https://www.googletagmanager.com/gtag/js?id=G-8K50HN0MMT window.dataLayer = window.dataLayer || []; function gtag(){dataLayer.push(arguments);} gtag(‘js’, new Date()); gtag(‘config’, ‘G-8K50HN0MMT’);

Rawat Cagar Budaya Agar Tetap Berdaya


“Kakak Mae bisa nggak menyebutkan nama-nama Cagar Budaya Indonesia?” Tanya kami pada Maetami yang masih berusia 3 tahun 4 bulan.

“Bisa dong. Mae kan pintar!” Jawabnya penuh percaya diri.

“Coba sebutkan!”

“Borobudur di Magelang, CABI! Masjid Istiqlal di Jakarta, CABI! Teks Proklamasi Bangsa Kita, CABI! Sekolahku yang warna ijo, bukan CABI!”

“Gambar Cadas di Raja Ampat, CABI! Benteng Rotterdam di Makassar, CABI! Istana Maimun di Medan, CABI! Sepeda adik warna merah, bukan CABI!”

Kami pun gembira sekaligus bangga melihat respons si kakak. Meski dia menjawab pertanyaan sambil bernyanyi, setidaknya putri kami sudah hapal enam nama Cagar Budaya Indonesia (CABI).

Semua berkat duet Bang Min Um (Abang Admin Cagar Budaya dan Museum) bersama Cican dan teman-teman di dalam jingle CABI yang didengarnya setiap hari. Terima kasih ya, Bang Min Um dan Cican!

Jujur, pada mulanya kami sekeluarga tak tahu banyak tentang cagar budaya, apalagi mengidentifikasinya saat melakukan traveling. Bagi kami, semua namanya sama, obyek wisata.

Jadi, mau itu cagar budaya, warisan budaya, museum seni, pura, monumen, makam bersejarah, tetap kami menyebutnya obyek wisata, atau paling tidak wisata budaya.

Suatu hari saya membantu seorang rekan menyiapkan materi landing page Dinas Pariwisata Kota Denpasar. Dari sana saya mengetahui Bali ternyata memiliki banyak cagar budaya, baik yang sudah ditetapkan, baru diverifikasi, atau masih tahap rekomendasi.

Saya kemudian berkunjung ke laman Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Baru lah saya mengerti apa itu cagar budaya dengan lebih terperinci.

Adakah di antara Anda yang membaca tulisan ini sama seperti saya dulu? Tidak kenal dan tidak tahu tentang cagar budaya.

Ketidaktahuan ini secara tidak langsung berdampak negatif bagi kekayaan budaya bangsa. Kita menjadi cuek dan kurang menghargai tinggalan nenek moyang kita.

Rumah Bung Tomo di Kawasan Cagar Budaya Malang Rusak, demikian judul sebuah berita online yang saya baca di laman Merdeka.com.  Rumah di Jalan Boulevard Idjen Nomor 6, Malang itu rusak dan dibongkar oleh pemilik baru.

Beruntung Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Malang meminta pembangunan tersebut dihentikan sementara, sampai pemilik baru bisa menunjukkan bukti sah izin pembangunan.

Ada lagi, 40 Persen Cagar Budaya di Kota Bogor Rusak. Berita ini saya baca di laman online Pikiran Rakyat.

Konsil Kota Pusaka mencatat ada sekitar 660 cagar budaya di Kota Hujan, dan hampir separuhnya rusak, bahkan hilang.

Bangunan cagar budaya di salah satu sudut Kawasan Surya Kencana hilang, rata dengan tanah. Padahal, yang namanya cagar budaya wajib dilindungi, meski telah berpindah tangan ke ahli waris atau pemilik baru. Mereka harus mengajukan izin kepada pemerintah daerah jika ingin melakukan pemugaran atau pembongkaran.

Sedih, miris, prihatin. Semua karena ketidaktahuan yang berujung tindakan bodoh segelintir orang yang tak peduli kelestarian cagar budaya.

Tak kenal maka tak sayang, demikian pepatah lama nenek moyang kita. Setidaknya ada lima kategori cagar budaya yang wajib kita rawat dan lestarikan.

Benda Cagar Budaya

Benda alam dan/ atau benda buatan manusia. Bentuknya bisa bergerak dan tidak bergerak, kesatuan atau kelompok, atau bagiannya, atau sisa-sisanya yang berhubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.

Struktur Cagar Budaya

Susunan binaan terbuat dari benda alam dan/ atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk kebutuhan manusia.

Bangunan Cagar Budaya

Susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/ atau tidak berdinding, dan beratap.

Situs Cagar Budaya

Lokasi yang berada di darat dan/ atau air yang mengandung benda cagar budaya.

Kawasan Cagar Budaya

Satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih. Letaknya bisa berdekatan dan/ atau memperlihatkan ciri tata ruang khas.

Pemerintah melalui Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman telah menetapkan total 1.083 cagar budaya.

