Merekrut terapis untuk anak autis adalah keputusan besar bagi orang tua manapun. Pasalnya kita akan menitipkan buah hati kita yang spesial kepada mereka dalam waktu tidak singkat. Rata-rata anak autisi menjalani terapi Applied Behavior Analyis (ABA) selama tiga tahun. Tentu saja urusan terapis sangat penting, sama pentingnya seperti memilih jodoh.
Menjadi terapis ABA jelas tak mudah. Mereka harus memiliki kecerdasan yang baik, kemampuan belajar yang baik, kemampuan menghapal yang baik, dan kemampuan menganalisis masalah yang muncul dari trial ke trial dan dari sesi ke sesi.
Dokter Rudy Sutadi, konsultan ahli autisme dari Kidaba pernah mengatakan terapis untuk anak autis harus cerdas karena yang akan diperbaiki adalah otak anak, bukan ototnya. Jika terapisnya pintar, maka insya Allah anak autisi yang ditanganinya pun akan pintar.
Memilih Terapis untuk Anak Autis
Jumlah terapis untuk anak autis yang ideal adalah tiga orang. Masing-masing mereka berperan bergantian sebagai terapis utama, asisten terapis, dan pencatat. Saya berkaca pada standar terapis Klinik Intervensi Dini Applied Behavior Analysis (Kidaba) di Grand Wisata, Bekasi.
Kebutuhan akan calon terapis untuk anak autis di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Ini seiring penambahan jumlah autisi yang melonjak signifikan dari waktu ke waktu.
Data Centre of Disease Control (CDC) di Amerika memperkirakan prevalensi (angka kejadian) anak dengan gangguan autisme 1 dari 59 anak pada 2018. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan 1 dari 160 anak di dunia menderita gangguan autisme.
Kementerian Kesehatan RI memang belum menghitung jumlah pasti penyandang autisme di Indonesia, tetapi dr Rudy pada 2010 pernah memperkirakan penyandang autisme di Indonesia mencapai 2,4 juta orang dengan pertambahan penyandang baru 500 orang per tahun.
Berikut beberapa pertimbangan dalam memilih terapis untuk anak autis.
1. Kenali kepribadian calon terapis
Kepribadian merupakan bagian terpenting dari proses seleksi terapis untuk anak autis. Sayangnya banyak orang mengabaikan pertimbangan pertama ini dan hanya fokus pada performa akademik.
Ada dua kubu memiliki pandangan berbeda tentang penyembuhan anak autis. Pertama, mereka yang percaya autisi bisa sembuh. Kedua, mereka yang tidak percaya autisi bisa sembuh, sehingga hanya bisa memaksimalkan kemampuan anak semata.
Karena saya Muslim, saya tentu saja memilih kubu pertama. Allah SWT melalui Rasulullah SAW mengatakan, Ma’anzalallahu daa an, illa anzala lahu syifaan. Artinya, Allah tidak akan menurunkan satu penyakit kecuali Allah turunkan juga obatnya (HR Bukhori).
Jadi, saya percaya penyakit apapun bisa sembuh, kecuali kematian. Hanya saja, mengetahui bagi mereka yang mengetahui, dan tidak mengetahui bagi mereka yang tidak mengetahui.
Oleh sebabnya syarat pertama memilih terapis untuk anak kita adalah mereka harus percaya bahwa autisi bisa sembuh. Ini juga membantu membangun kepercayaan diri terapis dalam memproses anak dalam jangka panjang.
Di Kidaba, syarat pertama menjadi terapis adalah Muslimah, taat dan takut kepada Allah. Mereka juga harus hapal beberapa surah pendek, seperti Al Fatiha, Ayat Kursi, Al Ikhlas, Annas, dan Al Falaq. Terapis Kidaba bersedia berbusana Muslimah sesuai syari.
Seorang terapis harus menyenangkan dan menarik. Mereka memerlukan banyak energi karena akan menterapi anak kita setidaknya empat sesi per hari.
Putra saya menjalani terapi dari pagi hingga sore, Senin-Sabtu. Sesi pertama 07.00-08.30 WIB, sesi kedua 09.00-10.30 WIB, sesi ketiga 11.00-12.30 WIB, dan sesi keempat 14.00-15.30 WIB.
Kesabaran terapis tak kalah penting. Pasalnya mereka akan berhadapan dengan anak kita yang suasana hatinya kadang susah ditebak alias mood swing. Terapi di kelas kadang bisa terasa lambat, kadang menantang dan menguras tenaga, terutama ketika anak tiba-tiba tantrum.
