Emak-emak yang aktif ber-medsos seperti saya pastinya punya pengalaman luar biasa terkait media sosial. Kita bisa terhubung dengan emak-emak lain, secara personal atau via grup komunitas, berbagi cerita, gambar, foto, hingga video. Namun, ada sisi gelap menjadi emak-emak Facebooker atau emak-emak Instagram, yaitu mom-shaming.
Mom-shaming adalah perilaku bernada negatif, berupa kritik tajam atau komentar pedas yang ditujukan pada seorang ibu. Siapa yang melakukannya? Siapa saja bisa, namun kebanyakan pelaku yang saya jumpai adalah sesama perempuan, bahkan yang notabene juga seorang ibu.
Tiga tahun lalu saya pernah memosting foto menu MPASI bayi saya yang masih berusia 7 bulan. Saya memberikan keju sebagai lemak tambahan. Tak lama berselang, beberapa teman mengomentari langsung postingan Instagram saya. Sebagian mereka mengirimkan DM berisi nasihat.
“Muthe, keju sebaiknya diberikan setelah Mae satu tahun, kecuali unsalted cheese.” Pesan tersebut diakhiri dengan emoji wajah tersenyum.
Jika saya tipe ibu yang mudah terbawa perasaan alias baper, gampang tersinggung, saya bisa saja membalas komentar si pengirim pesan dengan sangar. “Anak saya ya suka-suka saya dong. Mendingan situ ngurus anak situ aja deh.”
Tapi saya tak melakukannya. Saya tak membiarkan diri saya tersinggung dengan pesan-pesan tersebut. Saya tak menganggap komentar dan pesan-pesan itu sebagai sindiran bahwa saya tak mengikuti anjuran pembatasan gula dan garam untuk bayi di bawah satu tahun.
Hal tak kalah penting adalah saya merasa tak perlu membela diri dan mencari-cari pembenaran dari sudut pandang pribadi. Saya justru berbalik berterima kasih pada mereka karena telah meluangkan waktu mengingatkan saya. Maklum, waktu itu saya masih awam soal ilmu per-MPASI-an dan masih terus belajar.
Hindari Mom-shaming Mulai dari Diri Sendiri
Mom-shaming adalah topik panas yang gak ada habisnya. So far saya gak pernah baper kalo berinteraksi dengan si pelaku. Saya lebih senang mengingatkan diri sendiri supaya tidak terjebak secara sengaja atau tak sengaja menjadi si pelaku. Gimana caranya?
1. Jangan julid di status medsos ibu lain
Jika kita melihat ada yang salah dari perawatan dan pengasuhan seorang ibu terhadap bayinya, selama itu tidak membahayakan nyawa si bayi, ada baiknya kita menahan diri berkomentar. Kalau pun kita ingin mengingatkan atau memberi nasihat, lakukan secara personal.
Jangan julid di status yang bersangkutan. Kita bisa mengirimkan pesan pribadi lewat chat whatsapp, Facebook messenger, atau DM Instagram. Hindari menulis komentar negatif di kolom komentar.
2. Jangan julid-in orang di status medsos pribadi
Jangan pula kita mengkritik tindakan ibu lain dengan menulisnya di status medsos pribadi. Awalnya status tersebut bisa jadi kita tujukan untuk satu orang, tapi faktanya banyak ibu yang membaca status kita ikut baper. Akhirnya kita menciptakan permusuhan emak-emak di muka bumi. Gak asik kan? Mendingan peace, love, and gaul aja gitu.
3. Berbagi cerita positif tentang sosok perempuan hebat dan inspiratif
Cara terbaik untuk membagikan pengetahuan pada ibu-ibu lain dengan berbagi cerita positif tentang sosok perempuan hebat dan inspiratif. Saya banyak terinspirasi dari postingan anggota grup Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) tentang perjuangan meng-ASI-hi mereka.
Saya juga banyak terinspirasi dari teman-teman saya yang sering berbagi resep MPASI lengkap dengan kandungan gizi dan nutrisinya. Bukan tidak mungkin cerita-cerita ini bisa menginspirasi ibu-ibu lain yang butuh semangat lebih. Ya kan?
