Bukan cuma orang tua saja yang rentan stres dalam berumah tangga, anak-anak juga. Hanya saja cara anak memahami masalah keluarga yang terjadi di antara kedua orang tuanya berbeda. Mereka bisa menunjukkannya dalam bentuk emosi atau perilaku.
Ketika anak melihat kedua orang tua tersayang bertengkar misalnya, banyak hal bisa terjadi. Pertama, anak menyalahkan diri sendiri atas konflik orang tuanya. Kedua, anak bisa menunjukkan perilaku antisosial, cuek, tak mau tahu, dan melarikan diri ke hal-hal yang berisiko, seperti rokok dan narkoba. Ketiga, anak depresi dan mengalami masalah emosional lainnya.
Masalah Keluarga yang Pengaruhi Kesehatan Anak
Masalah keluarga dalam bingkai kehidupan keluarga modern masa kini bentuknya sangat banyak. Tentu saja ada berbagai sebab pasangan menikah bertengkar, berdebat, dan bertikai. Namun, sadarilah, anak-anak kita juga menanggung risikonya.
Berikut adalah bentuk-bentuk masalah keluarga paling sering terjadi yang memengaruhi langsung kehidupan anak.
1. Perpisahan atau perceraian
Anak yang dibesarkan di rumah bak istana megah sekali pun, ketika rumah tangga orang tua didera perceraian dan perpisahan, emosional dan mental anak langsung terpukul. Anak-anak diserang rasa bersalah, khawatir akan masa depan, takut akan bayangan-bayangan buruk yang akan terjadi, mereka juga bisa menyalahkan diri sebagai penyebab perpisahan ayah ibunya. Masalah kesehatan mental yang mungkin berkembang adalah depresi, kecemasan, dan gangguan makan.
Tak peduli seberapa pintarnya kita memasang mimik wajah bahagia, anak-anak tetap bisa membaca orang tuanya tengah bersandiwara dan menipu diri sendiri. Tidak ada yang namanya ‘baik-baik saja’ dalam perceraian.
Betapapun baiknya orang tua bercerai, betapapun keduanya berkomitmen mengurus anak berdua, yang namanya perceraian tetap tidak baik di mata anak.
Anak-anak dari pasangan bercerai lambat laun belajar beradaptasi dengan kehidupan baru kedua orang tuanya. Hal-hal menjadi rusak apabila kedua orang tuanya yang bercerai terus berkonflik dan melukai hati anak-anaknya.
2. Kematian
Kematian, apakah itu kepergian ayah, ibu, nenek, dan anggota keluarga lain yang disayang bisa memengaruhi psikologis anak. Sebagian besar anak-anak baru mengenal konsep kematian setelah berusia lima tahun.
Jika anak menghadapi kematian orang tersayang saat usianya masih kurang dari lima tahun, dia mungkin mengalami kesedihan atau depresi dalam jangka waktu lama. Gejala umum terjadi adalah nafsu makan berkurang dan tidur tidak nyenyak.
Anak bisa mungkin menyangkal kepergian dari orang yang disayanginya. Mereka tidak terima jika ayahnya, ibunya, atau neneknya pergi meninggalkannya. Jika ini terjadi, keluarga yang masih ada perlu mempertimbangkan mencari bantuan medis segera.
Tunjukkan dukungan kita dengan mendengarkan emosi dan perasaan anak. Coba mencari konselor atau bantuan dokter jika diperlukan.
Kematian orang tua adalah peristiwa kehidupan paling menegangkan bagi anak. Setelah orang tuanya meninggal, beberapa anak tinggal bersama orang tua yang tersisa. Beberapa lain tinggal bersama ibu tiri, ayah tiri, kakek nenek, om tante, saudara kandung, atau orang tua angkat.
Beberapa anak yang kehilangan orang tua berada dalam kondisi traumatis. Mereka bisa mengalami gangguan kesedihan berkepanjangan. Anak sulit menerima kepergian orang tuanya dan sulit melanjutkan hidup. Anak merasakan pahitnya kehidupan dan merasa hidupnya semakin tak berarti.
