Sawah untuk ketahanan pangan
Sawah Labuhanbatu Utara untuk ketahanan pangan

Kalau kita duduk sebentar di depan sepiring nasi hangat, jarang sekali kita bertanya, “Sawah mana ya yang sudah bekerja keras sampai bisa jadi nasi di piringku hari ini?” Biasanya yang terlintas di pikiran kita cuma “enak apa nggak” atau “porsinya cukup apa kurang.”

Saya pun begitu. Sampai kemudian saya mulai membaca data dan cerita dari https://dlhlabuhanbatuutara.org Labuhanbatu Utara, sebuah kabupaten di Sumatra Utara. Saya sadar bahwa piring nasi kita ternyata punya hubungan sangat dekat dengan nasib lahan-lahan sawah di sana.

Labuhanbatu Utara, atau Labura, selama ini dikenal sebagai wilayah perkebunan sawit, karet, dan komoditas lain yang menghijau sejauh mata memandang. Di tengah dominasi kebun-kebun itu, sebelumnya ada hamparan sawah yang menjadi tumpuan beras lokal.

Menurut data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021, luas sawah di Labura tinggal sekitar 1.303,2 hektare (ha) yang tersebar di tiga kecamatan, yaitu Aek Natas (603 ha), Na IX-X (364,10 ha), dan Kualuh Hulu (336,10 ha). Angka ini menghasilkan sekitar 45.584,96 ton padi setahun, dengan produktivitas rata-rata 390 kuintal per hektare.

Sekilas, angka ini terlihat lumayan ya. Tapi kalau kita tarik sedikit ke belakang, ceritanya langsung berubah jadi lampu kuning. Dinas Pertanian Labura pernah mencatat, pada 2010 luas sawah di sana masih di atas 20 ribu ha. Artinya, dalam satu dekade sawah sudah beralih fungsi menjadi perkebunan. Tren ini terus terjadi setiap tahun.

Kalau sawah itu manusia, mungkin dia sudah lama menjerit, “Hai, ada yang masih ingat aku?”

Kenapa Sawah Selalu Kalah?

Pertanyaan yang paling sering muncul tentu, “kok petani mau-maunya mengalihkan sawah ke sawit? Apa mereka gak sayang?”

Tak bisa juga kita menjawab dengan komentar “mereka serakah” atau “mereka gak butuh sawah.” Banyak petani justru terpaksa memilih jalan itu. Dari beberapa penelusuran saya di portal-portal berita lokal, ada beberapa alasan yang terus berulang.

Pertama, irigasi dan infrastruktur pertanian yang payah. Sebagian besar sawah di Labura adalah sawah tadah hujan. Kalau hujan telat, ya tanamannya ikut telat tanam dan ujung-ujungnya telat panen. Kalau kemarau kepanjangan, padi bisa gagal panen. 

Hanya sekitar 800 ha sawah yang didukung irigasi setengah teknis. Akibatnya, banyak petani cuma bisa tanam padi sekali setahun. Bandingkan dengan kebun sawit yang relatif lebih “tahan hidup” tanpa harus pusing mengatur air sepresisi padi.

Kedua, harga padi yang sering tidak bersahabat. Biaya pupuk, tenaga kerja, dan ongkos tanam naik, tapi harga gabah di tingkat petani cenderung stagnan. Hitung punya hitung, tidak jarang petani tekor. Mereka panen, tapi untungnya tipis sekali atau malah rugi. Bandingkan dengan sawit yang, meski naik turun, tetap memberi harapan pendapatan lebih stabil dalam jangka panjang.

Ketiga, akses jalan yang buruk. Banyak lokasi sawah berada di wilayah dengan infrastruktur jalan yang memprihatinkan. Bawa gabah keluar desa terasa seperti misi off-road. Sementara sawit biasanya di-support oleh jalur angkut yang lebih teratur karena jadi kepentingan perusahaan dan tengkulak besar.

