Persoalan tambang ilegal di Provinsi Lampung bisa dikatakan masalah yang sudah lama orang lihat, lama orang tahu, lama orang keluhkan… tapi seringnya dianggap biasa. Sampai akhirnya 15 November 2025 kemarin, pas saya baca berita, pemerintah daerah turun tangan menertibkan 20 titik penambangan tanpa izin di berbagai kabupaten/kota.
Angka tersebut menjadi bukti bahwa luka-luka kecil pada lingkungan kita sudah terlalu banyak untuk diabaikan. Masalah tambang ilegal di Lampung lebih dari sekadar batu, pasir, atau andesit. Di dalamnya ada cerita sedih tentang tanah yang diam-diam berubah fungsi. Tentang suara alat berat yang pelan-pelan menggantikan suara burung pagi.
Ada juga cerita tentang air yang makin keruh. Tentang bukit yang makin menipis. Tentang desa yang kehilangan penyangga alamnya. Cerita-cerita seperti itu kebanyakan dimulai dari dorongan kebutuhan manusia yang tak diimbangi kepatuhan pada aturan.
Provinsi Lampung bukan baru sekali dua kali menghadapi tambang ilegal. Angka terbaru yang diungkap Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung lewat Dinas Lingkungan Hidup (DLH) https://dlhlampungtimur.org/ cukup membuat kita prihatin.
Sebanyak 20 aktivitas PETI (Pertambangan Tanpa Izin) resmi ditertibkan.
Dua puluh.
Jumlah tersebut mewakili berbagai bentuk penambangan, mulai dari andesit, pasir kuarsa, pasir silika, batuan bukit, hingga emas. Tambang ilegal di berbagai daerah Indonesia, bukan cuma Lampung, memang tidak pernah benar-benar hilang. Namun, hal yang selalu membuat saya sedih adalah keterlibatan masyarakat sekitar sering kali bukan karena keserakahan, tetapi karena keterpaksaan ekonomi.
Kita juga tidak bisa menutup mata bahwa dampak lingkungannya jauh lebih besar daripada alasan ekonomi apa pun. Mari kita bedah beberapa kasus di Lampung.
Kota Bandar Lampung pun tak Luput dari PETI
Siapa sangka, wilayah perkotaan sekalipun ikut “tersentuh” oleh PETI. Dilansir dari Rmol Lampung, terdapat dua tambang andesit tak berizin di Way Lunik, Panjang.
Beberapa perusahaan terciduk melakukan pengerukan bukit untuk material andesit. Satu memiliki Surat Izin Penambangan Bebatuan (SIPB) tapi kedaluwarsa, satu lagi bahkan tidak punya Izin Usaha Pertambangan (IUP) sama sekali. Tak ada dokumen-dokumen persetujuan lingkungan. Keduanya menggunakan bukit sebagai mesin uang, bukit yang mestinya menjadi dinding pelindung kota.
Ada pula tambang ilegal di Campang Raya. Yang menarik dari kasus ini adalah sebagian memiliki izin… tapi bukan izin tambang. Ada yang izinnya perumahan, ada yang izinnya lahan parkir, dan ada yang izinnya untuk usaha lain.
Setelah izin keluar, bukit itu diratakan dan materialnya dijual. Mereka bukan cuma meratakan lahan, tapi melakukan aktivitas pertambangan terselubung.
Pada titik ini, saya merasa persoalan PETI bukan hanya soal izin, tapi juga soal integritas. Ketika pengelola tahu betul bahwa material bukit adalah mineral yang punya harga, lalu menganggap “Yasudah, ambil saja sekalian,” di situlah masalah bermula.
Kasus pertambangan ilegal di Sumber Agung, Kemiling, beda lagi. Modusnya hampir sama, yaitu mereka meratakan bukit, menjual materialnya tanpa izin. Cuma beda nama pengelola saja.
Tak tahukah mereka? Bukit itu tidak akan pernah bisa tumbuh lagi. Ia tidak bisa disulam ulang. Begitu ia hilang, ia hilang selamanya. Padahal kita tahu, bukit adalah penyangga alami yang menahan longsor, mengatur air, menjaga iklim mikro, dan menjadi rumah bagi banyak satwa.
Saat bukit hilang, efeknya tidak terasa saat itu juga. Tapi nanti, ketika hujan deras datang dan air tidak lagi punya tempat menahan diri… barulah manusia sadar ada bagian dari lingkungan yang hilang.
