Masakan ibu adalah kenangan terindah dari cerita masa kecil kita. Ibu menyajikan menu-menu keluarga dengan penuh cinta. Kelezatannya tiada dua, sehingga di mana-mana selalu menjadi standar rasa.
Ibuku anak pesisir berasal dari sebuah pulau kecil bernama Mandiangin. Begitu merantau ke Jakarta, setiap kali aku menyebut kampung halaman ibuku, nyaris tak ada yang tahu. Jika pun ada, biasanya orang-orang merujuk pada Kecamatan Mandiangin yang berada di Kota Bukit Tinggi, Sumatera Barat.
Mandiangin sebuah jorong – setingkat desa – di Kecamatan Kinali, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat. Masih segar di ingatanku kenangan 26 tahun silam saat aku duduk di bangku sekolah dasar (SD). Ibu dan ungku – panggilan untuk kakek – setiap libur panjang membawaku berperahu sampan menuju kampung itu.
Mandiangin puluhan tahun lalu masih pulau eksotis yang tersembunyi di balik rimbunnya hutan mangrove. Kami harus menunggu pasang naik untuk bisa berperahu ke sana.
Perahu kami pernah tersekat karena pasang mulai surut. Ungku membimbingku berjalan kaki puluhan meter sampai bertemu air muara cukup dalam, lalu naik lagi ke atas perahu.
Hutan sumber makanan untuk kehidupan. Saat berjalan kaki itulah ungku mengenalkanku berbagai potensi hutan mangrove Mandiangin. Kadang ungku membawa karung dan iseng mengumpulkan lokan – sejenis kerang bakau – untuk dimasak ibuku sesampainya di rumah.
Ungku juga pernah menebang serumpun nipah dan membawa pulang setandan buahnya untuk diolah ibu menjadi minuman segar.
Sesekali ungku memetik buah pidado atau pidada – sejenis Sonneratia sp – dan memberikannya padaku untuk mainan. Bentuk buahnya sangat cantik, seperti granat nanas.
Seiring berkembangnya kearifan lokal dan inovasi di bidang kehutanan, pidada dan banyak lagi tumbuhan mangrove lainnya bisa menjadi sumber makanan yang diolah menjadi menu beraneka ragam.
Hutan Mangrove Lindungi Pulau Kami
Puluhan tahun berselang ekonomi Kabupaten Pasaman Barat semakin berkembang. Konsekuensinya adalah pembukaan lahan mulai terjadi, tak terkecuali di area hutan mangrove kampung kami. Sebagian lahan, terutama yang berdampingan dengan hutan mangrove dialihfungsikan menjadi area pertanian dan perkebunan.
Status hutan mangrove Mandiangin umumnya hak ulayat masyarakat adat setempat. Kondisi ekonomi masyarakat Mandiangin yang masih terbelakang membuat sebagian hutan mangrove di nagari ini dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.
Masyarakat tidak salah. Masyarakat hanya butuh makan. Beberapa tahun terakhir, tingkat pengetahuan dan pendidikan masyarakat Mandiangin terus berkembang, ekonomi keluarga semakin matang, sehingga masyarakat semakin sadar pentingnya pelestarian mangrove untuk jangka panjang.
1.Hutan mangrove menahan tsunami
Mandiangin hanya pulau kecil dengan luasan 49,40 kilometer per segi. Jumlah penduduknya 2.160 jiwa, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2018.
Nagari ini berbatasan dengan Pantai Muaro Binguang yang menghadap langsung ke Samudera Hindia. Bisa dibayangkan bagaimana ganasnya ombak dan kencangnya angin menerpa pulau ini setiap harinya. Tanpa kehadiran hutan mangrove, pulau ini sangat rentan bencana alam, khususnya ancaman tsunami.
Ibuku bercerita puluhan tahun Mandiangin tak pernah ditimpa bencana alam. Hutan mangrove yang mengelilingi desa melindungi pulau dan seisinya dari gempuran ombak, badai, dan tsunami.
Masyarakat Mandiangin sadar bahwa pulau mereka tak akan ada tanpa keberadaan hutan mangrove yang mengelilinginya. Hutan mangrove membentuk daratan dengan cara menahan endapan tanah yang lama kelamaan menumbuhkan garis pantai. Di daratan inilah masyarakat Mandiangin hidup.
2. Hutan mangrove menjaga iklim mikro
Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) menyebut Indonesia secara langsung berperan dalam mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim. Ini karena 23 persen total luasan mangrove di dunia berada di Indonesia.