Kalau tiga faktor ini digabung, kita jadi bisa paham kenapa petani di Labura pelan-pelan mengambil keputusan yang menurut mereka paling rasional, mengganti padi dengan sawit. Bukan berarti mereka tidak cinta beras lokal, tapi karena setiap musim tanam rasanya seperti “berjudi” dengan waktu.

Ancaman Ketahanan Pangan Lokal

Masalahnya, keputusan yang rasional di tingkat petani bisa berujung risiko besar di tingkat kabupaten, bahkan provinsi. Ketika sawah menyusut, ketahanan pangan lokal ikut terancam.

Labura memang bisa saja tetap makan nasi dari beras yang dipasok daerah lain. Tapi makin kecilnya luasan sawah membuat kita makin tergantung pada pasokan luar. Sekali ada gangguan, misalnya cuaca ekstrem, gagal panen di daerah pemasok, gangguan distribusi, atau kenaikan harga beras nasional, maka masyarakat yang tidak punya cadangan pangan lokal akan paling dulu merasakan dampaknya.

Ketahanan pangan bukan hanya soal ada beras di pasar atau tidak. Ini menyangkut seberapa kuat suatu daerah bertahan ketika rantai pasok terganggu.

Sawah adalah “pabrik beras” paling dekat dengan dapur kita. Kalau pabrik ini pelan-pelan tutup karena berubah jadi kebun sawit atau perumahan, kita menggantungkan piring nasi pada keputusan pasar yang kadang kejam.

Selain itu, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Labuhanbatu Utara https://dlhlabuhanbatuutara.org mencatat sawah punya fungsi ekologis yang sering terlupakan. Sawah menyimpan air hujan, mengatur aliran permukaan, jadi rumah bagi burung, ikan, serangga, dan organisme tanah yang menjaga struktur lahan.

Ketika sawah berubah menjadi kebun monokultur atau permukiman rapat, pola aliran air berubah. Banjir bisa lebih sering, kekeringan bisa lebih parah, dan kualitas tanah turun.

Tidak heran kalau di beberapa wilayah Labura, sawah tadah hujannya kini mudah tergenang atau justru mengering. Ekosistem yang dulu seimbang pelan-pelan kehilangan penyangga alami.

Ketika Sawah Berubah Jadi Destinasi Wisata

Tapi Labura tidak cuma punya kabar buruk. Di tengah cerita konversi lahan, ada satu kisah menarik dari Desa Sidua-dua, Kecamatan Kualuh Selatan. Di sana, sawah tidak hanya dilihat sebagai lahan produksi beras, tetapi juga sebagai tempat rekreasi dan edukasi bernama Agrowisata Padi Sawah Labura.

Agrowisata ini berdiri sekitar 2021. Semenjak dibuka, desa yang tadinya “biasa saja” mendadak ramai dikunjungi. Warga lokal melihat peluang. Ada yang buka warung makan, jualan minuman, menyewakan tikar, hingga mengelola parkir. Penghasilan mereka, terutama di akhir pekan, bisa naik dua sampai tiga kali lipat dibanding hari biasa.

Bagi petani, agrowisata menjadi sumber penghasilan tambahan. Mereka tidak hanya mengandalkan panen padi, tetapi juga pendapatan dari wisata, mulai dari sewa perahu, jasa foto, paket edukasi, atau sekadar menjual hasil olahan beras lokal. Anak muda desanya ikut terlibat mengelola media sosial, membuat spot foto instagramable, dan memperkenalkan kembali budaya bertani kepada pengunjung.

Dampaknya tidak hanya ke ekonomi. Pola pikir masyarakat ikut berubah. Sawah tidak lagi hanya dipandang sebagai ladang capek dan lumpur, tetapi juga ruang kreatif dan kebanggaan desa. Tradisi menanam padi, panen, dan upacara adat dikemas ulang menjadi atraksi budaya. Identitas lokal menguat, sekaligus memperlambat niat menjual sawah.

