Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia menurut saya udah kayak Lebaran. Ada terus tiap tahun. Bedanya, Lebaran pasti bikin kita bahagia, sedangkan karhutla pasti bikin kita menderita.
Banyak banget kawasan hutan, khususnya hutan gambut yang menjadi korban kebakaran. Kenapa sih selalu gambut? Gitu loh. Kalau rumah, gedung, atau pasar yang kebakaran, kita tinggal manggil damkar. Mereka bisa langsung datang seketika itu juga buat madamin api.
Celakanya kalau hutan gambut yang terbakar, kita butuh lebih dari sekadar damkar. Soalnya gambut itu jenis tanahnya terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tumbuhan yang setengahnya membusuk, sehingga kandungan bahan organiknya sangat tinggi dan tersimpan di kedalaman 4-5 meter, bahkan lebih.
Pantas saja teknik pemadaman api di hutan gambut itu beda. Bisa jadi api di permukaan gambut udah padam, tetapi kita enggak tahu api yang ada di kedalaman 4-5 meter tadi. Saya jadi ingat lagi Teori Segitiga Api pas belajar di bangku kuliah dahulu. Ada tiga unsur yang memicu kebakaran hutan, yaitu oksigen, bahan bakar, dan sumber panas.
Api di lahan gambut bisa merembet melalui lapisan dalam tanah dan menjalar ke area lain. Nah, mata kita kan enggak bisa lihat kondisi api di lapisan gambut yang dalam. Kita cuma bisa mengatasi api di lapisan permukaannya. Lapisan dalam gambut itu memiliki tiga segitiga api tadi, yaitu oksigen, bahan bakar (berupa kandungan organik yang memicu api), dan sumber panas (berasal dari api di lapisan permukaannya). Fatal banget kan? Makanya, jangan main-main sama kebakaran di hutan gambut.
Fakta kebakaran hutan dan lahan di Indonesia
Saya dan teman-teman yang tergabung dalam Eco-blogger Squad dari Blogger Perempuan Network (BPN) pada Jumat, 10 Juni lalu kembali bertemu. Kami berkumpul dalam online gathering dan ngobrol asyik tentang Fakta Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia.
Kali ini kita kedatangan narasumber cantik dan pastinya pintar banget, yaitu Mbak Cecilinia Tika Laura. Beliau adalah Spesialis Data Spasial dan Lanskap dari AURIGA. Kebetulan Yayasan Auriga Nusantara ini sebuah organisasi nonpemerintah yang bergerak dalam upaya melestarikan sumber daya alam dan lingkungan.
Tahun 2015 dan 2019 merupakan tahun terburuk kebakaran hutan dan bencana kabut asap di Indonesia. Kebakaran hutan 2015 melepaskan lebih banyak karbon ke atmosfer dibanding total emisi tahunan negara ekonomi besar, seperti Inggris dan Jepang.
Kebakaran hutan 2019 melepaskan 708 juta ton emisi gas rumah kaca. Jumlah ini, sebut Mbak Cecilinia hampir dua kali lipat lebih besar dibanding kebakaran di sebagian hutan Amazon, Brasil. Jumlah emisinya jauh di atas semua emisi dari industri penerbangan dunia.
Gara-gara kebakaran hutan 2019 ini Indonesia dinobatkan sebagai negara terbesar keenam di dunia untuk emisi gas rumah kaca, setelah Amerika Serikat, Cina, India, Rusia, dan Jepang. Sungguh sebuah prestasi yang membingungkan.
Data AURIGA menunjukkan sepanjang 20 tahun terakhir (2001-2019), sebagian besar titik panas atau dapur asap di Indonesia berada di lahan gambut. Lokasinya di Kalimantan Tengah, Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Papua.
Kebakaran hutan gambut yang terjadi di tujuh provinsi ini paling susah dipadamkan. Alasannya karena api enggak cuma di permukaan tanah saja, melainkan menjalar di perut gambut atau lapisan dalam yang enggak bisa kita lihat dengan kasat mata.