Kemampuan substrat lumpur hutan mangrove menyimpan karbon sangat besar. Suhu permukaan bumi yang semakin panas suka tidak suka berpengaruh ke seluruh tipe ekosistem.
Ibuku mengatakan suhu Mandiangin pada siang hari, bahkan malam hari semakin panas. Jika hutan mangrove tak ada, suhunya dipastikan jauh lebih panas lagi. Ini tentunya berpengaruh buruk tidak hanya pada kesehatan masyarakat, namun juga sumber-sumber mata pencaharian mereka yang sebagian besar adalah nelayan.
Hutan mengrove menjaga iklim mikro, salah satunya dengan cara menyerap panas, berupa karbondioksida. Mangrove menjaga kelembaban dan curah hujan di Mandiangin, sehingga keseimbangan iklim mikro sekitarnya terjaga.
3. Hutan mangrove untuk pendidikan, rekreasi, dan ekowisata
Hutan mangrove memiliki nilai edukasi dan estetika tiada tara. Banyak hutan mangrove dikembangkan menjadi tempat penelitian, seperti Cagar Alam Leuweung Sancang di Garut, Cagar Alam Pananjung Pangandaran di Pangandaran, dan Suaka Alam Pulau Rambut di Jakarta.
Ada juga hutan mangrove yang menjadi tempat rekreasi dan ekowisata, seperti Hutan Mangrove Muara Angke di Jakarta, Hutan Mangrove Suwung di Denpasar, dan Hutan Mangrove Cilacap di Jawa Tengah.
Ekowisata hutan mangrove di Mandiangin masih belum berkembang signifikan, meski pesona alamnya sangat indah. Pantai Muaro Binguang destinasi favorit kunjungan wisatawan.
Pemandangan matahari terbenam di Pantai Muaro Binguang sungguh indah karena berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Banyak pulau-pulau kecil dan salah satunya berpenghuni, yaitu Pulau Mandiangin.
Konon penamaan Muaro Binguang karena pantainya tak terlihat, seperti tersembunyi di balik pulau-pulau kecil itu. Wisatawan pun sering bingung menentukan di pulau mana sebaiknya mereka menepi dan menikmati hari.
4. Hutan mangrove sumber makanan
Hutan sumber makanan untuk manusia. Keanekaragaman hayati hutan mangrove sangat tinggi, berupa flora dan fauna.
Ibu, almarhum ungku dan almarhumah nenek semasa hidup banyak mendapatkan sumber makanan dari hutan. Ungku minimal sekali sepekan pergi ke hutan mencari burung punai.
Populasi burung punai era 1970-an hingga 1990-an di kawasan hutan Mandiangin masih tinggi. Status burung yang juga dikenal dengan sebutan merpati hijau ini tidak dilindungi.
Masyarakat Mandiangin mengonsumsi burung dari famili Columbidae ini karena dagingnya lezat dan bergizi tinggi. Saat kecil aku cukup sering mencicipi hidangan sup burung punai dan gulai punai buatan ibu.
Kata ungku, punai adalah burung paling bersih karena makanannya adalah buah-buahan dan biji-bijian. Sebagian punai jarang menyentuh tanah karena hidupnya arboreal atau di ranting-ranting pohon. Sebagian punai menapak di tanah jika haus atau memakan buah-buahan yang jatuh dari pohon.
Ungku menangkap punai menggunakan cara tradisional, tidak seperti pemburu satwa sekarang yang membawa senapan, menembak sesukanya. Ungku dan masyarakat Mandiangin biasanya menggunakan gaban punai, sejenis perangkap burung terbuat dari bambu. Di dalamnya ungku akan menaruh batok kelapa berisi air dan beberapa jenis buah hutan.
Punai akan tertarik saat melihat air, masuk ke dalam gaban, namun tidak bisa keluar setelahnya. Menjerat tanpa menyakiti, demikian ide dasarnya.
Saat ini sangat jarang masyarakat menangkap burung punai, terlebih beberapa jenis sudah berstatus dilindungi. Populasinya mulai berkurang seiring berkurangnya tutupan lahan hutan di Mandiangin.
Masyarakat lebih banyak menikmati hasil laut, berupa ikan, udang, cumi-cumi, dan tentunya mencari sumber makanan hewani lainnya dari hutan mangrove, seperti kepiting bakau dan lokan kopah.
