Orang tua dengan anak autism spectrum disorder (ASD) seperti saya menghadapi jalan lebih sulit untuk mengatur, menavigasi, dan memotivasi anak dalam berperilaku, berkomunikasi, dan bersosialisasi. Alasannya jelas, otak anak autisi kita terhubung dengan cara berbeda dibanding anak-anak tipikal atau anak normal lainnya.
Anak-anak kita yang autisi atau atipikal ini hidup di lingkungan yang menuntut standar-standar umum berlaku. Contoh sederhana, belajar di kelas posisinya harus duduk manis, tangan dilipat, mata lurus ke depan saat guru menerangkan pelajaran, tidak boleh menyela guru dengan pertanyaan sebelum diizinkan, dan tidak boleh melakukan gerakan-gerakan yang dianggap aneh, apalagi mengeluarkan suara-suara yang mengganggu.
Anak-anak normal mungkin termotivasi duduk manis di kelas selama pelajaran berlangsung karena mereka tahu setelah 45-50 menit akan ada jam istirahat. Saat itu mereka bisa bermain dengan teman, ngobrol, jajan, atau sekadar duduk santai di kelas.
Bagi anak autisi, mereka berjuang keras hanya untuk duduk manis dan fokus selama 45-50 menit tersebut. Imbalan jam istirahat, bisa main bareng teman, atau berinteraksi di luar kelas mungkin TIDAK MENARIK dan TIDAK MEMOTIVASI mereka SAMA SEKALI.
Bagaimana supaya anak autisi bisa termotivasi? Salah satu caranya dengan memberikan reward.
Apa Itu Reward?
Reward atau imbalan adalah konsekuensi menyenangkan yang didapat anak sebagai akibat dari respons yang diharapkan. Pemberian reward untuk anak autisi selama menjalani terapi di kelas bersama terapis atau bersama orang tua di rumah harapannya meningkatkan respons benar anak saat mendengarkan instruksi.
Ada empat hal perlu kita perhatikan saat memberikan reward.
- Jenis reward harus cukup banyak untuk menghindari anak bosan di kelas.
- Reward harus bervariasi, sedapatnya berbeda untuk setiap teaching session. Paling tidak berbeda setiap harinya yang bisa digilir secara mingguan.
- Reward makanan atau minuman harus tersedia 5-10 jenis yang diberikan berbeda pada setiap teaching session. Paling tidak berbeda setiap harinya yang bisa digilir secara mingguan.
- Reward berlaku eksklusif. Artinya anak hanya boleh mendapatkannya di dalam kelas, tidak diberikan di luar kelas atau saat anak sedang tidak diterapi.
- Reward mainan atau benda yang sangat disukai anak, sampai kita tak bisa mengambilnya kembali tidak boleh dijadikan reward. Ini akan mengganggu berlangsungnya teaching session.
Jenis Reward untuk Anak Autisi
Anak tipikal (normal), ketika orang tuanya mengapresiasi nilai bagus dengan mengajak makan dan main di restoran atau mall, mungkin senangnya minta ampun. Berbeda dengan anak atipikal yang autis atau introvert, seperti anak saya. Dia mungkin lebih senang jika orang tuanya memberi reward visual, reward taktil, atau reward pengecapan dengan memberikan makanan kesukaannya.
Berikut adalah delapan jenis reward yang diberikan untuk anak autisi.
1. Reward pengecapan
Biasanya berupa makanan atau minuman yang merangsang indera pengecapan anak. Biasanya saya menyediakan 2-3 reward makanan setiap harinya untuk Rashif selama menjalani terapi di kelas.
Misalnya nih, saya kasih keripik kacang hijau, rengginang, stik ayam, stik sapi, atau buah yang sudah saya potong kecil-kecil. Ukuran reward tidak boleh terlalu besar. Perkirakan saja dalam waktu beberapa detik, gak sampai semenit anak sudah menelannya.
2. Reward taktil
Berupa sentuhan pada anak, seperti rabaan, usapan, atau gelitikan. Rashif paling senang digelitik bagian perutnya, bawah dagunya, atau diusap kepalanya.
