Review film anak "Migration" (2023)
Review film anak "Migration" (2023)

Ada film anak yang selesai begitu kredit naik. Ada film anak yang kelihatannya ringan, tapi diam-diam menetap di kepala, bahkan setelah layar dimatikan. “Migration” termasuk kategori kedua buatku.

Awalnya sederhana saja kenapa aku tertarik menonton film ini di Netflix. Judulnya. Burung. Migrasi. Selesai. Lima tahun hidup di Bogor, bergabung dengan kelompok pemerhati burung di kampus, membuat kata “migration” bukan sekadar istilah biologi di kepalaku, tapi memori hidup.

Bangun subuh, menyusuri lingkungan kampus, tepian danau atau kebun raya, mencatat spesies, mengamati perilaku, menunggu burung lewat dengan sabar seperti menunggu jawaban hidup yang tidak pernah datang tepat waktu, kala itu. Hehehe.

Jadi ketika Illumination, studio yang selama ini identik dengan Minions dan mesin uang, tiba-tiba membuat film tentang bebek mallard yang bermigrasi, aku langsung angkat alis sih. Bukan skeptis, lebih ke penasaran. “Oke, mari kita lihat, mau sejauh apa film anak ini memperlakukan migrasi sebagai sesuatu yang keren, bukan sekadar gimmick.”

Honestly, meskipun “Migration” bukan film yang sempurna, film ini maknanya tulus banget.

Soal Berani Terbang

Secara garis besar, “Migration” bercerita tentang keluarga bebek mallard, yaitu Mack (Kumail Nanjiani), ayah yang super protektif;

Pam (Elizabeth Banks), ibu yang lebih terbuka dan petualang; Dua anak mereka, Dax dan Gwen, plus Uncle Dan (Danny DeVito), paman absurd yang hidupnya penuh cerita.

Mack adalah tipe ayah yang hidupnya dikendalikan oleh ketakutan. Dia takut perubahan, takut mengambil risiko, takut dunia di luar kolam. Ia percaya bahwa bertahan hidup artinya tetap di tempat aman, meski musim dingin datang dan dunia berubah.

Pam adalah kebalikannya. Ia percaya bahwa hidup bukan sekadar bertahan, tapi juga mengalami hal-hal baru. Dan di antara dua pandangan suami istri bebek inilah konflik utama film ini berdiri.

Migrasi di film ini tidak diperlakukan sebagai kewajiban biologis semata, tapi sebagai metafora hidup. Tentang keluarga bebek mallard yang harus bergerak setiap tahun, karena kalau tidak bergerak, mereka akan mati perlahan.

Dan sebagai orang yang pernah mempelajari burung secara langsung, aku relate banget sama hal ini. Karena ya, di alam, migrasi memang begitu. Tidak romantis. Tidak heroik. Tapi perlu.

Janji yang Hampir Terpenuhi

Film ini dibuka dengan prolog 2D yang cantik. Goresannya terasa Eropa banget, ala Ernest & Celestine-nya Benjamin Renner. Sebagai penonton, aku sempat mikir, “Wah, kalau seluruh filmnya seperti ini, aku bakal jatuh cinta total.”

Sayangnya, setelah prolog, kita kembali ke gaya CGI khas Illumination yang bersih, mengilap, aman. Not bad, tapi juga kurang berani secara visual. Cerita tentang migrasi, tentang alam, tentang burung, sebenarnya punya potensi visual yang luar biasa liar. Tapi Illumination memilih bermain aman.

Namun, harus diakui, beberapa adegan terbang di langit, awan berpendar cahaya matahari, dan kemunculan New York dari balik kabut itu sangat memukau. Ada momen-momen ketika kamu lupa ini film anak.

Sebagai Pecinta Dunia Burung, Aku Merasa… Dimengerti

Cara film ini memperlakukan burung sebagai makhluk hidup, benar-benar makhluk hidup, bukan sekadar karakter lucu, benar-benar menyentuh hatiku.

Tentu, ini film keluarga. Antropomorfisme ada. Sebab di kehidupan nyata, bebek punya keluarga inti seperti manusia. Tapi detail-detail kecilnya terasa observatif. Salut sama kreatornya.

Cara mereka bergerak berkelompok membentuk formasi V, cara mereka waspada di lingkungan baru, cara menunjukkan rasa takut dan penasaran dengan berjalan berdampingan. Benar-benar sesuai dengan perilaku satwa aslinya.

Migrasi di film ini tidak selalu digambarkan megah. Kadang melelahkan. Kadang berantakan. Kadang ada salah arah juga. Dan sebagai seseorang yang pernah mencatat jalur migrasi burung di lapangan, film ini benar-benar jujur banget dengan kondisi aslinya.