Jumlah tersebut terdiri dari 954 cagar budaya yang ditetapkan sebelum Undang-Undang 11 Tahun 2010 berlaku, yaitu medio 1981-2011. Sisanya 129 obyek ditetapkan setelah pemberlakuan Undang-Undang Cagar Budaya, yaitu 2013-sekarang.

Saya cinta, maka saya bercerita. Sejak hijrah ke Pulau Dewata 2014, kami ternyata sering berkunjung ke obyek atau Kawasan Cagar Budaya.

Bali memiliki ratusan cagar budaya. Pemerintah daerah terus menginventarisasi dan mengidentifikasi keberadaan-keberadaan cagar budaya lainnya. Berikut beberapa di antaranya.

Salah satu cagar budaya populer adalah Taman Ujung Sukasada di Kabupaten Karangasem. Istana air di ujung timur Pulau Bali ini dibangun Raja Karangasem, Gde Djelantik pada 1901, kemudian diwariskan ke Gusti Bagus Djelantik pada 1909.

Pembangunan situs bersejarah ini selesai 1921 dan diresmikan 1937. Sayangnya 26 tahun kemudian, tepatnya 1963, Taman Sukasada sempat hancur karena letusan Gunung Agung.

Pemerintah daerah kembali memugar Taman Ujung Sukasada sepanjang 2001-2003. Sejak itu kompleks istana ini dibuka untuk wisata.

Balai Gili Ikan Bangi merupakan bangunan utama di taman ini. Bentuknya rumah bergaya arsitektur Eropa yang terdiri dari ruang tidur raja, ruang istirahat putra dan putri raja, serta ruang tamu.

Wisatawan bebas memasuki ruangan ini. Kita akan melihat banyak sekali foto-foto monokrom yang menceritakan sejarah taman dan sejarah keluarga Kerajaan Karangasem.

Subak telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Bali. Ini adalah organisasi kemasyarakatan yang khusus mengatur sistem pengairan sawah. Masing-masing daerah di Pulau Dewata pasti memiliki subak.

Ada banyak prasasti yang juga benda cagar budaya di Bali menceritakan  tentang subak, mulai dari Prasasti Klungkung, Prasasti Manukaya, Prasasti Tengkulak, dan Prasasti Bangli. Lansekap Subak Jatiluwih paling populer bahkan telah dinobatkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO pada 2012.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah. Cagar budaya sebagai peninggalan sejarah harus dirawat. Jika tidak, satu per satu akan musnah.

Pelestarian cagar budaya mencakup perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Sering kali muncul masalah yang berasal dari internal, seperti keterbatasan sumber daya, atau eksternal, seperti faktor lingkungan, kurangnya kesadaran masyarakat, dan kejahatan memperjualbelikan cagar budaya.

Apa yang bisa kita lakukan untuk merawatnya? Caranya adalah kunjungi, lindungi, lestarikan.

1. Kunjungi

Traveling ke lokasi-lokasi cagar budaya adalah bentuk praktik pariwisata berkelanjutan. Banyak cagar budaya saat ini berperan meningkatkan ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitarnya.

Di Bali misalnya, wisatawan yang berkunjung ke sebuah cagar budaya bukan hanya berkontribusi lewat uang tiket masuk.

Efek penggandanya banyak, mulai dari jasa pemandu atau tour guide dari masyarakat lokal, penjualan suvenir, dan bisnis makanan minuman. Ketika masyarakat berdaya, mereka akan menjaga warisan budayanya.

Jadilah wisatawan bijak. Hormati budaya dan adat setempat.

Jangan pernah berniat atau melakukan hal-hal yang dapat merusak cagar budaya, misalnya vandalisme, mengambil sebagian atau keseluruhan obyek cagar budaya, atau membuang sampah sembarangan di lokasi cagar budaya.

2. Lindungi

Selain menjadi wisatawan, kita bisa menjadi relawan. Di Bali contohnya, ada Relawan Cagar Budaya Kampung Bugis, Serangan.

Serangan memiliki Situs Makam Islam Serangan. Ada setidaknya 18 makam kuno, khususnya Makam Syekh Haji Mukmin (Puak Matoa) yang dipercaya sebagai tetua di Kampung Bugis pada masa lampau.

Situs Makam Islam Serangan  juga memuat beberapa angka tahun penanggalan menggunakan huruf arab, yaitu 1269-1335 Hijriah (1852-1916 Masehi).

Relawan Cagar Budaya Kampung Bugis, Serangan, Denpasar

Relawan sering berkumpul untuk mengedukasi dan mengomunikasikan pengelolaan cagar budaya setempat. Biasanya dalam kegiatan mereka melibatkan pemerintah daerah.

Generasi milenial, termasuk di dalamnya ibu-ibu milenial bisa berkontribusi meningkatkan kesadaran masyarakat. Kita bisa berbagi cerita menarik tentang cagar budaya tertentu lewat media sosial, video, atau blog seperti yang saya lakukan saat ini.

Kita juga bisa berbagi tautan berita tentang informasi cagar budaya tertentu di Facebook, Twitter, atau Instagram.

