Namanya I Nyoman Punduh (52 tahun). Sedikit segan aku menghampirinya selepas keluar dari ruang ujian paket A di Denpasar Mei lalu. Mencoba menata kata-kata untuk membuat beliau tetap nyaman kuwawancarai tentang semangatnya mendapatkan ijazah SD diusia 52 tahun.
Syukurnya Pak Punduh tidak malu apalagi enggan kuajak berbicara, meskipun dia harusnya kembali lagi ke Dinas PU untuk bekerja. Awal-awal berbicara aku sedikit kesulitan dengan dialek bahasa Indonesianya yang bercampur bahasa Bali. Untungnya Bu Rusmiati sesekali membantuku mengartikannya. Wajar jika Pak Punduh mengaku bahwa ujian bahasa Indonesia adalah yang paling sulit baginya.
Begitu keluar dari ruang 06, Pak Punduh langsung menyalami tangan seorang wanita yang menunggunya di pintu keluar, tempatnya bergelut dengan lembar jawab kertas (LJK) soal ujian selama tiga hari terakhir. Wanita itu ternyata Wayan Rusmiati (43), guru di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Dharmawangsa, lembaga pendidikan nonformal yang memfasilitasi masyarakat untuk mengikuti program kesetaraan di Denpasar.
“Leganya,” ujar Pak Punduh sembari menghela napas panjang.
Pak Punduh adalah peserta tertua yang mengikuti ujian paket A di SD Negeri 29 Dangin Puri, Denpasar. Ia tak malu meski harus mengejar selembar ijazah SD lewat setengah abad usianya. Motivasinya sederhana, lulus pemutihan honorer di tempatnya bekerja.
Pria paruh baya ini bekerja sebagai tenaga kebersihan atau cleaning service di Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Bali. Selama 15 tahun mencari nafkah di sana, Pak Punduh baru terpikir untuk menyelesaikan pendidikan dasarnya dua tahun terakhir. Ia pun langsung bergabung dengan PKBM Dharmawangsa diawal 2013.
Pak Punduh adalah anak ketiga dari enam bersaudara. Ia berasal dari keluarga kurang mampu, sehingga tak satu pun dari saudara, termasuk dirinya yang lulus SD. Pencapaian hari ini merupakan prestasi sendiri baginya.
Menjelang ujian kesetaraan, Pak Punduh mengaku tak segan belajar dari anak bungsunya yang saat ini duduk di bangku SMP. Ia pun bertanya kepada siapapun, termasuk anak-anak SMK yang magang di Dinas PU. Bahasa Indonesia adalah mata ujian yang dianggapnya paling sulit.
Semangat Pak Punduh mendapat dukungan dari atasannya. Di sela bekerja, ia diizinkan untuk ikut kegiatan belajar mengajar dua jam setiap Selasa, Kamis, dan Jumat. Pak Punduh tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Di kelas, dia menjelma menjadi murid yang rajin dan tetap bergaul dengan peserta muda yang rata-rata seusia anaknya.
“Dia begitu bersemangat dan jarang tidak masuk. Di kelas, dia juga paling aktif bertanya,” ujar Bu Rusmiati, sang guru.
Bagi Bu Rusmiati, Pak Punduh mengajarkan kepada rekan-rekannya bahwa tak ada kata terlambat dalam menuntut ilmu. Bukannya perlu disemangati, Pak Punduh justru menjadi sosok motivator bagi teman-teman sekelasnya.
Bu Rusmiati menambahkan ada 28 peserta ujian paket A dari PKBM Dharmawangsa yang rata-rata berusia 12 tahun. Mereka adalah anak-anak miskin yang tidak mampu membiayai sekolah. Sebagian lain adalah anak-anak yang jeda karena tidak sempat menyelesaikan sekolah formal diusia sebayanya.
Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) Bali, Tjokorda Istri Agung (TIA) Kusuma Wardhani memaparkan ada 72.129 siswa tingkat SD dan MI di Bali yang mengikuti ujian nasional tahun ini. Mereka berasal dari 2,472 sekolah. Peserta paket A sendiri berjumlah 103 orang dari 16 PKBM.
“Paket A ini mengakomodasi mereka yang putus sekolah atau yang bekerja sambil belajar untuk menyelesaikan pendidikan wajib belajar sembilan tahun,” katanya.
Saat masih muda, banyak orang menghadapi kendala menyelesaikan bangku sekolah. Sekarang, saat ada kesempatan, peluang meraih pendidikan itu mereka ambil. Melihat Pak Punduh duduk di ruang ujian sebuah sekolah dasar mungkin pemandangan tak biasa. Namun, fenomena usia dewasa yang bersekolah nonformal setingkat SD, SMP, atau SMA faktanya banyak dijumpai di berbagai wilayah di Indonesia. Pak Punduh contohnya, tanpa ragu dia menyatakan masih bersemangat untuk melanjutkan paket B tahun depan demi mendapatkan ijazah SMP.
“Meski sudah 52 tahun, jika masih bisa lanjut, saya akan lanjutkan sekolah,” katanya optimistis.
Usia 0-6 tahun adalah masa anak bermain. Usia 7-23 tahun adalah masa sekolah, mulai dari SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi. Usia 25-30 adalah masa dimana banyak orang mencoba mencari pekerjaan berbeda, termasuk memulai kehidupan pernikahan. Usia 30-40 tahun adalah masa menguji kemapanan hidup, masa seseorang berani gagal dan berani sukses.Jika Anda saat ini sudah berusia 40-50 tahun, namun masih belum berhasil, maka tetap tak ada kata terlambat. Sebab, kehidupan dimulai ketika usia 40! Semangat!
Leave a Comment