Wartawan/Jurnalis: “Cuaca hari ini cukup bagus, bukan?”
Ilmuwan/Saintis: “Ummm, kurasa tidak. Suhunya memang sejuk, sekitar 25’C, tapi angin bertiup lebih kencang dari biasanya. Arah anginnya dominan ke utara. Sebentar lagi akan hujan.”

Wartawan/Jurnalis: “Indonesia mengalami penggundulan hutan setara 300 kali lapangan bola per jam.”
Ilmuwan/ Saintis: “Pada tahun 1997-2000, laju kehilangan dan kerusakan hutan Indonesia mencapai 2.800.000 hektare per tahun. 

Percakapan sederhana di atas hanya leluconku saja untuk menggambarkan betapa berbedanya makna bahasa dalam pemahaman seorang wartawan (jurnalis) dengan ilmuwan (saintis).

Darwin menunggu 20 tahun untuk mempublikasikan buku the Origin miliknya. Melihat contoh kasus ini, kupikir jurnalis sains yang sempurna di berbagai media saat ini terbilang jarang. Alasannya? Ruang untuk pemberitaan sains di koran atau newsroom online terbatas, alokasi halaman untuk pemaparan ilmiah terlalu sedikit, berita harus diupdate dalam waktu singkat, saintis kesulitan membahasakan ide mereka ke dalam tulisan ilmiah populer, jurnalis dengan latar belakang non-sains yang menulis sains kadang dianggap tak cukup kredibel.

Contoh sederhana, sewaktu sejumlah awak media berkunjung ke LIPI Cibinong beberapa waktu lalu, salah seorang kepala pusat penelitian tiba-tiba mengabsen kami dengan cara unik.

“Siapa di sini yang latar belakangnya sarjana Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), seperti Biologi, Fisika, atau Kimia?” tanyanya.

Hanya satu orang temanku yang mengangkat tangan. Meski lulusan Fakultas Kehutanan, aku memilih diam dan fokus mendengarkan pemaparan si bapak selanjutnya, kecuali kalo si bapak nanya, “ada yang lulusan kehutanan?” Hahahaha, gak mungkin lah yaaa. Begitulah contoh sederhana yang kadang membuat saintis dan jurnalis itu seperti pasangan yang sedang pacaran, tapi jauh dari kata romantis. Hehehe.

Meski demikian, menjadi jurnalis sains yang baik itu sangat mungkin bisa lho. Orang-orang yang menjalani profesinya dengan serius bisa menjadi ahli di topik tertentu. Selama tiga tahun penuh aku menjadi jurnalis ekonomi yang nge-pos mulai dari Kementerian Pertanian, Perdagangan, Bursa Efek Indonesia (BEI), Kementerian BUMN, ESDM, sampai terakhir di Bank Indonesia (BI), sedikit banyaknya aku merasa tidak gagap untuk membahas tentang makro mikro ekonomi, meskipun latar belakang keilmuanku adalah kehutanan.

Keahlian seseorang itu hanya berbicara masalah waktu, seperti evolusi. Seseorang bisa menjadi ahli jika mereka diberi waktu cukup untuk belajar, bukan sekadar menulis 2-3 berita lengkap atau 5-10 berita online per hari. Jurnalisme data mungkin bisa menjawab kegusaran para jurnalis terhadap orang-orang yang mempertanyakan keahlian mereka. Ketika seorang jurnalis mempunyai basis data yang kuat, maka mereka bisa berargumen apa saja untuk mendukung pemahaman mereka. Data adalah kekuatan utama saintis juga jurnalis, tak ubahnya seperti jurus ‘kamehameha’ milik Son Goku.

Foto: Lulupinney
Foto: Lulupinney

Melihat kondisi pemberitaan di percaturan media saat ini, jurnalisme data membutuhkan waktu khusus. Sayangnya, banyak wartawan yang (maaf) terkesan ‘malas’ untuk mengeksplorasi data dan menuangkannya ke dalam bahasa. Wartawan zaman sekarang dituntut untuk menulis praktis dan populer. Dalam waktu singkat, mereka harus mewawancarai narasumber atas sebuah kasus. Tentu saja wartawan sering terjebak dalam dunia ‘PR’ yang memakan mentah-mentah seluruh pemaparan narasumber.

Jika narasumbernya tepat ya tak masalah. Namun, bagaimana jika narasumber yang mereka ambil kurang kompeten di bidangnya? Aku menyebutnya sebagai ‘narasumber sapu jagat.’ Narasumber tipe ini biasanya bisa ditanyai topik apapun dan jawabannya sudah ketebak, pasti mewakili realitas yang ada saat sebuah pemberitaan itu muncul. Contoh, saat bahaya klorin dalam pembalut wanita mengemuka, narasumber yang kurang kompeten bisanya hanya menjelek-jelekkan saja atau menunjukkan betapa buruknya temuan tersebut.

Di tengah pencarian jurnalis untuk menemukan saintis yang tepat, saintis itu sendiri lebih banyak memilih untuk diam di balik meja atau di dalam labnya. Ibu Enny Sudarmonowati dari LIPI pun – dalam kesempatan temu media bersama LIPI- mengakui bahwa masih banyak saintis yang ‘takut’ berhubungan dengan media.

