Ogoh-ogoh salah satu seni patung tradisional Bali yang terus ada dari masa ke masa. Ini merupakan representasi dari kreativitas anak-anak muda di Pulau Dewata.
Ogoh-ogoh berasal dari Bahasa Bali ogah-ogah, berarti sesuatu yang digoyang-goyangkan. Tradisi ini erat dengan Hari Raya Nyepi.
Pemuda-pemudi desa berkumpul di depan banjar. Laki-laki bertugas mengangkat ogoh-ogoh, sedangkan perempuan dan anak-anak membawa obor. Setelah diarak berkeliling desa, ogoh-ogoh dilebur atau dipralina dengan api atau air pada malam pengerupukan.
Peleburan ogoh-ogoh mengingatkan kita akan tri kona, tiga alur kehidupan yang dipercaya umat Hindu. Pertama, kelahiran (utpati) ketika ogoh-ogoh dibuat atau diciptakan. Kedua, kehidupan (stiti) ketika ogoh-ogoh sudah berwujud dan diarak bersama. Ketiga, pralina (kematian) ketika ogoh-ogoh dibakar.
Pawai ogoh-ogoh yang dimulai sejak 1980-an menjadi hiburan tersendiri, tak hanya bagi umat Hindu, namun juga non-Hindu. Tak jarang ini juga dilombakan, sehingga menjadi atraksi wisata menarik bagi turis domestik dan mancanegara.
Perawakan ogoh-ogoh menggambarkan kepribadian Bhuta Khala bertubuh raksasa berwajah menyeramkan. Figurnya terinspirasi dari banyak sumber, mulai dari hewan, tumbuhan, tokoh pewayangan, hingga ogoh-ogoh modern yang meniru sosok superhero fiksi juga tokoh-tokoh dunia nyata.
Sehari menjelang Nyepi, saya menyempatkan diri berkeliling Kota Denpasar. Jalanan sangat padat pagi itu. Tak kurang 688 ogoh-ogoh dipamerkan di ibu kota Provinsi Bali. Secara keseluruhan ada 6.374 ogoh-ogoh diarak di sembilan kabupaten kota.
Pengguna jalan menyempatkan diri berswafoto di depan ogoh-ogoh yang dipajang di sejumlah ruas jalan. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah ogoh-ogoh raksasa setinggi 6,3 meter yang berdiri tegap di pertigaan Jalan Kapten Sutoyo.

Itu adalah Paksi Ireng, ogoh-ogoh kebanggaan masyarakat Banjar Gemeh, Kota Denpasar. Ogoh-ogoh raksasa ini bersayap hitam dengan gagak-gagak kecil di sekitar kakinya. Wajahnya menyeramkan, mata merah menyala, kepala bermahkotakan tengkorak burung, tangan kanannya menggenggam sebilah pisau pengentas, dan dari punggungnya bermunculan tangan-tangan mudra berwarna keemasan.
Paksi Ireng seperti memiliki daya magis untuk menghipnotis pengguna jalan yang melintas. Pengendara motor, sepeda, pejalan kaki, bahkan pengemudi mobil nekat berhenti untuk berfoto sejenak di depannya tanpa peduli kendaraan mereka menimbulkan kemacetan parah.
Berbekal informasi dari seorang teman, saya bisa bertatap muka langsung dengan maestro Paksi Ireng, Putu Marmar Herayukti (34 tahun). Dia seorang undagi – arsitek tradisional Bali – yang sangat mahir membuat ogoh-ogoh.
Paksi Ireng dibuat selama dua bulan dengan biaya mencapai Rp 13 juta. Ogoh-ogoh ini membawa pesan dan kritik sosial tentang kondisi masyarakat Bali saat ini yang terinspirasi dari cerita rakyat Bali berjudul sama.
Legenda Paksi Ireng
Dahulu kala lima orang pemuda Bali merantau ke pesisir barat pulau untuk membuka lahan pertanian. Mereka di sana melihat sudah banyak masyarakat bersawah dan berkebun, sehingga kelimanya memutuskan mencari lahan baru ke pegunungan di dekat hutan.
Tanpa minta izin terlebih dahulu, pemuda tersebut masuk begitu saja, namun tak kunjung menemukan lahan subur yang diinginkan. Sejauh mata memandang mereka hanya menjumpai lahan tandus, gersang, dan berbatu.