Mungkin kalau saya berkhayal bisa manggil lima pengendali api di Avatar the Last Airbender sekali pun buat madamin api di hutan gambut Indonesia, saya percaya mereka pasti bakal nyerah dan enggak mau datang lagi ke negara ini. Hehehe.
Fakta: 99 persen kebakaran hutan di Indonesia karena ulah manusia
Satu-satunya ahli forensik hutan yang RI punya, Profesor Bambang Hero Saharjo pernah bilang, kebakaran hutan dan lahan gambut yang disebabkan faktor alam atau cuaca dan iklim itu cuma satu persen.
Artinya apa? Ya artinya 99 persen kebakaran hutan dan lahan gambut yang terjadi di negara kita ini akibat ulah manusia. Saya bahkan berani bilang, bukan 99 persen lagi, tapi 100 persen pasti ulah manusia. Ini bukan karena human error, tetapi human yang sengaja meng-error-kan diri.
Mereka sengaja membuka lahan dengan cara membakar karena biayanya lebih murah. Mereka sengaja bakar kebun kelapa sawit yang buahnya gagal atau merugi, kebetulan dekat atau berdampingan dengan lahan gambut demi asuransi. Iya, ujung-ujungnya cuan.
Banyak banget kasus kayak gini. Daripada merugi, perusahaan kelapa sawit menyuruh oknum membakar kebunnya dan akhirnya mereka dapat duit dari asuransi pertanian kelapa sawit.
Orang asuransi mana ngerti sama sawit, ya kan? Jadi kalau ada kebun sawit yang dimiliki kliennya terbakar, mereka mau enggak mau harus ganti klaimnya. Saya enggak heran kalau pengusaha sawit dalam banyak kasus kelihatan tenang-tenang aja kalau kebun sawitnya terbakar. Soalnya mereka udah balik modal dari klaim asuransi tadi.
Pertanyaan berikutnya adalah faktor alam apa yang bisa menyebabkan kebakaran hutan gambut di Indonesia? Jawabannya adalah el nino atau kemarau panjang.
FYI, sejak 1960 sampai sekarang, Indonesia cuma mengalami delapan kali el nino dengan tingkat rendah hingga moderat, yaitu 1965, 1972, 1982, 1991, 1997, 2009, 2015, dan 2019. Kecenderungannya terjadi tiga tahun sekali.
Ini yang ngomong pihak BMKG ya. Wajar dong kalau ahli-ahli kebakaran hutan seperti Profesor Bambang Hero atau Profesor Lailan Syaufina dari IPB menyebut 99 persen kebakaran hutan dan lahan gambut itu karena ulah manusia.
Logikanya Indonesia bukan negara empat musim di mana masing-masing musim itu disertai dengan cuaca ekstrem. Kalau dingin ya dingin banget sampai bersalju. Kalau panas ya panas banget, sehingga kebakaran hutan bisa terjadi di mana-mana dan meluas, seperti di Australia dan Amerika.
Indonesia negara tropis. Artinya, musim panas dan musim hujannya seimbang. Siang malam seimbang. Musim kemarau sekali pun pasti ada hujan, dan musim hujan sekali pun pasti ada hari-hari panas dan kering.
Anak SD juga tahu bahwa yang namanya negara tropis itu kelembabannya tinggi. Jadi, semestinya enggak ada alasan logis yang menyebabkan negara ini PASTI mengalami kebakaran hutan dan lahan gambut setiap tahun. Kesannya kok karhutla itu ‘mudik’ terus ke Riau atau ke Kalteng? Bulannya pun sama, bulan-bulan itu saja.
Lihat diagram AURIGA di atas kan?
Sepanjang 2001-2019, kenapa sih kebakaran hutan dan lahan gambut di enam kabupaten/ kota di Riau serentak terjadi setiap Mei-September?
Sepanjang 2001-2019, kenapa sih kebakaran hutan dan lahan gambut di 10 kabupaten/ kota di Kalimantan Tengah serentak terjadi setiap Juli-Oktober?
