Cahaya pagi yang lembut mengiringi perjalanan kami menuju Ngarai Sianok di Bukittinggi, 28 Desember 2022. Aku bersama keluarga kecilku serta ibu yang ikut serta dalam liburan akhir tahun kami di Pasaman Barat.
Cuaca berubah hujan begitu memasuki Kelok 44. Kami rehat sejenak makan soto padang dan teh hangat di Matur, sekitar Kelok 37. Aroma basah perbukitan hijau dengan pemandangan Danau Maninjau sungguh menenangkan.
Mentari yang sempat sembunyi malu-malu kini muncul lagi seolah memanggil kami menikmati panorama sekitar. Tiba juga kami di Kota Bukittinggi jelang siang. Kami salat sebentar di masjid raya sekitar Kantor Pengadilan Agama Bukittinggi.
Awalnya, kami tak tahu mau kemana. Niat semula adalah bersilaturahmi antara ibu ayahku dengan mama papa mertua yang kebetulan juga pulang kampung ke Koto Laweh. Rencana berubah karena ayah mendadak sakit dan tidak bisa pergi.
Sambil menunggu papa mama mertua datang dari Padang Panjang, kami sempatkan berkeliling kota. Tak bisa turun karena gerimis.
Kami hanya menyaksikan keramaian kota yang mendapat julukan Parijs van Sumatra pada zaman kolonial Belanda, melihat Jam Gadang gagah terpampang, pusat-pusat kuliner, akhirnya berteduh di Museum Perjuangan Tridaya Eka Dharma dan makan Rujak Sutan Mudo.
Tepat di seberang musem ini, ada Taman Panorama Bukittinggi. Spot terbaik untuk menikmati keindahan Ngarai Sianok yang tak lama lagi akan menjadi geopark Indonesia, bahkan dunia. Kami hanya perlu menyeberang dan berjalan kaki sampai di sana.
Sejarah Ngarai Sianok
Bukittinggi terletak di dataran tinggi dengan kontur alam berbukit-bukit. Panorama alam nan kaya membuat Bukittinggi disematkan sebagai Kota Wisata di Ranah Minang. Artinya, orang belum ke Sumatra Barat kalau belum menjejakkan kaki di sini.
Ngarai Sianok sendiri berbentuk lembah curam. Letaknya di Kecamatan Ampek Koto, Kabupaten Agam.
Ngarai dalam bahasa minang berarti lembah atau jurang. Lembah ini memanjang dan berkelok, garis batas alami antara Nagari Koto Gadang sampai Nagari Sianok Anam Suku yang berujung di Kecamatan Palupuah.
Aslinya, Ngarai Sianok merupakan bagian dari Patahan Semangko, proses geologi jutaan tahun lalu yang membentuk barisan Pegunungan Bukit Barisan. Dindingnya curam, bahkan tegak lurus.
Lembah hijau yang subur dengan pemandangan indah dan tenang ini terbentuk akibat tumbukan antara Lempeng Samudra Hindia-Australia dan Lempeng Benua Eurasia. Tabrakannya menyerong sehingga terbentuk celah lebar bernama Ngarai Sianok.
Kedalamannya mencapai 100 meter. Panjangnya sekitar 15 km dengan lebar 200 m.
Nah, Patahan Semangko ini memotong Pulau Sumatra menjadi dua bagian tidak sama besar dari utara ke selatan. Kamu bisa lihat gambar berikut dan perhatikan bentuk semangka-semangka kecil yang berwarna kuning membelah Andalas.
Dari foto di atas, kita sama-sama tahu ya, kenapa Sumatra itu rawan banget gempa bumi. Pulaunya memang seretak dan serentan itu.
Daya tarik wisata di Taman Panorama Bukittinggi
Taman Panorama bisa dimasuki lewat dua pintu utama. Gerbangnya berbentuk gonjong rumah gadang, rumah tradisional masyarakat Sumatra Barat.
Harga tiket masuk Rp 20 ribu untuk turis mancanegara, Rp 15 ribu untuk wisatawan domestik dewasa dan Rp 10 ribu untuk anak-anak usia 3-12 tahun.
1. View alam Ngarai Sianok
Ngarai Sianok adalah lembah yang tenang. Tenteramnya berlanjut hingga malam. Serangga terdengar berdengung di seluruh lokasi.
