Kenjeran, tapi dokter menyatakan Rashif sehat-sehat saja. Dia tidak radang tenggorokan, tidak sariawan, tidak sedang tumbuh gigi, tidak juga demam.
Apa mungkin Rashif bosan karena hampir lima bulan kami hanya #dirumahaja? Saya memang jarang membawa anak-anak saya jalan-jalan karena Surabaya masih dinyatakan daerah dengan kasus Covid-19 tertinggi nasional.
Akhirnya saya dan suami mengajak ketiga anak kami berkeliling kota pada malam hari, melihat lampu warna-warni, melihat gedung-gedung tinggi. Saya berharap mereka, khususnya Rashif ceria dan semangat kembali. Namun, lagi-lagi kejadian sama terulang di malam hari.
Setelah dua minggu, hari-hari selanjutnya Rashif kembali bertingkah aneh. Dia semakin candu memutar-mutar badannya.
Sambil berputar, matanya sesekali melihat ke atas. Kadang dia tertawa, tapi entah apa yang ditertawakannya. Saat tersenyum, dia jarang menatap ibunya, jarang pula melihat papanya. Dia seperti menikmati dunianya sendiri.
Tampilan Rashif dari luar tampak seperti bayi pada umumnya. Dia mau berkumpul dengan saudara-saudaranya, juga anak-anak tetangga, tapi sering kali hanya fisiknya saja yang ada di sana. Pikirannya entah kemana.
Rashif susah fokus. Dia bergeming, tidak menoleh ketika namanya dipanggil. Dia hanya duduk, sibuk memainkan pulpen, bola, atau jari-jarinya sendiri, sementara kakak dan saudara kembarnya asik bermain bersama.
Bertemu Dokter
Jumat, 17 Juli 2020 saya dan suami memutuskan membawa Rashif ke dokter spesialis anak yang sudah sering menangani anak dengan spektrum autis. Namanya dr Andi Gunawan Kwan, SpA, M. Biomed. Beliau bertugas di Rumah Sakit Gotong Royong, Surabaya, serta membuka praktik di Jalan Bratang Binangun VI Nomor 41, Baratajaya, Gubeng.
Mula-mula saya menerangkan kekhawatiran saya dan suami tentang putera kami kepada beliau. Setelah memeriksa kondisi fisik Rashif atau pemeriksaan umum, dr Andi mendudukkan Rashif di kasur pasien.
Saya dilarang menyentuh atau mendekati anak saya. Dokter Andi meminta saya berdiri di sisi lain tempat tidur, sementara perawat yang secara tampilan sama-sama berhijab seperti saya diminta berdiri di arah berlawanan.
Dokter Andi kemudian menerapkan beberapa perlakuan pada Rashif. Beliau mengaduk-aduk emosi anak saya hingga si abang pun menangis, panik, marah, tapi tak seorang pun boleh menyentuhnya.
Setelah beberapa saat, Rashif terdiam di tempatnya. Dia hanya memukul-mukul kasur, menceracau dengan bahasa yang tak dimengerti, meremas-remas kedua telapak kakinya.
Rashif tak memilih, baik saya atau pun suster di depannya. Dengan berat hati dr Andi membenarkan kecurigaan saya bahwa putera kami menderita autisme ringan. Bayi normal pasti akan mencari dan berusaha menggapai ibunya ketika ketakutan, apalagi berada di luar lingkungannya sehari-hari.
Hati saya menangis seketika itu juga, tapi saya berusaha menahan air mata. Saya ingin menjadi ibu yang kuat untuk anak-anak saya. Saya ingin menjadi istri yang waras agar bisa terus berjuang bersama suami untuk kesembuhan putera kami.
Dokter Andi bersyukur kami menyadari perbedaan tumbuh kembang anak kami pada usia dini. Kebanyakan orang tua mengabaikan kondisi seperti yang dialami Rashif dengan alasan anaknya masih bayi, masih kecil, dan akhirnya menunda konsultasi ke dokter. Padahal, intervensi dini dapat mempercepat penyembuhan anak-anak dengan spektrum autis.
