Saya masih ingat betul hari pertama saat mengetahui sedang hamil kembar. Hari yang awalnya saya kira akan berjalan biasa saja, kontrol kehamilan, duduk di ruang tunggu, mengisi formulir, lalu pulang sambil mikir mau makan apa. Tapi ternyata semesta punya rencana lain. Dokter memeriksa hasil USG, diam sebentar, lalu berkata dengan nada setengah kaget. “Bu, ini ada dua janin.”
Saya bengong.
“Dua… maksudnya?”
“Iya, kembar.”
Rasanya seperti dunia berhenti sebentar. Saya nggak sedih atau takut hamil kembar, tapi karena kaget yang luar biasa. Dalam hidup saya, skenario punya anak kembar itu rasanya seperti cerita orang lain, bukan cerita saya. Tapi ternyata, Allah memberi rezeki dobel itu langsung ke pangkuan saya.
Sejak hari itu, hidup saya berubah. Dari hamil, melahirkan, sampai sekarang membesarkan dua anak kembar yang sudah berusia enam tahun. Dan di antara sekian banyak perubahan, ada satu pertanyaan yang hampir selalu muncul setiap kali orang tahu saya punya anak kembar.
“Kok bisa hamil kembar? Di keluarganya ada turunan kembar, ya?”
Pertanyaan ini datang dari mana-mana. Dari tetangga, teman lama, ibu-ibu di rumah sakit, bahkan orang asing di supermarket. Awalnya saya jawab singkat. Lama-lama, saya ikut penasaran juga. Apakah iya, kehamilan kembar memang diturunkan dalam keluarga?
Pertanyaan yang Sering Dianggap Sepele, tapi Ternyata Kompleks
Pertanyaan soal “turunan kembar” sering terdengar ringan, seolah jawabannya cukup ya atau tidak. Ada ilmu genetika, hormon, usia, sampai faktor lingkungan yang saling berkaitan.
Jawaban saya selama ini biasanya begini, “Iya, ada. Saya punya sepupu kembar dari pihak paman.”
Jawaban itu sering bikin orang langsung mengangguk, seolah semuanya langsung masuk akal. Tapi setelah saya sendiri membaca, belajar, dan berdiskusi dengan tenaga medis, rupanya ceritanya nggak sesederhana itu. Sebelum jauh membahas soal turunan, kita perlu kenalan dulu dengan jenis-jenis kehamilan kembar.
1. Kembar Identik (Monozigot)
Kembar identik terjadi ketika satu sel telur dibuahi oleh satu sperma, lalu sel telur tersebut membelah menjadi dua embrio. Karena berasal dari satu sumber yang sama, kembar identik pastilah memiliki DNA yang sama, biasanya wajah sangat mirip, jenis kelaminnya sama.
Kemungkinan terjadinya kembar identik sekitar 3–5 dari 1.000 kelahiran. Angka ini relatif sama di berbagai belahan dunia, dan sampai sekarang, proses terjadinya kembar identik masih dianggap acak. Artinya, kembar identik tidak terbukti kuat diturunkan dalam keluarga.
2. Kembar Non-Identik (Dizigot / Fraternal)
Nah, ini jenis kembar yang sering dikaitkan dengan “turunan” dalam keluarga. Kembar non-identik terjadi ketika dua sel telur dilepaskan dan dibuahi oleh dua sperma yang berbeda dalam satu siklus kehamilan. Hasilnya bisa beda wajah, bisa beda kepribadian, bisa beda jenis kelamin. Secara genetik seperti kakak-adik biasa, hanya saja lahir bersamaan.
Kedua anak kembar saya termasuk kategori ini. Wajah mereka tidak mirip, karakternya pun jauh berbeda. Yang satu kalem, yang satu aktif. Yang satu hobi makan, yang satu picky. Kalau tidak lahir di hari yang sama, mungkin orang tak akan menyangka mereka kembar.
Lalu, Apakah Kembar Non-Identik Bisa Diturunkan?
Di sinilah cerita mulai menarik. Menurut Jurnal Human Reproduction Update (November 2007), ada gen tertentu yang memengaruhi kemampuan seorang perempuan untuk melepaskan lebih dari satu sel telur dalam satu siklus ovulasi. Kondisi ini disebut hiperovulasi.
Singkatnya, perempuan dengan gen hiperovulasi berpeluang lebih besar hamil kembar non-identik. Gen inilah yang bisa diturunkan dalam keluarga. Jadi, jika seorang perempuan memiliki riwayat keluarga dengan kembar non-identik, kemungkinan besar ia mewarisi gen yang sama.
Sebaliknya, jika dalam keluarga hanya ada kembar identik, itu belum tentu meningkatkan peluang kehamilan kembar di generasi berikutnya.
