Terapi untuk anak autis itu gak murah, memang mahal. Hanya orang tua dari anak autism spectrum disorder (ASD) bisa paham bagaimana perjuangan dan komitmen finansial yang harus kita hadapi untuk membesarkan dan menyembuhkan anak autis.
Sebuah penelitian di luar negeri menyebutkan terapi untuk anak autis membutuhkan biaya lebih besar dibanding anak tipikal atau anak tidak autis. Alasannya adalah:
- Anak autis 40 persen lebih banyak melakukan kunjungan dan konsultasi dengan dokter ahli dibanding anak non-autis.
- Anak autis berusia di atas 4 tahun tahun tujuh kali lebih sering ke psikiatri dibanding anak non-autis.
- Anak autis berusia 2-4 tahun 13 kali lebih sering ke psikiatri dibanding anak non-autis.
- Anak autis 12 kali lebih sering dirawat inap di rumah sakit dibanding anak non-autis.
- Biaya pengobatan anak autis 40 persen lebih mahal dari anak non-autis.
Sejak Rashif menjalani terapi 10 bulan terakhir, keluarga kami setidaknya sudah menghabiskan uang Rp 250 juta. Total tersebut untuk biaya terapi, konsultasi dokter, biaya perekrutan terapis, gaji bulanan terapis, pembelian obat dan suplemen.
Jumlah tersebut belum termasuk biaya yang kami keluarkan saat pindah rumah dari Surabaya ke Bekasi, sewa rumah kontrakan untuk terapis, cek lab Rashif beberapa kali, tes swab sekeluarga sebagai syarat masuk The Center KIDABA, biaya mempersiapkan ruang terapi (teaching room) Rashif di rumah, seperti memasang CCTV, AC, meja, kursi, dan sebagainya.
Berapa lama Rashif harus diterapi?
Total tiga tahun. Artinya, Rashif setidaknya masih diterapi 26 bulan ke depan.
Rashif menjalani dua terapi sekaligus, yaitu Applied Behavior Analysis (ABA) dan Biomedical Intervention Therapy (BIT). Saat memulainya Agustus 2020 lalu, sedari awal kami sadar bahwa ini akan menjadi perjalanan panjang, memakan banyak waktu, tenaga, dan uang.
Kabar baiknya, Rashif hari ini mengalami banyak kemajuan dari sisi perilaku, sebagaimana bayi seumurnya.
Biaya Terapi Autisme
Buat orang tua yang curiga anaknya autis, atau baru saja didiagnosis autis, sebagai gambaran berikut saya berikan biaya terapi autisme. Sejauh ini baru ABA dan BIT yang efektif menyembuhkan anak dengan gangguan spektrum autis dengan tingkat keberhasilan 90-100 persen.
Angka-angka berikut secara umum adalah biaya terapi ABA ya. Saya tak ingin membahas biaya terapi di luar ABA yang pastinya jauh lebih mahal, entah itu terapi okupasi, sensori integrasi, terapi berkuda, terapi bermain, dan sebagainya yang belum bisa dibuktikan keberhasilannya secara ilmiah.
1. Biaya diagnosis dan konsultasi awal
Jika kita curiga anak kita autis, hal pertama yang perlu kita kejar adalah diagnosisnya. Ini menjadi PR besar orang tua karena di Indonesia ini dokter spesialis anak yang paham gangguan spektrum autisme sangat jarang, bahkan langka.
Inilah yang membuat banyak orang tua tak bisa mendeteksi dini kelainan pada anak autis. Hasilnya, kalo gak pasrah sama diagnosis dokter yang salah, ya solusi lainnya adalah cari dokter lainnya. Akibatnya banyak orang tua istilahnya melakukan shopping dokter.
Biaya konsultasi dokter dan skrining awal untuk diagnosis ASD berkisar Rp 750 ribu – Rp 1 juta. Waktu di Surabaya saya sempat bikin janji sama seorang dokter di RS Siloam Gubeng dan kami harus membayar Rp 750 ribu untuk konsultasi selama 20 menit. Konsultasinya ya cuap-cuap doang.
