Mencuri adalah perilaku tercela, tidak peduli siapa pelakunya, anak maupun orang dewasa. Namun ketika anak mencuri, orang tua sering kali langsung panik, marah, atau merasa gagal mendidik. Padahal, dalam banyak kasus, anak belum memahami konsep kepemilikan dan belum sepenuhnya mengerti bahwa tindakannya salah. Reaksi orang tua yang tepat justru sangat berpengaruh pada perbaikan perilaku anak.
Pada usia tiga hingga lima tahun, anak sedang membangun pemahaman mengenai batasan, antara mana miliknya, mana milik orang lain, mana yang boleh diambil, dan mana yang memerlukan izin. Pada usia ini, anak masih beroperasi berdasarkan keinginan spontan (impulsivitas), belum mampu menilai konsekuensi jangka panjang, dan belum bisa memahami konsep moral secara abstrak.
Ketika anak mencuri, perilaku anak itu bukan selalu tanda kenakalan atau niat buruk. Banyak faktor yang bisa menyebabkan hal tersebut, mulai dari keinginan sederhana, dorongan emosional, tekanan teman, hingga proses peniruan terhadap perilaku orang dewasa. Orang tua perlu memahami akar masalahnya agar dapat memberikan intervensi yang tepat.
Mengapa Anak Mencuri? Memahami Akar Masalahnya
Berikut adalah beberapa alasan paling umum mengapa anak mencuri, baik di rumah, di sekolah, maupun di lingkungan bermain mereka.
1. Impulsivitas dan Ketidakmengertian
Ini adalah alasan paling sering terjadi pada anak di bawah usia enam tahun. Anak melihat sesuatu yang ia sukai, ia ingin memilikinya, lalu mengambilnya tanpa berpikir panjang. Pada tahap perkembangan ini, anak belum memahami sepenuhnya konsekuensi moral atau sosial dari tindakannya.
2. Mencari Perhatian Orang Dewasa
Ada kalanya anak mencuri bukan karena membutuhkan barang itu, tetapi karena ingin mendapatkan perhatian orang tua atau guru. Ini bisa terjadi pada anak yang merasa kurang diperhatikan, sedang merasa terabaikan, atau cemburu pada saudara kandung.
3. Meniru Orang Lain
Anak adalah peniru ulung. Jika ia pernah melihat teman, saudara, atau bahkan orang dewasa mengambil barang tanpa izin, ia bisa menirunya. Ini menjadi penting karena lingkungan adalah guru terbesar bagi anak.
4. Mengambil Barang yang Disukai
Kadang anak mencuri karena sangat ingin memiliki sesuatu: mainan, makanan, benda lucu, atau barang lain yang memikat perhatian mereka. Bagi anak, “ingin” dan “memiliki hak” belum tentu bisa dibedakan jelas.
5. Bentuk Pemberontakan atau Ekspresi Emosi
Beberapa anak mencuri karena merasa frustrasi, marah, atau ingin melawan aturan. Perilaku ini sering menjadi sinyal bahwa anak butuh didengarkan dan dimengerti.
6. Tekanan Teman Sebaya
Seiring bertambahnya usia, anak mulai lebih terpengaruh oleh teman sebaya. Tekanan atau dorongan teman dapat membuat anak mengambil barang tanpa izin agar diterima dalam kelompok.
7. Mencuri untuk Mendapatkan Barang Terlarang
Pada remaja, anak mencuri dapat menjadi tanda bahaya serius. Mereka bisa mengambil uang untuk membeli rokok, alkohol, atau hal-hal yang tidak boleh mereka akses. Ini memerlukan perhatian profesional.
Apakah Anak Tahu Perbuatannya Salah?
Tidak selalu. Usia sangat memengaruhi pemahaman moral anak. Usia 3–5 tahun, anak belum memahami konsep mencuri. Mereka tahu barang itu bukan miliknya, tetapi belum tahu itu adalah tindakan tercela.
Usia 6–8 tahun, anak mulai sadar mengambil barang tanpa izin itu salah, tetapi kadang mencoba “mengakali” aturan karena rasa penasaran.
Usia di atas 8 tahun, pemahaman moral anak lebih stabil. Jika masih sering mencuri, kemungkinan ada masalah emosional, tekanan sosial, atau kebutuhan khusus.
Di sinilah peran orang tua menjadi penting. Ketika anak mencuri, orang tua harus hadir sebagai pembimbing, bukan pelabel. Anak yang dicap “pencuri”, “nakal”, atau “memalukan” justru berisiko mengulang perilaku itu karena merasa identitasnya sudah terbentuk seperti itu.
Apa yang Harus Dilakukan saat Anak Mencuri?
Berikut langkah-langkah efektif yang dianjurkan psikolog anak ketika menghadapi anak mencuri.