3. Lestarikan

Kita bisa mendonasikan sejumlah uang untuk perbaikan dan renovasi cagar budaya.

Donasi bisa diberikan saat kita berkunjung ke lokasi, atau melalui platform online, seperti Kitabisa.com. Banyak ahli waris atau komunitas-komunitas pelestari cagar budaya membuka donasi di sana.

Sekarang ini ada banyak cagar budaya terancam punah yang perlu direnovasi segera. Anggaran pemerintah tak mungkin bisa menjangkau semuanya.

Masing-masing daerah memiliki Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) yang memantau, mengonservasi, menginterpretasi, dan memanajemen cagar budaya supaya tetap lestari.

Masyarakat dalam hal ini dilibatkan sebab mereka secara kultural ikut bertanggung jawab menjaga kawasan atau warisan cagar budaya tersebut.

Edukasi cagar budaya bisa dimulai dari keluarga dan disampaikan dengan cara beragam. Ajak anak-anak dan anggota keluarga kita mengunjungi Cagar Budaya Indonesia.

Anak-anak kita hari ini, mereka adalah ujung tombak pelestari cagar budaya di masa depan. Rawatlah cagar budaya sebagaimana kita merawat keluarga. 

Ingin lebih berkontribusi? Silakan berpartisipasi pada kompetisi “Blog Cagar Budaya Indonesia: Rawat atau Musnah!” yang diselenggarakan Komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN), didukung Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Yuk, rawat cagar budaya agar tetap berdaya. Yuk, lestarikan cagar budaya agar kita bisa terus bercerita pada anak cucu kita tentang kekayaan budaya Indonesia, tentang kuatnya kepribadian bangsa kita  🙂 


29 responses to “Rawat Cagar Budaya Agar Tetap Berdaya”

    • Iya mas. Kadang kita tidak tahu bahwa obyek yg kita lihat ternyata cagar budaya. Saya pun senang anak-anak saya kelak menghargai peninggalan nenek moyangnya.

      Terima kasih sudah berkunjung Mas Deddy.

      Like

  1. Saya juga sama. Seringnya gak tahu kalo obyek yang dikunjungi ternyata cagar budaya. Terima kasih informasinya mba. Artikelnya sangat menarik.

    Like

  2. Aku sukak tuh Candi Gunung Kawi, udah 2 kali ke sana. Waktu pertama ke sana, nyewa mobil carteran. Drivernya penduduk asli malah engga tahu ada situs ini. Hehe…
    Baguslah kalau masuk Cagar Budaya Indonesia. Semoga tetap terjaga kelestariannya…

    Like

    • Waaaah, Mba Hani sudah berkunjung rupanya. Kunjungan selanjutnya kayaknya harus kopdar kita mba. Hehehe. Terima kasih sudah berkunjung Mba Hani, semoga ini bentuk campaign positif kita untuk pelestarian cagar budaya.

      Like

  3. Saya termasuk antusias jika menemukan bangunan bersejarah yang banyak menyimpan kisah..rasanya seperti ada yang menarik diri ke masa lalu…sayangnya bangunan bersejarah cenderung diabaikan dan berakhir menjadi bangunan tua yang tak terpakai dan akhirnya digusur perhatian pemerinatah setempat sebenarnya menjadi kunci solusi.. terima kasih infonyatentang cara menjadi bagian dalam merawat cagar budaya ya mbak

    Like

    • Meski gen milenial salah satu cirinya adalah tipikal cuek, namun kita doakan mereka (termasuk kita juga) sadar akan keberadaan cagar budaya, sehingga ikut melestarikannya. Amiiin.

      Trims udah mampir ya mba.

      Like

  4. Betul banget ya mbak… sebagian besar CABI rusak dan kurang terawat. Sedih jadinya. Gerakan ini patut diapresiasi dan didukung supaya kesadaran menjaga dan melestarikan cagar budaya melekat pada anak muda generasi penerus bangsa

    Like

    • Iya mba. Di Denpasar saja, kota tempat saya tinggal, itu ada sekitar 300-an cagar budaya. Statusnya ada yg udah ditetapkan, ada juga yg masih direkomendasikan. Kesadaran masyarakat di sini tinggi kalo soal tinggalan sejarah. Alhamdulillah. Semoga di daerah lain juga demikian. Terima kasih mba, sudah berkunjung.

      Like

  5. Di dekat tempat kerja saya ada satu bangunan sekolah, ternyata gedung tersebut termasuk salah satu cagar budaya. Saya tahunya dari papan nama yang ada di depan sekolah tersebut. Bersyukur gedung tersebut terawat karena digunakan untuk kegiatan belajar mengajar setiap hari.

    Like

    • Betul mba. Seringnya memang kaya gitu. Banyak yg gak tahu, termasuk saya. Nah, kemampuan pengelola atau ahli waris menarasikan masing-masing cagar budaya menurut saya juga penting. Orang-orang kan tertarik karena ceritanya, karena narasi sejarahnya.

      Like

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Blog at WordPress.com.