Review Legend of the Female General
Review Legend of the Female General

Legend of the Female General sebetulnya adalah drama china yang sangat kunantikan, terutama untuk para fans Cheng Lei yang sudah lama haus melihat dia kembali sebagai ksatria gagah setelah performanya yang luar biasa sebagai Gong Shangjue di “My Journey to You.” Di sana, jujur saja, dia berhasil mengalahkan coolness Zhang Linghe sebagai male lead.

Sayangnya, ekspektasi tinggi ini justru menjadi boomerang ketika masuk lebih dalam ke drama china ini. “Legend of the Female General” semula digadang-gadang sebagai female general epic, tapi ternyata lebih mirip romance costume yang kehilangan arah, kehilangan otot cerita, dan kehilangan inti dari judulnya sendiri.

Setelah menonton seluruh episodenya, yang jujur saja, lebih sering aku lompati, rasanya seperti dijanjikan kisah epik seorang jenderal perempuan, tetapi diberikan slice of romance ringan yang terlalu sering tersandung naskah dan penyutradaraan yang setengah matang.

“Legend of the Female General” dibintangi Cheng Lei dan Zhou Ye

Sinopsis “Legend of the Female General”

Secara garis besar, “Legend of the Female General” mengisahkan He Yan (diperankan Zhou Ye), putri keluarga He, dipaksa menyamar sebagai laki-laki, lebih tepatnya menjadi abangnya, bernama He Rufei demi melindungi status bangsawan keluarganya. He Rufei asli aslinya adalah pria penyakitan sehingga butuh waktu untuk menyembuhkan diri. Nah, selama masa itulah, He Yan menggantikan saudara laki-lakinya.

He Rufei dan He Yan, keturunan keluarga bangsawan He

Pada masa mudanya, He Yan sempat sekolah di akademi tempat ia bertemu Xiao Jue (diperankan Cheng Lei), sang murid jenius. Singkat cerita, ia kemudian pergi ke medan perang, tumbuh menjadi seorang jenderal perempuan yang sangat ditakuti dan dihormati. Namun setelah kembali, ia dikhianati keluarganya sendiri dan hampir mati.

Cheng Lei sebagai Xiao Jue

He Yan yang dibuat buta oleh keluarganya, mengambil identitas baru sebagai Hee Yan versi perempuan. Namun, dia tetap menyamar sebagai laki-laki supaya bisa masuk militer lagi dan merebut posisinya semula.

Zhou Ye sebagai He Yan

Di Yezhou, Hee Yan bertemu Chu Zhao (diperankan Zhang Kangle) yang lembut dan kembali bertemu Xiao Jue… yang justru menuduhnya sebagai mata-mata. Seiring berbagai konflik dan konspirasi politik, mereka saling menguji, saling melindungi, dan pada akhirnya saling jatuh cinta.

Zhang Kangle sebagai Chu Zhao

Secara premis? Bagus banget kan. Potensi kisahnya luar biasa, apalagi dengan tema female general, identitas ganda, konspirasi keluarga, intrik militer, dan romansa yang tumbuh dari ketidakpercayaan menjadi saling memahami. From enemies to lover.

Tapi eksekusinya? Yah… nanti kita bahas panjang. Karena drama china ini punya masalah struktural yang cukup mendalam.

Official trailer drama china “Legend of the Female General”

Dari Gong Shangjue ke Xiao Jue, Cheng Lei Turun Kelas?

Let’s be real. Banyak orang, termasuk aku, mau menonton serial “Legend of the Female General” ini karena pengen lihat Cheng Lei jadi ksatria lagi. Setelah “My Journey to You,” Cheng Lei booming karena memerankan karakter yang dingin tapi, cerdas, bermoral, ksatria tapi penuh misteri. Dia adalah second lead yang mengalahkan first lead (rare achievement!).

Chemistry-nya dengan Lu Yuxiao luar biasa kuat, sampai karakter Gong Shangjue benar-benar hidup di luar skrip. Masuk “Legend of the Female General,” kita berharap setidaknya vibe itu terbawa. Dan secara visual, ya, Cheng Lei gak mengecewakan sama sekali. Kostum cocok, aura jenderalnya dapet, akting cool tapi lembutnya masih konsisten. Tatapan intense-nya? 100% masih sama.

Sayangnya…

Karakter Xiao Jue tidak sekuat Gong Shangjue. Menurutku sih bukan salah aktornya, tapi salah naskahnya.

