Coretan ini aslinya repost dari tulisan saya yang pernah dimuat di Harian Nasional Republika edisi Minggu, 8 November 2015. Pada waktu itu kebetulan saya datang ke Ubud Writers and Readers Festival di Bali.

Para penulis ternama dan terbaik di bidangnya hadir di festival sastra terbesar di Asia Tenggara ini. Acaranya berlangsung 28 Oktober hingga 1 November 2015, dihadiri lebih dari 165 penulis dari 25 negara berbeda, salah satunya Christina Lamb. 

malala

Siapa sih Christina Lamb? Dia adalah penulis buku best seller I am Malala. Dalam sebuah diskusi bertajuk My Year with Malala, Lamb membahas sekelumit pengalamannya saat menuliskan kisah hidup Malala Yousafzai.

christina lamb
Christina Lamb (Foto: The Times)

Malala adalah anak perempuan hebat yang berani menantang Taliban demi kesetaraan pendidikan bagi anak-anak perempuan di desanya, Mingora. Saat itu Taliban berada di bawah kepemimpinan Maulana Fazlullah di Lembah Swat, Pakistan.

taliban
Maulana Fazlullah (Foto: The Telegraph)

Remaja belia kelahiran 12 Juli 1997 ini adalah pejuang hak pendidikan untuk anak- anak perempuan di tanah kelahirannya. Di balik selendang yang menutupi kepalanya, Malala menyembunyikan buku-buku pelajaran dan tetap berjuang pergi ke sekolah, melawan aturan ketat Taliban yang melarang anak perempuan mengecap pendidikan.

Ibu Malala, Tor Pekai Yousafzai, tak bisa membaca dan menulis. Ayahnya, Ziauddin Yousafzai, adalah seorang guru sekaligus pemilik Khushal Public School yang mendorong putrinya dan anak-anak perempuan lainnya untuk bersekolah. Malala juga memiliki dua orang adik bernama Khushal dan Atal.

malala
Malala dan keluarganya (Foto: Malala CP)

Taliban menguasai Lembah Swat ketika Malala berusia 10 tahun. Keluarga Yousafzai sangat demokratis dan tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap anak perempuan dengan anak laki-laki. Bersama sang ayah, Malala pernah bergabung dalam liputan dokumenter New York Times berjudul Class Dismissed in Swat Valley.

Memori Malala Gadis yang latar belakang namanya diambil dari nama pahlawan wanita Afghanistan, Malalai, ini tumbuh menjadi anak pintar dan beprestasi, menguasai bahasa Pashto, Urdu, dan bahasa Inggris.

Kecerdasannya itu membuat Malala lantang bersuara menggaungkan keadilan dan kesetaraan pendidikan untuk anak laki-laki dan perempuan. Dia bahkan pernah menulis sebuah blog di BBC tentang pengalaman seorang anak perempuan yang tetap ingin bersekolah di bawah kekuasaan Taliban. Dia menggunakan nama pena Gul Makai.

Pada 9 Oktober 2012, Malala dan teman- teman perempuannya baru saja pulang sekolah dan diangkut sebuah truk yang dimodifikasi menjadi bus. Bus tersebut lalu diadang dua laki- laki muda bersenjata dan bertopeng dari Taliban. Salah satu dari mereka berteriak menanyakan yang mana Malala.

Itu adalah memori terakhir yang diingat Malala sebelum dia ditembak di bagian kepala, tepatnya di sisi mata kiri dan rahang. Remaja 16 tahun itu terkapar karena dianggap terlampau kritis menuntut ruang pendidikan bagi anak-anak perempuan di Lembah Swat.

taliban
Foto: Reuters
malala
Foto: ABC
malala
Foto: The Telegraph

“Ketika dia ditembak, dioperasi, dan terbangun di rumah sakit tanpa kedua orang tua di sisinya, ini adalah bagian paling emosional bagiku,” kata Lamb.

Malala sempat dilarikan ke Peshawar, kemudian ke Rawalpindi, hingga akhirnya diselamatkan ke Birmingham, Inggris. Enam bulan lamanya Malala menjalani serangkaian operasi rekonstruksi tulang tengkorak dan wajah. Saat itu Malala bisa saja berakhir tak bernyawa atau buta setelah dua proyektil peluru menembus wajahnya.