Sajian Keluarga dari Hutan Mangrove Mandiangin
Hutan sumber makanan hewani dan nabati. Makanan hewani hutan mangrove bisa berupa ikan, udang, kepiting, lokan, dan lainnya.
Sumber makanan nabati dari hutan mangrove tak kalah beragam. Ekosistem mangrove setidaknya dihuni delapan famili dan 12 genus tumbuhan yang sebagian besar bisa diolah menjadi makanan. Beberapa di antaranya sangat populer, seperti Sonneratia, Avicennia, Rhizophora, Bruguiera, dan Xylocarpus.
Berikut adalah enam sajian menu keluarga yang bersumber dari hutan mangrove. Sebagian menu makanan ini adalah buatan ibu yang selalu kuingat sampai sekarang. Sebagian lagi adalah menu kreasi yang pernah kubuat sendiri.
1.Otak-Otak Kepiting
Salah satu makanan hewani hasil hutan mangrove berbahan dasar kepiting yang pernah dibuat ibuku adalah sup kepiting dan otak-otak kepiting. Kepiting mangrove (Scylla sp) berdaging tebal, gurih, dan bergizi tinggi. Daging kepiting mencukupi kebutuhan kalsium, zat besi, lemak, protein, vitamin A, C, dan B12 yang dibutuhkan tubuh.
Jauh sebelum pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 1 dan 2 Tahun 2015 tentang Aturan Penangkapan Lobster, Kepiting, dan Ranjungan, masyarakat Mandiangin melalui kearifan lokal sudah lebih dulu menerapkan pemanfaatan berkelanjutan. Ibu bercerita padaku sejak kecil dilarang terlalu banyak memakan kepiting betina oleh ungku.
Ungku bilang kepiting betina sama halnya dengan ibu yang melahirkan anak-anaknya. Kita tak pernah tahu apakah kepiting betina itu sedang bertelur atau tidak. Yang jelas, kepiting betina bisa menghasilkan ribuan telur dalam satu waktu.
2. Rendang Lokan
Selain kepiting bakau, makanan hewani dari hutan mangrove juga bersumber dari lokan. Kabupaten Pasaman Barat dan Kabupaten Pesisir Selatan adalah penghasil lokan terbesar di Sumatera Barat.
Produksi lokan di Pasaman Barat salah satunya terkonsentrasi di Mandiangin. Tak heran jika banyak warga Mandiangin yang bermatapencaharian sebagai pencari lokan. Aktivitasnya adalah menyelami muara-muara sungai untuk menemukan hewan bercangkang ini.
Ada dua jenis lokan, yaitu lokan bana dan lokan kopah. Lokan bana adalah lokan air tawar yang hidup di sepanjang sungai, sementara lokan kopah adalah lokan yang hidup di muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, juga di vegetasi hutan mangrove.
Konversi hutan mangrove untuk perkebunan membuat populasi lokan di Pasaman Barat semakin berkurang. Ibu bercerita, sekitar 1990-an hingga 2000-an, seorang pencari lokan masih bisa memanen 1.500-2.000 keping lokan per hari. Sekarang mereka cuma bisa memanen maksimal 300-400 keping lokan per hari.
Pembukaan areal perkebunan kelapa sawit di Pasaman Barat lama kelamaan mengeringkan areal hutan rawa di Mandiangin. Akibatnya fitoplankton dan bahan-bahan organik mangrove lainnya yang menjadi sumber makanan lokal ikut berkurang. Ancaman baru muncul, yaitu serangan buaya muara yang habitatnya terganggu akibat pembukaan lahan perkebunan.
Saat pasang, lokan aktif mencari makanan di muara. Saat surut, lokan akan membenamkan diri ke dalam sedimen lumpur. Harga lokan di Sumatera Barat saat ini bahkan lebih mahal dari harga daging sapi. Kisarannya bisa mencapai Rp 100-150 ribu per kilogram.
Meski mahal, ibu selalu membuatkanku rendang lokan setiap aku liburan ke rumah. Bagaimana pun ini adalah menu wajib keluarga kami yang sudah turun temurun.
Rendang lokan lebih rendah kolesterol dibanding rendang sapi. Rendang sapi kira-kira mengandung 13,9 gram lemak per 100 gram, sementara rendang lokan hanya mengandung 1,1 gran lemak per 100 gram. Inilah mengapa tubuh kita lebih mudah mencerna lokan ketimbang daging.