Waktu ke dr Rudy Sutadi, saya bayar biaya konsultasi Rp 1 juta. Beliau lah dokter pertama yang bisa menjabarkan dengan baik kondisi anak saya.
Rashif diskrining menggunakan DSM-IV dan DSM-V kedokteran. Selama 30 menit saya harus menjawab lebih dari 100 pertanyaan tentang kondisi Rashif sejak masih dalam kandungan hingga berumur 1,5 tahun.
Hasilnya, dari 12 kelompok gejala ASD, Rashif memiliki delapan kelompok gejala. Anak dinyatakan autis jika memenuhi setidaknya enam kelompok gejala.
2. Biaya terapi ABA dan konsultasi dokter ahli di klinik, pusat terapi, dan rumah sakit.
Beberapa kenalan saya yang menterapi anaknya di klinik tumbuh kembang anak rumah sakit mengatakan mereka membayar biaya terapi autisme setidaknya Rp 250-350 ribu untuk satu kali terapi dengan durasi dua jam.
Rata-rata rumah sakit hanya menerima dua kali terapi seminggu. Artinya, dalam sebulan anak diterapi 8-9 kali dengan total biaya Rp 2 juta – 3,2 juta per bulan.
Kenalan saya yang anaknya diterapi di pusat terapi mengatakan mereka membayar setidaknya Rp 3,5-5 juta per bulan untuk 2-3 kali terapi per minggu. Satu kali terapi ABA durasinya dua jam.
Biaya-biaya di atas belum termasuk biaya konsultasi dokter ahli, belum juga termasuk biaya obat dan suplemen.
Saya menyimpulkan durasi terapi untuk anak autis, mau itu di rumah sakit atau pusat terapi masih sangat kurang. Dosis terapi untuk anak autis, jika mengikuti standar metode ABA oleh Profesor Lovaas minimal 35 jam per minggu untuk anak di bawah tiga tahun, dan 40-45 jam per minggu untuk anak di atas tiga tahun.
Artinya, anak harus diterapi setiap hari, Senin-Sabtu, bahkan jika mungkin selama anak menjalani hari-harinya di rumah.
Saya mengeluarkan biaya terapi ABA Rp 17,2 juta per bulan untuk Rashif di rumah. Terapi berlangsung empat sesi, Senin-Sabtu, pukul 07.00-15.30 WIB. Satu sesi durasinya 1,5 jam, dijeda dengan istirahat 30 menit per sesi. Satu anak ditangani tiga orang terapis.
Biaya yang saya keluarkan tersebut sudah termasuk gaji tiga terapis dan konsultasi dokter ahli. Jika berandai-andai, Rashif menjalani terapi selama 36 bulan alias tiga tahun, biaya totalnya bisa mencapai Rp 620 juta. Masya Allah, apakah saya sanggup? Jawabannya adalah saya tidak sanggup, TAPI Allah sanggup. Tidak ada yang mustahil bagi Allah jika kita percaya dan berusaha.
3. Biaya pemeriksaan laboratorium
Anak autis perlu melakukan serangkaian pemeriksaan laboratorium atau cek lab. Ada yang sifatnya wajib dan ada yang sifatnya anjuran, bergantung pada dokternya.
- Biaya pemeriksaan hematologi lengkap, fungsi hati, mencakup serum glutamic oxaloacetic transaminase (SGOT) dan serum glutamic pyruvic transaminase (SGPT), fungsi ginjal, mencakup ureum darah dan kreatinin darah. Totalnya kurang dari Rp 300 ribu. Pemeriksaan ini bersifat wajib dan dilakukan per tiga bulan.
- Biaya tes IgG Food Allergy Rp 5,5-6,5 juta. Sifatnya bisa anjuran dan bisa wajib bagi anak autis dengan tingkat sensitivitas tinggi terhadap makanan.
- Biaya uji elektrolit darah lengkap Rp 200-500 ribu.
- Biaya pemeriksaan TORCH Rp 250-500 ribu.
- Biaya tes fungsi tiroid, mencakup T3, T4, TSH Rp 850 ribu – 1 juta.