PETI di Lampung Timur
Tambang ilegal di Lampung Timur mungkin tidak seramai Bandar Lampung, tapi justru di daerah-daerah seperti inilah PETI seperti jamur tumbuh di musim hujan. DLH https://dlhlampungtimur.org/ mencatat bahwa beberapa titik PETI paling serius justru ada di Lampung Timur. Jenis mineralnya juga bukan lagi batuan biasa, tetapi pasir kuarsa dan silika, bahan baku industri besar.
Di Desa Sidorahayu, Lampung Timur, ditemukan aktivitas sedot pasir. Petugas menemukan mesin pompa dan alat berat. Alih fungsi lahan tanpa izin terjadi di sana.
Pasir silika adalah material bernilai tinggi. Ketika masyarakat melihat ada duit dalam sedot pasir, aktivitas ini meledak cepat. Tapi aktivitas sedot pasir itu bukan cuma menggali pasir, melainkan menggali lapisan tanah, menurunkan kualitas air tanah, menimbulkan sedimentasi, dan mengubah aliran air permukaan. Ketika struktur tanah makin keropos, longsor pun tinggal menunggu waktu.
Kasus di Labuhan Maringgai lebih pelik lagi. Lokasinya adalah lahan milik pemegang IUP resmi, tapi yang menambang justru pihak lain. Ini mah bukan sekadar PETI. Ini ibarat seseorang punya kulkas di rumah, tapi satu keluarga lain tiba-tiba ikut buka kulkas dan ambil semua isinya.
DLH sudah memasang plang peringatan di enam titik. Tapi seberapa efektif? Sering kali, plang hanyalah simbol. Yang dibutuhkan sebenarnya adalah pengawasan berkelanjutan.
Kasus selanjutnya terjadi di Marga Mulya, Bumi Agung. Ada open pit andesit tanpa IUP operasi produksi. Open pit adalah metode tambang yang menggali lebar dan dalam.
Kalau tidak memiliki izin, dampaknya bisa besar, mulai dari perubahan bentang alam, erosi besar-besaran, sedimentasi sungai, kualitas udara buruk, dan ancaman keselamatan warga sekitar.
Perusahaan tersebut belum mengantongi IUP operasi produksi, tapi aktivitas penambangan juga jalan duluan. Ibaratnya mereka membangun rumah dulu, izin belakangan.
Kenapa Tambang Ilegal Sulit Hilang?
Lokasi-lokasi PETI ini mungkin terlihat jauh dari mata kita yang hidup di kota. Namun, dampaknya tidak pernah jauh. Semua terhubung.
Air yang keruh di Waway Karya bisa mengalir hingga desa-desa rendah. Bukit yang dikeruk di Kemiling bisa menjadi sumber longsor ke permukiman.
Andesit yang digali liar di Bumi Agung bisa mengubah struktur tanah yang selama ini menjadi penahan air hujan.
Pada banyak daerah di Indonesia, PETI selalu berujung pada tiga hal. Pertama, longsor yang lebih sering dan lebih mematikan karena bukit tempat air meresap dan menahan tanah hilang. Kedua, banjir lebih cepat dan lebih luas karena tidak ada lagi penahan air alami. Ketiga, air tanah turun karena struktur tanah berubah.
Lampung pernah mengalami banjir bandang dan longsor besar. Dan daerah-daerah yang hilang bukitnya adalah daerah yang paling rawan.
Realitasnya, PETI adalah “pasar gelap” yang menguntungkan banyak pihak, mulai dari yang punya lahan, pengelola, tengkulak material, hingga pembeli. Sementara itu, masyarakat yang ekonominya terbatas melihat tambang sebagai jalan pintas. Pekerjaan cepat, uang pun cepat.
Saya tidak menyalahkan masyarakat. Mereka hanya hidup dalam realitas ekonomi yang keras. Namun… kalau lingkungan rusak, masyarakat juga yang akan panen petaka pertama kali.
Lingkungan yang rusak tidak bisa diperbaiki dalam semalam. Bukit yang hilang tidak bisa kembali lagi dengan menanaminya rumput. Tambang pasir silikan tidak bisa dipulihkan hanya dengan menimbun kembali tanahnya. Longsor tidak cukup diatasi dengan memasang papan peringatan.