Pada medio sama, kenapa sih kebakaran hutan dan lahan gambut di 14 kabupaten/ kota di Kalimantan Barat serentak terjadi setiap Juni-Oktober? Emangnya tiap tahun di sana ada el nino? Silakan dijawab sendiri. Jangan nyalah-nyalahin alam dan iklim melulu. Kasihan.
Biasanya nih, setelah oknum atau perusahaan tak bertanggung jawab membuka lahan dengan cara membakar hutan gambut, setelah lahan berhutan tadi rata jadi abu, mereka akan lanjut menanaminya dengan akasia atau kelapa sawit beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian.
Kalau kelapa sawit udah pada tahu manfaatnya ya buat sejuta umat. Kalau akasia? Ini adalah pohon invasif yang menjadi bahan baku pembuatan pulp dan kertas. Yes, tisu-tisu yang kita pakai di rumah, atau kertas dan buku tulis yang dipakai anak-anak kita di sekolah.
Jadi, mulai sekarang kita perlu menerapkan gaya hidup yang lebih ramah lingkungan ya teman-teman. Supaya kita enggak perlu banyak-banyak beli tisu dan buku, sebab kita enggak tahu apakah tisu dan buku yang kita beli ini diproduksi oleh perusahaan yang menerapkan pengelolaan hutan berkelanjutan atau tidak.
Duhai kalian para penegak hukum di negara ini. Seandainya keadilan itu masih ada, mohon dengan sangat ditegakkan. Jika pelaku pembakar hutan dan lahan gambut ini terbukti bersalah, entah itu oknum atau perusahaan, mohon ganjar mereka dengan hukuman setimpal.
Dampak kebakaran hutan dan lahan
Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia tiga tahun lalu, tepatnya 2019 tercatat sebagai kejadian paling parah dalam dua dekade terakhir. Seluas 1,6 juta hektare kawasan hutan kita, termasuk hutan gambut hangus dilalap api. Ini menjadi bencana terparah sejak kabut asap 2015.
Pemerintah kita setiap hari rutin menjadi sorotan seluruh negara di dunia. Ini menimbulkan ketegangan diplomatik.
Singapura dan Malaysia, dua negara tetangga kita ngambek dan ikut-ikutan menghujat Indonesia. Kalau soal ini, saya dukung Singapura dan Malaysia. Kita memang pantas mendapat kritikan dan caci maki itu.
Selanjutnya mari kita lihat dampak kebaran hutan dan lahan terhadap tiga hal, yaitu kesehatan, pendidikan, dan keanekaragaman hayati.
1. Dampak kebakaran hutan terhadap kesehatan
Data AURIGA juga dihimpun dari berbagai sumber menunjukkan 24 orang meninggal dunia, 600 ribu orang terjangkit penyakit infeksi saluran pernapasan (ISPA) saat Indonesia mengalami bencana kabut asap pada 2015. Banyak bayi menderita batuk, flu, sesak napas.
Campuran gas, partikel debu, zat kimia, dan bahan-bahan lain hasil kebakaran hutan bisa menimbulkan efek jangka pendek dan jangka panjang bagi kesehatan. Efek jangka pendeknya adalah penyakit ISPA tadi, mulai dari sakit mata, hidung meler, tenggorokan gatal, batuk, dan sebagainya.
Efek jangka panjangnya? Asap kebakaran hutan itu enggak simsalabim langsung hilang dalam sehari dua hari setelah dipadamkan. Hilangnya bisa berbulan-bulan, sehingga menurunkan kualitas udara di wilayah sekitarnya.
Penduduk yang tinggal di sini sangat berisiko suatu hari terkena penyakit ginjal, diabetes, penyakit yang berhubungan dengan tekanan darah, penyakit yang berhubungan dengan kesuburan pria atau wanita, bahkan mereka berisiko terkena gangguan saraf, seperti alzheimer.
