Masalah sensori suara yang mengganggu anak autis
Masalah sensori suara yang mengganggu anak autis

Kamu pasti pernah melihat seorang anak autis tiba-tiba menutup telinganya dengan kedua tangan. Kadang dia terlihat panik, kadang gelisah, kadang hanya mengerutkan wajah sambil berkata “berisik… berisik…” atau berteriak. Padahal, menurut kita, suasananya biasa saja. 

Bahkan ada anak autis yang langsung meltdown, menangis kencang, berteriak, atau melempar barang hanya karena suara tertentu. Fenomena ini sering membuat orang tua bingung, bahkan merasa bersalah. “Apa telinganya sakit?” “Apa dia takut?” “Apa ini tantrum?”

Tenang, say. Bukan kamu yang salah. Dan bukan anakmu yang “aneh.” Beberapa anak autis memang sangat sensitif terhadap suara. Tapi untuk memahami perilaku menutup telinga ini, kita harus masuk pelan-pelan ke dunia sensorik mereka, dunia yang kadang tidak bisa kita rasakan, tapi bisa kita pahami.

Sistem Saraf “Filter Suara” yang tidak Bekerja Seperti Biasanya

Sebelum bicara jauh, mari kita bahas sedikit tentang sistem saraf otonom. Jangan khawatir, ini bukan kelas biologi yang menakutkan. Kita ngobrol santai saja.

Sistem saraf otonom adalah bagian tubuh yang bekerja otomatis 24 jam untuk mengatur detak jantung, napas, reaksi terhadap bahaya, dan juga, nah ini penting, mengatur cara kita memilah suara. 

Jadi, ketika kita berada di kafe misalnya, ada banyak suara kan? Mulai dari suara barista membuat kopi, pintu dibuka-tutup, orang bercanda di meja belakang, musik jazz pelan-pelan, bunyi kendaraan dari luar, dan tentunya, suara teman yang sedang bicara dengan kita.

Ajaibnya, otak kita bisa memilih mana yang penting, yaitu suara teman kita. Suara yang lain otomatis “disenyapkan” oleh filter otak. Kita tetap mendengarnya, tapi tidak kita proses sebagai hal yang mengganggu.

Nah, pada anak autis, filter ini tidak bekerja seperti biasanya. Mereka mendengar semuanya, sama kerasnya. Anak autis itu seperti microphone yang menerima semua suara sekaligus. Ya kamu bayangkan saja, satu kota yang tiba-tiba menyalakan semua speaker bersamaan. Semua suara itu masuk ke otak anak autis dalam satu dorongan besar tanpa prioritas.

Overload? Sudah pasti.

Karena itu, anak autis sering menutup telinga, menunduk, kabur dari tempat ramai, menangis, melakukan stimming (misalnya bertepuk tangan, menggoyang badan, atau humming), atau meltdown karena tubuhnya “kebanjiran” suara. Masalah ini dikenal sebagai auditory hypersensitivity atau hyperacusis.

Jadi benar, mereka bukan tuli. Pendengaran mereka malah bekerja terlalu cepat, terlalu kuat, terlalu banyak.

Mari Kita Bayangkan Dunia Mereka, Sejenak Saja

Seorang anak autis belajar di sekolah umum. Suasana kelas, menurut guru, “normal-normal saja.” Tapi bagi anak ini, dunia tidak pernah sesederhana itu. Di telinganya, suara-suara kecil terasa seperti dikuatkan 20 kali lipat.

Ada suara jam dinding tik… tik… tik…, suara AC mengalir seperti angin badai, kursi teman diseret berbunyi seperti logam beradu, suara anak lain berbisik terasa seperti orang berteriak di samping telinga, suara sepeda motor di luar sekolah seperti knalpot meledak di samping kepala.

Kita mungkin tidak memperhatikan semua itu, tapi anak autis? Dia mendengarnya semua. Setiap detik. Tanpa filter. Lalu guru mulai berbicara di depan kelas.

Apa yang terjadi?

