Mari kita berandai-andai 10–15 tahun mendatang, tepatnya 2035. Kamu berdiri di Muara Enim, sebuah kabupaten yang dulu hijau dan basah. Pagi hari biasanya jadi waktu terbaik untuk menarik napas panjang. Tapi tidak di masa depan ini.
Begitu kamu membuka pintu rumah, langit Muara Enim https://dlhmuaraenim.org/ bukan lagi biru atau pucat. Ia berubah menjadi warna abu-abu kusam, seperti langit yang sudah tua dan lelah. Matahari yang seharusnya menyapa dari balik bukit malah tampak seperti bola lampu murahan yang dibungkus plastik cokelat. Redup. Menggigil. Tidak sanggup menembus kabut asap yang menggantung sejak subuh.
Asap itu bukan datang dari kebakaran semalam. Ia sudah menjadi bagian dari udara selama berminggu-minggu, kadang menipis, kadang menebal, tapi tidak pernah benar-benar hilang.
Anak-anak berangkat sekolah dengan masker yang sudah berubah menjadi perpanjangan wajah mereka. Para orang tua tidak lagi bertanya, “Kapan hujan turun?” tapi, “Hari ini kira-kira berapa jarak pandangnya?”
Di sebuah desa kecil, seorang bapak tua mendorong motor bututnya sambil mengeluh. “Pasti lahan mineral di pinggir dusun itu terbakar lagi,” gumamnya. Ia tidak lagi kaget, tidak lagi panik. Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sudah menjadi rutinitas musiman, seperti menunggu panen atau menunggu gaji bulanan.
Yang menyedihkan adalah tidak ada yang menyebut gambut. Padahal mereka tidak sadar bahwa yang terbakar setiap tahun bukan hanya tanah mineral, tapi masa depan gambut yang perlahan mengering dari dalam.
Tanah mineral yang rusak itu kini berubah wajah. Retak-retak seperti kulit ular yang berganti sisik, ringan seperti abu rokok, dan sensitif pada panas sekecil apa pun. Dengan sedikit angin dan matahari yang lebih garang, tanah itu bisa terbakar tanpa peringatan. Dan setiap kali api muncul, panasnya merambat seperti penyakit, merayap masuk ke wilayah gambut dangkal di sekitarnya.
Yang jarang dipahami orang adalah api yang menyala di tanah mineral adalah pencuri yang sedang mencuri nyawa gambut Muara Enim pelan-pelan. Gambut yang dulu bekerja diam-diam, menjaga air, menahan banjir, menstabilkan suhu, mengikat karbon, kini mulai kehilangan kekuatannya.
Lapisan demi lapisan tipis itu terkikis. Tanah subur hilang, disusul keseimbangan ekosistem yang selama ini kita nikmati tanpa paham caranya bekerja.
Dan yang lebih menyesakkan adalah semua petaka ini tidak terjadi tiba-tiba. Semua bermula dari sesuatu yang tampak sangat kecil pada tahun 2025. Sebuah angka yang hampir tidak masuk berita utama. Sebuah luasan yang sering disepelekan.
11 hektare (ha) gambut Muara Enim yang terbakar.
Hanya itu. Kecil, di atas kertas, atau di berita online yang menyelip di portal detik.com. Tapi dari situlah retakan pertama muncul. Retakan yang kini menjalar menjadi kerusakan yang jauh lebih besar daripada yang bisa dibayangkan siapa pun pada tahun 2025 ini.
Bagaimana Sebuah Angka Kecil Bisa Sebegitu Menakutkan?
Kamu mungkin bertanya, “11 hektare? Itu kecil banget, kan? Kenapa dibesar-besarkan?”
Nah, begini. Gambut di Muara Enim dan Sumatra Selatan pada umumnya itu tidak bekerja seperti tanah biasa. Ia adalah spons raksasa penyimpan air. Gambut menyimpan air sampai 13 kali beratnya. Dan di Sumatera Selatan, mayoritas gambutnya adalah gambut dangkal dengan ketebalan 50–100 cm yang mencakup lebih dari 55% total luas gambut provinsi tersebut.