4. Tujuan kita menyemangati, bukan menggurui
Sebagian perempuan menjadikan peran ibu sebagai ajang untuk menunjukkan siapa yang lebih baik. Sikap ini membuat ibu-ibu lain yang sedang tertatih menjalani prosesnya sendiri merasa seperti digurui, diburu-buru, bahkan dihakimi.
Tidak semua ibu mendapat informasi lengkap soal metode MPASI terbaik. Tidak semua ibu tahu cara menggendong bayi dengan posisi M-shape. Tidak semua ibu benar memasang car-seat bayi di mobil.
Hal yang salah adalah menegur keras dan menyindir tajam, bahkan berisi caci maki, seperti jadi ibu kok ngasal banget sih? Anak belum setahun kok udah dicekokin gula garam? Kasihan banget bayinya digendong sembarangan kayak gitu! Dan banyak lagi komentar keras lainnya.
Ingat mak, tujuan kita adalah menyemangati, bukan menggurui. Saya tak berniat menghakimi kesalahan ibu lain, sebab saya sendiri adalah ibu yang pernah membuat kesalahan.
Siapa Saja Pelaku Mom-shaming?
Pertama kali menjadi ibu saya sadar akan ada banyak pihak mencoba andil dalam kehidupan saya terkait pengasuhan anak. Ibu baru alias new mom sering dicap gak tahu apa-apa, gak punya pengalaman, bakal ngelakuin banyak kesalahan. Pokoknya di punggung saya seolah ada tulisan “KICK ME PLEASE,” sehingga siapa saja berhak mengkritik.
Kritik mulai datang dari pembahasan metode persalinan sesar atau normal, ASI atau susu formula, popok kain (clodi) atau popok sekali pakai, ibu bekerja atau ibu rumah tangga, sampai ke badan gendut setelah melahirkan juga tak luput jadi bahan julid orang lain.
Siapa saja sih yang berpotensi melakukan mom-shaming, dan apa saja bentuk-bentuknya?
1. Mom-shaming oleh orang gak dikenal
Perempuan manapun yang kedapatan menggendong bayi kecil, lucu, imut, siap-siap saja menjadi sasaran kepo semua orang. Bayi kita seperti magnet yang menarik perhatian, mulai dari perhatian tetangga, masyarakat se-RT, se-RW, sekelurahan, sampai sekecamatan.
Suatu pagi saya pernah mendatangi warung nasi uduk di Jalan Tukad Banyusari, tempat tinggal saya di Denpasar dahulu. Saya melihat ibu yang punya warung memberikan dot berisi air putih kepada cucunya yang masih bayi berusia tiga bulan. Saya melihat ibu si bayi sedang sibuk membungkus nasi uduk untuk pelanggan.
Saya kasihan, bahkan pengen nangis melihat bayi kecil itu sudah dicekokin air putih terlalu dini. Bayi di bawah enam bulan yang diberikan air putih akan mengganggu kemampuan tubuh bayi menyerap nutrisi dalam ASI atau susu formula. Air putih membuat perut bayi terasa penuh dan akhirnya bayi malas menyusu.
Saya dalam posisi orang asing itu. Saya memberi tahu si nenek bayi dengan bahasa yang santun dan sebisa mungkin tidak menyinggung perasaannya. Saya berusaha tak jor-joran menyalahkan si nenek, meski pun dalam hati saya sebetulnya gedeg banget sama keluarga itu.
Fokus saya tetap ke si bayi dan tugas saya memberikan informasi kepada keluarganya. Saya tak ingin dicap mom-shaming. Perkara pihak keluarga tetap meneruskan atau menghentikan kebiasaan memberi air putih pada bayi tiga bulannya itu, saya serahkan pada mereka. Saya juga berdoa semoga bayi tersebut tetap sehat dan selalu dalam lindungan Allah.
2. Mom-shaming oleh netizen
Internet seolah diciptakan untuk mempermalukan semua ibu di dunia. Sebagian ibu berpikir demikian. Media sosial memberi kita kesempatan seluas-luasnya untuk menilai tindak tanduk orang lain.