Alih-alih mendengar guru, otaknya malah memilih mendengar suara kereta api jauh di sana, suara kipas, atau suara anak yang menggeser pensil. Karena suara-suara itu justru lebih menonjol bagi sistem sarafnya.

Apakah dia tidak mau memperhatikan? Bukan. Dia hanya tidak punya kendali. Otaknya tidak bisa memilih mana suara yang penting.

“Tapi kan suaranya tidak keras?”

Bagi kita, iya.

Untuk mereka, tidak.

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa sekitar 65% individu autis mengalami gangguan sensorik. Ini bukan soal volume, tapi soal bagaimana otak memproses suara.

Ada suara yang bagi mereka terlalu tajam, terlalu cepat, terlalu berdengung, terlalu tiba-tiba, terlalu penuh. Dan suara ini bisa memicu reaksi hebat seperti panik, gelisah, marah, menutupi telinga, atau meltdown.

Respons Anak Autis Beragam

Inilah poin penting. Tidak semua anak autis menutup telinga karena alasan yang sama. Tidak semua anak autis panik karena suara yang sama. Responsnya bervariasi.

Bahkan dalam satu individu pun, respons bisa berbeda-beda tergantung energinya hari itu, kondisi lingkungan, dan apakah sistem sarafnya sedang “full battery” atau justru sudah kelelahan sejak pagi.

Ingat, anak autis tidak memilih untuk bereaksi seperti itu. Respons mereka adalah hasil dari sistem saraf yang kewalahan menerima terlalu banyak input suara sekaligus. Ini bukan sikap, bukan perilaku “nakal,” dan bukan kurang disiplin. Ini adalah bentuk komunikasi tubuh mereka.

1. Perilaku Ekstrem

Beberapa anak menunjukkan respons ekstrem terhadap suara tertentu. Ini bisa muncul tiba-tiba ketika mereka merasa suara itu terlalu keras, terlalu tajam, atau terlalu mengejutkan.

Bentuk responsnya bisa berupa memukul dirinya sendiri, menghantam kepala ke tembok atau lantai, menggigit tangan sampai meninggalkan bekas, melempar barang di sekitarnya.

Banyak orang salah paham dan menganggap ini tantrum atau perilaku agresif. Padahal, ini adalah fight-or-flight, respon biologis ketika tubuh merasa terancam. Bukan ancaman fisik, tapi ancaman sensorik.

Ada anak yang merasa suara blender seperti suara bom meledak. Rashif, putra saya, hampir setahun takut sama suara alat pencukur rambut sehingga susah sekali membawanya ke salon rambut. Sampai sekarang, dia juga ketakutan mendengar suara kucing.

Ada juga anak autis yang mendengar vacuum cleaner seperti ada pesawat jet lewat di samping telinganya. Bagi kita mungkin biasa saja, tapi bagi mereka tubuhnya benar-benar bereaksi seperti sedang menghadapi bahaya.

2. Hiperaktivitas Mendadak

Ada juga anak yang merespons suara dengan cara yang lebih aktif, seperti berlari tanpa arah, melompat-lompat, berteriak keras, atau melakukan stimming (misalnya mengepakkan tangan, menggoyang tubuh, humming panjang).

Ini bukan anak yang “nggak bisa diam.” Ini tubuh yang mencoba mengatur ulang ketegangan, menyalurkan energi berlebih dari overload sensorik, menenangkan sistem saraf yang kaget oleh suara.

Stimming, bagi anak autis, adalah coping mechanism yang sangat penting. Seperti kita menggigit kuku saat gugup atau mengetuk meja ketika cemas. Bedanya, intensitas mereka jauh lebih besar karena sensasi yang mereka rasakan juga jauh lebih besar.

3. Menghindar dan Menutup Telinga

Inilah respons yang paling sering kita lihat. Ketika suara terasa “terlalu banyak,” “terlalu besar,” atau “terlalu kacau,” anak akan menutup telinga, menundukkan kepala, bersembunyi di balik seseorang, kabur dari ruangan, membalikkan badan dan mencoba menjauh.

