Sampah sejatinya cermin kedisiplinan diri, budaya, dan karakter sebuah bangsa. Dan di Indonesia, cermin itu belum cukup jernih.
Mari kita jujur, peraturan tentang sampah di Indonesia ini sebenarnya sudah banyak. Hampir setiap daerah punya Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengelolaan Sampah. Pemerintah pusat, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) menyebutkan Indonesia bebas sampah 100 persen pada 2029. Akan tetapi, peraturan tanpa kesadaran itu ibarat jaring tanpa simpul. Rapuh, mudah sobek, dan akhirnya tak bisa menahan apa-apa.
Kesadaran tidak bisa Diatur Peraturan
Mari kita lihat contoh di Panyabungan, ibu kota dari Mandailing Natal, sebuah kabupaten di Sumatra Utara. Pemerintah melalui Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten atau https://dlhmandailingnatal.org/ sudah berkali-kali melakukan sosialisasi.
Petugas kebersihan pun rutin bekerja, mengangkut tumpukan demi tumpukan sampah. Tapi jika kita kembali bertanya, siapa yang membuang sampah itu? Jawabannya bukan bupati, bukan camat, bukan lurah, bukan juga kepala dinas. Yang membuangnya adalah kita, masyarakat.
Sebagai masyarakat, kita sering mencari alasan, seperti “Tempat sampahnya jauh,” atau “Toh nanti juga dibersihkan petugas.” Padahal kan logikanya sederhana. Kalau semua orang berpikir begitu, kota seperti Panyabungan akan menjadi lautan sampah. Ini berlaku sama untuk seluruh kota di Indonesia.
Inilah mengapa persoalan sampah tak akan pernah selesai hanya dengan perda dan petugas. Masalah sampah adalah masalah personal. Ini adalah perilaku individu yang diulang jutaan sekali hingga akhirnya menjadi kebiasaan nasional.
Belajar Disiplin Sampah dari Jepang
Mari kita lihat sejenak ke Jepang, negara kecil yang padat penduduk tapi hampir tak pernah kita dengar soal “tumpukan sampah.” Di Tokyo, Kyoto, atau bahkan desa kecil di Hokkaido, jarang sekali menemukan tempat sampah umum di jalanan. Tapi anehnya, jalan-jalan di sana tetap bersih, mengilap, seperti disapu setiap hari.
Bagaimana bisa? Jawabannya bukan karena teknologinya, tapi kesadaran moral dan sosial yang tertanam pada seluruh jiwa orang-orang Jepang sejak kecil.
Di Jepang, anak-anak sudah diajarkan mengenal dan memilah sampah sejak di sekolah dasar. Mereka tahu bahwa botol plastik, kaleng, dan sisa makanan harus dipisah. Mereka juga belajar membawa pulang sampah mereka sendiri jika tidak menemukan tempat pembuangan sampah.
Bagi orang Jepang, membuang sampah sembarang bukan cuma melanggar aturan, tapi memalukan. Mereka percaya bahwa kebersihan adalah bagian dari integritas pribadi. Maka, mereka membersihkan bukan karena diawasi, tapi karena itu bagian dari martabat mereka sebagai manusia.
Sistem di Jepang pun mendukung nilai itu. Sampah dipilah ketat, misalnya burnable (mudah terbakar), non-burnable (tidak bisa dibakar), recyclable (dapat didaur ulang), dan oversized (barang besar). Bahkan, jika kamu salah memilah, petugas tak akan mengambil sampahmu. Mereka akan menempelkan catatan, “Tolong pisahkan dengan benar.”
Bisa kita lihat hasilnya kan? Sampah di Jepang sepenuhnya dikelola semua pihak, mulai dari individu orang-orangnya sampai skala nasional. Mereka juga mengolahnya. Sisa makanan jadi kompos, botol plastik jadi bahan baku baru, kertas didaur ulang, dan hanya sedikit yang benar-benar berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Mari Putus Lingkaran Sampah
Kita sering bangga dengan budaya gotong royong, tapi anehnya, semangat itu lenyap ketika bicara soal sampah. Kita bisa bersama-sama bersih-bersih saat hari lingkungan hidup sedunia, sebagaimana yang digelar beberapa kali oleh https://dlhmandailingnatal.org/ tapi keesokan harinya, kantong plastik kopi tetap dibuang dari jendela mobil.
