Eh, eh, kamu tahu enggak? Gambut itu sama kayak film-film bergenre misteri yang banyak menyimpan plot twist. Jadi, jangan main-main sama gambut.
Kalau kita memang serius menghadapi perubahan iklim, serius mau melawan selimut polusi, kita juga harus serius menjaga gambut supaya luasannya enggak makin minim. Kalau kita zalim sama gambut, gambut bakal memberikan kita banyak efek kejut, sama halnya seperti kita tengah menonton film misteri tadi. Bikin jantungan, sesak napas, syukur-syukur nyawa masih terselamatkan. Kalau enggak? Wassalam.
Ekosistem lahan basah serupa gambut ini unik. Seberapa unik ya dia kira-kira?
Pertama, gambut terbentuk dari material-material organik, seperti serasah, ranting, pohon, akar, dan kayu yang jatuh ke tanah berbentuk cekungan menyerupai danau atau bekas lahan tergenang. Semua material organik tadi berkumpul di sana, berproses ratusan hingga ribuan tahun, tetapi tidak terdekomposisi sempurna.
Material organik tadi tetap ada, tidak membusuk sepenuhnya, dan terus menyimpan karbon yang mereka keluarkan dari atmosfer melalui fotosintesis. Serem ya? Ibarat mayat hidup atau zombie, begitu digali ya lepaslah dia berkeliaran ke sana kemari menghantui kita.
Kedua, gambut itu enggak seperti hutan. Kalau pohon-pohon di hutan tumbang atau ditebang, dia akan membusuk dan terurai sempurna oleh serangga dan jamur. Beda hal dengan gambut yang jumlahnya terus terakumulasi dari tahun ke tahun, tidak terurai sempurna sebab kondisi di dalam terlalu basah. Jadi, karbon yang tersimpan di dalam gambut tidak bisa hilang begitu saja. Dia akan tetap ada di sana sampai akhir masa selama ekosistemnya terjaga.
Sampai sini sudah kebayang kan? Kalau ekosistem gambut yang berproses selama ratusan hingga ribuan tahun tadi aman tenteram menyimpan karbon, lalu tiba-tiba dibuka dan dikeringkan, tak terhitung jumlah emisi karbon keluar dari perut bumi yang jelas-jelas menjadi kontributor utama perubahan iklim.
Mungkin belum banyak di antara kita yang tahu bahwa gambut tropis tertua di dunia ada di Indonesia, tepatnya di Putussibau, Kalimantan Barat. Lahan gambut purba ini diperkirakan terbentuk sejak 47.800 tahun lalu. Kedalamannya mencapai 18 meter, setara dengan tinggi bangunan enam lantai.
Kanada memiliki lahan gambut terbesar di dunia yang luasannya mencapai 170 juta hektare (ha), disusul Rusia (150 juta ha), Amerika Serikat (40 juta ha), dan Indonesia (13,43 juta ha). Sebaran gambut di dunia itu memiliki tiga rupa, yaitu gambut boreal, gambut subtropis, dan gambut tropis.
Nah, Indonesia memiliki lahan gambut tropis terluas di dunia setelah Brasil. Dari 258.650 spesies pohon tinggi yang tercatat di dunia, 13-15 persennya terdapat di lahan gambut Indonesia atau setara 35-40 ribu spesies pohon tinggi.
Selain itu, gambut Indonesia juga habitat dari 35 spesies mamalia, 150 spesies burung, dan 34 spesies ikan. Beberapa jenis fauna tersebut merupakan spesies endemik yang dilindungi undang-undang serta International Union for Conservation of Nature (IUCN), seperti buaya senyulong, orang utan, harimau sumatra, beruang madu, dan macan dahan.
Jumat, 21 Oktober 2022, saya dan teman-teman Ecoblogger Squad berkesempatan ngobrol santai bareng Kak Iola Abas yang merupakan Koordinator Nasional Pantau Gambut.
Pantau Gambut adalah platform daring yang menyediakan semua informasi terkait perkembangan program dan komitmen restorasi ekosistem gambut di Indonesia.
Dari beliau, saya mengetahui bahwa penurunan luas lahan gambut di dunia, termasuk Indonesia terbilang drastis. Pada 2019, luas lahan gambut di Indonesia sebesar 13,43 juta ha, berkurang 1,5 juta ha dari 14,93 juta ha pada 2011.
