Review film "Justice League"
Review film "Justice League"

DC Extended Universe akhirnya memiliki versi lain The Avengers. Justice League menjadi sebuah langkah maju dari waralaba superhero klasik ini di tengah gempuran superhero Marvel Cinematic Universe. 

Saat ending film Batman VS Superman: Dawn of Justice, Lex Luthor meneriaki Batman dengan mengatakan, “Lonceng baru saja dibunyikan. Dia sudah mendengarnya dan dia akan datang.” Film pun berakhir dengan penampakan sebuah lukisan di salah satu sudut dinding kediaman Luthor.

Itu adalah lukisan Parademons, prajurit kegelapan yang bisa mencium rasa ketakutan makhluk apapun di galaksi dan diperintah oleh Steppenwolf. Dia yang dimaksud Luthor adalah Darkseid, musuh utama semua karakter di Justice League yang penampakannya masih misteri.

Darkseid mengirim Steppenwolf yang berjuluk Sang Penghancur untuk mencari tiga kotak ibu (Mother Boxes).

Mother Boxes menyimpan kekuatan dahsyat. Artefak kuno ini jika disatukan bisa memengaruhi dan mengubah gravitasi, menghasilkan energi sangat besar, menghidupkan kembali yang sudah mati, menyembuhkan siapapun dari luka, mengendalikan, bahkan menghidupkan mesin.

Intinya, Mother Boxes bisa membentuk kembali atau menghancurleburkan sebuah planet, bergantung di tangan siapa dia berada.

Ketiga Mother Boxes disimpan di tempat rahasia tiga bangsa berbeda, yaitu Amazon, Atlantis, dan Kryptonian. Steppenwolf menghancurkan markas Amazon dan Atlantis demi mendapatkan dua kotak pertama.

Satu kotak terakhir didapatkan oleh Profesor Stone, ayah dari Cyborg. Mother Boxes versi film DC memiliki kesamaan plot dengan Infinity Stones versi film Marvel. Darkseid, raja dari segala penjahat di galaksi versi film DC sama halnya dengan Thanos di versi film Marvel.

Cerita berputar setelah kematian Superman (2016) di film sebelumnya. Kejahatan di Bumi kembali meraja lela. Setelah diperingatkan oleh Luthor, Bruce Wayne a.k.a Batman yang menyadari kondisi genting tersebut mengajak Diana Prince a.k.a Wonder Woman untuk merekrut manusia-manusia super membentuk perkumpulan Justice League. Mereka adalah Aqua Man, Cyborg, dan Flash.

Batman masih merasakan kekuatan mereka tak cukup, bahkan belum secuilnya untuk mengalahkan Steppenwolf. Keenam superhero ini melalui perdebatan panjang hingga akhirnya sepakat untuk membangkitkan kembali Clark Kent a.k.a Kal-El a.k.a Superman dengan kekuatan Mother Box ketiga yang ada di tangan mereka. Mereka menghimpun kekuatan untuk menghentikan niat jahat Steppenwolf dan mengembalikan kedamaian di muka Bumi.

Sepanjang film ini diputar, aku tak tahu alasan mengapa Steppenwolf begitu terobsesi menghancurkan Bumi. Bukankah Bumi bukan planetnya? Jadi, film ini sedikit membuatku garuk-garuk kepala. Memang ada backstory di film ini yang menceritakan dahulunya Steppenwolf pernah menyerang Bumi dengan Mother Boxes. Namun, usahanya itu digagalkan oleh tiga aliansi, yaitu bangsa Amazon, Atlantis, dan Kryptonian.

Steppenwolf menurutku cuma mengerikan sebagai penjahat dilihat dari penampilan fisik saja. Badannya tinggi, besar, pucat, bertanduk seperti setan. Tapi, kalo harus menilainya mengerikan atau tidak, aku lebih merinding dengan karakter jahat Lex Luthor – diperankan Jesse Eisenberg – yang notabene manusia ketimbang makhluk dari luar angkasa seperti Steppenwolf ini. Steppenwolf adalah karakter penjahat yang mudah dilupakan, berbeda dengan Loki, Joker, atau Luthor yang sangat ikonik dan selalu ditunggu kehadirannya.

Justice League tetap dibumbui humor di sana sini. Arthur Curry a.k.a Aqua Man yang super agresif juga songong mengingatkan kita akan karakter Thor di The Avengers. Karakter Flash yang muda, humoris, dan super ceriwis, mengingatkan kita akan karakter Tom Holland di Spider Man: Homecoming. Kok bisa?

Banyak faktor menyebabkan film ini terkesan sedikit ‘dipaksa’ menyerupai The Avengers. Justice League adalah film yang lahir dari dua ayah. Sutradara aslinya, Zack Snyder mengundurkan diri di pengujung proyek film ini karena putrinya meninggal tragis dengan cara bunuh diri.

Penyelesaian film ini akhirnya jatuh ke tangan Joss Whedon yang karakter pengarahan filmnya berbeda dengan Snyder. Siapa itu Whedon? Dia adalah sutradara dari dua film Marvel yang sukses, yaitu The Avengers (2012) dan The Avengers: Age of Ultron (2015). So, udah tahu kan? Kenapa aku merasa Justice League berbau The Avengers?

Jika film Batman VS Superman: Dawn of Justice miskin ketawa, maka sensasi berbeda bisa dijumpai di Justice League. Humor khas Whedon terasa di sini. Salah satu adegan lucunya menurutku ketika Aqua Man tanpa sengaja duduk di tali laso kejujuran milik Wonder Woman. Penguasa Atlantis ini secara spontan mengungkapkan seluruh perasaannya.