Masalah sampah tidak ada hubungannya dengan urusan teknis. Ini tuh urusan karakter, etika, dan kebiasaan kita sebagai manusia.
Orang yang membuang sampah sembarangan mungkin sama sekali tidak jahat, tapi ia sedang melatih dirinya untuk tidak peduli. Dan ketidakpedulian itu beranak-pinak, mulai dari sungai-sungai tersumbat karena sampah-sampah yang dibuang ke sana, banjir datang, sampai laut pun dipenuhi mikroplastik.
Bayangkan, setiap tahun Indonesia menghasilkan lebih dari 60 juta ton sampah. Sekitar 17 juta ton di antaranya tak tertangani, dan sebagian besar berakhir di sungai dan laut. Hasilnya? Kita jadi salah satu penyumbang sampah plastik laut terbesar di dunia.
Masih ingat dengan peristiwa paus sperma mati di Wakatobi dan ketika perutnya dibelah ditemukan 5,9 kilogram sampah plastik, termasuk sandal jepit, kantong plastik, tali rafia, dan gelas plastik. Hal ini diduga menjadi penyebab utama kematian paus tersebut.
Tak sadarkah kita? Kota yang bersih bukanlah kota yang sering dibersihkan, tapi kota yang warganya tidak membuang sampah sembarangan. Inilah kunci dari banyak kota maju di dunia. Pemerintah bisa membangun infrastruktur, tapi hanya warga yang bisa menjaga kebersihan itu setiap hari.
“Pisahkan, kurangi, dan kelola.” Ketika prinsip ini kita tanamkan, masalah lingkungan bisa selesai tanpa rapat panjang dan anggaran besar.
Enam Langkah Atasi Sampah Individu
Masalah sampah di Indonesia memang kompleks, tapi penyelesaiannya tak melulu harus rumit. Kadang, solusi besar justru lahir dari langkah-langkah kecil yang dilakukan dengan konsisten.
Berikut adalah tiga langkah sederhana untuk memutus lingkaran sampah, dimulai dari hal terdekat, yaitu diri sendiri dan rumah kita sendiri.
Kalau setiap rumah tangga sadar dan beraksi, gunungan sampah yang hari ini menumpuk di sungai, pasar, atau pinggir jalan, akan jauh berkurang.
1. Pilah dari rumah
Kita sering lupa, tempat lahirnya sampah bukan di TPA, tapi di dapur rumah kita sendiri. Mulailah dengan cara paling sederhana, menyiapkan dua wadah untuk dua jenis sampah, organik dan anorganik. Tak perlu beli tong sampah mahal, cukup pakai ember bekas atau plastik beras pun bisa.
Sampah organik seperti sisa nasi, kulit buah, sayur, dan daun kering bisa dijadikan kompos alami. Caranya mudah, campur dengan tanah, diamkan beberapa minggu, dan lihat bagaimana ia berubah jadi pupuk untuk tanaman. Bagi warga yang memelihara ayam atau bebek, sisa sayuran bisa dijadikan pakan tambahan.
Sementara itu, sampah anorganik seperti botol plastik, kardus, kaleng, dan kertas bisa dikumpulkan dan dijual ke bank sampah. Di berbagai daerah, bank sampah sekarang bukan hanya tempat menabung sampah, tapi juga tempat belajar ekonomi sirkular, di mana limbah bisa berubah jadi nilai.
Kuncinya sih satu, jangan menunggu sistem besar bekerja. Mulailah memilah dari rumah, dari tanganmu sendiri.
2. Kurangi sampahmu
Masalah sampah terbesar bukan pada banyaknya yang dibuang, tapi pada banyaknya yang tak perlu ada.