Sekiranya tren sama terus berlanjut, menurut saya, kurang dari 80 tahun lagi, lahan gambut di Indonesia habis total. Saya sih di tahun ke-80 alias 2102 itu pasti sudah tak ada di dunia ini, tetapi anak-anak saya? Mereka akan menderita di masa tua. Cucu-cucu saya? Saya tak sanggup membayangkan mereka akan berhadapan dengan kondisi alam yang tak lagi ramah.
Lahan gambut hanya ada tiga persen di permukaan bumi, tetapi menyimpan 30 persen cadangan karbon yang terkunci dalam tanah. Jumlahnya lebih besar dibanding tutupan hutan di seluruh dunia.
Inilah kenapa ahli dan pakar iklim menyebut gambut sebagai ‘bom karbon.’ Ketika ekosistemnya dirusak, konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer meningkat drastis dan mempercepat bumi menuju pemanasan global.
Menurut kalian, mengapa Indonesia selalu masuk dalam lima besar peringkat negara penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia?
Jawabannya bukan cuma batubara. Ada alasan lain di mana gambut-gambut di Indonesia acap dibuka untuk perkebunan, khususnya kelapa sawit.
Lahan gambut Indonesia bernilai penting untuk dunia. Gambut kita bisa menyerap 10 persen dari total 550 gigaton karbon di seluruh dunia. Angkanya setara 53-63 gigaton karbon.
Ketika gambut dialihfungsikan menjadi pertanian atau perkebunan skala industri, dia diperkirakan melepas hingga 427,2 ton karbon per ha. Hasilnya, total emisi karbon dari lahan gambut yang terdegradasi mencapai 63 persen dari total emisi karbon dunia.
Kebakaran di lahan gambut juga melepaskan gas rumah kaca, seperti metana ke atmosfer. Metana 21 kali lebih berbahaya dair karbon dioksida (C)2) karena mampu menahan panas lebih tinggi. Jika metana ini terlepas akibat kebakaran gambut, jumlahnya 10 kali lipat lebih banyak dari kebakaran lahan lain.
Gas rumah kaca yang lepas ke atmosfer akan menahan panas matahari sehingga meningkatkan suhu bumi. Proses yang lebih dikenal sebagai efek tumah kaca ini akhirnya mempercepat laju perubahan iklim. Begitulah siklusnya.
Manusia telah ‘mengeringkan’ gambut sejak berabad silam. Mereka membakar dan mengubah peruntukannya.
Mereka menganggap gambut tak ubahnya lahan terlantar yang sayang jika tidak diapa-apakan. Alhasil, ekosistem lahan basah yang tadinya berperan sebagai ‘celengan karbon’ dikeruk, dikeringkan, diubah menjadi lahan pertanian dan perkebunan skala besar atau industri.
Peatland is not wasted land. Tidak semua orang menyadari gambut juga berfungsi sebagai cadangan air.
Gambut mampu menyimpan air lebih banyak dibanding tanah mineral pada umumnya. Alasannya, gambut memiliki tekstur tanah tidak padat. Pori-porinya besar, 70-95 persen sehingga bisa menampung air sebanyak 450-850 persen dari bobot kering atau 90 persen dari volumenya.
Daya serap tinggi ini memungkinkan gambut menyimpan air di musim hujan dan mengalirkannya ke sungai dan mata air sekitarnya saat musim kemarau. Daya serap gambut pada musim hujan juga menahan wilayah sekitarnya tidak banjir. Nah, sekarang terjawab sudah, mengapa Kalimantan dan Sumatra yang dahulunya enggak pernah banjir kok tiap tahun sekarang banjir? Ya. gimana enggak banjir, gambutnya dikonversi melulu?
Kadang-kadang nyebelin ya, baca fakta seperti ini. Manusia sebenarnya sudah dikasih enak sama Tuhan, tinggal di bumi yang setiap jengkal tanah dan ciptaan-Nya menyimpan manfaat. Sayangnya Allah Maha Tahu, manusia suka sok tahu.
Bumi adalah sekutu utama kita untuk memerangi perubahan iklim. Oleh karenanya, kita harus mengembalikan solusinya pada alam. Hutan tropis, gambut, hutan bakau, rawa, dan lahan basah lainnya adalah senjata utama memerangi perubahan iklim.