Bahkan, ada lomba balap traktor mini yang digelar di persawahan sebagai bagian dari hari jadi kabupaten. Tahun 2025 ini, setidaknya 38 petani ikut serta. Mesin-mesin traktor meraung bukan untuk membajak sawah, tapi berlomba di lintasan khusus. Lucu, meriah, jadi cara baru merayakan sawah, membuatnya “keren” di mata generasi muda.

Artinya apa? Sawah yang dihargai bukan hanya dari ton gabahnya, tapi juga dari cerita, budaya, dan kreativitas yang melingkupinya. Ketika sawah punya banyak fungsi, godaan untuk mengalihfungsikan lahan sedikit demi sedikit bisa ditekan.

Undang-undang Ada, tapi Kenapa Sawah tetap Hilang?

Secara regulasi, sebenarnya negara sudah punya payung hukum. Ada undang-undang tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang pada prinsipnya ingin menjaga sawah agar tidak terus tergerus oleh alih fungsi. Di dalamnya ada sanksi, ada rencana tata ruang, ada mekanisme penetapan lahan abadi.

Kenyataannya di lapangan, aturan bagus sering kalah oleh realitas ekonomi. Ketika sawah berkali-kali merugi dan sawit menawarkan prospek lebih cerah, lembar undang-undang terasa jauh. Apalagi jika infrastruktur dasar seperti irigasi, jalan usaha tani, harga gabah, dan akses pupuk tidak membaik.

Meminta petani bertahan di sawah tanpa memperbaiki faktor pendukung ibarat menyuruh orang lari maraton tapi tidak diberi sepatu. Secara moral mungkin mulia, tapi secara logika jelas berat.

Di sinilah peran pemerintah daerah dan kita sebagai masyarakat diperlukan. Perlindungan sawah tidak cukup hanya dengan larangan alih fungsi, tapi harus dibarengi strategi membuat sawah kembali layak secara ekonomi dan menarik secara sosial.

Apa yang Bisa Kita Lakukan sebagai Warga?

Mungkin kamu berpikir, “Aku kan bukan petani di Labura, jadi bisa apa?” Tidak semua hal harus kita hadapi dengan turun ke sawah. Ada banyak langkah sederhana yang bisa kita lakukan untuk ikut menjaga ketahanan pangan dan masa depan sawah, baik di Labuhanbatu Utara maupun daerah lain.

1. Hargai Beras Lokal

Ketika kamu belanja, coba pilih beras dari produksi sekitar (jika tersedia). Ini memberi sinyal pasar bahwa hasil petani lokal dihargai. Kalau kamu punya keluarga atau teman di Labura, sekalian deh titip beras atau produk olahan mereka sebagai dukungan nyata.

2. Kurangi Mubazir Makanan

Setiap butir nasi yang kita buang adalah kerja keras petani yang terbuang sia-sia. Mengurangi food waste artinya menurunkan tekanan kebutuhan produksi di lahan baru. Porsikan makanan secukupnya, simpan dengan baik, dan kreatif mengolah sisa makanan.

3. Dukung Kebijakan yang Pro-Sawah

Kalau kamu tinggal di Labura atau daerah lain, suarakan dukunganmu ketika ada rencana pembangunan irigasi, perbaikan jalan usaha tani, atau program perlindungan sawah. Kadang, yang dibutuhkan sebuah kebijakan hanya suara dukungan warga.

4. Kunjungi Agrowisata Lokal

Liburan ke sawah bukan hal kampungan. Justru dengan datang, beli makanan di warung warga, menginap di homestay, dan membagikan kisah mereka di media sosial, kamu membantu menaikkan nilai ekonomi sawah. Semakin banyak orang datang, semakin masuk akal bagi petani mempertahankan sawahnya.