Mereka sudah parno duluan bahwa media akan memberitakan hal bombastis (baca: berlebihan) yang menyeret nama mereka. Kuakui, memang ada media yang seperti itu. Tapi, balik lagi, jika saintis bisa menyampaikan dengan cara yang lebih populer dan jelas, informasi pun mudah diterima dan mispersepsi bisa dihindari.

Sebagai Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati, Bu Enny di hadapan para peneliti yang dibawahinya mendorong agar mereka lebih ‘mesra’ dengan media dan muncul ke permukaan ketimbang menyimpan hasil-hasil penelitiannya sebatas di buku laporan atau jurnal-jurnal.

Saintis dan Jurnalis Bisa Akur

Di media nasional AS, berita-berita sains dipandang kurang menarik. Analisis Pew Research Center sepanjang 2007-2010 menunjukkan ilmu pengetahuan dan teknologi hanya menyumbang 1,5 persen dari keseluruhan materi berita. Angka tersebut menurun menjadi satu persen pada 2011. Media di Indonesia pun sangat jarang memiliki wartawan khusus dengan latar belakang ilmu pengetahuan, teknologi, dan lingkungan.

Sains itu seolah tersimpan dalam kotak terpisah. Namun, jika kotak itu terhubung ke dunia luar, maka sangat mudah untuk menjangkaunya. Dalam hal ini, akses dibutuhkan. Akses di sini bukan hanya kesempatan untuk berbicara dengan saintis, melainkan juga berinteraksi produktif dengan mereka.

Foto: Science Ramblings
Foto: Science Ramblings

Untuk menjembatani kesenjangan tersebut, lembaga ilmu pengetahuan atau kumpulan peneliti perlu mengundang jurnalis untuk take and give dalam keterampilan jurnalistik di bidang sains. Ini tak akan memakan biaya tinggi.

Pertemanan ini lebih fokus pada membangun hubungan baik antara kedua belah pihak. Saintis bisa mengenal jurnalis dan meminta umpan balik dari mereka. Jika ada hal salah maka diperbaiki bersama. Begini lah salah satu contoh yang dilakukan LIPI Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati bersama media dalam Konferensi Jurnalis Sains Indonesia (KJSI) 2015 di Bogor Agustus lalu.

Seorang jurnalis, menurutku sesekali harus berani ke luar dari zona nyaman. Jika selama ini bertemu dengan saintis dianggap membosankan dan membuang waktu, maka mulai disiplin memelajari lebih jauh tentang mereka.

Seorang editor, menurutku sesekali harus memahami bahwa jurnalis desk mereka juga ingin mencari tantangan baru dalam pekerjaannya. Latihlah mereka untuk berinovasi dengan berbagai ruang berita. Topik-topik sains bisa menjadi pilihan utama untuk memperkuat kemampuan jurnalisme data mereka..

Dari sudut pandang pribadi aku melihat sebagian besar jurnalis sains kerap terjebak dalam tulisan infotainment. Maksudnya? Ilmu menulis sains kadang terjebak dalam maksud menghibur, menyenangkan, atau menakut-nakuti pembaca. Sangat jarang jurnalis yang mampu menganalisis kritis, independen, dan rinci atas topik yang ditulisnya. Sehingga, tak jarang kita temui kata-kata seperti, “waspada akan kehadiran hewan mematikan ini di sekitar Anda,” atau “jangan pernah mengonsumsi makanan ini jika ingin jantung Anda berdetak lebih lama.” Hahahahahaha, serem yak?

Saintis dan jurnalis bisa ‘romantis’ kok. Keduanya bagaikan membina simbiosis mutualisme, saling menguntungkan. Jurnalis butuh berita, saintis butuh media. Fakta bahwa sering terjadi gesekan dan kontroversi antara sains dan jurnalisme saat ini menurutku bisa diartikan satu kemajuan. Artinya, revolusi sudah terjadi dan perubahan tak bisa dihindari.

Ilmuwan hendaknya ikut bertransformasi menuangkan ide-ide dasarnya ke media massa cetak dan elektronik untuk publikasi lebih jauh. Tidak semua orang membaca ‘jurnal internasional’ yang Anda publikasikan di berbagai negara. Tapi yakinlah, banyak orang akan membaca sudut pandang Anda menyikapi sebuah kasus ilmiah di media massa.

Ilmuwan baik dan wartawan baik menggunakan alat berbeda untuk menuliskan pemikirannya, namun tujuannya sama, yaitu melaporkan atau mempublikasikan kepada dunia. Saling percaya antara saintis dan jurnalis dibangun melalui kerja keras, sehingga kedua belah pihak bisa saling menerima reputasi masing-masing.

Menjadi ilmuwan atau wartawan itu adalah proses individual, tidak bisa dialihkan ke entitas ‘merek’ atau ‘lembaga,’ apakah mereka bekerja di LIPI, AIPI, lembaga riset lainnya, Kompas, Tempo, Republika, atau media lainnya.

Share:

Tags:

Leave a Comment