Inggris adalah negara pertama di dunia yang memprioritaskan gambut sebagai strategi utama mencapai emisi karbon nol (bersih total) pada 2050. Pada perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim PBB atau Conference of the Parties (COP26) di Glasgow, Skotlandia 2021 lalu, pemerintah Inggris berkomitmen untuk menganggarkan satu miliar dolar AS hingga 2025 untuk program restorasi gambut, reboisasi, dan pengelolaan hutan.
Bagaimana dengan Indonesia?
Badan Restorasi Gambut (BRG) dibentuk sejak 2016. Tugasnya memfasilitasi percepatan pelaksanaan restorasi gambut, meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada areal restorasi gambut, dan melaksanakan percepatan rehabilitasi mangrove di provinsi target.
Pada tahun sama, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 57 Tahun 2016 jo PP No. 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan Total pada Hutan Alam, Lahan Gambut, dan Daerah Pesisir.
Komitmen berikutnya disusul Instruksi Presiden (Inpres) No. 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Inpres ini merupakan perbaikan dari Inpres No. 6 Tahun 2017 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
Semua program BRG berjalan baik hingga gambut Indonesia kembali terbakar pada 2019 di tengah kegiatan pemulihan yang dilakukan. Kendati tak separah 2015, kebakaran gambut 2019 menjadi catatan hitam bagi komitmen restorasi dan perbaikan regulasi perlindungan gambut yang semestinya memperlihatkan hasil positif.
Pemerintah mengklaim jutaan area gambut di Indonesia pulih sesuai rencana strategis (renstra) periode lima tahunan. Sayangnya klaim tersebut belum disertai informasi rinci tentang tolak ukur keberhasilan kegiatan restorasi.
Hasil analisis Pantau Gambut menunjukkan 69 persen area gambut di luar izin konsesi terbakar sepanjang 2019. Dari total area nonkonsensi yang terbakar itu, sebanyak 36 persen atau 127.289,69 ha kebakaran berada pada radius satu kilometer (km) dari batas terluas konsesi yang ada di atas gambut.
Apa saja potensi kesalahan yang terjadi di lapangan?
1. Pembangunan sekat kanal kurang tepat sasaran
Sekat kanal yang dibangun di lapangan sering kali tidak mempertimbangkan secara menyeluruh tingkat kerawanan terhadap api tahunan. Akibatnya, upaya pembasahan gambut untuk mencegah kebakaran menjadi kurang efektif.
Salah satu permasalahan utamanya adalah lokasi sekat kanal yang sering kali terlalu jauh dari area rawan kebakaran atau bahkan dari titik-titik yang sedang terbakar. Hal ini membuat distribusi air tidak optimal untuk menjaga kelembaban gambut di area kritis.
Penempatan sekat kanal yang tidak strategis ini mengurangi dampak positifnya dalam mencegah kebakaran hutan dan lahan, serta meningkatkan risiko api menyebar lebih luas saat musim kering tiba.
2. Infrastruktur sekat kanal rusak
Sejumlah infrastruktur sekat kanal yang dibangun oleh Badan Restorasi Gambut (BRG) mengalami kerusakan akibat derasnya aliran air, terutama saat curah hujan tinggi.
Kerusakan ini diduga disebabkan oleh kurangnya pemeliharaan rutin, sehingga struktur sekat kanal kehilangan fungsinya untuk mengatur aliran air secara optimal.
Tanpa perawatan yang memadai, material konstruksi rentan terhadap erosi dan tekanan air yang kuat. Selain itu, keberlanjutan fungsi sekat kanal sangat bergantung pada inspeksi berkala dan perbaikan cepat jika terjadi kerusakan.
Langkah strategis diperlukan untuk memastikan infrastruktur ini tetap efektif dalam menjaga kelembapan lahan gambut dan mencegah kebakaran hutan.
Kita bisa apa agar gambut tetap ada?
Tidak semua orang tahu tentang gambut, bahkan melihatnya saja belum pernah, apalagi menginjakkan kaki di atasnya. Padahal, gambut adalah ekosistem unik yang hanya terdapat di beberapa wilayah Indonesia. Tak semua daerah memiliki gambut, dan inilah yang membuatnya begitu istimewa sekaligus rentan.