Selain dr Andi, saya berusaha berkonsultasi dengan dua dokter lainnya. Pertama, dr Sasanti Juniar Santosewoyo Sp. KJ di RS Mitra Keluarga – Darmo Satelit. Sayang begitu saya mencoba membuat janji dengan beliau, pihak rumah sakit mengabarkan dr Sasanti cuti praktik selama Covid-19. Mungkin karena beliau termasuk dokter senior dan sudah cukup berumur.
Kedua, dr Ahmad Suryawan SpA (K) di RS Siloam, Gubeng. Saya sedih sekali karena antrean pasien dr Wawan masih waiting list sampai lima bulan ke depan. Setiap harinya beliau hanya melayani enam orang pasien yang tak hanya berasal dari Surabaya dan sekitarnya, tapi juga luar Pulau Jawa.
Saya berharap sekali bisa curhat ke dr Wawan. Namun, saya perlu sabar sembari berdoa ada keajaiban, sehingga Rashif tak perlu menunggu selama itu untuk bertemu beliau.
Saya sudah berusaha mencari dokter lain yang biasa menangani anak-anak GSA di Surabaya, tapi umumnya mereka adalah dokter nutrisi untuk anak berkebutuhan khusus (ABK). Saya gak tahu harus ke dokter mana lagi. Semoga ada teman-teman yang membaca bisa memberi rekomendasi dokter terbaik di Surabaya.
Tujuan saya mencari second opinion bukan ingin mematahkan vonis dr Andi terhadap anak saya. BUKAN. Saya ingin lebih siap, lebih banyak support, dan mendapat lebih banyak gambaran tentang GSA dari profesional. Jika pun ada dokter lain menyatakan anak saya hanya mengalami delayed speech, tidak GSA, saya pun harus mendapat alasan logis. Semua demi yang terbaik untuk anak saya.
Saya tak akan pernah mengabaikan vonis autis untuk anak saya, meskipun dokter kedua, ketiga, atau keempat sekali pun menyatakan anak saya baik-baik saja. Autisme bagi saya penyakit serius dan tak bisa diabaikan. Seorang dokter juga tak mungkin sembarangan mendiagnosa pasiennya dengan penyakit tertentu.
Kesan pertama saya bertemu dengan dr Andi sangat positif. Beliau komunikatif, menyenangkan, dan menerangkan kondisi putera kami begitu detail, lengkap dengan tahapan-tahapan home therapy yang harus kami lakukan.
Selain memberi resep obat, dr Andi meminta saya melakukan diet gluten untuk Rashif. Susu formulanya diganti menjadi susu bebas gluten (gluten free).
Si abang juga perlu menghindari makanan-makanan mengandung gluten atau tepung-tepungan, khususnya roti, biskuit, kue-kue buatan pabrik, makanan berbahan dasar terigu, tapioka, maizena, gandum, dan sebagainya. Dokter Andi juga memberikan nomor ponselnya supaya saya bisa berkonsultasi dengannya kapan pun dibutuhkan.
Kapan Saya Merasa Rashif Berbeda?
Suami saya lah yang pertama kali punya firasat Rashif berbeda. Beberapa hari setelah Rashif dan Rangin merayakan ulang tahun pertama mereka, suatu hari mas mengajak si kembar bermain.
Giliran mas berinteraksi dengan Rashif, entah kenapa Rashif mendadak emosian. Dia berteriak tanpa sebab.
Suaranya tinggi. Wajahnya memerah karena marah. Rashif tantrum, padahal usianya baru setahun. Entah apa yang membuatnya marah kala itu.
Beberapa kali sejak kejadian itu, mas berbicara pada saya dengan sederet pertanyaan mengarah ke dugaan GSA.
“Bun, Rashif gak autis kan?”