Namun, takdir Allah berkata lain. Malala selamat dan merasa diberikan kesempatan kedua untuk menggunakan sisa hidupnya membantu orang lain. Gadis itu melambaikan tangan dengan senyum termanisnya saat meninggalkan Rumah Sakit Queen Elizabeth pascaoperasi.

Beberapa tahun kemudian, pimpinan Taliban, Adnan Rasheed sempat berkirim surat kepada Malala. Rasheed meminta dengan hormat supaya Malala kembali ke Pakistan. Malala dijamin dapat melanjutkan pendidikannya dengan aman asalkan mematuhi aturan-aturan Taliban, salah satunya memakai burqa. Malala tak menjawab surat itu karena yakin bahwa masa depan pendidikannya bukan bergantung pada aturan Taliban, melainkan kodratnya sebagai makhluk ciptaan Allah.

taliban
Adnan Rasheed (Foto: Dunya News)

Kisah menginspirasi Malala memutuskan meneruskan pendidikannya di Inggris. Dia tinggal di Birmingham bersama kedua orang tua dan adik-adiknya setelah mendapat fasilitas rumah hasil kerja sama Pemerintah Pakistan dan Inggris.

Lamb merasa diberi kesempatan beharga untuk menulis cerita hidup Malala. Lebih dari 25 tahun menjalani profesi sebagai jurnalis, Lamb pernah mewawancarai narasumber kunci, mulai dari panglima perang, penguasa diktator, raja, hingga perwakilan Taliban. Dia sama sekali tak menyangka akan menuliskan kisah hidup seorang gadis remaja. Gadis yang usianya masih sangat muda tetapi menjadi target utama Taliban karena vokalnya dalam menyuarakan pendidikan.

“Di Pakistan, satu dari tiga anak tak bisa bersekolah. Mungkin cerita dari seorang gadis remaja ini bisa menginspirasi banyak orang,” ujar wartawan senior asal Inggris ini.

Malala adalah gadis hebat. Sosoknya, kata Lamb, diakui seluruh dunia. Dia menjadi penerima nominasi termuda sepanjang sejarah, seperti the International Peace Prize dari KidsRight. Dia juga dianugerahi Hadiah Perdamaian Nasional Pakistan. Seluruh uang dari capaian usaha dan penerbitan bukunya ini didedikasikan Malala untuk dunia pendidikan, khususnya pendirian yayasan Malala Fund.

Bersuara untuk kebenaran Perjuangan Malala tak sia-sia, bahkan PBB meluncurkan kampanye I am Malala, di mana tak ada satu sekolah pun yang berhak menolak anak-anak yang ingin mendapat pendidikan. Buku I am Malala sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Mizan pada 2014.

Buku ini terdiri atas lima bagian. Pada masing-masing bagian, Malala mengisahkan cerita hidupnya, yaitu Bagian I: Sebelum Taliban, Bagian II: Lembah Kematian, Bagian III: Tiga Anak Perempuan, Bagian IV: Antara Hidup dan Mati, dan Bagian V: Kehidupan Kedua.

Lamb berharap buku ini bisa menginspirasi lebih banyak pembaca di Indonesia sebagai negara mayoritas penduduknya beragama Islam. Di negara-negara mayoritas Islam, buku ini tentu saja menjadi pembicaraan utama, khususnya Pakistan. Lamb yakin masih banyak Malala kecil lainnya di luar sana yang berani bersuara untuk kebenaran.

Pada salah satu bagian buku ini, kata Lamb, Malala menuliskan kesimpulan kisah dan petikan doa yang sangat menginspirasi.

Aku mencintai Allah. Aku berterima kasih pada Allah. Aku berdoa pada-Nya sepanjang hari. Dia Maha Besar. Dia menempatkanku di posisi saat ini agar aku bisa menjangkau orang banyak.”

Dia memberiku tanggung jawab besar. Perdamaian di setiap rumah, setiap jalan, setiap desa, setiap negara di dunia adalah cita-citaku. Pendidikan yang setara untuk semua anak laki- laki dan perempuan di seluruh dunia, duduk di kursi sembari membaca buku bersama teman- teman di sekolah adalah hakku.

Melihat semua orang tersenyum bahagia adalah impianku. Aku Malala, dunia boleh saja berubah, tapi aku tidak.”

7.jpeg
Republika, Minggu, 8 November 2015

Share:

Leave a Comment