Aqua Man satu-satunya anggota yang meragukan kemampuan Justice League, namun mendadak menyebut bangga bergabung dengan aliansi ini. Aquaman juga memuji kecantikan dan kekuatan Wonder Woman. Ketika menyadari dirinya tersihir, manusia setengah ikan ini langsung berlalu pergi. Dia sempat mengancam Flash yang menertawakannya. Katanya, dia akan menyuruh piranha-piranha di laut untuk memakan Flash jika rahasianya terbongkar 😀

Adegan lucu lainnya melihat tampang Flash yang melongo melihat Superman menerbangkan satu gedung bertingkat berisi penuh penduduk sipil, sementara dirinya dalam waktu bersamaan baru menyelamatkan satu mobil pick up berisi satu keluarga saja.

Akting Gal Gadot sebagai Wonder Woman dan Ezra Miller sebagai Flash a.k.a Barry Allen menghidupkan cerita ini. Aku juga kaget saat mengetahui Flash adalah fanboy dari girlband K-pop Black Pink. Ya ya ya ya ya ya ya, bombayah! Oppa! (sambil nari perut dan ngibasin rambut) Hahahaha.

Cyborg a.k.a Victor Stone meski miskin cerita tapi menjadi karakter penentu akhir cerita ini. Dia bersama Superman adalah dua paling berjasa memisahkan kembali Mother Boxes yang sebelumnya sempat disatukan Steppenwolf.

Batman masih membosankan. Jujur, aku kasihan banget sama Bruce Wayne di sini. Karakternya dibikin galau berkepanjangan, sampai rencananya mengorbankan nyawa demi membuka segel tempat persembunyian Steppenwolf dan Mother Boxes. Sejak film dimulai, Batman bahkan sudah disetting menyesal berkepanjangan karena merasa dirinya jadi penyebab kematian Superman di Dawn of Justice.

Justice League durasi tayangnya cukup lama, dua jam. Tapi, dua jam rasanya tidak cukup untuk pengembangan karakter Aqua Man, Flash, dan Cyborg. Rasanya berbeda ketika kita menonton The Avengers yang karakter-karakternya sudah cukup populer dengan pecahan film sendiri, seperti Iron Man, Captain America, Thor, dan Hulk.

Mungkin di sinilah kekurangan utama Justice League. Mengacu pada The Avengers, film Justice League seharusnya dikeluarkan setelah seluruh film yang menceritakan tentang Aqua Man, Flash, dan Cyborg dibuat versi layar lebarnya. Antusias penonton menemukan sekelompok superhero bersatu untuk menyelamatkan Bumi jadi terhalang oleh fakta mereka tidak mengenal sebagian besar super hero tersebut. Penonton mungkin hanya familiar dengan Batman dan Superman saja. Syukur syukur kalo kemarin mereka sempat menonton Wonder Woman.

Ada satu adegan gak penting di film ini, yaitu kehadiran satu keluarga di Rusia. Mereka diceritakan berjuang dan bertahan di dalam rumah mereka yang berada di tengah-tengah kumpulan Parademons. Menurutku, adegan keluarga ini sangat menyita waktu. Ketimbang menampilkan mereka, lebih baik sutradara menggali cerita latar dari tiga karakter baru di Justice League, mau itu tentang Aqua Man, Cyborg, atau Flash.

Kekurangan lain di film ini sempat dibahas suamiku, yaitu munculnya Green Lantern di back story Mother Boxes. Padahal, kata suami, karakter Green Lanter fansnya cukup banyak. Kenapa dia gak gabung di Justice League ya? Mungkin nanti di sekuel kedua.

Secara keseluruhan, Justice League lebih bagus ketimbang Batman VS Superman: Dawn of Justice. Aku memberinya nilai 8.

Perlu dicatat, meski ada kekurangan di sana sini, film-film superhero DC lebih unggul dibanding superhero Marvel. Tokoh-tokoh DC memiliki lebih banyak ruang untuk tumbuh dan sangat kaya cerita.

DC tentu menjadi pilihan penonton-penonton dewasa, khususnya mereka yang cinta mati sama komiknya. Jadi, meski ada komentar-komentar jelek tentang film ini, yang namanya penggemar komik DC mah udah cinta mati dan pasti nonton filmnya. Kalo udah cinta, jelek-jeleknya gak bakal kelihatan 😀

Pernah dengar lagu Ruth Sahanaya yang judulnya Derita Kesayanganku? Nah, kurang lebih begitulah curahan hati para penggemar DC Comics. Kekeke. Mau sejelek apapun ulasannya, kita udah lama nungguin film ini dirilis. Mau seberapapun nestapanya Justice League, kita tetap setia menontonnya sampai habis. Sekali cinta, tetap cinta.

Ibarat sakit kepala, Justice League itu seperti migrain, sementara Batman VS Superman: Dawn of Justice itu vertigo. Meski demikian, dua-duanya tetap jadi sakit kepala kesayangan, sakit kepala favorit 🙂

Pesan penting dari film ini adalah, kamu tidak bisa menyelamatkan dunia sendiri. Kalo kata pepatah, bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Anak-anak aman menonton film ini, sebab tidak ada adegan dewasa, selain Flash yang tanpa sengaja menindih tubuh Wonder Woman ketika bertarung melawan Parademons. Hihihi.

Potensi kelanjutan dari film kedua Justice League sangat besar. Itu terlihat dalam petikan narasi Batman di epilog film ini, ketika dia meminta Alfred untuk membangun kembali istananya di Gotham.

Batman meminta Alfred menyediakan enam kursi khusus di sebuah ruangan besar. Enam kursi itu melambangkan enam anggota Justice League, dan keduanya mengisyaratkan tambahan kursi untuk siapa saja yang ingin bergabung. Pastinya penasaran dong seperti apa film keduanya nanti?

Share:

Tags:

Leave a Comment