Langit Jakarta masih digelayuti awan malam itu. Cerah dan masih terang, meski jam tangan sudah menunjukkan pukul 9 malam. Aku ingat kejadiannya sekitar Mei 2011, sepulang rapat evaluasi carep (calon reporter) bersama redaktur dan teman-teman seangkatanku di Warung Buncit. Waktu itu aku masih bekerja sebagai jurnalis salah satu harian nasional yang berkantor di Pejaten, Pasar Minggu.
Setelahnya aku berjalan kaki pulang ke kosan yang jaraknya kurang dari 300 meter. Setengah jam sebelum pulang, seorang teman meminta ingin bertemu. Namanya Berlian (bukan nama sebenarnya), jurnalis juga. Kami baru kenal sekitar tiga bulan dan sama-sama masih anyar di media cetak.
“Muthe, gw nginap di kosan lu malam ini ya?” kata pertama yang diucapkan Berlian di teras kosanku.
Tanpa curiga sedikitpun, aku mengiyakan permintaannya.
“Boleh. Emang kenapa Ber? Kunci kosan lu hilang?” jawabku iseng.
“Bukan, The. Gw lagi butuh teman cerita. Gw mau curhat, tapi gak di sini. Lu besok liputan jam berapa?”
“Besok gw ke Kementan (Kementerian Pertanian). Pak Sus mau signing Mou gitu deh. Ni gw juga belum baca detail penugasannya di grup BB. Kementan dekat banget lah dari sini. Gw gak perlu buru-buru.”
“Alhamdulillah. Kalo gitu kita ke Suropati yuk, The.”
Singkat cerita Berlian membawaku dengan motornya menuju Taman Suropati di Menteng. Suropati masih ramai. Tempat ini makin malam memang makin ramai. Setelah memarkir motor, Berlian tampak serius memilih lokasi kami ngemper di salah satu sudut taman berumput hijau itu.
Berlian tampak ragu mengawali bicara. Aku pun mulai curiga ada hal serius yang ingin dia sampaikan. Pelan-pelan temanku itu bercerita begitu runut, kemudian kami sama-sama menangis. Kami bahkan tak mengindahkan dua pengamen yang seperti memanfaatkan situasi tiba-tiba datang menyanyikan lagu sedih.
Singkat cerita Berlian mengatakan pria yang selama enam bulan terakhir menjadi kekasihnya mengajak menikah dua hari lalu. Seharusnya ia bahagia, tapi pengalaman buruk masa lalu saat masih berkuliah di Jogja mendadak kembali menghantuinya.
Saat masih menjadi mahasiswa di Kota Pelajar, Berlian berpacaran dengan teman sekampusnya. Ia sangat mengagumi kekasihnya, terlebih lelaki itu cukup religius dan pintar. Mereka sebaya. Beberapa tahun berpacaran hubungan keduanya tiba-tiba melampaui norma dan batas kewajaran. Kali ini aku gak bakal nge-break down kisah Berlian sedetail itu karena aku yakin Berlian pasti membaca tulisanku ini.
Yups, Berlian tak lagi perawan. Meski tak sampai hamil, Berlian merasa tak lagi berharga sebagai perempuan karena telah kehilangan kesucian. Ia merahasiakannya dari semua orang, tak terkecuali keluarganya. Bagaimana dengan si pria kekasihnya itu? Lelaki itu memilih pindah universitas ke luar Jogja demi menghindari Berlian, supaya mereka tak bertemu lagi. Sumpah deh, bang*at banget emang.
Berlian menyimpan aib ini bertahun-tahun setelah lulus dan merantau ke Jakarta. Perempuan 22 tahun itu baru membuka hati setelah mengenal Gagah (bukan nama sebenarnya juga), karyawan sebuah perusahaan di Jakarta Selatan. Usia mereka terpaut lima tahun. Berlian mengenal Gagah melalui seorang teman.
Berlian limbung, antara harus jujur kepada Gagah atau tetap merahasiakan masa lalunya. Sebagai teman, aku pun berhati-hati memberi saran. Bagiku kebahagiaan perempuan terlalu rendah jika hanya diukur dari ada tidaknya selaput dara. Aku tak ingin Berlian terus menyimpan cerita ini selamanya. Dia harus menemukan seorang yang positif, bisa menerimanya apa adanya. Sangat mungkin orang itu adalah Gagah.
Butuh waktu seminggu sampai Berlian siap jujur tentang masa lalunya kepada Gagah. Namun, Gagah hanya butuh waktu semalam untuk bisa menerima Berlian apa adanya. Finally, he accepted what she was, her past, and also her dreams to start a new life. Persis seperti cerita negeri dongeng, Berlian dan Gagah akhirnya menikah.