“Sayang, anak autis itu biasanya gak mau berinteraksi sama orang lain kan?”
“Sayang, periksa saja lah ke dokter yuk?”
Saya menepis kecurigaan mas tentang anak kami. Saya takut pamali, kata orang Sunda. Ibu mana pun harus menjaga kata-kata terhadap anaknya sebab setiap ucapan ibu adalah doa.
Mengapa waktu itu saya yakin anak saya tidak autis?
Rashif anak periang. Dia cukup interaktif, mau bertemu dengan siapa saja.
Saat Rashif menunjukkan ketertarikan akan sesuatu, dia berusaha meraihnya sendiri. Jika haus, dia mengambil botol dot-nya sendiri. Dia makan buah atau snack siangnya sendiri.
Dia bisa menari saat mendengarkan musik. Dia tertawa bersama saudara kembarnya, atau saat kartun kesukaannya diputar.
Saat masih bayi hingga berumur setahun, Rashif bayi yang tidak rewel, aktif bergerak ke sana kemari, bahkan tidur pun bisa sendiri, tanpa perlu digendong atau dinina bobo. Teman-teman yang sudah follow IG saya tahu persis tumbuh kembang Rashif sejak lahir.
Rashif juga kompetitif. Dia mau berebut mainan dengan saudara kembarnya. Dia juga berani menggeser tubuh kembarannya jika menghalangi jalannya.
Rashif selalu berinisiatif mencium saya tanpa diminta, meski hanya dalam posisi tertentu. Dia hanya mau mencium kening saya dalam posisi saya tidur, sementara dia duduk di sisi atas kepala saya sambil memainkan rambut saya dengan kakinya.
Tiga bulan berselang, saya mulai khawatir dengan Rashif. Bukan, saya bukan khawatir dia autis, melainkan karena pada usianya yang sudah 1 tahun 3 bulan, si abang masih belum mulai berbicara.
Kondisi Rashif berbeda dengan Rangin yang mulai aktif berkicau, membeo, berusaha menirukan suara-suara di sekitarnya, seperti baba, mama, tata, dada, jaja, papa.
Saya pun mengiyakan usulan mas agar kami memeriksakan si abang ke dokter. Saya menduga Rashif mengalami keterlambatan bicara atau delayed speech.
Waktu itu Februari 2020, kami sekeluarga masih menetap di Denpasar. Kami berkonsultasi dengan dr I Gusti Agung Sugitha Adnyana di RSIA Puri Bunda. Dokter membenarkan kemungkinan Rashif mengalami delayed speech dan menyebut ini bisa diatasi dengan terapi.
Dokter Adnyana menyarankan kami melakukan home therapy untuk Rashif di rumah dan menjadwal ulang konsultasi dokter untuk kesempatan berikutnya. Kami pun mengiyakan.
Sejak itu setiap hari kami melakukan terapi wicara untuk Rashif. Kegiatannya seperti mengajarkan 5-10 kata baru dengan flash cards, membentuk kalimat dengan dua suku kata, membacakannya buku cerita anak, bernyanyi sambil bertepuk tangan, bahkan dokter menyarankan bermain boneka.
Sayang hubungan dengan Dokter Adnyana tak berlanjut lantaran mendadak suami saya dirotasi kerja ke Surabaya. Kami pun berencana melanjutkan konsultasi dengan dokter baru di kota ini, tapi lagi-lagi niat itu diurungkan karena kondisi Covid-19 yang merebak menjadi pandemi global.
Kapan saya curiga Rashif autis?
Hingga Rashif berusia 1,5 tahun, dia sama sekali tak berubah. Rangin di sisi lain semakin pintar. Dia sudah bisa berinteraksi dua arah dengan orang-orang sekitarnya, menoleh bahkan datang menghampiri ketika namanya dipanggil, sangat tertarik dengan buku bergambar, bertepuk tangan, bersenandung, menari, bisa bermain building blocks, memasangkan wadah dan tutupnya, menyusun balok vertikal, bermain mobil-mobilan, bahkan menyusun mainannya secara horizontal.