- Biaya tes pendengaran (BERA, OAE, konsultasi dokter) Rp 1-1,5 juta
- Biaya CT scan kepala, mencakup magnetic resonance imaging (MRI) dan magnetic resonance spectroscopy (MRS) Rp 3,5-5 juta.
Keterbatasan dana membuat saya tidak bisa menjalankan seluruh pemeriksaan di atas untuk Rashif. Untungnya Rashif masih berusia dini, 18 bulan ketika pertama kali diberikan terapi, sehingga gangguannya belum terlalu masif.
Rashif hanya menjalankan pemeriksaan hematologi lengkap yang dilakukan setiap tiga bulan.
4. Biaya obat dan suplemen
Orang tua anak autis yang perdana pasti ketakutan kalo melihat daftar obat dan suplemen dalam anggaran terapi untuk anak autis. Kesannya buanyak buangettt. Iya betul, tidak salah sama sekali.
Obat-obatan dan suplemen untuk terapi autisme sangat banyak. Namanya juga penyakit neurobiologis ya. Bukan cuma fisik dari leher ke bawah aja yang rusak, tapi isi kepala anak kita alias otaknya juga mengalami gangguan.
Saya hanya memberikan obat yang urgent diberikan untuk Rashif. Semua disesuaikan dengan kemampuan ekonomi masing-masing orang tua.
Total biaya obat dan suplemen Rashif yang saya keluarkan sampai hari ini kira-kira Rp 8 juta. Saya gak bisa merinci harga per itemnya karena pasti panjang banget.
Ada obat dan suplemen yang diberikan setiap hari, seperti Spectrum Complete II, Calcium with Vitamin D3 P Unflavored Powder, Nystatin, dan Piracetam. Ada juga yang sebulan diberikan dan sebulan berikutnya tidak diberikan, seperti Moprin. Ada yang diberikan per tiga bulan, seperti probiotik, Biofilm Defense, dan Kanamycin. Macam-macam deh pokoknya.
5. Biaya makan
Mayoritas anak autis pilih-pilih makanan. Di sisi lain mereka perlu dibiasakan menjalankan diet khusus, salah satunya rotasi dan eliminasi atau RnE Diet.
Rashif misalnya, setiap hari harus makan makanan berbeda. Bukan cuma ikan dan dagingnya saja yang beda, tapi berasnya juga beda, bahkan minyak gorengnya pun beda. Diet seperti ini hanya bersifat sementara, khususnya selama Rashif menjalani terapi dan pantauan BALSH Chart.
Menu Rashif Senin-Minggu:
- Senin: daging bebek, ikan lele, beras putih Inpari-32
- Selasa: daging ayam, ikan mujair, beras putih Ciherang
- Rabu: daging sapi, ikan gurami, beras putih Sertani
- Kamis: daging kambing, ikan nila, beras putih Pandan Wangi
- Jumat: daging puyuh, ikan mas, beras putih Mentik Susu
- Sabtu: daging kerbau, ikan patin, beras putih IR-64
- Minggu: daging kelinci, ikan bawal, beras merah Inpari-24
Anak autis perlu dibiasakan sejak dini untuk menyukai beragam makanan, supaya kelak waktu dewasa sifat rigitnya ini jauh berkurang bahkan hilang.
Bayangkan kalo orang tua terus menuruti anak yang cuma mau makan ayam goreng dan sayur labu siam. Kelak jika ayam tidak ada, atau sayur labu tidak ada, anak tidak akan mau makan, meski dipaksa sedemikian rupa. Gizi dan nutrisi di tubuhnya terbatas. Bagaimana bisa otaknya mengalami perbaikan?
Suka tidak suka kita harus terima bahwa anak istimewa kita ini memberi banyak dampak pada keluarga. Sebagian besar ibu bekerja yang memiliki anak autis memutuskan berhenti dari pekerjaannya.
Beberapa ibu anak istimewa kenalan saya memutuskan resign dan mengikuti training menjadi terapis profesional demi menekan biaya terapi untuk anaknya. Mau gimana lagi? Di Indonesia saya rasa belum ada perusahaan asuransi yang mau mengcover biaya terapi dan pengobatan khusus untuk anak autis. Ini fakta loh.