2. Dampak kebakaran hutan terhadap pendidikan
Bencana kebakaran hutan dan lahan 2015 menyebabkan 1,5 juta peserta didik mengalami ketertinggalan pelajaran karena mereka tidak bisa sekolah. Lebih dari 46 ribu sekolah terpapar kualitas udara buruk.
Kabut asap membuat pihak sekolah memundurkan jam masuk sekolah, menghentikan proses belajar di luar kelas (seperti olah raga atau praktikum lapang), mengurangi jam belajar, bahkan meliburkan peserta didik.
Akibatnya apa? Ya anak-anak kita tidak maksimal mendapatkan pelajaran.
3. Dampak kebakaran hutan terhadap keanekaragaman hayati
Kebakaran hutan dan lahan mengubah fisik dan kimia tanah hutan. Kebakaran hutan menurunkan kemampuan penyerapan tanah, menurunkan presentase air tanah, merusak pH tanah, dan sebagainya. Kalau ini terjadi di hutan alam, mungkin perlu ratusan tahun untuk memulihkan kualitasnya seperti semula.
Indonesia salah satu negara dengan hutan tropis terluas di dunia yang berarti keanekaragaman hayatinya sangat tinggi. FYI, luas hutan hujan tropis di dunia ini cuma tujuh persen dari luas permukaan bumi, tetapi mengandung lebih dari 50 persen total jenis flora dan fauna di seluruh dunia.
Artinya apa? Ketika hutan tropis terbakar, banyak spesies flora dan fauna berkurang, bahkan terancam punah. Kehilangan keanekaragaman hayati berarti kita kehilangan spesies yang berpotensi secara ekonomi dan sosial. Sebagiannya mungkin hilang sebelum kita temukan manfaatnya.
Sumber daya obat-obatan dan bahan kimia yang belum ditemukan tadi bisa hilang selamanya, sementara masih sangat banyak penyakit yang belum bisa disembuhkan di dunia ini. Saat itu terjadi, kita menjadi orang-orang paling merugi.
Saya sedih sekali membaca sebuah artikel yang diterbitkan Mongabay, situs berita dan lingkungan. Judulnya Kala Satwa Menderita karena Kebakaran Hutan dan Lahan. Artikel ini menceritakan dampak kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada 2019 di Indonesia.
Kebakaran yang terjadi di Hutan Harapan Rainforest, Jambi pada 2019 memusnahkan satwa yang hidup di dalamnya, terutama kelompok reptil. Hutan ini merupakan habitat bagi 71 jenis reptil atau 29 persen spesies reptil di Pulau Sumatra, 64 jenis mamalia, 123 jenis ikan air tawar, 307 jenis burung, dan 728 jenis tumbuhan.
Hutan Harapan Rainforest adalah rumah bagi delapan ekor Gajah Sumatra dan 29 ekor Harimau Sumatra. Ada sekitar 100 jenis satwa dilindungi tinggal di hutan ini.
Akibatnya apa? Ketika rumahnya dibakar, hewan-hewan di hutan akan keluar mencari perlindungan baru. Pilihannya adalah permukiman warga. Alasannya karena cuma itu satu-satunya tempat yang tidak terbakar dan di sana juga banyak sumber pakan, seperti kebun singkong, kebun sayur, dan hewan ternak.
Dalam kondisi ini warga menjadi tidak nyaman dan akhirnya memasang jerat dan menaruh perangkap untuk menyingkirkan hewan-hewan tak berdosa tadi. Sebagian masyarakat bahkan terang-terangkan menggunakan senjata tajam, seperti senapan untuk mengusir satwa-satwa ini.
Mitigasi kebakaran hutan dan lahan, terutama hutan gambut menurut saya perlu memprioritaskan pendekatan sosial. Penegakan hukum mutlak dilakukan. Perambah-perambah hutan tadi harus diberikan solusi, bila perlu solusi yang bisa membuat mereka hijrah dari tadinya perambah hutan menjadi penjaga hutan. Mari kita doakan bersama.
Leave a Comment