3. Kekerasan dalam rumah tangga
Kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT bisa dialami anak pada usia masih sangat muda. Anak bisa jadi bukan obyek penderita, namun dia menjadi orang yang menyaksikan hal itu terjadi pada orang tuanya, seperti ayah yang mengasari ibunya.
Kekerasan dalam rumah tangga tak ubahnya seperti pola perilaku yang dibangun bertahap dari waktu ke waktu. Anak-anak yang tinggal di rumah penuh kekerasan lambat laun akan mengalami kekerasan dengan berbagai cara.
Kadang anak terluka fisik, merasa dilecehkan secara verbal, atau merasa diintimidasi. Anak mendengar teriak kesakitan setiap harinya, melihat orang tuanya berkelahi, melihat ibunya menangis, mendengar suara-suara orang terluka. Semua ini mengancam kesehatan, menimbulkan ketakutan, dan stress anak.
Ada banyak cara membantu anak-anak terhindari dari dampak kekerasan dalam rumah tangga. Pastikan saja kita baik-baik menjaga diri kita, sehingga kita pun akan baik-baik saat merawat anak kita.
4. Kemiskinan
Kemiskinan berdampak banyak pada kesehatan fisik dan mental anak. Bukti yang menghubungkan kemiskinan dengan gizi buruk anak sudah sangat banyak.
Faktor kemiskinan bisa mendorong anak lahir dengan berat badan rendah. Anak menderita gizi buruk, obesitas karena lebih sering makan makanan tak sehat, dan orang tua tidak mampu memberikan nutrisi cukup untuk anak.
Kondisi perumahan kurang memadai, orang tua yang tunawisma, stres, makanan sedikit, semua memengaruhi kesehatan fisik dan mental anak-anak dengan berbagai cara. Keluarga kurang mampu membutuhkan uluran tangan sekitarnya. Ketika keluarga berpenghasilan rendah memiliki sedikit uang lebih, mereka biasanya akan membelanjakan uangnya untuk hal-hal baik, seperti pakaian layak untuk anak, buah-buahan, sayuran, susu, dan obat-obatan.
5. Uang
Konflik keluarga yang dipicu uang tak melulu berpangkal dari faktor kemiskinan. Uang di sini mulai dari memperebutkan warisan, konflik tentang siapa yang akan membiayai hidup orang tua yang sudah lansia, atau membiayai tagihan rumah sakit mereka.
Keluarga yang berkonflik karena uang memang paling menyakitkan dan bisa sangat menghancurkan. Tanpa sadar mereka mempertontonkan perselisihan tak sehat di depan anak-anak. Itu sebabnya mengapa masalah seperti ini harus ditangani dan diselesaikan secepat mungkin.
6. Problem mertua menantu
Konflik ini sepatutnya tak ada. Namun, kita tak bisa memungkiri bahwa problem dengan mertua tekanannya terlalu nyata dan susah berakhirnya. Bentuknya mulai dari konflik ibu mertua dengan menantu perempuan, konflik menantu laki-laki dengan ayah dan ibu mertua, bentrokan kepribadian, dan sebagainya.
Menikah dengan orang yang kita cintai tentu saja membawa kebahagiaan tersendiri. Namun, kita bukan hanya menikah dengan pasangan kita, melainkan juga dengan keluarganya. Ketika hubungan pernikahan tak lagi harmonis karena konflik dengan mertua, anak biasanya ikut terimbas ketidakharmonisan itu.
Anak mulai merasakan ada yang aneh dengan kedua orang tuanya dan mencari tahu sebabnya. Mereka akan semakin bingung ketika mengetahui ibunya cekcok dengan neneknya, atau ayahnya cekcok dengan kakeknya.
7. Hidup dengan orang tua tiri
Adopsi anak sudah sering dilakukan keluarga-keluarga masa kini, terutama pasangan yang sudah lama menunggu kehadiran buah hati. Namun, bagaimana dengan anak yang karena kondisi tertentu harus belajar menerima kehadiran ayah atau ibu tiri? Ini tentu saja hal serius dan emosional.
Anak-anak cenderung tidak suka tinggal serumah dengan orang tua tiri, terlebih jika anak sudah bisa membedakan konsep orang tua kandung dan orang tua tiri. Apalagi jika orang tua tirinya membawa serta anaknya dari pernikahan sebelumnya.