Saya masih ingat bagaimana Andien, penyanyi papan atas Indonesia itu dicap ibu yang tega karena memberikan makanan padat pada puteranya, Kawa yang masih berumur 5 bulan. Instagram Andien banjir kritik, bahkan caci maki. Saya yakin Andien sudah siap menghadapi risiko tersebut saat pertama kali memosting video kontroversial anaknya.
Saya bagian dari ibu-ibu yang menyayangkan tindakan Andien. Meski demikian, saya tetap angkat topi untuk si eeeboook yang telah memberikan perawatan dan pengasuhan terbaik versi dia untuk putera semata wayangnya.
Saran saya di sini, jika kita membagikan informasi dalam bentuk apa saja, terlebih informasi tentang anak yang secara umum bertentangan dengan ilmu kesehatan, sebaiknya simpan untuk diri sendiri. Kita baru boleh berbagi pandangan berbeda di medsos jika memang kita siap menjadi obyek penderita dan dihakimi oleh netizen yang budiman.
Apa yang bisa dilakukan jika kita menjadi korban mom-shaming online? Saran terlogis saya adalah matikan kolom komentar.
Jika orang-orang masih terus bertanya, mengkritik, menegur, bahkan mencaci maki kita melalui pesan pribadi misalnya, jangan ragu untuk berhenti menjawab, dan bila perlu menghapus postingan kita yang kontroversial.
Saya pun pernah memosting foto di mana saya memberikan putera kembar saya madu (clover honey) padahal usianya baru lima bulan. Beberapa teman saya bertanya, namun saya sama sekali tak menganggap itu sebagai mom-shaming. Saya coba menjelaskan dari sudut pandang berbeda.
3. Mom-shaming oleh sesama perempuan
Rasanya sedih aja ya jika sesama perempuan melakukan mom-shaming. Fenomena ini banyak terjadi saat ini.
Saat membesarkan ketiga putera-puteri saya, saya membebaskan mereka makan dengan tangan kanan atau kiri hingga berusia satu tahun. Fokus saya adalah menyeimbangkan kemampuan motorik halus dan motorik kasar anak-anak saya secara alami. Mereka bebas makan, bermain, bergerak menggunakan bagian tubuh kanan atau kiri.
Setelah berumur setahun, saya baru mengarahkan anak-anak saya makan hanya dengan tangan kanan. Saya sering mengunggah video bayi-bayi saya makan menggunakan tangan kanan juga tangan kiri.
Banyak orang mengingatkan saya membiasakan anak-anak makan dengan tangan kanan. Saya paham dan saya hargai kepedulian mereka.
Saya tak memandang mereka melakukan mom-shaming. Saya tetap mendengarkan pendapat mereka, meski saya pribadi tak sepenuhnya sependapat.
Kebanyakan orang hanya ingin didengarkan. Saya mendengarkan mereka karena saya menghormati mereka. Jangan balas komentar mereka dengan nada tinggi sebab secara tidak sadar kita bersikap menghakimi.
4. Mom-shaming oleh ibu sendiri
Jujur, begitu melahirkan Maetami, saya menyusui dengan keras kepala. Saya bersikeras meng-ASI-hi Maetami seorang diri. Saya tahu produksi ASI saya masih sedikit tiga hari pertama setelah persalinan.
Saat keluar dari rumah sakit, dokter mengingatkan saya untuk terus memantau BAB dan BAK bayi saya. Idealnya bayi saya buang air kecil tiga kali sehari. Namun, dua hari setelah pulang dari rumah sakit Maetami benar-benar tidak buang kecil sama sekali.
Orang-orang serumah panik, terutama ibu dan mama mertua. Keduanya kompak meminta saya memberikan Mae susu formula, sampai-sampai ibu menelepon bibi saya untuk menasihati saya.
Saya paham kepanikan mereka semua. Saya berusaha sabar. Namun, pada satu titik saya mendengar kalimat menyedihkan dilontarkan ibu saya sendiri. Ibu bilang ASI saya belum keluar, jadi saya sebaiknya gak keras kepala menolak memberikan bayi saya susu formula. Jika tidak, nanti bayi saya bisa kuning dan dehidrasi.
Ibu bahkan mengancam saya secara halus. Jika memang saya tak mau menerima masukannya, berarti kehadiran ibu tak dibutuhkan, sehingga ibu lebih baik pulang ke Padang saat itu juga.