2. Perhatikan latar belakang pendidikan calon terapis
Terapis untuk anak autis sebaiknya minimal lulus S1. Ini karena mereka akan ‘memperbaiki’ otak anak kita.
Terapis Kidaba misalnya, bisa berasal dari jurusan apa saja, mulai dari sarjana psikologi, ekonomi, informatika, teknik, hukum, pertanian, peternakan, gizi, keperawatan, matematika, biologi, fisika, sarjana pendidikan Islam, dan sebagainya.
Usia terapis maksimal 27 tahun dan bersedia dikontrak setidaknya tiga tahun. Jadi, saat kontrak berakhir, usia mereka maksimal 30 tahun. Kira-kira kenapa ya? Mungkin kalo terapis berusia 20-an itu masih semangat, tekadnya kuat, energinya masih banyak.
Setelah Senin-Sabtu terapis melakukan terapi di kelas (teaching room), tim terapis di bawah koordinasi dokter dan konsultan akan menggunakan satu hari untuk membahas setiap detail masalah yang timbul selama sepekan, kemudian mendiskusikan jalan keluarnya.
Tim akan menganalisis rekaman sesi terapis untuk melihat bagian-bagian yang perlu diintervensi. Terapis mempersiapkan potongan-potongan video tersebut dan mempresentasikannya di grup komunikasi (kalau saya ada grup WA khusus untuk Rashif).
3. Sebaiknya terapis baru atau terapis yang menguasai metode ABA
Saya tidak ingin membahas metode terapi selain ABA dalam penanganan anak autisi. Makanya dalam memilih terapis pun saya merekomendasikan terapis baru yang benar-benar belum pernah (amatir) menangani anak autisi, atau terapis profesional yang menguasai metode ABA.
Terapis profesional biasanya untuk center-based therapist, atau terapi di klinik atau rumah terapi ABA. Terapis amatir biasanya disiapkan untuk home-based therapist, atau terapi di rumah pasien.
Mengapa terapis baru alias amatir? Dokter Rudy berpendapat terapis home-based sebaiknya belum pernah menangani anak autisi dengan metode apapun. Ini untuk mencegah kekhawatiran terapis kelak memasukkan metode selain ABA dalam mendampingi anak autisi di rumah.
Metode ABA dikenal sangat baku alias pakem. Kurikulumnya sistematik, terstruktur, dan terukur. Ini perlu dikuasai terapis supaya program dan kurikulum anak bisa efisien dan berkesinambungan, sehingga anak autisi mampu mengejar ketertinggalan kognitif mereka lebih cepat.
Jadi, tidak bisa misalnya anak autisi diterapi dengan metode selain ABA, tetapi khusus latihan kemandirian, seperti toilet training, menyeberang jalan, dan sebagainya menggunakan ABA. Ingat, metode ABA tidak bisa dicampur aduk alias dimodifikasi dengan metode lain.
4. Terapis baru bersedia mengikuti training khusus
Terapis anak autis di Kidaba harus bersedia mengikuti pelatihan atau training khusus, menyangkut teori, simulasi, dan observasi. Mereka harus bersedia melalui tahapan demi tahapan, ujian tertulis, dan ujian lisan dengan konsultan ABA.
Setidaknya terapis di Kidaba menjalani pelatihan minimal tiga bulan di center, sebelum ditempatkan di rumah anak. Orang tua dianjurkan menguasai metode ABA dengan baik dan benar. Pasalnya peran mereka adalah program manager dari tim terapis yang mengontrol jalannya sesi terapi.
Sebagai orang tua kita harus mencarikan calon terapis yang amanah untuk anak kita. Ini adalah pekerjaan berat karena tak banyak yang sabar dengan profesi satu ini.
Saat merekrut calon terapis untuk Rashif setahun lalu, beberapa gagal karena keberatan dengan sejumlah persyaratan, terutama larangan untuk menggunakan kosmetik dan zat kimia berbahaya bagi autisi.
Terapis Rashif dilarang untuk menggunakan bedak, alas bedak, parfum, pewangi dan pelembut pakaian selama menjadi pendamping Rashif. Alasannya Rashif menjalani diet phenol dan paparan zat kimia berbahaya. Nah, salah satu sumber phenol dan zat kimia berbahaya bagi autisi berasal dari produk-produk kosmetik.
Jika kita berhasil merekrut calon terapis untuk anak, percayakan pelatihan mereka di bawah pengawasan dokter atau konsultan ahli yang kompeten di bidangnya. Siapkan juga anggaran untuk biaya pelatihan dan gaji bulanan terapis selama membersamai anak kita.