Lahannya bergelombang, berbukit, berhutan. Bukittinggi sendiri terletak di kemiringan lereng hingga 40 persen.
Ada cerita legenda terkait Ngarai Sianok yang dipercaya masyarakat zaman dahulu. Seorang laki-laki sakti bernama Katik Muno datang bersama pimpinannya bernama Sang Sapurba ke Ranah Minang.
Pengawal bertubuh besar dengan kulit sekeras tembaga ini lama kelamaan berambisi menjadi penguasa. Dia yang awalnya bersifat lemah lembut berubah menjadi kasar. Kejahatannya membuat penduduk setempat menderita.
Sang Sapurba malu dan murka. Dia pun berduel dengan Katik Muno dan tentu saja menang. Supaya tidak berkonflik, daratan tempat keduanya bertarung dibelah menjadi dua, yaitu dua tebing di Ngarai Sianok yang kita lihat sekarang.
Katik Muno berubah menjadi naga. Dasar ngarai yang sekarang berupa sungai dahulunya adalah lahar api yang membara hasil muntahan naga jelmaan Katik Muno. Sebagai permohonan maaf, Katik Muno mengubah aliran api tadi menjadi sungai yang bernama Batang Sianok.
Tentu saja ini cuma mitos yang diceritakan turun temurun. Sejarah terbentuknya Ngarai Sianok ditinjau dari sudut ilmu pengetahuan sudah kuceritakan di atas.
Kelak, aku ingin datang lagi ke sini untuk mencari tahu titik-titik yang belum sempat kujelajahi, seperti Janjang Saribu dan Janjang Koto Gadang. Katanya keren banget.
2. Medan Nan Bapaneh
Medan Nan Bapaneh adalah penyebutan masyarakat Minangkabau untuk gelanggang. Memang benar, di sekeliling titik ini ditempatkan banyak kursi batu untuk tempat duduk saat menonton atraksi atau pertunjukan.
Medan Nan Bapaneh mirip dengan taman gladiator. Pengunjung di sini biasanya berkumpul menikmati keindahan Ngarai Sianok dari kejauhan dan mengabadikan gambar mereka.
Ada banyak gazebo dan tempat duduk di sini. Persis di seberangnya ada Tugu 17 Agustus, simbol kemerdekaan RI. Taman sekitarnya sebetulnya bernama Taman 17 Agustus. Akan tetapi, karena ada gerbang bertuliskan LOVE maka taman ini pun disebut Taman Love oleh pengunjung.
3. Lubang Jepang
Persis di tengah Taman Panorama Bukittinggi, ada jalan curam menurun yang merupakan pintu masuk menuju Lubang Jepang. Kita harus menuruni 132 anak tangga ke bawah.
Aku belum sempat menelusuri objek satu ini, hanya memandang dari kejauhan karena kondisi tak memungkinkan. Ibuku sudah tua dan tidak kuat lagi menjadi Ninja Hatori dengan mendaki gunung lewati lembah.
Anak-anakku juga belum cukup tangguh trekking jauh. Mungkin mereka bersemangat turun tangga, tetapi pas naik nanti? Bisa-bisa ketiganya minta gendong. Aduh, emak encok.
Terowongan bersejarah ini dahulunya lubang perlindungan atau tempat persembunyian tentang Jepang saat Perang Asia Timur Raya atau Perang Pasifik. Jepang saat itu terdesak usai kalah Perang Dunia II dan ingin menguasai Asia dengan melawan negara-negara Barat melalui Perang Asia Timur Raya.
Jepang kemudian memusatkan pertahanan perang di Bukittinggi. Mereka bertahan dari kejaran Barat dengan menerapkan taktik lompat kodok, dari Sulawesi ke Kalimantan, lalu Sumatra. Komandannya waktu itu bernama Jenderal Moritake Watanabe.
Setidaknya ada 21 terowongan yang digunakan Jepang untuk berbagai keperluan, selain tempat persembunyian. Lubang Jepang memiliki ruang pertemuan, ruang makan, dapur, ruang monitoring, ruang penyimpanan amunisi, barak tentara, bahkan penjara. Ini adalah bukti nyata penerapan sistem kerja paksa atau romusha di Indonesia.