Burung tidak selalu tahu ke mana mereka pergi. Mereka hanya tahu mereka harus pergi meninggalkan habitat utamanya untuk mencari habitat baru, kemudian kembali lagi.

Uncle Dan Adalah MVP

Kumail Nanjiani sebagai Mack berhasil membawa sosok ayah yang cemas tanpa membuatnya menyebalkan. Dia bukan ayah jahat. Dia ayah yang terlalu cinta sama istri dan anak-anaknya sampai lupa memberi ruang untuk mereka.

Elizabeth Banks sebagai Pam memberi keseimbangan. Dia bukan tipe ibu yang suka mengomel, kasih ceramah, tidak dominan, tapi sangat berpendirian.

Dan lalu… Danny DeVito. Uncle Dan adalah karakter yang setiap kali muncul, energinya langsung membawa penonton sepertiku excited. Dia bebek tua yang absurd, berisik, penuh mitos hidup, dan secara simbolik mewakili generasi lama yang sudah terlalu sering selamat dari bahaya sampai lupa bahwa bahaya itu nyata.

Anak-anaknya juga menggemaskan, terutama Gwen, si anak kecil yang hampir mencuri seluruh film dengan kepolosannya.

Bagian Terlemah Film “Migration” Ada di Villain

Mari jujur. The Chef adalah bagian paling lemah dari “Migration.” Ia terlalu kartunal dan terlalu agresif. Dia juga terlalu satu dimensi. Bahkan untuk standar film anak, motivasinya tipis banget. Keberadaannya terasa dipaksakan untuk memberi konflik eksternal yang “jelas.”

Padahal, sebenarnya konflik internal keluarga sudah cukup kuat. Sebagai penonton dewasa, aku merasa villain ini justru merusak ritme film. Terutama karena ancamannya terlalu ekstrem sampai terasa tidak proporsional dengan tone cerita sebelumnya.

Untungnya, karakter Delroy si burung parrot (Keegan-Michael Key) menyelamatkan banyak adegan di segmen ini. Ia lucu, cerdas, dan jadi jembatan informasi sekaligus humor.

Salah satu bagian terbaik film ini adalah saat para bebek tiba di New York. Kota itu muncul seperti Oz versi modern. Kabut. Gedung menjulang. Suara bising. Cahaya berlebihan. Dari perspektif burung, manusia terasa raksasa dan tidak terprediksi.

Sebagai pecinta alam, aku suka bagaimana film ini secara tidak langsung menunjukkan betapa kerasnya dunia manusia bagi satwa liar.

Ayah tidak Selalu Benar, tapi Juga tidak Selalu Salah

“Migration” mengikuti pola modern animasi keluarga di mana otoritas orang tua ditantang. Akan tetapi, film ini cukup dewasa untuk tidak menjatuhkan Mack sepenuhnya.

Pesannya bukan “ayah salah, anak benar” tetapi “ketakutan yang tidak dibicarakan akan menjadi penjara.” Aku merasa ini bukan film tentang anak-anak saja, melainkan juga patut ditonton orang tua di luar sana yang lupa bagaimana rasanya bermimpi.

Durasi film ini singkat. Sekitar 80 menit. Tidak melelahkan. Tidak penuh lelucon berisik. Tidak mencoba terlalu keras jadi viral. Dan mungkin justru itu masalahnya bagi sebagian orang. Film ini tidak bombastis. Tidak ada lagu ikonik. Tidak ada catchphrase ala Minions. Ya mungkin karena tidak viral, makanya aku melewatkannya. Seandainya aku tahu film ini ada di 2023, aku pasti akan membawa anak-anak menontonnya di bioskop.

Apakah Migration Akurat Secara Ilmiah?

Sebagai orang yang peduli ornitologi, tentu aku tidak menonton ini sebagai dokumenter. “Migration” cukup menghormati konsep dasar, seperti migrasi karena musim, risiko perjalanan, dan ketergantungan burung pada lingkungan. Tentu, tidak semua bebek mallard migrasi seperti ini, tapi film ini tidak menipu penonton soal esensi migrasi, bahwa ia adalah perjalanan hidup dan mati.

Film ini tidak mempermainkan migrasi sebagai gimmick. Ia menghormatinya sebagai proses alam dan simbol kehidupan. Kalau kamu juga sama sepertiku, belum menontonnya, maka “Migration” cocok untuk ditonton sekarang, kapan pun. Untuk anak-anak, orang tua, dan siapa pun yang sedang berdiri di persimpangan antara bertahan atau berani pergi.

Share:

Leave a Comment