Rashif sama sekali tak mengalami kemajuan. Satu-satunya permainan yang dia suka adalah memutar roda, mau itu roda sepeda, roda troli mainan, atau roda mobil-mobilan. Dia suka memainkan pensil atau pulpen dengan tangannya dengan gerakan seperti memutar.
Barulah saya menyadari Rashif benar-benar berbeda, dugaan saya mengarah ke autis, hingga akhirnya saya dan mas sepakat memeriksakannya ke dokter.
Ciri-Ciri Anak Autis
Autisme atau autis adalah gangguan perkembangan neurobiologis berat yang terjadi pada anak, sehingga menimbulkan masalah komunikasi dan interaksi anak dengan lingkungannya. Perilaku autis biasanya bisa kita lihat pada tiga tahun pertama usia anak dan terus berlanjut sepanjang hidupnya jika tak diintervensi dengan baik.
Saya pernah membaca sebuah studi yang diterbitkan di the Archives of General Psychiatry-1 pada 2011. Studi ini menemukan tingginya tingkat gangguan autisme pada kembar identik, yaitu 77 persen untuk anak kembar laki-laki dan 50 persen untuk anak kembar perempuan.
Penelitian yang dilakukan Hallmayer J dan rekan-rekannya ini juga menemukan tingginya peluang gangguan autisme pada kembar nonidentik (fraternal), yaitu 31 persen untuk anak kembar laki-laki dan 36 persen untuk anak kembar perempuan. Rashif dan Rangin adalah contoh anak kembar nonidentik.
Dokter John Constantiano dari Fakultas Kedokteran Universitas Washington di St Louis, AS yang tidak terlibat dalam penelitian ini berpendapat anak kembar fraternal dulunya berbagi rahim sama dengan ibunya, meski tak memiliki gen sama. Ini yang menyebabkan saudara kembar dari anak autis berpeluang mengidap autis juga karena faktor lingkungan, meski kemungkinannya kecil, sekitar 10 persen.
Studi lain menemukan 10-20 persen adik kandung dari anak autis berpeluang didiagnosis dengan gangguan autis.
Tiga tahun lalu, tepatnya April 2016 saya pernah membuat tulisan khusus tentang gangguan autisme pada anak. Tulisan saya ini terbit satu halaman di koran REPUBLIKA dan Republika Online.
Ciri-ciri anak autis berikut saya dapatkan dari hasil wawancara bersama dr Rudy Sutadi. Beliau adalah dokter spesialis anak sekaligus konsultan di Klinik Intervensi Dini Applied Behavior Analysis (KID-ABA), Bekasi.
Seorang anak memiliki GSA jika menunjukkan separuh dari gejala-gejala berikut, terdiri dari gangguan komunikasi, gangguan interaksi, gangguan perilaku, dan gangguan sensori.
1. Gangguan komunikasi
Anak autis menunjukkan gejala tidak bicara atau terlambat bicara, menarik tangan orang dewasa jika menginginkan sesuatu, menggunakan bahasa planit atau menceracau tidak jelas, membeo apa yang didengar (ekolali).
Anak autis hanya bicara sepatah dua patah kata, kemudian kemampuan bicaranya ini terhenti pada usia 18-24 bulan. Pemahamannya pada kata-kata sangat terbatas. Saya pernah membaca anak Dian Sastro autisme dan menunjukkan gejala sama pada rentang usia 1-2 tahun.
Dokter Andi bilang gejala autis yang ditunjukkan Rashif tergolong ringan. Kemampuan berbicaranya memang lambat. Dia cenderung pendiam dan hanya membeo atau menceracau tak jelas. Namun, Rashif tidak sepenuhnya bergantung pada orang lain jika menginginkan sesuatu.
Dia akan minum susu sendiri ketika haus dengan cara mencari botol susunya. Dia juga bisa menghabiskan sendiri snack siangnya menggunakan tangan (finger food).