3. Reward proprioseptif
Bentuknya berupa gerakan yang dilakukan anak untuk merangsang indera keseimbangannya. Rashif senang sekali kalo tubuhnya diayun, atau dilambung ke atas ke bawah (naik dan turun).
4. Reward gestural
Berupa gerakan tubuh atau anggota tubuh dari terapis yang bisa dilihat anak. Contohnya terapis mengangkat kedua tangannya seperti orang kegirangan karena tim sepak bola kesayangannya mencetak gol ke gawang lawan.
5. Reward audio
Berbagai suara yang disukai anak ternyata bisa menjadi reward loh. Misalnya terapis berkata, “Ahaaa!” atau terapis memproduksi suara menyerupai terompet, gendang, siulan, senandung, nyanyian, dan sebagainya.
6. Reward visual
Anak senang melihat gerakan terapis, seperti mengacungkan jempol, meliuk-liukkan jemari seperti hendak menggelitik anak, atau mimik menyenangkan dari terapis yang bisa membuat anak semangat.
7. Reward sosial
Bentuknya pujian-pujian positif yang diucapkan dengan nada menyenangkan. Contohnya pujian pintar, hebat, cerdas, keren, sempurna, anak soleh, dan sebagainya yang diucapkan dengan jelas dan lugas. Cara pengucapannya misalnya, “pintar” bukan “pintaaaaaar” atau “pintarrrrr.”
Reward sosial harus 3E, yaitu Energy (penuh tenaga), Excitement (penuh ceria), dan Enthusiasm (penuh semangat).
8. Reward tangible object
Berbagai hal berupa barang atau benda yang anak suka memainkannya. Biasanya sih ini mainan-mainan kesukaan anak ya.
Teknik Identifikasi Reward
Jangan pernah merasa bersalah karena memberikan reward pada anak spesial kita. Toh kita saja yang dewasa sering termotivasi oleh reward kan? Kita bekerja lebih keras kalo tahu ada bonus dari kantor. Kita makan lebih sehat kalo tahu pengen cantik dan berat badan ideal saat pakai baju pengantin di hari pernikahan.
Sebelum berkreasi dengan reward, luangkan waktu kita untuk memastikan reward tersebut benar-benar bekerja untuk perbaikan perilaku anak.
Berikut adalah teknik identifikasi reward yang bisa kita praktikkan di rumah.
1. Pendataan
Cara termudah mengidentifikasi reward untuk anak autisi adalah melakukan pendataan. Akhir-akhir ini anak kita suka apa sih? Kalo makanan, dia sukanya apa? Kalo mainan, dia sukanya apa?
Pengalaman saya pribadi, kesukaan anak autisi ini unik-unik. Dia gak ngerti tuh mainan mahal, mainan mainstream yang dimainkan anak-anak tipikal. Putra saya bisa sangat gembira dengan reward plastik gula yang bisa dia tiup dan kempeskan seperti balon.
Dia bisa super girang dengan memandang wajahnya di kaca rias. Dia bisa sangat senang dengan memainkan balok-balok batu es. Dia bisa senang dengan mainan yang diikat dengan tali kemudian bisa dia goyangkan ke arah mana saja. Dia hepi banget kalo ketemu karet gelang atau ikat rambut. Jadi, fasilitasi itu.
2. Sampling
Cara ini agak ribet, dan pernah juga saya lakukan. Caranya, saat anak kita santai sendirian, misalnya pas dia duduk di lantai, maka letakkan berbagai makanan, minuman, mainan, dan barang-barang yang sudah kita amati sekilas, yang kira-kira dia suka itu.
Perhatikan, apa saja yang diambil dan dicoba oleh anak? Bikin catatannya.
Lakukan hal sama pada hari kedua. Namun, kali ini yang disebar hanya daftar yang disukai anak pada percobaan hari pertama, sembari tambahkan beberapa jenis yang baru. Perhatikan, dan catat lagi.
Lakukan lagi hal sama pada hari ketiga dan seterusnya sampai dirasa cukup. Saya pernah melakukan konsep ini sampai seminggu loh. Wkwkwk. Niat banget waktu itu. Hasilnya? Tetap paling efektif cara pertama.
Anak Kita Kok Kayak Hewan Sirkus?
