Tahun 2013 pas aku berkesempatan jalan ke Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT), berdiri di bawah sinar matahari siang yang terik di pesisir Pantai Oeseli, kubayangkan deretan panel surya energi terbarukan berkilauan menatap langit.
Indonesia, negeri tropis dengan lebih dari 17.000 pulau, sesungguhnya bak surga bagi energi terbarukan. Sinar matahari bersinar hampir sepanjang tahun. Lalu, kenapa sih kita malah memikirkan energi nuklir yang mahal dan penuh risiko?
Pertanyaan ini penting banget. Karena di saat dunia makin mantap beralih ke energi bersih, Indonesia justru mulai melirik nuklir. Apakah ini langkah tepat? Atau justru jalan pintas yang bisa berisiko besar?
Fakta Menarik dari RUPTL 2025-2034
Pada tanggal 27 Mei 2025, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengumumkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034. Dalam dokumen tersebut, disebutkan bahwa 76% dari total penambahan kapasitas listrik nasional sebesar 69,5 GW akan berasal dari energi baru dan terbarukan (EBT). Keren banget!
Tapi ada satu poin yang bikin banyak orang kaget, termasuk aku, yaitu rencana membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sebesar 0,5 GW. Dua lokasi sudah disebut, Sumatra dan Kalimantan, masing-masing 250 MW. Ini kali pertama PLTN secara eksplisit benar-benar disebut pemerintah dan masuk secara resmi dalam RUPTL kita.
Padahal ya, Indonesia punya potensi energi terbarukan yang luar biasa. Kok bisa-bisanya malah nuklir yang dilirik?
Energi Terbarukan, Harta Karun yang Belum Digali.
Indonesia itu negeri berkah. Matahari bersinar lebih dari 300 hari setahun. Angin berembus stabil di NTT. Kita punya potensi panas bumi terbesar kedua di dunia.
Bahkan menurut kajian the Institute for Essential Services Reform (IESR), ada 333 GW potensi energi terbarukan yang layak finansial.
Masalahnya? Eksekusi. Hingga sekarang, energi surya baru terpasang 0,2 GW dari potensi 200 GW. Banyak proyek energi baru dan terbarukan yang macet karena perizinan, lambatnya proses tender, dan belum siapnya infrastruktur.
Menurut IESR, dari target 10 GW pembangkit EBT yang harusnya COD (commercial operation date), baru 1,6 GW yang tercapai sampai pertengahan 2025. Waduh!
Kalau masalahnya ada di pelaksanaan, bukankah seharusnya pemerintah memperbaiki itu dulu? Alih-alih mengalihkan fokus ke teknologi yang jauh lebih kompleks dan berisiko seperti nuklir.
Kenapa Pemerintah Lirik Nuklir?
Alasannya simpel, karena nuklir adalah sumber energi baseload yang stabil, bisa menyala terus tanpa tergantung cuaca. Negara-negara seperti China, Jepang, dan Prancis sudah memanfaatkannya untuk mengurangi emisi karbon.
Tapi, beda negara, beda tantangan dong. Rasanya belum pe-de aja membandingkan Indonesia sama Prancis, sama Jepang, apalagi sama China. China dan Jepang itu punya teknologi, SDM, dan infrastruktur yang sudah siap.
Indonesia? Kita ini masih di tahap berjuang menyusun ulang undang-undang dan merapikan regulasi dasar soal ketenaganukliran. Bahkan, keputusan resmi dari Presiden saja belum ada. Hehehe.
Kita juga belum punya pengalaman membangun PLTN. The International Atomic Energy Agency (IAEA) menyebut ada 19 prasyarat yang harus dipenuhi, dari legal, safety, manajemen, SDM, hingga pengelolaan limbah radioaktif.
Jadi, ini bukan proyek yang bisa dibangun dengan semangat doang kayak pemerintah kita nih, semangat doang yang gede.
Risiko dan Realita PLTN
Tragedi Chernobyl dan Fukushima tentu masih segar di ingatan dunia. Meski teknologi nuklir sekarang lebih aman, tetap saja ada potensi risiko besar. Bencana nuklir bukan cuma soal kehilangan listrik, tapi juga nyawa, ekosistem, dan reputasi bangsa.
Di sisi lain, energi baru dan terbarukan justru makin canggih dan murah. Panel surya makin efisien, harga baterai makin terjangkau. Banyak negara sudah 100% listriknya dari energi baru dan terbarukan tanpa perlu nuklir.
Lalu, kenapa Indonesia justru memulai dari teknologi paling mahal dan paling rumit sih?