5. Mulai dari Halaman Rumah

Tidak semua orang harus punya sawah untuk terlibat dalam ketahanan pangan. Kamu bisa menanam cabai, sayur, atau tanaman obat di pot atau polybag. Gerakan kecil urban farming dan pekarangan hidup sudah terbukti membantu banyak keluarga menghemat pengeluaran sekaligus menguatkan rasa kedekatan dengan tanah.

6. Edukasi Anak tentang Asal Usul Makanan

Ceritakan pada mereka bahwa nasi di piring itu lahir dari lumpur, keringat, dan kerja petani. Ajak sesekali melihat sawah, berdialog dengan petani, atau mengikuti kegiatan tanam-panen di agrowisata. 

Anak-anak yang paham proses ini cenderung lebih menghargai makanan dan tidak mudah menganggap sawah sebagai “lahan kosong yang siap dijual”.

7. Kritis Terhadap Promosi Investasi

Kita harus kritis terhadap promosi investasi yang mengorbankan sawah produktif. Investasi itu penting, tapi tidak semua lahan harus dikorbankan. 

Kalau ada rencana proyek besar yang akan memakan lahan pertanian produktif dalam jumlah besar tanpa kajian matang, wajar kok kalau warga bertanya, “Ini menguntungkan siapa? Dan apa dampaknya pada pangan kita?”

Lalu, Apa Langkah Nyata untuk Labura?

Lalu, apa langkah konkret yang bisa dibayangkan khusus untuk Labuhanbatu Utara? Menurut saya, ada beberapa mimpi yang sebenarnya cukup realistis jika ditempuh pelan-pelan.

Andai saja jaringan irigasi sederhana dibenahi, bukan harus megah, tapi cukup untuk memastikan petani bisa menanam minimal dua kali setahun. Pemerintah daerah bisa memulai dari kantong-kantong sawah yang tersisa di Aek Natas, Na IX-X, dan Kualuh Hulu. 

Di saat bersamaan, akses jalan tani diperbaiki sehingga gabah tidak lagi terjebak di jalan berlumpur. Sesederhana apa pun, infrastruktur yang layak akan mengirim pesan pada petani bahwa negara dan pemerintah masih peduli dengan sawah mereka.

Program pendampingan juga bisa diperkuat. Petani butuh teman diskusi untuk mengelola biaya produksi, memilih varietas unggul yang tahan iklim mengingat kondisi cuaca sekarang ini sering berubah-ubah, serta memanfaatkan teknologi sederhana, mulai dari aplikasi cuaca sampai pengering gabah yang hemat energi. 

Tidak semua solusi harus mahal. Kadang yang dibutuhkan petani hanya koordinasi antardesa dan kehadiran penyuluh yang aktif.

Di sisi lain, potensi agrowisata bisa dikembangkan lebih luas sebagai “benteng sosial” sawah. Desa-desa lain bisa belajar dari Sidua-dua, tentang bagaimana membangun paket wisata yang tidak mengganggu produktivitas, bagaimana berbagi keuntungan secara adil, dan bagaimana menjaga agar sawah tidak berubah menjadi taman bermain semata. Pariwisata yang baik justru mendorong orang makin menghargai proses bertani.

Dan terakhir, penting bagi kita semua untuk berhenti melihat petani sebagai pihak yang selalu “ketinggalan zaman.” Mereka sesungguhnya sedang berdiri di garis depan ketahanan pangan. Kalau sawah adalah benteng kita, maka petani adalah penjaganya. Tidak pantas rasanya kita menuntut mereka mempertahankan sawah, sementara kebijakan, harga, dan sikap kita sendiri tidak berpihak.

Mungkin suara kita kecil, mungkin satu artikel seperti ini tidak langsung mengubah peta tata ruang. Namun, perubahan besar sering dimulai dari kesadaran kecil bahwa setiap sendok nasi yang kita makan adalah alasan yang cukup kuat untuk peduli pada nasib sawah-sawah di Labuhanbatu Utara dan di seluruh Indonesia. Dan cerita tentang sawah belum boleh berakhir di sini.**

Share:

Leave a Comment