Lokan kopah kaya vitamin A, D, E, dan K yang larut dalam lemak. Hewan mangrove ini juga sumber mineral yang dibutuhkan tubuh, mulai dari zat besi, kalsium, fosfor, iodium, kalium, juga selenium.
3. Bajigur Buah Nipah
Menu makanan ini muncul setelah aku merantau ke Bogor. Aku dan teman-teman kuliah sering menikmati bajigur saat kumpul bersama di kampus.
Setiap pulang liburan, dan kebetulan ada nipah di rumah, aku terpikir membuat menu ini. Apalagi ayahku aslinya berasal dari Sumedang, Jawa Barat. Pas deh, akulturasi budaya Minang – Sunda yang dituangkan dalam bentuk kreasi makanan.
Nipah (Nypa fructicans) adalah tumbuhan mangrove yang habitatnya lebih dekat ke daratan. Nipah hidup sepanjang pesisir pantai berlumpur dengan salinitas rendah dan kering.
Buah yang disebut mirip kolang-kaling ini potensial sebagai sumber karbohidrat alternatif. Nipah yang diolah menjadi tepung mengandung serat tinggi, namun rendah lemak dan rendah kalori.
Ibu dan aku belum pernah mengolah tepung nipah. Kami lebih senang menikmati buahnya untuk bahan minuman dan kolak, khususnya saat hari raya.
Nipah juga bisa diolah menjadi gula nipah dan garam nipah. Secara tradisional masyarakat Mandiangin menggunakan daunnya untuk bahan atap rumah, atap kendang hewan ternak, dan anyaman tikar.
4. Sirup Buah Pidada
Anak-anak di kampung ibuku lebih senang memetik pidada untuk mainan. Waktu kecil aku pernah iseng menggigit pidada mentah. Rasanya asam dan sepat.
Siapa sangka setelah diolah menjadi sirup, pidada menjadi sumber vitamin C terbaik yang dibutuhkan tubuh. Minum ini membuat badan kita segar, apalagi jika diminum dingin.
Sirup buah pidada adalah menu simpel. Sayangnya olahan ini tidak bisa bertahan lama dalam suhu ruang, kecuali disimpan di lemari pendingin. Setelah diolah, sebaiknya sirup sari buah pidada langsung dihabiskan.
5. Onde-Onde Si Api-Api
Saat berkunjung ke hutan mangrove Leuweung Sancang di Garut, Jawa Barat beberapa tahun silam, aku mengetahui dua jenis api-api yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber pangan. Kedua jenis itu adalah Avicennia marina dan Avicennia officinalis.
Api-api memerlukan perlakuan khusus sebelum diolah menjadi bahan pangan. Tujuannya menetralisir potensi kandungan racun dan mengurangi kandungan garamnya yang cukup tinggi. Caranya pertama, kupas dan buang kulit api-api, juga bagian kapas putihnya.
Masak air hingga mendidih, masukkan buah yang sudah dikupas, beri sedikit abu gosok untuk menghilangkan racunnya. Tiriskan api-api setelah direbus, kemudian rendam dalam air bersih, bilas beberapa kali.
Ganti terus air rendaman berkala sampai air yang tadinya sedikit pahit menjadi tawar. Setelah itu, api-api bisa diolah menjadi berbagai menu.
Onde-onde oleh masyarakat Minang dikenal dengan nama klepon di Jawa. Teksturnya lembut dan gula merahnya lumer di mulut.
6. Puding Cokelat Avicennia
Selain onde-onde, api-api bisa diolah menjadi keripik, kerupuk, dawet, juga puding. Saat pulang kampung Lebaran Idul Fitri tiga tahun silam, aku membawa serta puteriku yang masih berusia 1 tahun.
Putriku masih dalam tahap pemberian makanan pendamping ASI (MPASI). Biasanya aku akan membuatkan snack di sela waktu sarapan dan makan siang. Nah, salah satu menu MPASI yang kubuat adalah puding cokelat dengan sedikit campuran api-api.
Buah api-api tinggi karbohidrat, lemak, dan protein. Anakku ternyata menyukainya. Kandungan karbohidrat buah api-api lebih dari 75 persen, sehingga bagus untuk sumber energi.
Hutan mangrove Mandiangin seakan menjadi bank kenangan bagiku. Segala kenangan manis masakan ibu, kenangan manis bersama almarhum ungku tersimpan rapi di dalamnya. Semoga mangrove Mandiangin tetap lestari sampai nanti.
Leave a Comment