Energi Nuklir dan Energi Terbarukan, Siapa Lawan Siapa?
Mari kita bahas perbandingan antara PLTN dengan pembangkit listrik dari energi baru dan terbarukan.
1. Biaya investasi awal (capital cost)
Investasi awal PLTN tuh bisa mencapai $6.000–$10.000 (Rp96 juta – Rp160 juta) per kilowatt kapasitas. Pembangunan juga memakan waktu lama, bisa 10–15 tahun.
Sementara itu, pembangkit dari energi terbarukan, seperti surya dan angin jauh lebih murah. Panel surya skala besar saat ini sekitar $1.000–$2.000 (Rp16 juta – Rp32 juta) per kilowatt. Angin juga di kisaran yang sama atau sedikit lebih tinggi.
2. Biaya operasional dan pemeliharaan (O&M)
Biaya O&M cukup tinggi, karena sistem pendinginan, keamanan, dan limbah nuklir sangat kompleks. Beda hal dengan biaya O&M EBT yang lebih rendah, apalagi energi surya. Tidak ada bahan bakar dan sedikit perawatan.
3. Biaya bahan bakar
PLTN menggunakan uranium yang harus diproses, disimpan, dan dikelola. Biayanya cukup tinggi dan memerlukan infrastruktur khusus.
Pembangkit listrik dari EBT jelas gratis dari Tuhan langsung. Sinar matahari, angin, dan air tidak dikenakan biaya.

Banyak yang bilang, nuklir bukan saingan energi baru dan terbarukan, tapi pelengkap. Bisa jadi. Tapi realitanya, anggaran kita terbatas loh. Fokus pembangunan energi harus dilakukan dengan bijak dan efisien dong. Ya kan?
Jika kita punya potensi 333 GW energi baru dan terbarukan yang layak finansial, kenapa dana dan fokus pemerintah justru dialihkan ke teknologi yang belum siap dari sisi regulasi, SDM, dan sosial?
PLTN berkapasitas kecil (SMR) ‘katanya’ jadi solusi. Tapi sekali lagi, itu butuh waktu, investasi besar, dan kesiapan dari berbagai aspek. Sementara itu, proyek-proyek surya dan angin bisa dibangun lebih cepat, murah, dan mudah.
IESR sudah mengingatkan pemerintah bahwa pembangunan PLTN harus dikaji cermat.
Tanpa kerangka regulasi, risiko tinggi, teknologi belum jelas, dan penerimaan masyarakat rendah, proyek PLTN bisa jadi beban ketimbang solusi. Sama aja kayak proyek-proyek presiden lama yang mangkrak tuh. Ups!
Selain itu, pembangunan PLTU batu bara dan ketergantungan terhadap gas yang juga masih masuk dalam RUPTL 2025-2034 menunjukkan pemerintah belum benar-benar berani lepas dari energi fosil.
Bukannya memperkuat transisi ke energi baru dan terbarukan, malah membuka babak baru dengan energi yang tak kalah kontroversial.
Masa Depan Cerah Itu Sudah Ada, Asal Kita Serius.
Sebenarnya, Indonesia nggak butuh PLTN untuk mencapai target net zero emission (NZE) 2060. Yang dibutuhkan adalah komitmen penuh untuk menjalankan proyek energi baru dan terbarukan dengan serius. Benahi lelang proyek, perbaiki regulasi, fasilitasi pembiayaan, dan dorong partisipasi swasta.
Kita nggak perlu muluk-muluk dulu. Mulai dari energi surya atap untuk rumah dan kantor, Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di wilayah-wilayah angin stabil, dan mikrohidro di pedalaman. Langkah kecil yang realistis, tapi berdampak besar.
Kalau pemerintah serius, energi baru dan terbarukan bisa menyuplai lebih dari cukup untuk kebutuhan listrik nasional tanpa harus repot membangun PLTN yang mahal, berisiko, dan menambah beban sosial.
Jangan Sampai Energi Kita Jadi Bom Waktu
Energi adalah soal masa depan, soal generasi anak cucu kita. Kalau kita bisa pilih solusi yang bersih, aman, murah, dan cepat, kenapa harus memilih yang berisiko, mahal, dan lambat?
PLTN memang terlihat keren di atas kertas, tapi Indonesia sudah punya yang jauh lebih unggul: energi terbarukan yang melimpah dan siap digali. Tinggal mau atau tidak.
Jadi, kalau kamu ditanya, “Emang energi terbarukan nggak cukup ya?” Kamu bisa jawab: “Lebih dari cukup. Asal pemerintahnya serius.”
Leave a Comment