Cheng Lei sebagai Gong Shangjue di “My Journey to You”

Xiao Jue dalam “Legend of the Female General” versi novel ditulis sebagai lelaki pintar, tapi tidak punya ruang menunjukkan kepintarannya. Dia juga ditulis sebagai lelaki ksatria, tapi adegannya minim. Dia adalah pemimpin militer, tapi jarang diberi adegan militer. Dia pria yang terobsesi pada kebenaran, tapi sering tampil plin-plan. Dia pria dingin, tapi banyak momen yang tidak terbangun secara emosional.

Arggggh! Sutradara gagal memanfaatkan karisma Cheng Lei. Padahal, Cheng Lei sudah berusaha keras mengisi kekosongan naskah itu, tapi tetap terasa bahwa karakter Xiao Jue jauh dari kata memorable. Padahal, potensinya besar.

Judul Serial yang Mengkhianati Isi

Judul series-nya “Legend of the Female General” tapi… generalnya mana? Ketika mendengar judul seperti ini, penonton pasti berharap origin story tentang bagaimana seorang gadis bisa menjadi jenderal, proses latihan, strategi militer, politik internal, jatuh bangun karakter utama perempuan di dunia perang, hingga transformasi dari gadis biasa menjadi legenda.

TAPI, yang kita dapat hampir tidak ada flashback masa dia menjadi jenderal, tidak ada adegan pelatihan yang kredibel, sangat sedikit adegan perang, minim strategi atau diskusi taktik, tidak ada pembentukan karakter yang solid. He Yan hampir tidak terlihat sebagai seseorang yang layak diberi gelar legendary female general.

Semua klaim tentang kejeniusannya di medan perang hanya berupa dialog kosong, bukan adegan nyata. Ini ibarat kita diberi tahu bahwa dia adalah jenderal besar, tapi penonton tidak pernah diperlihatkan buktinya.

Karakter He Yan Terlalu Feminin, Terlalu Manja untuk Seorang Prajurit.

Zhou Ye sejatinya dalam “Legend of the Female General” versi novel adalah aktris yang berbakat. Penampilannya oke, emosinya dapat. Ini bukan salah dia. Yang salah adalah penulisan karakternya gak konsisten sama sekali.

Ada beberapa masalah besar yang kutemukan sepanjang menonton serial ini. Pertama, He Yan terlalu lembut dan terlalu feminin untuk seseorang yang hidup menyamar sebagai laki-laki, sudah lama hidup di barak tentara, pernah jadi jenderal, hidup di medan perang, dan terbiasa melihat kematian.

Penulis skripnya nih, malah memberi He Yan suara lembut, ekspresi mudah menangis, gestur tubuh sangat halus, interaksi terlalu manja, pokoknya gak masuk akal.

Kedua, keahliannya muncul tanpa proses. Tiba-tiba dia mendadak jadi ahli strategi, mendadak dia tahu struktur militer, mendadak dia tahu politik istana, mendadak dia bisa bela diri, dan mendadak dia jago memanah. Penonton tidak pernah diberi tahu CARA ia mempelajari itu semua, padahal bagian “proses menjadi jenderal” adalah inti dari judulnya.

Ketiga, operasi militer yang dilakukan He Yan tidak masuk akal. Contoh paling buruk adalah dia melepaskan pedang di tengah medan perang untuk mengejar male lead. Ini mah absurd.

Lebih kuat romantisme ketimbang cerita jenderal perempuannya

Bagaimana penonton mau percaya bahwa dia adalah jenderal veteran kalau dia melakukan tindakan yang berlawanan dengan naluri prajurit paling dasar?

Keempat, masalah dalam penulisan dan penyuntingan alais scriptwriting disaster. Aku rasa kamu sepakat bahwa scriptwriters perlu menulis esai permintaan maaf untuk kita sebagai penonton. Bukan lebay, tapi memang faktanya dia memicu beberapa masalah paling fatal.

Drama ini seperti dipotong-potong sembarangan. Flashback hilang, latar belakang tokoh hilang, bonding karakter minim, alur politik juga tipis, dan banyak adegan krusial diringkas berlebihan. Efeknya? Penonton tidak punya emotional attachment apa pun.

Fokus Berat ke Romance, bukan ke Perjalanan Sang Jenderal

Jadi, skripnya itu temanya ROMANCE, sisanya TEMPELEN tok. Padahal sebagai penonton, aku berharap drama historical-military dengan romansa sebagai bumbu, bukan sebaliknya. Ini? Adegan perang minim, adegan taktik minim, adegan kepemimpinan minim.