Gambut dangkal itu ibarat kulit apel. Tipis, tetapi kalau dikupas, langsung berpengaruh ke dagingnya. Dan kalau kulit apel rusak, daging di bawahnya cepat berubah warna. Begitu pula dengan gambut, hilang sedikit saja, fungsinya berkurang drastis.
Gambut yang terbakar tidak cuma hilang sebagai tanah, tapi juga kehilangan strukturnya. Dia akan jadi ringan, jadi rapuh, jadi sangat mudah kering, jadi gampang terbakar ulang.
Jadi, 11 hektare laham gambut terbakar di Muara Enim https://dlhmuaraenim.org/ itu tidak bisa diibaratkan sebagai angka kecil. Itu seperti lubang kecil di bendungan yang pelan-pelan membesar kalau tidak ditambal.
Sekarang coba kita lihat data yang keluar pada 2025. Menurut hasil analisis citra satelit oleh Kementerian Kehutanan dan BRIN, ada 2.855,6 ha lahan mineral terbakar di Sumatra Selatan dan 80,2 ha di antaranya merupakan lahan gambut.
Khusus Muara Enim, total karhutla mencapai 116,7 ha dan 11 ha di antaranya adalah gambut. Artinya, pusat masalahnya bukan cuma gambut, tapi juga tanah mineral yang sudah “lelah.”
Lelah bagaimana?
Lahan mineral pada banyak wilayah Sumatera Selatan, termasuk Muara Enim, sudah mengalami berbagai tekanan. Ia dibuka untuk pertanian, dibakar berulang, digunakan untuk perladangan, dikeringkan untuk tanaman tertentu, terpapar cuaca ekstrem setiap tahun. Akhirnya tanah mineral yang seharusnya tidak mudah terbakar berubah jadi tanah kering kerontang yang sangat mudah menyala.
Dan ketika lahan mineral terbakar, panasnya tidak berhenti di situ. Ia merambat, mengeringkan lapisan tanah di bawahnya, meluas ke semak, dan yang paling berbahaya adalah mengisap air dari gambut di sekitarnya.
Karena itu ada kalimat yang sering dipakai para peneliti gambut, “Ketika lahan mineral terbakar, korban pertama yang jatuh korban adalah gambut dangkal.” Jadilah Muara Enim yang awalnya punya gambut kecil dan terfragmentasi, semakin kesulitan mempertahankan kondisi basahnya.
Gambut Muara Enim, Ekosistem yang tidak Bisa Hidup Sendirian
Menurut definisi resmi pemerintah, ekosistem gambut bukan hanya area yang punya tanah gambut. Ia adalah satu kesatuan, yaitu tanah gambut, tanah mineral di sekitarnya, air, vegetasi, dan aktivitas manusia. Semua terhubung. Jadi tidak ada konsep “gambut berdiri sendiri.”
Kalau tanah mineral di sekelilingnya rusak, dikeringkan, atau sering terbakar, maka gambut di tengahnya ikut tersedot airnya. Persis seperti kalau kamu menanam bunga di tanah basah, tapi bagian sisi-sisinya kamu keringkan. Lama-lama tanah di sekitar akar ikut mengering.
Muara Enim, dengan gambut yang kecil dan dikelilingi lahan mineral terbuka, adalah contoh klasik ekosistem yang mudah sekali terganggu. Lalu, apa jadinya kalau gambut Muara Enim menghilang?
Sekarang, mari kita berimajinasi untuk masa depan. Tapi tenang, ini bukan cerita kiamat ya. Ini semacam latihan imajinasi supaya kita paham betapa gentingnya situasi.
1. Banjir Datang Lebih Cepat
Tanpa gambut sebagai spons air. Ketika musim hujan tiba, air tidak punya tempat meresap. Sungai-sungai kecil akan cepat meluap. Jalan desa akan lebih sering terendam.
Gambut menyimpan air bukan sehari-dua hari, tapi bulanan. Ketika dia hilang, penyimpanan itu ikut hilang.