Dulu, para ahli genetika menganggap kehamilan kembar identik murni kebetulan. Tapi teori tentang kembar non-identik juga ternyata tidak sesederhana satu gen = langsung kembar. Gen hiperovulasi bisa bersifat dominan atau resesif.
Jika gen tersebut resesif, peluang kehamilan kembar baru muncul jika kedua orang tua sama-sama membawa gen tersebut. Artinya, walaupun ada riwayat kembar di keluarga, belum tentu setiap perempuan otomatis akan hamil kembar. Banyak variabel yang ikut bermain.
Gen Kembar Datang dari Pihak Perempuan atau Laki-Laki?
Ini juga pertanyaan favorit. Jawabannya bisa dari dua-duanya. Namun, ada catatan penting. Hanya tubuh perempuan yang menentukan apakah akan terjadi ovulasi ganda atau tidak.
Gen hiperovulasi dari pihak laki-laki tidak langsung membuat istrinya hamil kembar, tapi gen tersebut bisa diturunkan ke anak perempuan mereka. Anak perempuan inilah yang kelak berpeluang lebih besar hamil kembar.
Dalam konteks keluarga saya, ini berarti ada kemungkinan, sekali lagi, kemungkinan, bahwa kelak saya bisa punya cucu kembar dari anak perempuan saya. Masyaallah. Membayangkannya saja sudah bikin campur aduk antara haru dan kagum.
Tapi penting digarisbawahi, ini masih teori, dan dunia sains terus berkembang. Tidak ada jaminan, tidak ada kepastian mutlak.
Faktor Lain yang Mendukung Kehamilan Kembar
Selain genetik, ada banyak faktor lain yang memengaruhi peluang hamil kembar. Beberapa bahkan sangat relevan dengan kondisi perempuan masa kini.
1. Usia Ibu
Semakin bertambah usia perempuan, terutama di atas 30 tahun, peluang hamil kembar meningkat. Statistik menunjukkan usia 30-an (sekitar 32 per 1.000 kelahiran), usia 45–54 tahun (bisa mencapai 107 per 1.000 kelahiran). Ini berkaitan dengan perubahan hormon, terutama FSH, yang dapat memicu pelepasan lebih dari satu sel telur.
Di era sekarang, ketika banyak perempuan menunda kehamilan karena pendidikan, karier, atau kesiapan mental, fenomena kehamilan kembar pun jadi lebih sering terjadi.
2. Etnis
Secara global, kembar non-identik lebih sering terjadi pada populasi Afrika. Lebih jarang pada populasi Asia dan Hispanik. Fakta ini membuat saya sempat tersenyum sendiri. Berarti, sebagai perempuan Asia yang hamil kembar non-identik, pengalaman saya termasuk cukup langka.
3. Proporsi Tubuh
Perempuan dengan tinggi badan di atas 165 cm dan Indeks Massa Tubuh (BMI) di atas 30, memiliki peluang lebih besar untuk hamil kembar dibanding perempuan yang lebih pendek dan lebih kurus. Diduga, ini berkaitan dengan hormon pertumbuhan dan insulin yang memengaruhi ovulasi.
4. Program Kehamilan
Program seperti fertilisasi in vitro (IVF) meningkatkan peluang kehamilan kembar, terutama non-identik, karena lebih dari satu embrio sering ditanamkan. Tubuh dirangsang untuk memproduksi lebih banyak sel telur
5. Waktu Awal Kehamilan
Menariknya, penelitian menunjukkan bahwa kehamilan yang dimulai sekitar bulan Juli lebih sering menghasilkan kembar non-identik. Lebih jarang terjadi pada kehamilan yang dimulai sekitar Januari.
Diduga, ini berkaitan dengan panjang siang hari yang memengaruhi hormon FSH. Lagi-lagi, tubuh manusia ternyata sangat sensitif terhadap alam.
Jadi, Kehamilan Kembar Itu Takdir atau Warisan?
Setelah membaca, belajar, dan mengalami sendiri, saya sampai pada satu kesimpulan pribadi bahwa kehamilan kembar adalah pertemuan antara genetika, kondisi tubuh, waktu, dan kehendak Tuhan. Ada faktor yang bisa dijelaskan ilmu pengetahuan. Tapi ada juga bagian yang tetap menjadi misteri.
Dan mungkin memang begitu seharusnya. Tidak semua hal dalam hidup perlu kita pahami sepenuhnya. Ada hal-hal yang cukup kita syukuri dan jalani dengan sebaik-baiknya.
Karena pada akhirnya, entah satu anak atau dua, entah kembar atau tidak, setiap kehamilan adalah rezeki. Dan setiap anak datang membawa ceritanya sendiri.**

Leave a Comment