Tantangan melestarikan gambut berbeda dengan melestarikan ekosistem lain seperti hutan mangrove, hutan pegunungan, atau hutan dataran rendah. Gambut terbentuk selama ribuan tahun, lapisan demi lapisan bahan organik yang terurai sangat lambat.
Ironisnya, hanya butuh waktu sesaat untuk merusaknya. Sekali terganggu, gambut kehilangan kemampuan alaminya menyimpan karbon, menahan air, dan menjaga keseimbangan lingkungan.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan supaya gambut kita tetap ada?
1. Tanam pohon lebih banyak
Gambut di Indonesia terkonsentrasi di tiga pulau besar, yaitu Sumatra, Kalimantan, dan Papua. Ekosistem gambut ini memiliki peran penting, tidak hanya sebagai penyimpan karbon terbesar tetapi juga sebagai habitat bagi keanekaragaman hayati.
Keberadaannya terancam oleh alih fungsi lahan, kebakaran, dan eksploitasi berlebihan. Salah satu cara sederhana namun berdampak besar yang bisa kita lakukan untuk menjaga gambut tetap lestari adalah dengan melakukan penanaman atau adopsi pohon di hutan gambut.
Adopsi pohon adalah program di mana kita dapat mendonasikan sejumlah dana untuk mendukung penanaman bibit pohon di kawasan hutan gambut.
Program ini biasanya mencakup pemeliharaan dan pemantauan oleh lembaga yang mengelolanya, sehingga donatur tidak perlu terlibat langsung tetapi tetap berkontribusi dalam pelestarian lingkungan.
Banyak lembaga di Indonesia yang menawarkan program ini, memungkinkan kita untuk turut serta dalam melestarikan ekosistem gambut dengan mudah.
Dua lembaga yang sangat saya rekomendasikan adalah Yayasan Alam Sehat Lestari (ASRI) untuk wilayah Kalimantan dan KKI Warsi yang berfokus pada kawasan Sumatra. Keduanya telah lama menjalankan program adopsi pohon dengan pendekatan berbasis komunitas dan keberlanjutan.
Saya pribadi, bersama komunitas, pernah berdonasi melalui salah satu lembaga ini, dan pengalaman tersebut memberikan kepuasan tersendiri. Dengan berkontribusi, kita tidak hanya menanam pohon, tetapi juga menanam harapan bagi masa depan bumi dan generasi mendatang.
2. Pakai produk relatif ramah terhadap gambut
Dalam hal konsumsi minyak goreng, kita sebenarnya memiliki banyak pilihan untuk membuat pola makan lebih sehat dan ramah lingkungan. Salah satu caranya adalah dengan mengombinasikan penggunaan berbagai jenis minyak goreng.
Misalnya, minyak kelapa sawit yang sering kita gunakan sehari-hari bisa dipadukan dengan minyak kelapa, minyak wijen, minyak alpukat, atau bahkan minyak zaitun. Setiap jenis minyak ini memiliki keunggulannya masing-masing.
Minyak kelapa terkenal dengan kandungan asam lemak rantai sedang yang baik untuk metabolisme, sementara minyak wijen memberikan aroma khas dan kaya antioksidan. Minyak alpukat dan minyak zaitun, di sisi lain, dikenal baik untuk kesehatan jantung karena kandungan lemak tak jenuhnya.
Namun, jika tetap memilih menggunakan minyak goreng kelapa sawit, penting bagi kita untuk lebih selektif dalam memilih produk. Pastikan membeli dari merek atau perusahaan yang benar-benar berkomitmen terhadap pelestarian lingkungan dan mendukung prinsip keberlanjutan (sustainability).
Hal ini bisa dilihat dari sertifikasi seperti RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) yang menunjukkan bahwa minyak tersebut diproduksi dengan memperhatikan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi.
Dengan langkah ini, kita tidak hanya menjaga kesehatan keluarga tetapi juga ikut berkontribusi dalam pelestarian lingkungan, memastikan bahwa pilihan kecil kita berdampak besar bagi bumi yang kita tinggali.
3. Mulai diversifikasi pangan
Saat ini, nasi menjadi pangan utama masyarakat Asia, termasuk Indonesia. Ada ungkapan populer yang sering kita dengar, “Belum makan kalau belum makan nasi.”