2. Gangguan interaksi
Dokter Rudy mengatakan anak autis tidak melakukan kontak mata. Dia tidak mau bermain dan berinteraksi timbal balik dengan anak-anak sebayanya. Anak autis tidak menunjukkan respons ketika didekati orang asing atau saat jauh dari orang tua dan anggota keluarganya.
Rashif sulit fokus. Dia jarang sekali melakukan kontak mata baik dengan saya atau pun papanya. Hingga usia 1,5 tahun dia tidak menoleh ketika namanya dipanggil.
Rashif lebih sering fokus ketika saya menyanyikan lagu kesukaannya yang biasa saya nyanyikan ketika dia bangun tidur di pagi hari. Selain itu, dia cenderung tidak mengindahkan sapaan saya dari jarak jauh, seperti saat memanggil namanya. Dia baru berlari ke arah saya jika melihat saya langsung dengan matanya.
Saat dr Andi memeriksa Rashif di kliniknya, Rashif kebetulan tidak menggapai saya ketika emosinya marah. Namun, di rumah sebetulnya Rashif sangat manja pada saya.
Dia menangis jika saya masuk kamar mandi, atau meninggalkannya ke kamar. Dia protes jika saya pergi begitu saja seolah saya harus dalam jangkauannya setiap waktu.
Rashif masih mau bermain kejar-kejaran dengan kakak dan saudara kembarnya, meski tidak lama-lama seperti Rangin. Dia menyambut setiap kali saya mengulurkan tangan ke arahnya, seolah ingin membuat gerakan tos.
3. Gangguan perilaku
Ciri-ciri anak autisme yang mengalami gangguan perilaku, antara lain asik bermain sendiri. Saya melihat banyak sekali ciri ini pada Rashif.
Anak autis tertarik pada benda atau bagian benda tertentu, dan minatnya berlebihan pada benda tersebut.
Rashif mempunyai gelas minum kesayangan. Dia akan marah dan sangat emosi jika gelasnya dipegang orang lain.
Benda lain yang dia suka adalah pulpen, pensil, tongkat atau stick kecil, pokoknya semua benda panjang, juga mainan yang bisa dimainkan dengan gerakan memutar.
Anak autis bisa tantrum jika menemukan ada yang berbeda pada rutinitas yang disukainya. Rashif mempunyai channel anak favorit, yaitu Didi & Friends, Babybus, Lagu Anak Indonesia Balita, dan lagu-lagu anak di channel YouTube GNP Music.
Dia akan protes dengan cara menangis dan merongrong saya ke sana kemari jika video yang muncul di televisi bukan video kesukaannya. Dia secara alami bahkan tahu urutan lagu dalam video tersebut. Jika lagu yang muncul tidak sesuai urutannya, perilakunya berbeda.
Anak saya sangat senang pada benda-benda berputar. Dia sering memutar roda sepeda, roda mainan keranjang troli, juga roda mobil-mobilan. Anehnya dia hanya tertarik pada bagian rodanya saja, sehingga tidak memainkan sebagaimana mestinya.
Rashif juga senang sekali menatap kipas angin yang sedang berputar. Dia bisa berdiri lama di depan kipas angin tersebut, bahkan berusaha meraihnya. Apapun benda yang dia pegang, dia akan berusaha memutarnya.
Nah, saya merasakan minat Rashif ini sangat aneh. Awalnya saya menganggapnya lucu. Namun, lama kelamaan saya tidak nyaman dengan kesenangan berlebihan Rashif pada roda dan benda-benda lain yang bisa dia putar.
4. Gangguan sensori
Gejalanya adalah anak bisa hiposensitif atau hipersensitif. Jika anak hiposensitif, kata dr Rudy, dia tidak akan merasakan sakit jika tubuh atau bagian tubuhnya terluka.