Mayoritas orang tua anak autis mengalami beban finansial terkait biaya pengobatan dan terapi. Mereka juga butuh banyak informasi tentang kondisi anaknya supaya bisa mengelola stres emosional dan fisik, sembari menyeimbangkan tanggung jawab pekerjaan dan keluarga.
Bantuan Allah Itu Nyata
Saya berani menyebutkan nominal di atas bukan bermaksud pamer bahwa kami ini kaya, kami ini mampu, kami ini berada. TIDAK. Saya dan suami bukan anak orang kaya, bukan pula dari keluarga sultan yang serba berkecukupan.
Trus, kenapa maksa harus terapi mahal-mahal?
Jawabannya karena kami percaya sama Allah dalam mengejar kesembuhan untuk Rashif. Kami percaya Allah menganugerahi kami seorang anak istimewa tidak semata-mata fisiknya saja.
Allah pasti menitipkan kelebihan di setiap kekurangan. Allah pasti memberikan paket lengkap untuk Rashif, termasuk rezekinya sendiri.
Dan tidak satupun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).
QS Hud 6
Seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna.
QS Al Najm 39-41
Rasulullah SAW bersabda bahwa rezeki dan ajal manusia sudah ditentukan Allah SWT sejak manusia masih berumur 120 hari di dalam kandungan.
HR Bukhari dan Muslim
Masya Allah, kalo sudah begini, apa pantas saya mengkhawatirkan biaya terapi Rashif tiga tahun ke depan? Apa saya pantas menyalahkan keputusan saya resign kerja demi anak-anak karena faktanya sekarang kami butuh uang banyak untuk terapi Rashif? Apa saya pantas berburuk sangka pada Allah?
Rezeki anak BUKAN di tangan kedua orang tuanya. Rezeki anak ada di tangan Allah dan Allah sudah mengatur itu sedemikian indahnya.
Saya terlalu sombong merasa bahwa masa depan Rashif bergantung di pundak saya dan suami. Saya terlalu sombong kalo berpikir Mae dan Rangin harus ikut berkorban dan ikut kelaparan demi membayar pengobatan saudara kandungnya.
Saya lupa bahwa Allah menciptakan manusia bukan untuk menyelesaikan masalah. Allah menciptakan manusia untuk berdoa, berikhtiar, dan melaksanakan perintah Allah. Lakukan apa yang bisa kita lakukan, sisanya yang tak bisa kita lakukan, kembalikan kepada Allah yang Maha Pemilik.
Jika kami tengok lagi ke belakang, sungguh nominal Rp 250 juta tidak masuk di akal kami. Saya masih ingat, saya dan suami cuma punya uang cash Rp 100 juta, sisa tabungan kami berdua selama enam tahun menikah dan setelah beli rumah.
Orang tua kami, kakek neneknya Rashif memberi kami uang Rp 50 juta, hingga total terkumpul uang di tangan kami Rp 150 juta untuk modal awal terapi Rashif. Lalu, bagaimana kami bisa membiayai terapi Rashif mencapai Rp 250 juta selama 10 bulan terakhir, sedangkan uang di tangan kami hanya Rp 150 juta? Demi Allah ini semua berkat kuasa Allah SWT yang tidak terpikirkan oleh kalkulator manusia.
Sembari merekrut dan menunggu tiga terapis Rashif menjalani training minimal tiga bulan, kami tak membuang waktu dan memutuskan memberi Rashif terapi di the Center KIDABA.
Biaya terapi bulanan di klinik lebih mahal dari biaya terapi di rumah (home-base therapy), setara satu kali gaji mas. Sebagai perbandingan, kami membayar sekitar Rp 24 juta per bulan untuk terapi di klinik, sedangkan setelah terapi di rumah kami hanya membayar Rp 17,2 juta per bulan.
Kami memutar otak. Satu rupiah pun berharga buat kami waktu itu. Dengan kondisi saya sudah resign kerja, artinya kami hanya mengandalkan gaji bulanan suami yang tentu masih kurang, sebab kami juga butuh uang untuk biaya hidup sehari-hari.