Sejak itu senyumku terus mengambang setiap membuka Facebook dan mendapati foto-foto keluarga kecil mereka. Berlian dan Gagah saat ini sudah dikaruniai sepasang putera-puteri yang cantik dan ganteng.
Standar Ganda Kehidupan Seksual Laki-Laki dan Perempuan
Standar ganda tentang kehidupan dan aktivitas seksual tanpa sadar sering kita lakukan dalam kehidupan. Laki-laki tetap dihargai secara sosial saat ketahuan pernah berhubungan seks sebelum menikah, sementara perempuan dihukum secara sosial, bahkan dicap pelacur.
Tentunya kita masih ingat dong betapa publik dulu memberikan dukungan moril untuk Ariel ‘Noah’ saat kasus video panasnya viral. Hal berbeda diterima Cut Tari dan Luna Maya. Cut Tari bahkan harus mengasingkan diri bertahun-tahun di Australia untuk menenangkan diri akibat menanggung malu.
Kenapa sih dunia kesannya selalu memandang negatif perempuan yang karena ‘kecelakaan’ kehilangan keperawanan sebelum menikah? Bukan dalam kasus Ariel loh, tapi kasus Berlian temanku di atas. Seolah-olah itu abnormal dan perempuan boleh dihakimi, sementara laki-laki yang kehilangan keperawanan sebelum waktunya dianggap hal positif dan biasa saja. Mentalitas semacam ini sebagian besar karena nilai-nilai tradisional yang melekat kuat dalam diri kita.
Anak perempuan selalu diajarkan menjaga kehormatan. Jika mereka kehilangan keperawanan dengan cara salah, dengan orang yang salah, dan pada waktu yang salah, mereka dianggap aib bagi keluarga. Anak laki-laki sangat jarang menerima konsekuensi budaya tersebut.
Konsep keperawanan yang berkembang sekarang menurutku adalah hasil dari konstruksi sosial yang muncul di tengah masyarakat kita. Masih ada orang menyamakan perempuan sebagai hak milik laki-laki setelah menikah. Anak perempuan terkesan seperti barang warisan yang diwariskan oleh ayahnya kepada suaminya. Ini menjadikan keperawanan perempuan dianggap hal terpenting.
Sesungguhnya Ada yang Lebih Penting dari Keperawanan
Keperawanan bukan cuma perkara selaput dara. Beberapa perempuan bahkan dilahirkan tanpa selaput dara. Ada juga perempuan yang selaput daranya begitu elastis sehingga bisa dianggap perawan terus.
Selaput dara itu bisa rusak karena aktivitas nonseksual, seperti olah raga intensif, balet, duduk mengangkang di atas motor, mengayuh sepeda tanpa henti, dan sebagainya. Kemajuan teknologi medis saat ini bahkan memungkinkan dokter bedah plastik merekonstruksi lapisan jaringan menyerupai selaput dara atau yang lebih dikenal dengan istilah hymenoplasty.
Perawan itu kita (perempuan) sendiri yang tahu. Orang baru bisa menilai perempuan tidak perawan jika si perempuan hamil di luar nikah atau mengaku pernah melakukan hubungan seksual, seperti kasus Berlian di atas.
Ada hal lebih penting dikhawatirkan dalam kehidupan pernikahan selain keperawanan, yaitu kejujuran dan kepercayaan. Berlian mengakui masa lalunya kepada Gagah sebelum mereka terlanjur menikah. Berlian bisa saja menyembunyikan ini dengan sangat baik, tapi dia JUJUR, dan itu yang membuatnya pantas dihargai.
Orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Barang siapa yang mensucikan diri, sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Begini kurang lebih sedikit kutipan Surat Fatir 18 yang pernah kubaca. Dosa Berlian selamanya akan tetap menjadi dosanya, tidak akan pernah dilimpahkan pada siapapun. So, jangan julid dengan orang yang sudah bertaubat dari kesalahan. Perempuan mana pun tetaplah berlian, meski dia tak lagi perawan.
Tulisan ini please lah ya, jangan pernah dijadikan alat buat kalian, perempuan dan laki-laki untuk menghalalkan hubungan seksual sebelum menikah. Jadikan ini pelajaran, apalagi perempuan nih, tetap jaga kehormatan satu-satunya yang kalian punya. Pernikahan adalah cara kita menyempurnakan ibadah, maka sebaiknya tetap jaga kesucian itu hingga saatnya tiba.
“Ber, kalo lu baca tulisan ini gw mau bilang, you deserve to be happy, you deserve the very best of everything. Lu teman yang baik dan lu udah menjadikan gw teman yang berharga tempat lu bercerita semuanya. Thanks, Ber.”
Leave a Comment