Nah, anak saya tergolong hiposensitif. Sering kali Rashif tidak menangis jika terjatuh atau terbentur benda keras, seolah-olah dia itu kuat banget. Makanya kadang saya dan neneknya menyebut Rashif ini seperti Samson.
Jika anak hipersensitif, kata dr Rudy dia tidak suka disentuh atau menyentuh tekstur tertentu. Anak tidak suka pada suara tertentu, seperti suara blender, mikser, mesin pemotong rumput, atau mesin penyedot debu.
Mereka Anak Emas
Saya tak malu memberi tahu dunia bahwa salah satu anak kembar saya autis. Itu karena saya tak melihat kekurangan pada diri Rashif. Dia begitu sempurna di mata saya.
Bukankah Mozart bisa menulis simponi yang begitu rumit dan panjang? Padahal dia autis. Pendengarannya sangat sensitif. Itu justru membuatnya bisa membedakan nada sekecil apapun.
Bukankah Albert Einstein juga mengalami GSA? Sebagai orang dewasa dia sulit bersosialisasi dan sangat tidak nyaman berbicara di depan orang banyak. Namun, lihatlah, berkat Teori Relativitasnya, kita bisa menjelajah ruang angkasa dan menemukan keajaiban di luar sana.
Bukankah Michaelangelo dikenal temperamen, sulit berkomunikasi, dan hanya mempunyai sedikit teman? Dia begitu istimewa karena mempunyai daya ingat nan menawan. Kemahsyuran lukisannya membuat orang-orang dari seluruh dunia berdatangan mengunjungi Kapel Sistina.
Bukankah Bill Gates memiliki sindrom asperger yang tak lain adalah subkelompok GSA? Waktu kecil dia mengalami keterlambatan motorik signifikan, khususnya kemampuan berbicara. Lihatlah sekarang, dia menjadi orang terkaya di dunia setelah mendirikan Microsoft.
Ada lagi Matt Savage yang dijuluki Mozart of Jazz karena mahir bermain piano sejak 3 tahun. Pria kelahiran 1992 ini divonis Pervasive Development Disorder Unspecified (PDS), bentuk lain dari autis. Matt membuktikan seorang autis pun bisa berprestasi bahkan jauh lebih hebat dari anak seusianya.
Siapa yang tak kenal dengan game Pokemon yang sangat viral di dunia bertahun-tahun lalu? Permainan ini diciptakan Satoshi Tajiri. Dia mengidap sindrom asperger, tapi berhasil menjadi pemilik waralaba video games populer di dunia lewat Game Freak, Inc.
Anak-anak dengan GSA adalah anak-anak istimewa. Mereka emas permata yang berkilau dengan caranya masing-masing.
Saya tahu perjuangan saya sebagai orang tua baru dimulai. Saya tak akan henti berusaha setiap harinya menjadi orang tua yang pantas untuk Rashif.
Saya harap kehadiran saya adalah hadiah terbaik untuk anak saya, sebagaimana Allah yang telah menghadiahkan Rashif dengan begitu sempurna untuk keluarga ini.
Selamat Hari Anak Nasional, anakku.
Nak, Rashif adalah pelita hidup ibun. Ibun percaya Abang Rashif kuat, layaknya perisai, seperti arti nama yang ibun papa sematkan untuk abang.
Ibun berharap dan berdoa suatu hari nanti Abang Rashif akan hidup di dunia di mana abang bisa diterima dan dihargai terlepas dari perbedaan yang ada dalam diri abang. Selama ibun ada di sisi abang, Abang Rashif tak akan pernah kekurangan cinta kasih dari orang-orang yang menyayangi abang.
Nak, teruslah belajar menavigasi dunia ini dengan segenap kemampuanmu, sebab ibun tahu usaha kita untuk keluar dari autisme ini tak mengenal istilah cuti sementara. Kita harus berusaha tanpa henti sampai hari bahagia itu tiba. Tetap semangat, nak. Ibun papa menyayangimu.
Leave a Comment