Jika masalah semakin memburuk, kakek nenek, om tante, dan pihak keluarga lain yang ikut campur bisa menciptakan konflik lebih lanjut antara anak dan orang tua tiri dan orang tua biologisnya.
Jauhkan Anak dari Masalah Keluarga
Tak ada solusi mudah untuk masalah keluarga. Siapapun pasti akan mengusahakan penyelesaian secara internal. Jika cara ini gagal, akan lebih bijaksana melibatkan seorang profesional untuk menemukan resolusi konflik. Bagaimana cara menjauhkan anak-anak kita dari masalah keluarga yang berujung konflik?
1. Terbukalah
Masalah keluarga semakin mudah dihindari ketika semua orang mau belajar merasakan perasaan orang lain. Sekiranya kita mau meluangkan sedikit waktu untuk mendengarkan dan mengomunikasikan apa yang kita rasakan kepada pasangan, konflik-konflik kecil tak akan berubah menjadi konflik lebih besar.
Jangan lari dari masalah. Jangan menghindar ketika diajak berdiskusi. Ketika dua hal itu kita anggap tabu, tidak akan ada yang namanya solusi. Anak-anak akan semakin lama menyaksikan ketidakharmonisan kedua orang tuanya.
2. Sensitiflah
Setelah kita belajar mendengarkan dan mengomunikasikan perasaan kita, penting juga menjadi seorang yang peka dan sensitif. Tetapkan aturan dasar saat kedua belah pihak bersepakat menyelesaikan masalah, misalnya tidak ada yang berteriak-teriak, tidak ada yang menangis histeris, tidak ada yang menyalahkan salah satu pihak, tidak berdebat di depan anak. Beri sedikit jeda untuk diskusi dan tekankan pentingnya menyelesaikan konflik secara damai.
3. Jadilah tim
Jangkau solusi sebagai sebuah tim. Cobalah untuk bernegosiasi dan terbuka untuk solusi baru. Setiap orang harus mengidentifikasi langkah dan tindakan apa yang diambil untuk menyelesaikan masalah. Masing-masing orang bertanggung jawab atas masalah dan mau melakukan perubahan bersama.
4. Bicara dengan anak
Studi menunjukkan hanya lima persen orang tua yang benar-benar mau duduk, menjelaskan kepada anak-anaknya bahwa kedua orang tuanya sudah berpisah atau bercerai. Sisanya orang tua memilih tidak mengatakan apa-apa, memilih membiarkan anak-anak dalam kebingungan.
Beri tahu anak dalam bahasa sangat sederhana, apa arti perceraian, dan bagaimana perpisahan itu kelak memunculkan perubahan. Ketika orang tua memilih tidak menjelaskan apa-apa pada anak, anak-anak akan merasa cemas, kesal, kesepian, dan semakin sulit menerima perceraian kedua orang tuanya.
5. Jadilah orang tua baik di mata anak
Di tengah rasa marah dan sakit hati, ibu atau kaum wanita akan aktif menjauhkan anak-anaknya dari ayah kandungnya. Ketika ibu terluka, memang wajar berpikir tak ingin meliat mantan suami lagi, namun pilihan ibu belum tentu pilihan terbaik buat anak. Anak justru semakin membutuhkan sosok ayahnya ketika kedua orang tuanya berpisah.
Ketika hubungan anak dan ayah tetap berjalan sesuai koridor, anak-anak kita akan tumbuh menjadi remaja yang baik hingga mereka menikah dan membentuk keluarga sendiri. Keterlibatan ayah ini bukan hanya kehadiran fisik, namun juga terkait dengan fungsi akademik, teman bermain, teman curhat. Jadilah ayah yang hadir untuk anak-anaknya secara fisik dan emosional.
6. Jaga kesehatan mental kita
Jika depresi, cemas, marah terus membanjiri hati kita, minta bantuan profesional. Ingat, kesehatan mental kita berdampak pada kesehatan mental anak-anak kita.
Anak harus merasa mereka tak sendirian di dunia ini. Ada orang tua yang selalu hadir menjadi sistem pendukung terbaik. Semua ini akan mengantar anak-anak kita tumbuh sehat secara fisik dan psikologis.
Leave a Comment