Masih ingat entah bulan keberapa saya pernah menangis saat menunggui Rashif sesi terapi di KIDABA. Saya menangis karena mendadak saya harus menyiapkan uang sekitar Rp 3,5 juta untuk menebus obat dan suplemen Rashif.
Kondisinya kami gak punya alokasi uang lebih bulan itu. Tiba-tiba sore harinya suami menelepon saya mengabarkan bahwa di rekeningnya masuk uang Rp 5 juta, bonus kerja. Masya Allah, alhamdulillah.
Saya juga masih ingat entah bulan keberapa saya kekurangan uang untuk kebutuhan dapur. Pengeluaran kami ekstra bulan itu karena membeli bahan-bahan kebutuhan diet Rashif itu gak murah.
Berasnya organik, minyak gorengnya juga mahal karena harus tujuh jenis untuk tujuh hari, belum lagi tujuh jenis daging dan tujuh jenis ikan untuk tujuh hari. Tiba-tiba keesokan harinya saya dinyatakan sebagai salah satu pemenang lomba blog. Masya Allah, alhamdulillah.
Hal yang tak diduga-duga adalah dua kali suami mendapat bonus satu kali gaji, bisa membiayai satu bulan terapi Rashif. Pas suami transfer, saya tanya dapat uang dari mana? Saya takut suami cari uang tambahan gak halal. Qadarullah, katanya beberapa waktu lalu ada pergantian direktur di kantornya. Direktur yang baru memberikan bonus jasa produksi untuk seluruh karyawannya.
Pernah saat butuh uang mendadak, tiba-tiba adik ipar saya memberikan uang untuk tambahan berobat Rashif. Pernah saat tabungan semakin menipis, tiba-tiba saya teringat saya masih punya tabungan reksa dana dan tabungan emas online. Meski jumlahnya tak seberapa, tapi ketika dijual, cukup membantu kekurangan biaya hidup kami saat itu.
Pernah juga saya terlambat sekitar seminggu membayar biaya terapi Rashif. Alhamdulillah kami diberi tenggat waktu. Istilahnya kapan kami ada uang, silakan dibayar.
Meski saya tak lagi kerja kantoran, alhamdulillah hobi menulis saya bisa jadi passive income. Tiba-tiba ada yang ngajakin bikin proyek buku alumni salah satu kampus negeri ternama di Bandung. Job sponsored post berdatangan. Endorsement produk satu demi satu masuk. Masya Allah, masya Allah.
Sungguh, rezeki Allah banyak pintunya. Kadang datang tak terduga. Tugas kita sebagai manusia adalah menjemputnya dengan sebaik-baiknya ikhtiar.
Kami saat ini dalam proses menjual rumah untuk biaya terapi Rashif. Menjual rumah saat krisis ekonomi karena pandemi begini tentu tak mudah.
Beberapa calon pembeli menawar rumah kami jauh dari harga layak, bahkan jauh di bawah harga pembelian kami dulu. Ada juga yang menyatakan serius, eh ternyata cuma memberi harapan palsu doang. Ada yang hampir jadi, bahkan kami sudah membuatkan surat kuasa ke notaris, eh mendadak tidak jadi.
Kami tidak berharap untung besar dari penjualan rumah ini. Kami hanya memohon pada Allah agar rumah kami ini bisa terjual dengan harga yang wajar demi pengobatan anak kami. Insya Allah, kami tetap sabar. Semoga Allah mengijabah doa-doa kami.
Selamat berjuang saudara-sadaraku, para orang tua yang mengejar kesembuhan untuk anak-anaknya yang didiagnosis autis. Jangan pernah menggantungkan harapan kita pada manusia. Gantungkan harapan kita pada Allah dan percaya Allah memberi kita ujian lengkap dengan paket-paketnya.
Kita lah yang bertugas menemukan paket-paket tersebut dengan usaha dan doa. Tetap semangat ya. Insya Allah anak-anak kita kelak sembuh tanpa bekas, menjadi generasi Rabbani dan Qurani, serta mendoakan kebaikan untuk kedua orang tuanya. Amin Ya Rabbal Alamin.
Leave a Comment