Yang banyak justru adegan saling tatap, saling salah paham, saling tarik ulur, adegan lembut tanpa pembangunan emosi yang rapi. Aku bisa kasih contoh serial dengan tema serupa, yaitu “The Long Ballad” dibintangi Wu Lei dan Dilraba Dilmurat. Itu sumpah, keren banget.

Terakhir, naskahnya tidak memanfaatkan sumber asli. Aku memang gak baca novelnya, tapi dari beberapa ulasan online yang aku baca, pembaca bilang kalau novel aslinya sebetulnya sangat kaya cerita. Di sana ada detail militernya, ada konflik politiknya, bahkan kisah masa lalu He Yan. Ada juga struktur kekuatan kerajaan, perkembangan cinta yang tidak terburu-buru, tapi versi drama justru memilih jalur budget romance dengan karakterisasi tipis.

Padahal mah ya, dengan budget produksi besar, harusnya mereka bisa bikin salah satu drama epik paling memorable tahun ini.

Banyak Potensi Terbuang

Mari bicara teknis. “Legend of the Female General” sebetulnya punya sinematografi oke, tapi tidak meninggalkan kesan kuat. Warna-warna kostumnya bagus banget, lokasi syutingnya keren, angle lumayan, tapi tidak ada adegan yang benar-benar sinematik atau ikonik. Tidak ada signature scenes ala “The Long Ballad” atau “Nirvana in Fire.” Jadi ya sebatas cantik aja, tapi hambar.

Battle scenes-nya jelek banget. Ini yang paling jelek menurutku. Pedang terlihat ringan seperti plastik, efek suara berlebihan, kamera beberapa kali goyang tanpa alasan, koreografi gak bertenaga, editing memotong momen penting, gak ada ketegangannya. Padahal, drama tentang jenderal perempuan wajib punya adegan perang yang kuat.

Aku juga sering lompat-lompat menontonnya, sebab menurutku ada episode yang terlalu cepat, ada episode yang terlalu lambat. Konflik besar dilompati.

Contohnya, kasus keluarga Sun, misi putri Ji Yang, perang Rundu. Itu semua seharusnya epik, eh… malah terasa seperti checklist doang.

Chemistry Cheng Lei dan Zhou Ye Satu-satunya Penyambung Nyawa Drama Ini

Let’s praise something that truly deserves it. Chemistry mereka BAGUS. Sangat bagus.

Tatapannya intens, vibe protektif Cheng Lei kuat, Zhou Ye menyeimbangkannya dengan baik. Momen romansanya lembut, adegan teasing manis, interaksi natural. Kalaupun penonton seperti aku bisa bertahan sampai 36 episode, ya itu cuma karena satu alasan, chemistry kedua main lead.

Tapi… tetap ya say, chemistry bagus gak cukup menyelamatkan drama yang kehilangan identitas.

Chemistry Cheng Lei dan Zhou Ye menyelamatkan serial ini

So, apakah drama ini layak tonton?

Ya… kalau kamu cuma mau fokus di romance costume ringa, YA, cukup layak. Drama ini cukup manis, visualnya cantik, dan tidak terlalu berat.

Kalau kamu ingin kisah jenderal perempuan epik? BIG NO. Ini bukan drama yang kamu cari. Mendingan kamu nonton “The Long Ballad” aja.

Kalau kamu fans Cheng Lei? YA, tapi ya siap mental ya, skripnya jelek. Cheng Lei tetap ganteng dan memukau, tapi naskah tidak mendukungnya bersinar seperti di “My Journey to You.”

Kalau kamu fans Zhou Ye? YA. Penampilannya stabil dan cukup baik, tapi karakternya tidak diberi ruang maksimal.

Kesimpulannya, “Legend of the Female General” punya cast bagus, budget besar, premis kuat, novelnya keren, berpeluang jadi drama epik, tapi semuanya gagal lantaran naskah minim, pengembangan karakter lemah, penyutradaraan ragu-ragu, terlalu fokus ke romance sehingga drama kehilangan identitas

Drama ini sebenarnya tidak buruk. Hanya saja… sangat mengecewakan. Karena potensi epiknya begitu besar, tetapi yang diberikan hanya versi ringan dan aman. Overall 6/10 dari aku. Sayang sekali drama ini tidak menjadi mahakarya seperti yang dijanjikan judulnya. Sorry.

Share:

Leave a Comment