Diet susu dan terigu adalah langkah pertama yang perlu dijalankan anak dengan gangguan autisme atau autism spectrum disorder (ASD). Orang tua pada umumnya kesulitan mengeliminasi susu sebab rata-rata anaknya sudah kecanduan susu, menjadikan susu sumber energi utama sehari-hari.
Anak makan gak seberapa, tapi minum susunya bisa 5-10 botol/ kotak sehari. Bangun tidur minum susu, siang minum susu, malam minum susu, sementara makan cuma 3 sendok, paling banyak 5 sendok.
Disuruh makan buah, anak maunya jeruk saja, atau pisang saja. Jenis makanannya gak bervariasi, sehingga susu dianggap bisa menyempurnakan pola makan yang monoton tadi.
Ketika dokter mengharuskan anak diet susu, orang tua, terutama ibu biasanya mengajukan pertanyaan lanjutan. “Kalo susunya gluten-free boleh gak dok? Kalo susu sapi diganti susu kambing atau susu soya (kedelai) boleh gak dok?”
Sayang bukan susu sapi, susu kambing, atau susu kedelainya yang menjadi penekanan utama, melainkan kasein, yaitu protein yang terdapat pada susu, apapun jenis susunya, mau susu sapi, susu kambing, susu kedelai. Nyaris 80 persen komposisi susu adalah kasein.
Mengapa anak autis harus diet kasein? Saya sudah pernah memaparkan di postingan berikut.
Pengalaman Mendietkan Anak
Pertengahan Agustus 2020, ketika Rashif pertama kali didiagnosis autisme, dokter anak di Surabaya masih membolehkan putra saya minum susu, tapi bukan susu biasa, melainkan susu gluten-free. Harga per kalengnya dua kali lipat lebih mahal dari susu formula biasa.
Ternyata tak terjadi perbaikan apapun pada anak saya. Rashif tetap tidur gelisah di malam hari, tetap tertawa sendiri tanpa sebab, memutar-mutar badan, gak fokus. Pokoknya stimming anak saya gak pernah berkurang.
Barulah ketika saya mendapatkan ilmunya dari dr Rudy Sutadi, bahwa anak autisi tidak boleh mengonsumsi susu jenis apapun beserta produk turunannya, saya mulai menjalankan diet susu secara total.
Dokter Yulia Darmawi dari KIDABA mengatakan anak autisi yang sudah kecanduan susu sebaiknya tidak diberhentikan mendadak. Orang tua bisa melakukan tapering off, yaitu mengurangi atau menurunkan dosis pemberian susu ketika hendak dihentikan konsumsi susu. Tujuan tapering off supaya tubuh anak tidak mengalami gangguan akibat penghentian minum susu yang tiba-tiba.
Rashif pertama kali mulai diet komprehensif untuk autisi ketika berumur 18 bulan. Bisa kebayang kan, bagaimana bayi 18 bulan yang masih sangat bergantung pada susu harus dicerai susu.
Kebetulan Rashif tidak lagi meng-ASI sejak 15 bulan. Itu atas kemauannya sendiri, bukan karena saya sapih. Setelah berhenti menyusu dari ibunya, akhirnya Rashif minum susu formula. Nah, sejak diberikan susu formula itu lah ciri-ciri autis Rashif semakin terlihat.
Sebelum mulai diet susu total, saya dan suami bermufakat. Sepanjang proses ini dilakukan, jika Rashif tantrum, maka kami harus mengatasinya sama-sama, bukan saya sendiri. Alhasil ada lima hari saya dan suami gak beres tidurnya.
Setiap malam kami harus berhadapan dengan tantrum Rashif. Anak kami terbangun setiap dua jam minta susu.
Biasanya dalam satu kali pemberian, Rashif mendapat 200 ml susu. Namun, di hari pertama diet susu, kami hanya memberikan Rashif separuh takaran. Akibatnya Rashif belum puas ngedot, tapi susunya sudah habis. Begitu susu di botol habis, dia minta ditambah, tapi saya gak kasih, seketika Rashif langsung menangis dan berteriak.
Rumah kami pokoknya seperti dihuni keluarga broken home. Sekitar jam 22.00, 23.30, 01.30, 03.30 WIB, sampai subuh bayi kami menangis, berteriak, marah, bahkan menggigit.
Rashif tetap tantrum, meski saya menggendongnya. Botol susunya kami isi air putih, tapi malah dibuang. Belum lagi Rangin, saudara kembar Rashif ikut terbangun karena Rashif menangis dan saya harus menyusuinya juga.
Pada akhirnya Rashif mau minum air putih dari botol dot-nya, tapi setelah tantrum 20-30 menit. Saya pernah khilaf meremas keras punggung baju Rashif di tengah kondisi mengantuk berat. Paginya saya dapati tanda merah di punggung anak saya, kemudian saya menangis.
Papa Rashif juga pernah khilaf memukul kaki Rashif. Betul-betul ujian selama 4 hari itu. Benar-benar perjuangan yang menguji kesabaran kami.