Uniknya, Lubang Jepang di Sumatra Barat dikerjakan oleh rakyat Indonesia yang berasal dari luar, yaitu Kalimantan, Sulawesi, dan Jawa. Pasti kamu penasaran alasannya, ya kan?
Konon katanya supaya pekerja-pekerja tadi tidak bisa berkomunikasi dengan masyarakat di Bukittinggi yang menggunakan bahasa minang. Dengan demikian, maksud pembuatan Lubang Jepang, fungsi, dan segala rahasia terkaitnya tidak mudah dibocorkan ke pejuang-pejuang kita.
Apalagi kedatangan Jepang penuh propaganda untuk mendapatkan simpati masyarakat pribumi. Musuh berkedok teman. Jepang menjajah Indonesia dengan menerapkan politik 3A, yaitu Nippon Pelindung Asia, Nippon Pemimpin Asia, dan Nippon Cahaya Asia.
Lubang Jepang berada di kedalaman 40 meter dengan diameter 3-4 m dan panjang mencapai 1,4 km. Namun, pengunjung hanya diperkenankan menjelajahi sekitar 750 m demi alasan keamanan.
Terowongan ini bisa memuat hingga seribu orang. Hebatnya, Lubang Jepang sangat kokoh. Teknologi Jepang pada masa itu tergolong sudah maju. Bayangkan, terowongan ini bisa menahan gempuran bom seberat setengah ton. Dahsyat!
4. Animal watching
Wisata satwa merupakan wisata minat khusus yang menarik pehobi tertentu. Ngarai Sianok merupakan habitat aneka flora dan fauna Nusantara. Bunga bangkai (Rafflesia arnoldii) tumbuh di sini, tepatnya sekitar Sungai Batang Sianok.
Jenis-jenis satwa yang hidup di Ngarai Sianok, antara lain macan tutul, siamang, simpai, rusa, babi hutan, tapir, dan kerbau, aneka jenis burung, kupu-kupu, dan monyet ekor panjang. Pada zaman Belanda, Ngarai Sianok juga disebut Kerbau Sanget saking banyaknya kerbau liar merumput di dasar ngarai.
Satwa terakhir yang kusebutkan, yaitu monyet ekor panjang mudah dijumpai di Taman Panorama Bukittinggi. Keberadaan mereka sering mengganggu. Mungkin karena sudah terbiasa dengan keramaian dan kehadiran manusia.
Manusialah yang mengubah perilaku mereka, dari tadinya liar menjadi akrab. Saking akrabnya, suka mencuri makanan wisatawan.
Coba kalau pengunjung tak membiasakan diri melempar makanan yang bukan makanan alami monyet-monyet tersebut, pasti mereka enggak bakal semengganggu ini. Mamalia primata dengan nama ilmiah Macaca fascicularis ini juga suka mengambil barang pengunjung, merusak, bahkan menyerang.
So, sebaiknya pengamatan monyet ekor panjang di Taman Panorama Bukittinggi sebaiknya dilakukan dari jarak jauh. Kalau pun kita berdekatan dengan mereka, usahakan jangan ada makanan dan minuman di tangan, jangan bawa barang di tangan. Enggak mau tiba-tiba ponselnya diambil dan dilempar ke jurang kan? Hehehe.
5. Playground anak
Orang tua bisa lega dan menghabiskan waktu lebih lama di Taman Panorama Bukittinggi. Ada playground gratis tempat bermain anak.
Lokasinya berseberangan dengan toko suvenir. Ada banyak wahana bermain, seperti perosotan, jungkat-jungkit, monkey bar, ayunan, dan sebagainya.
Sayang sekali, aku tak begitu menikmati suasana saat bermain dengan anak-anak di sana. Waktu kami ke Sumatra Barat, rupanya sedang musim lato-lato. Berisik banget kuping ini mendengarnya. Anak-anakku pun ikut ketularan viral mainan satu itu dan membelinya di toko suvenir terdekat.
Kalau emaknya enggak suka, bukan berarti anaknya enggak boleh main ya. Masa kecil hanya sekali, jadi silakan nak, mainlah sepuasnya.
Oh ya, Ngarai Sianok hanya satu dari sekian banyak tempat rekreasi dan wisata yang kukunjungi selama di Sumatra Barat. Intip juga cerita lainnya di Pantai Sasak dan Mountain View Waterzone Pasaman Barat. Terima kasih.
Leave a Comment