Lingkungan memiliki memori, sama seperti manusia. Memorinya panjang. Maka, ketika manusia merusak lingkungan sekarang, efeknya baru muncul 5-20 tahun kemudian. Generasi anak-anak kitalah yang akan merasakannya.
Lalu, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Tidak semua orang bisa turun langsung menutup PETI, tetapi setiap orang punya perannya masing-masing. Semakin banyak warga yang sadar dan peduli, semakin sulit tambang ilegal berkembang. Berikut beberapa langkah kecil yang bisa dilakukan oleh siapa pun.
1. Jangan Normalisasi Tambang Ilegal
Pernyataan seperti “Ah, cuma ngambil pasir” adalah awal dari pembenaran. Begitu kita terbiasa menganggap tambang ilegal sebagai sesuatu yang lumrah, pelakunya merasa tindakannya tidak masalah. Mengubah cara pandang ini adalah langkah pertama agar masyarakat tidak lagi permisif terhadap praktik perusakan lingkungan.
2. Warga Harus Tahu Haknya
Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang sehat, udara bersih, air layak, dan hidup aman tanpa ancaman longsor atau banjir. Semua itu dijamin oleh Undang-Undang Lingkungan Hidup.
Jadi, kalau ada tambang ilegal di sekitar desa, warga berhak bertanya, meminta transparansi, bahkan melapor. Pengetahuan tentang hak dasar ini bisa menjadi benteng pertama melawan kerusakan lingkungan.
3. Laporkan Aktivitas Mencurigakan
Perhatikan tanda-tandanya. Kalau ada truk material yang lalu-lalang, alat berat yang muncul tiba-tiba, bukit yang mulai dipotong, atau aktivitas sedot pasir yang dilakukan di luar jam biasa.
Jika melihat hal-hal seperti itu, laporkan segera ke DLH Kabupaten/Kota, DLH Provinsi, kepolisian, atau call center pengaduan lingkungan. Makin cepat laporan masuk, makin kecil kerusakannya.
4. Tolak Pembelian Material dari Sumber Ilegal
Tambang ilegal bertahan karena ada yang membeli materialnya. Jika kontraktor, developer, atau pemilik usaha memilih jalur cepat, yaitu membeli material dari PETI, maka rantai ilegal ini akan terus berputar.
Sebagai konsumen, kita punya kuasa untuk meminta material legal, bersertifikat, dan berasal dari tambang berizin. Pilihan kita berpengaruh besar.
5. Edukasi Anak-anak tentang Lingkungan
Ini adalah investasi paling panjang, tapi paling penting. Anak-anak yang tumbuh dekat dengan alam dan paham cara menjaganya akan menjadi generasi yang tidak akan sanggup merusaknya.
Cerita sederhana, ajakan menanam pohon, atau sekadar menunjukkan bukit dan sungai di desa bisa menanamkan cinta lingkungan sejak dini.
6. Dukung Pemerintah Ketika Menutup Tambang Ilegal
Saat PETI ditertibkan, protes kerap muncul. Terkadang ada gesekan. Demi keselamatan bersama, masyarakat perlu berdiri bersama pemerintah. Penertiban tanpa dukungan publik hanya akan menjadi formalitas yang tidak diikuti perubahan nyata di lapangan.
7. Jadilah “Mata dan Telinga” untuk Desa.
Setiap desa butuh warganya, dan setiap lingkungan butuh penjaganya. Tidak perlu menjadi aktivis untuk peduli. Cukup saling mengingatkan, saling mengawasi, dan berani berbicara ketika ada yang tidak beres.
Lingkungan yang sehat adalah hak asasi manusia. Tambang ilegal bukan hanya merusak tanah, tapi ikut merusak masa depan, merusak rasa aman, merusak keseimbangan yang selama ini dijaga alam dengan susah payah.
Lampung adalah rumah kita. Bukit-bukitnya, sungainya, pasirnya, semua warisan untuk anak cucu kita. Jika kita membiarkan tambang ilegal tumbuh seperti jamur, maka generasi selanjutnya akan hidup di tanah yang rapuh.
Beberapa pemerintah daerah, seperti Lampung Timur, sudah mengambil langkah. Tugas kita adalah menjaga agar langkah itu tidak berhenti.**

Leave a Comment