Tips Tapering Off yang Perlu Diperhatikan
Tapering off pada anak autisi bukan cuma berlaku untuk diet susu, melainkan juga diet lainnya, seperti diet terigu (gluten), diet elektronik, dan diet kimia. Praktiknya sederhana, yaitu takaran susu dikurangi, takaran nasi dan lauk pauk ditambahkan.
Berikut beberapa hal perlu diperhatikan ketika melakukan tapering off susu pada anak autisi.
1. Lakukan maksimal dua pekan
Saya melakukan tapering off susu untuk Rashif selama lima hari. Dokter Rudy dan dr Yulia menyarankan maksimal tapering off pada anak autisi dilakukan dalam dua minggu.
Saya memutuskan mempersingkat waktu karena alasan pribadi. Saya pengen capeknya sekalian, gak lama-lama. Mumpung Rashif masih bayi.
Buat saya mau tapering off dua minggu sekali pun, Rashif tetap akan tantrum ketika menyadari susu yang diberikan kurang. Jadi, ya kenapa gak dipercepat saja waktunya?
2. Kurangi takaran susu, tambah takaran makan
Satu botol susu yang tadinya berisi 200 ml dikurangi perlahan menjadi 150 ml, kemudian 100 ml, 50 ml, hingga dihilangkan seutuhnya.
Ketika takaran susu dikurangi, takaran nasi dan lauk pauk yang diberikan pada anak dinaikkan. Dari awalnya anak cuma makan 5 sendok untuk sekali makan, ditambah menjadi 8 sendok, 10 sendok, 12 sendok, dan seterusnya.
Percayalah, anak kita gak bakal siap kelaparan. Ini sudah hukum alam. Mereka pasti makan ketika perutnya lapar. Barulah saya sadar, ternyata penyebab utama selama ini Rashif makan sedikit banget, cuma 3-4 sendok sekali makan sesungguhnya karena perutnya sudah kenyang duluan sama susu.
Benar loh, begitu susu distop, Rashif langsung lahap banget makannya. Berat badannya naik signifikan setelah satu bulan menjalankan diet. Anak saya pernah nambah berat badan 1,5 kg sebulan.
3. Berikan air tajin sebagai pengganti susu
Beberapa anak autisi tergolong sensitif dan peka sama warna. Kalo gak lihat isi dotnya warna putih, warna susu, anak gak mau ngedot.
Salah satu cara mengakalinya adalah memberikan air tajin. Air tajin di sini bukan air bekas cucian beras ya, tapi air hasil rebusan beras. Banyak yang salah mengira kalo air tajin itu adalah air bekas beras yang dicuci. Kalo ini mah banyak jamurnya atuh, bisa makin parah leaky gut syndrome di saluran pencernaan anak kita.
Begini cara membuat air tajin yang benar.
- Ambil 3-5 sendok makan beras putih, kemudian cuci beras tersebut sampai bersih.
- Rebus beras dengan lima gelas air sampai mendidih, kemudian matikan kompor. Sebaiknya didihkan air beras dengan api kecil, selama 10-15 menit.
- Tuang air bekas rebusan beras yang telah mendidih. Berikan pada anak dalam kondisi hangat atau dingin.
Kekentalan air tajin ini serupa susu loh. Anak-anak biasanya suka karena ada manis-manisnya. Ini karena beras kan mengandung glukosa alami.
Air tajin menurut saya juga membantu anak autisi yang susah minum air putih. Di KIDABA, klinik tempat Rashif terapi, sering dijumpai kasus anak autisi dengan kadar ureum tinggi.
Ureum darah yang tinggi bisa menyebabkan gangguan ginjal hingga penyakit jantung. Ini menandakan anak dehidrasi berat karena malas minum.
Pemberian air tajin bisa menyempurnakan dosis harian cairan yang perlu dikonsumsi anak. Namun, bukan berarti anak autis yang malas minum, cukup dikasih air tajin setiap hari dan gak perlu dikasih air putih. Bukan begitu ya…
Bertahanlah!
Beberapa minggu pertama akan terasa sangat sulit bagi kita sebagai orang tua. Saya pribadi gak punya nasihat aneh-aneh, selain bertahanlah!
Teruslah mendietkan anak autisi kita secara komprehensif dan 100 persen. Tetap berjuang tanpa kenal lelah setidaknya 3-4 bulan pertama. Setelah itu, insya Allah kebiasaan yang tadinya terasa super berat akan terasa lebih ringan.
Beberapa anak autisi merespons cepat, seperti anak saya. Baru seminggu berhenti minum susu, Rashif sudah bisa tidur nyenyak tanpa sering terjaga di malam hari.
Namun, ada juga anak autisi yang merespons lambat, sehingga orang tua perlu ekstra sabar. Jangan panik ketika anak tantrum hebat saat didietkan. Ini justru pertanda bagus, bahwa zat-zat yang bersifat opiat atau yang membuat kecanduan di otaknya semakin berkurang. Ini hanya bersifat sementara sampai akhirnya anak kita menjadi terbiasa.
Leave a Comment