2. Kekeringan Lebih Parah pada Musim Kemarau
Muara Enim yang punya sektor pertanian kuat akan merasakan dampaknya. Tanah lebih cepat mengeras, sumur dangkal cepat kering, tanaman lebih sulit tumbuh.
Sektor kopi dan sawit mungkin masih berjalan, tapi dengan biaya adaptasi jauh lebih besar. Artinya, perlu irigasi tambahan, penyesuaian lahan, bahkan migrasi tanaman.
3. Panas yang Lebih Menyengat
Tanah gambut yang basah menciptakan mikroklimat sejuk. Nah, kalau hilang? Udara jadi lebih kering, panas menyerap lebih banyak, dan suhu lokal meningkat.
4. Risiko Kebakaran Berulang
Kebakaran di tahun-tahun berikutnya akan lebih besar. Tanpa air yang tersimpan, musim kemarau akan membuat seluruh permukaan tanah jadi kertas kering. Sedikit percikan saja, misalnya dari puntung rokok, gesekan kawat, atau panas ekstrem, langsung deh menyalakan api.
5. Pola Hidup Masyarakat Berubah
Masyarakat akan terbiasa hidup dalam ritme berikut. Kalau kemarau, berteman asap. Kalau banjir, berteman banjir. Yang jelas, tidak ada masa normal baru yang lebih baik dari masa lalu.
Antara Sawit, Kopi, Migas, dan Gambut
Sumatera Selatan punya tiga sektor raksasa pengeruk ekonomi, yaitu kopi, kelapa sawit, minyak dan gas. Tapi sayangnya ada satu sektor yang tidak pernah punya panggung, yaitu gambut. Padahal tanpa gambut, keberlanjutan air untuk pertanian, perumahan, industri, bahkan kehidupan sehari-hari akan terganggu.
Gambut Muara Enim mungkin tidak seluas gambut di OKI atau Banyuasin, tetapi dalam sistem hidrologi, ia bukan angka kecil. Ia bagian dari mosaik besar yang menahan air dan karbon di Sumatera Selatan.
Kabar baiknya, kita masih punya waktu untuk mencegah masa depan yang muram itu. Ada beberapa hal yang sebenarnya bisa dilakukan.
Pertama, rewetting atau pembasahan ulang. Kita bisa mengembalikan air ke gambut melalui penutupan kanal, pembangunan sekat kanal, restorasi aliran alami.
Kedua, pengelolaan lahan tanpa bakar. Edukasi masyarakat lokal tentang praktik pembukaan lahan non-bakar.
Ketiga, diversifikasi ekonomi desa. Agar masyarakat tidak bergantung pada sistem yang membuka lahan secara agresif.
Keempat, sistem peringatan dini. Kita bisa menggunakan data satelit BRIN dan Kementerian Kehutanan atau Kementerian Lingkungan Hidup untuk mendeteksi titik panas sedini mungkin.
Kelima, restorasi vegetasi asli gambut dangkal. Mari menanam kembali jenis-jenis tanaman rawa yang membantu menahan air.
Muara Enim selalu punya cerita yang kuat. Dari energi, kopi, sawit, sampai kehidupan masyarakatnya. Tapi masa depan daerah ini tidak akan ditentukan oleh sektor besar itu saja. Justru yang menentukan adalah sesuatu yang kecil, sepi, dan jarang dibicarakan, yaitu gambut dangkal yang menyimpan air dan kehidupan.
Jika hari ini gambut seluas 11 hektare terbakar dan kita diam saja, apa yang terbakar hari ini mungkin bukan cuma lahan, tapi juga masa depan. Karena itu menjaga gambut Muara Enim sama dengan menjaga ritme hidup, keseimbangan air, dan warisan bagi generasi selanjutnya.
Muara Enim mungkin kaya karena migas dan sawit, tapi Muara Enim tidak bisa sejahtera lama jika airnya tiada, yaitu air yang disimpan oleh gambut yang kini kita abaikan. Semoga masa depan menakutkan itu tidak pernah datang ke depan pintu kita. Dan semoga hari ini kita memilih jalan yang lebih bijak.**

Leave a Comment