Jujur nih, jujur, saya sendiri waktu pertama kali mengenal Applied Behavior Analysis (ABA) juga berpikiran sama. Saat saya melihat seorang anak autisi diterapi, kemudian terapis menyuapinya makanan setiap kali anak merespons benar, saya komentar, “Anak kita kok kayak lumba-lumba sirkus sih bu?” kata saya ke salah seorang orang tua yang anaknya sudah sembuh (mantan autisi) di Bali.
Ada juga yang komentar, “Nanti anaknya jadi ketergantungan reward dong. Sampai besar musti dikasih reward terus.”
Pernah punya pengalaman sama bu, pak? Hehehe. Kekhawatiran tersebut wajar kok, tapiii kalo terus julid, cuekin aja bu, pak yang komentar begitu. Itu tandanya mereka belum sampai ilmunya.
Coba dibalikin pertanyaannya. “Bapak ibu yang sekarang bekerja, jika bulan ini bekerjanya tidak digaji, kira-kira bulan depannya mau tetap bekerja gak?” Pasti semua pada jawab “Gak mau” kan?
Nah, gaji itu kan sama dengan reward atau imbalan. Kita yang sudah dewasa dan bukan autisi saja masih butuh reward, apalagi anak kita yang jelas-jelas autis dan masih anak-anak pula.
Dasar pemberian reward ini mengikuti teori Conditioned Reflexes dari Ivan Pavlof. Beliau ilmuwan Rusia yang memiliki pengaruh besar pada dunia psikologi aliran behaviorisme (perilaku).
Pavlov melakukan penelitian pada seekor anjing yang diberi bubuk daging di lidahnya yang tentu saja memicu terjadi sekresi di asam lambung dan produksi air liur. Jika anjing tersebut hanya dipancing dengan bunyi bel atau nyala lampu saja, tidak akan terjadi sekresi di asam lambung dan produksi air liur.
Pada anak autisi, persepsi terhadap pengecapan dan penciuman paling dulu berkembang, bahkan sejak lahir telah mencapai 100 persen. Lihat aja anak bayi kita bagaimana bersemangatnya mereka kalo melihat kita makan. Seolah-olah dia ingin ikut makan bersama kita. Ya kan?
Setelah persepsi terhadap pengecapan dan penciuman, maka selanjutnya yang berkembang adalah persepsi terhadap rabaan (taktil), gerakan (proprioseptif), penglihatan (visual), kemudian terakhir adalah pendengaran. Jadi, memang pendengaran ini lah yang paling terakhir berkembang pada anak autisi kita. Jadi, jangan heran kalo anak kita dipanggil kok gak pernah nyahut? Diteriakin namanya juga gak pernah noleh? Ya karena begitulah faktanya dijelaskan secara ilmiah.
Inilah alasannya kenapa pas awal-awal anak autisi diterapi, kita memberikan mereka reward makanan dan minuman. Secara bersamaan dilakukan pairing dengan reward lain, mulai dari reward taktil, proprioseptif, audio, visual, dan sosial. Semakin berkembang kognitif anak kita, maka sedikit demi sedikit reward ini akan dihilangkan dan dihentikan, sampai akhirnya hanya reward sosial saja yang berefek pada anak, misalnya cukup diberi acungan jempol saja anak kita sudah merasa senang dan nyaman.
Beda dong sama hewan sirkus?
Ya beda atuh Kabayan, Nyi Iteung. Hewan sirkus mah tetap saja membutuhkan reward atau imbalan makanan setiap kali diperintah. Mana ada lumba-lumba yang setelah disuruh melompat cukup senang diberi tepuk tangan. Kalo distop rewardnya, dijamin deh lumba-lumbanya gak mau lompat lagi.
Ini saya buktikan sendiri pada putra saya. Rashif sekarang hanya diberikan reward penuh di dalam kelas, sedangkan di luar kelas cukup reward sosial.
Dulu di luar kelas, saya juga menggunakan reward makanan, mainan, pokoknya lengkap untuk Rashif, hanya untuk memintanya memegang hidung, menunjuk gigi, atau memegang kepala. Kalo sekarang mah, Rashif di luar kelas gak butuh reward lagi. Dia sudah mau lebih sering mendengarkan instruksi dan melakukan perintah. Alhamdulillah.
Leave a Comment