Hampir 40% sampah di Indonesia adalah plastik sekali pakai, seperti kantong belanja, bungkus makanan, sedotan, gelas kopi, dan botol air mineral. Kita terbiasa menggunakannya karena praktis, tapi praktis yang berujung tragis.
Di Jepang, misalnya, warga sangat disiplin membawa botol minum sendiri. Mereka menganggap membuang botol plastik sembarangan bukan hanya kotor, tapi tidak sopan. Sementara di Indonesia, kita masih sering menganggap membawa wadah sendiri itu “repot.” Padahal, repot beberapa menit jauh lebih baik daripada menambah gunungan sampah yang tak terurai berabad-abad.
Semua itu hanya dipakai beberapa menit, tapi butuh ratusan tahun untuk terurai. Solusinya, kamu tidak harus stop berbelanja, tapi ya sedikit mengubah gaya hidupmu.
Mulai dari hal-hal kecil, seperti bawa tas kain saat belanja, gunakan botol minum isi ulang dan wadah makan sendiri, pilih produk dengan kemasan isi ulang (refill), dan hindari penggunaan plastik sekali pakai saat ada acara keluarga atau kantor.
Langkah-langkah kecil ini, kalau dilakukan jutaan orang di Indonesia, dampaknya sungguh luar biasa.
3. Edukasi dan tegur dengan santun
Perubahan sosial butuh keberanian sekaligus kelembutan. Kalau kamu melihat seseorang membuang sampah sembarangan, jangan langsung marah atau menghakimi. Tegur dengan santun. Kadang, orang melakukannya bukan karena jahat, tapi karena tidak tahu atau terbiasa.
Gunakan pendekatan edukatif. Contohnya, kalau di lingkungan rumah ada anak-anak kecil, ajak mereka lomba memilah sampah atau membuat kompos.
Kalau di kdi sekolah, jadikan bersih-bersih kelas sebagai bagian dari pelajaran. Ini dilakukan di Jepang. Di sana, guru dan murid membersihkan ruang kelas setiap hari tanpa merasa rendah. Itu bukan pekerjaan rendahan, tapi latihan tanggung jawab sosial.
4. Daur ulang
Tahukah kamu, banyak produk kreatif lahir dari tumpukan sampah? Botol plastik bisa menjadi pot bunga. Kardus bisa jadi rak buku. Kain bekas bisa diubah menjadi tas belanja atau bantal duduk.
Konsep ini disebut upcycling, memanfaatkan barang bekas agar punya nilai baru dan lebih tinggi. Setiap inovasi kecil ini memperpanjang umur material dan mengurangi jumlah sampah yang berakhir di TPA.
Daur ulang itu bergantung pada kreativitas dan kemauan. Kalau kita bisa mengubah cara pandang dari “sampah sebagai beban” menjadi “sampah sebagai peluang,” maka kita sudah setengah jalan menuju solusi.
5. Bangun komunitas
Sebagus apa pun kebiasaan kita di rumah, tak akan berarti banyak kalau lingkungan sekitar masih acuh. Karena itu, penting membangun gerakan kebersamaan di tingkat lokal.
Mulailah dari RT, sekolah, atau kantor. Bentuk kelompok kecil yang fokus pada pengelolaan sampah. Buat jadwal bersih lingkungan mingguan, lomba kampung bersih, atau gerakan menanam pohon dari hasil penjualan sampah anorganik.
Andai saja semua daerah di Indonesia punya semangat kebersamaan ini, sampah bukan lagi momok kita, tapi ladang peluang untuk membangun solidaritas sekaligus ekonomi lokal.
Banggalah menjadi bagian dari solusi, sekecil apa pun peranmu. Ingat, Jepang tak lahir bersih dalam semalam. Mereka membangun kebiasaan itu puluhan tahun, dengan disiplin. Kita pun bisa asal mau mulai dari sekarang, dari diri sendiri.

Leave a Comment