Ketergantungan ini membuat beras menjadi kebutuhan vital yang memengaruhi berbagai aspek, termasuk kebijakan pemerintah terkait ketahanan pangan. Sayangnya, banyak yang masih keliru memahami perbedaan antara ketahanan pangan dan kedaulatan pangan.
Banyak pemerintah, termasuk di Indonesia, mengambil langkah ekstrem seperti mengonversi lahan gambut untuk memenuhi kebutuhan pangan atas nama ketahanan pangan (food security).
Ketahanan pangan sendiri berfokus pada tersedianya stok pangan, tanpa terlalu memedulikan dari mana sumbernya berasal.
Jika stok pangan bisa dipenuhi dengan mengimpor atau membuka lahan baru, kebijakan ini dianggap berhasil. Namun, tujuan Indonesia sebenarnya lebih besar: kedaulatan pangan.
Kedaulatan pangan menekankan pada kemandirian, keberlanjutan, dan keadilan dalam produksi pangan. Sumber pangan harus berasal dari ekosistem yang lestari dan tidak merusak lingkungan.
Inilah alasan pentingnya inovasi dalam diversifikasi pangan, agar ketergantungan pada beras bisa berkurang. Salah satu solusinya adalah beras sagu, alternatif yang ramah lingkungan dan sehat.
Sagu, tanaman endemik yang banyak ditemukan di ekosistem gambut, telah lama menjadi makanan pokok saudara-saudara kita di Indonesia Timur. Kini, beras sagu hadir sebagai alternatif pangan yang tidak hanya ramah gambut, tetapi juga membawa banyak manfaat kesehatan.
Beras sagu memiliki kandungan glukosa yang lebih rendah dibandingkan beras putih biasa, sehingga sangat cocok untuk penderita diabetes. Selain itu, beras ini kaya akan antioksidan, mendukung kesehatan pencernaan, serta membantu menjaga gula darah, kolesterol, dan trigliserida tetap terkendali.
Melalui diversifikasi pangan seperti konsumsi beras sagu, Indonesia bisa mulai mempraktikkan kedaulatan pangan dengan lebih baik. Tidak hanya mendukung kesehatan masyarakat, tetapi juga menjaga ekosistem gambut tetap lestari.
Dengan mengurangi tekanan pada lahan gambut, kita membantu melindungi salah satu ekosistem paling penting di dunia yang berperan dalam mengurangi emisi karbon dan menjaga keseimbangan alam. Jadi, sudah saatnya kita mengubah mindset: makan bukan sekadar kenyang, tetapi juga bijak untuk bumi dan kesehatan kita.
4. Jadilah petani karbon
Gambut adalah ladang karbon masa depan. Tanaman yang bisa tumbuh di gambut bukan cuma padi dan kelapa sawit.
Ada banyak jenis tumbuhan adaptif di lahan gambut, di antaranya tengkawang, gaharu, jelutung, durian, geronggang, ulin, ramin, juga sagu, dan rotan. Pohon-pohon tersebut selain dapat diambil kayunya juga memiliki manfaat nonkayu, seperti berikut:
- Tengkawang bisa digunakan sebagai penyedap masakan dan ramuan obat-obatan, pengganti lemak cokelat, bahan farmasi, bahan pembuat lilin, sabun, margarin, pelumas hingga kosmetik.
- Gaharu bisa digunakan sebagai obat masuk angin, sembelit, kembung, diare, bahkan bisa dijadikan minyak atsiri dan aromaterapi.
- Jelutung diambil getahnya untuk industri kabel, alat kesehatan, permen karet, sementara resinnya diekstrak untuk industri pernis, biofarmasi, dan kosmetik.
- Durian semua pasti sudah tahu buahnya sangat enak dan lezat.
- Geronggang bisa dijadikan antimikroorganisme, antioksidan, antikanker, dan penangkal radikal bebas.
Muda-mudi bumi! Yuk, team up for impact. Kita harus mencapai keseimbangan antara penggunaan lahan gambut yang bijaksana dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat. Langkah pertama yang menjadi pekerjaan rumah kita adalah meningkatkan kesadaran masyarakat global akan sumber daya alam yang berharga ini serta konsekuensi apabila kita terus mengeksploitasinya.
Leave a Comment