Betapa repotnya menjadi ibu baru. Bisa dibayangkan posisi saya waktu itu. Saya baru pulang dari rumah sakit, jahitan bekas sesar masih basah, kurang tidur, bayi gak kunjung BAK, terancam dehidrasi dan kuning.
Tekanan sana sini membuat saya mengalah. Saya stres luar biasa, mengalahi stres semua orang di rumah. Maetami akhirnya ‘tercemar’ susu formula 30 ml, dan memang benar dia langsung pipis setelahnya.
Setelah Mae pipis, saya langsung membuang kaleng susu formula itu dan kembali menyusui bayi saya dengan tenang. Saya bahkan sempat mengunci pintu kamar supaya bisa tenang menyusui bayi saya.
Perilaku ibu bisa saja membuat saya kehilangan kesabaran. Namun, jika saya mengilhaminya, ibu melakukan semua itu atas dasar cinta.
Jangan menganggap semua saran orang tua kita adalah kuno, warisan zaman Belanda, sudah gak kekinian lagi. Jika nasihatnya memang tak logis, tanggapi dengan lembut. Jika orang tua sebatas memberikan tips, berterima kasih dan tetaplah berpikiran terbuka.
5. Mom-shaming oleh diri sendiri
Saya ini termasuk ibu yang keras kepala. Meskipun saya baru pertama kali jadi ibu, saya seringnya punya pandangan sendiri terkait perawatan dan pengasuhan anak. Sikap saya ini kadang bikin sebel ibu saya.
Seandainya ibu saya tahu, saya pun sebetulnya pernah merasa ketakutan, bimbang, cemas dengan keputusan yang saya ambil. Rasanya kok seperti urusan hidup dan mati bayi saya ada di tangan saya.
Saya stres mana kala sikap keras kepala saya membuat bayi saya terkesan menderita. Saya merasa menjadi ibu tak berguna jika bingung dan tak tahu harus berbuat apa. Rasa ini jika terus dipelihara sama artinya saya melakukan mom-shaming terhadap diri saya sendiri.
Benar kata orang, anak pertama adalah guru terbaik bagi semua ibu di dunia. Begitu si kembar, putera kedua dan ketiga saya lahir, saya belajar lembut pada diri sendiri. Saya mulai berdamai dengan hati.
Saya tak mau memaksakan diri mencari jawaban dari semua pertanyaan sendiri. Saya memahami bahwa kadang-kadang saya membutuhkan bantuan orang lain. That’s okay.
Sembari mendelegasikan kesulitan-kesulitan saya mengurus si kembar kepada orang lain, seperti ibu saya, mama mertua saya, suami saya, saya bisa melakukan hal lain untuk kebaikan diri sendiri.
Saat ibu menidurkan si kembar, saya bisa tidur berkualitas menjalani pemulihan pascaoperasi sesar kedua. Saat ibu memandikan si kembar, secara terpisah saya bisa berendam dengan air hangat dan relaksasi sejenak.
Saya adalah ibu dari anak-anak saya, tapi saya tidak memperjuangkan mereka sendiri. Keluarga adalah support system pertama saya, dan keluarga itu bukan hanya suami saja.
Kembali lagi ke mom-shaming…
Ilmu parenting itu luas dan kita tak mungkin mencari tahu seorang diri. Ada kalanya kita belajar dari ibu-ibu lain yang pernah punya pengalaman sama. Semua masukan dari mereka, apapun bentuknya, hendaknya kita sikapi dengan kepala dingin, alih-alih menilai mereka melakukan mom-shaming.
Sejauh pengalaman saya, saat saya berkomentar sesuatu di status orang lain, biasanya itu saya lakukan karena saya pernah mengalaminya. Saat saya mengingatkan teman saya membatasi asupan gula garam untuk bayinya, itu karena saya pernah melakukan kesalahan sama secara tak sengaja. Apa salahnya saling mengingatkan, bukan?
Sudah terlalu banyak hal-hal buruk ditebar di dunia ini. Kita bisa memilih cara berbeda dengan menebar lebih banyak benih-benih kebaikan. Jangan cepat-cepat baper karena gak semua orang berniat mom-shaming padamu, ibu.
Leave a Comment