Ini adalah bentuk proteksi diri. Sama seperti kita menutup telinga saat petir meledak tepat di atas kepala. Bedanya, bagi anak autis, suara halus seperti gesekan kursi pun bisa terasa seperti ledakan kecil di otak.

4. Shut Down

Ini yang paling sering keliru dipahami. Berbeda dari meltdown yang aktif, shutdown adalah reaksi pasif. Anak tiba-tiba diam, pandangannya kosong, tubuhnya kaku, tidak merespons panggilan, seolah “mati rasa” secara emosional dan sensorik.

Shutdown adalah tanda sistem saraf sudah overload berat. Ini bukan pembangkangan, ini tubuh yang mematikan sebagian fungsi untuk bertahan. Tapi, ini tidak universal. Setiap anak punya “trigger” masing-masing.

Anak A bisa takut suara vacuum. Anak B tidak terganggu sama sekali, tapi takut suara toilet. Ada yang takut suara tertentu, ada yang sensitif pada banyak suara sekaligus.

Apakah Anak Autis Bisa “Latihan” Supaya tidak Sensitif?

Sebagian bisa, sebagian tidak. Lagi-lagi, tergantung kondisi neurologis masing-masing. Tapi kita bisa membantu mereka beradaptasi dengan lingkungan melalui berbagai terapi. Rashif sendiri masih menjalani terapi ABA (Applied Behavior Analysis) sampai hari ini.

Terapi ini membantu otak anak autis belajar mengatur respons terhadap stimulus suara. Kita juga bisa melakukan pendekatan desensitisasi bertahap. Caranya, memperkenalkan suara pelan-pelan, mulai dari volume rendah.

Jangan lupa memberi ruang aman (safe space) bagi anak. Saat overload, anak harus punya tempat untuk menenangkan diri.

Terakhir, hindari situasi pemicu ketika memungkinkan. Bukan berarti anak harus “diisolasi,” tapi kita membantu melindungi sistem sarafnya.

Pakai ear plug atau headphone, boleh tidak?

Banyak orang tua takut jika memakai headphone noise-cancelling akan membuat anak “terlalu bergantung.” Tenang, say. Penggunaan ear plug, earmuff, atau noise-cancelling headphone pada anak autis bukanlah bentuk kelemahan. Ini adalah alat bantu regulasi sensorik.

Sama seperti kacamata untuk rabun, headphone untuk sensitivitas suara adalah alat bantu fungsional. Gunakan ini saat di mal, di pesta ulang tahun, di acara sekolah, di playground ramai, di tempat banyak musik keras, di bandara, atau saat ada suara mesin yang mengganggu.

Kadang, hanya menggunakan headphone selama 10 menit saja sudah cukup membantu anak menenangkan sistem sarafnya.

Orang Dewasa Autis Pun Mengalami Ini

Tak hanya anak-anak. Banyak orang dewasa autis (atau yang menyadari autisme mereka ketika dewasa) akhirnya sadar, “Oh… jadi ini alasan aku benci suara tertentu sejak kecil.”

Mereka pun sering memakai headphone, white noise, ear plug silikon, atau mencari sudut tenang ketika terlalu banyak suara. Jadi, ini bukan masalah “manja” atau “kurang disiplin.” Ini neurologis.

Anak autis itu bukan hanya “lebih sensitif,” tapi juga lebih jujur dalam tubuhnya. Ketika suara terlalu kuat, mereka langsung menunjukkan reaksi. Sementara kita, orang dewasa, sering memendam rasa tidak nyaman demi sopan santun. Anak autis merasakan dunia dengan cara yang lebih mentah, lebih intens, lebih dalam.

Kadang ini membuat mereka tampak “berlebihan,” padahal mereka hanya kewalahan, overwhelmed, atau tidak punya filter. Dan tugas kita sebagai orang dewasa adalah memahami, bukan menilai.

Share:

Leave a Comment