1. Tenang dan Jangan Bereaksi Berlebihan
Tujuan utama adalah mengajarkan, bukan mempermalukan. Marah berlebihan membuat anak ketakutan dan menutup diri.
2. Ajak Anak Mengakui Perbuatannya
Tidak perlu memaksa, tetapi arahkan dengan pertanyaan lembut. Misalnya, “Bunda ingin tahu, barang ini kamu ambil dari mana? Kamu merasa bagaimana setelah mengambilnya?” Ketika anak berani mengaku, itu tanda ia siap belajar.
3. Jelaskan Konsep Kepemilikan
Gunakan bahasa sederhana, misalnya “Kalau mau sesuatu, kita harus izin.” “Barang orang lain tidak boleh kita ambil.” “Kalau uang atau barang bukan milik kita, itu salah.”
4. Ajak Anak Meminta Maaf dan Mengembalikan Barang
Ini penting agar anak belajar bertanggung jawab. Dampingi anak saat mengembalikan barang kepada pemiliknya.
5. Berikan Konsekuensi Logis
Konsekuensi bukan hukuman. Contohnya, jika mengambil uang, uang jajan dihentikan sementara. Jika mengambil mainan, waktu bermain dikurangi. Bukan karena menghukum, tetapi mengajarkan sebab-akibat.
6. Pujilah Kejujuran
Saat anak mengakui kesalahan, beri apresiasi. Ini meningkatkan keyakinan bahwa jujur lebih baik daripada sembunyi-sembunyi.
7. Evaluasi Penyebabnya
Orang tua perlu bertanya, “Apakah anak merasa kurang diperhatikan?” “Apakah anak sedang meniru perilaku orang lain?” “Apakah anak sedang frustrasi atau mengalami tekanan teman?”
Cara Mencegah Anak Mencuri Sejak Dini
Ajarkan anak konsep kepemilikan sejak kecil. Gunakan aktivitas sederhana, misalnya membagi mainan, memilih barang yang boleh dan tidak boleh diambil.
Kedua, konsisten memberikan contoh baik. Anak belajar dari orang tua. Jangan pernah mengambil sesuatu yang bukan milik kita tanpa izin di depan anak.
Ketiga, berikan anak tempat menyimpan barang pribadi. Kotak mainan atau laci khusus melatih anak menghargai kepemilikan.
Keempat, mengawasi konsumsi konten. Jangan biarkan anak melihat perilaku mencuri di video atau game tanpa penjelasan moral.
Kelima, berikan anak cukup perhatian dan waktu berkualitas. Banyak kasus anak mencuri berawal dari rasa ingin diperhatikan.
Keenam, ajarkan anak mengelola emosi. Marah, iri, dan kecewa adalah emosi normal. Anak perlu tahu cara mengatasinya tanpa mengambil barang orang lain.
Ketujuh, berikan uang saku sesuai usia. Tujuannya agar anak belajar mengatur kebutuhan dan keinginan.
Kedelapan, bangun kebiasaan berdiskusi. Ajak anak bicara tentang perasaan, konflik dengan teman, dan hal yang ia inginkan.
Kesembilan, hindari menggunakan label negatif. Kalimat seperti “kamu nakal” atau “kamu pencuri” merusak harga diri anak.
Terakhir, libatkan profesional apabila perilaku anak mencuri berulang. Jika anak mencuri lebih dari tiga kali dalam waktu dekat, konsultasi ke psikolog sangat dianjurkan.
Bagaimana Jika Anak Sudah Sering Mencuri?
Anak yang berulang kali mencuri bukan berarti “nakal”, tetapi butuh bantuan lebih dalam. Kondisi ini bisa berkaitan dengan kesulitan mengontrol impuls, perilaku menantang (conduct disorder), stres emosional, pengaruh lingkungan buruk, gangguan perkembangan tertentu, tekanan sosial, atau rasa tidak aman yang mendalam.
Pada situasi ini, psikolog dapat membantu mengidentifikasi akar masalah serta memberikan strategi intervensi, misalnya terapi perilaku, konseling keluarga, hingga pelatihan regulasi emosi.
Perilaku anak mencuri tidak selalu tanda kenakalan. Dalam banyak kasus, ini adalah bentuk pencarian perhatian, peniruan, impulsivitas, atau sinyal bahwa anak sedang butuh bimbingan. Yang terpenting adalah bagaimana orang tua merespons, dengan tenang, tegas, konsisten, dan penuh empati.
Ketika anak memahami aturan dan merasa didukung, mereka dapat memperbaiki perilakunya. Dengan kombinasi edukasi, teladan, komunikasi terbuka, serta intervensi profesional bila diperlukan, orang tua dapat membantu anak tumbuh menjadi pribadi yang jujur, bertanggung jawab, dan mampu menghargai hak orang lain.

Leave a Comment