Center-based Therapy atau Home-based Therapy?
Sebetulnya kita tidak perlu bingung memilih antara terapi di center (klinik atau pusat terapi) atau rumah (home-based therapy) selama keduanya menerapkan metode ABA. Itu dulu syarat pertamanya.
ABA sampai hari ini masih satu-satunya metode terapi untuk anak autis yang berbasis penelitian ilmiah dan terbukti berhasil mengantar anak autisi ke gerbang kesembuhan, meraih potensi terbaik mereka.
Terapi di center dan rumah sama baiknya. Keduanya sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan.
1. Center-based therapy
Terapis di center biasanya lebih profesional dan berpengalaman. Mereka rata-rata sudah pernah menangani anak autisi selain anak kita. Ruang terapi center didesain khusus dengan teaching material lengkap.
Anak tidak mudah terdistraksi dan tetap fokus karena ruangannya kedap suara. Jumlah terapis center lebih banyak, sehingga setiap sesi anak berganti suasana dengan guru baru.
Lebih dari satu terapis mengamati perkembangan anak kita. Mereka bisa berkolaborasi dan berdiskusi pendapat tentang anak kita saat itu juga.
Sebagian besar keluarga anak autisi ingin anak mereka bertransisi ke lingkungan arus utama, seperti ruangan kelas di luar rumah. Terapi di center membiasakan anak berada di luar zona nyaman (rumah sendiri), sehingga nantinya memudahkan proses generalisasi anak ke sekolah umum.
Kelebihan lain terapi center adalah interaksi sosial anak lebih tinggi. Anak kita bertemu dengan anak-anak lain, sesama penyandang autisme. Anak kita juga bertemu dengan orang-orang di luar keluarga mereka. Ini penting menyiapkan anak bersosialisasi di kemudian hari.
Kekurangan terapi di center adalah membutuhkan biaya mahal. Yups. Jasa terapis center dua kali lipat terapis rumah. Ini tentu saja berat bagi keluarga yang penghasilannya pas-pasan seperti saya. Apalagi terapi untuk anak autisi harus berkelanjutan dan biasanya 1-3 tahun.
2. Home-based therapy
Meskipun terapi di center sangat nyaman, tak ada yang mengalahkan rasa nyaman terapi di rumah sendiri. Apalagi orang tua anak autisi yang perlu mempersiapkan segala kebutuhan terapi anak, seperti reward makanan yang variatif.
Rashif pernah terapi di center selama tujuh bulan, dan delapan bulan sampai hari menjalani terapi di rumah. Saya mengamati Rashif jauh lebih tenang mengikuti terapi di rumah. Mungkin karena dia sudah akrab dengan lingkungan rumah.
Terapis datang langsung ke rumah untuk menangani anak kita. Saya bisa mengurusi yang lain, seperti memasak reward dan makanan untuk Rashif sembari mengawasinya melalui pantauan CCTV.
Biaya home-based therapy lebih murah dibanding center-based therapy. Ketika kita memilih terapi di rumah, kita bisa melibatkan semua orang untuk menangani anak di luar ruangan. Anak kita berlatih keterampilan komunikasi dan sosialisasi dengan seluruh anggota keluarga di rumah.
Kelebihan lainnya adalah kita bisa mengatasi perilaku destruktif anak di rumah ketimbang di center. Contohnya ketika anak tiba-tiba tantrum hebat, kita tidak akan merugikan pihak lain, seperti mengganggu anak-anak yang terapi di center.
Terapi di rumah juga memungkinkan kita mengajarkan lebih banyak keterampilan pada anak. Kita bisa lebih leluasa mengajarkan toilet training setiap 30 menit sekali.
Kekurangan terapi rumahan? Kita harus menyiapkan ruangan khusus untuk teaching room anak. Tentu saja ini membutuhkan modal tidak sedikit.
Saya setidaknya harus menata ruangan kelas Rashif persis sama seperti ruang terapinya di center. Ada tiga kursi dan dua meja kayu berwarna biru. Saya harus menyiapkan lemari untuk meletakkan teaching material. Saya harus menyediakan sendiri beberapa teaching material yang diperlukan untuk anak, tidak seperti terapi center di mana semuanya sudah tersedia.
Hal yang tak boleh ketinggalan adalah meletakkan CCTV di dalam ruangan. Kita harus menyalin semua rekaman video setiap minggunya sebagai bahan evaluasi. Demikian cuap-cuap emak hari ini. Semoga informasi ini bermanfaat bagi yang membutuhkan.
Leave a Comment