Seorang di antara mereka yang usianya paling muda habis kesabaran dan mengumpat tanah tandus di hadapan mereka telah dikutuk. Kakaknya menegur adiknya untuk jangan berkata-kata kotor di tanah keramat.
Tak lama kemudian entah dari mana datangnya angin dan petir menerbangkan seluruh tumbuhan dan bebatuan di sana. Seekor burung garuda hitam raksasa (Paksi Ireng) berkepala seram muncul mengelilingi pemuda tadi.
Sang Garuda Hitam marah dan menyebut pemuda tadi tak berhak memaki tanah yang bukan haknya. Paksi Ireng pun murka, kemudian mengutuk pemuda itu menjadi burung gagak yang gagu, yang kehadirannya tidak akan disukai manusia karena menyampaikan kabar kematian.
Si kakak sempat memohon ampun atas kesalahan adiknya, namun Paksi Ireng tak sudi mencabut kutukannya. Sebagai gantinya, Paksi Ireng akan mengabulkan satu permintaan lain pemuda baik tadi.
Pemuda baik itu meminta agar lahan tandus dan gersang di hadapannya menjadi lahan subur untuk pertanian bagi keturunannya nanti. Paksi Ireng mengepakkan sayapnya. Pemuda itu pun melihat tanah yang tadinya kering seketika menjadi hutan lebat dan lahan gembur, subur, dan lembab. Wilayah tersebut konon sekarang dikenal dengan nama Desa Kedisan.
Berkaca pada legenda Paksi Ireng, Marmar menilai banyak orang saat ini terlalu mendewakan uang. Segala sesuatu diukur dari materi, bahkan silaturahmi dengan kawan kerabat pun terputus karena alasan bekerja dan mencari penghasilan.
“Hidup memang butuh makan, tapi hati kita juga butuh makan,” kata Marmar.
Pria yang juga dikenal sebagai tatto artist di Denpasar itu mengatakan banyak orang sekarang kerap menyalahkan alam. Gunung Agung yang selama ini diagungkan dianggap merusak stabilitas pariwisata Bali ketika erupsi. Padahal, erupsi Gunung Agung bukan lah sebuah bencana, melainkan siklus alam yang sudah seharusnya terjadi.
“Mereka menyangkalnya hanya demi kepentingan ekonomi,” kata Marmar.
Paksi Ireng adalah penggambaran alam semesta yang sarat petuah dan memberi manusia dua pilihan. Jika manusia baik, Paksi Ireng akan menggunakan tangan-tangan mudranya untuk memberi kehidupan agar manusia menjalaninya dengan penuh kebaikan. Jika manusia jahat, Sang Garuda Hitam akan menggunakan pisau pengentas di tangannya untuk memutus kehidupan manusia menuju alam kematian.
Selain hewan, Marmar juga pernah menuangkan kreasi ogoh-ogoh terinspirasi dari tumbuhan, yaitu Taru Pule (Pohon Pulai). Ogoh-ogoh ini mengirim pesan kepada manusia untuk lebih peka dan lebih mengerti cara berkomunikasi dengan alam. Pulai masuk ke dalam 100 tanaman berkayu yang memberi manfaat bagi manusia, sebagaimana dituliskan dalam Lontar Taru Permana.

Pulai adalah pohon sakral dan suci yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan tapel tapakan Ida Batara, pratima, dan topeng pelawat penari Bali. Pulai adalah tanaman berumur panjang, bisa mencapai ratusan tahun, melampaui umur manusia. Pulai tak ubahnya seperti guru yang menyimpan banyak sekali memori dan energi yang menceritakan kehidupan manusia-manusia sebelumnya.

“Kepekaan manusia sekarang semakin berkurang. Jangankan berkomunikasi dengan tanaman atau hewan, dengan sesamanya saja sulit dan rumit. Manusia cenderung terjebak dalam pikirannya sendiri,” papar Marmar.
Favorit Marmar lainnya adalah Baruna Murti yang terinspirasi dari Dewa Baruna, penguasa samudera. Sosok Dewa Baruna yang murka (murti) dalam ogoh-ogohnya digambarkan bertubuh raksasa, ada tentakel gurita di wajahnya, sembari mengendarai gajah mina atau ikan berkepala gajah.
Ogoh-ogoh satu ini menceritakan kondisi manusia sekarang yang haus kekuasaan. Manusia membangun peradaban, industri, dan menghalalkan perang untuk memenuhi kekuasaan. Sampah-sampah peperangan dan hasil kerakusan manusia itu ujung-ujungnya dibuang ke luat, mulai dari sampah industri, sampah bekas peperangan, jasad manusia, dan puing-puing kerusakan lainnya.
“Ini mengotori kesucian laut dan akhirnya membuat Dewa Baruna murka,” kata Marmar.
Marmar aktif membuat ogoh-ogoh sejak kelas dua Sekolah Dasar (SD). Awalnya dia mengkreasikan ogoh-ogoh dari botol minuman kemasan, botol sampo, dan botol plastik lain pada zaman itu. Setiap Sabtu malam di Gang III Dauh Puri Kangin tempat tinggalnya, Marmar bersama teman-temannya menggelar parade ogoh-ogoh mini.
Saat duduk di kelas enam SD, Marmar berhasil membuat ogoh-ogoh tengkorak setinggi dua meter. Kecintaan pada ogoh-ogoh membuat Marmar tak puas belajar di lingkungan banjarnya saja. Dia pun mengeksplorasi ogoh-ogoh dari banjar lain, khususnya Banjar Kedaton Kesiman dan Banjar Gerenceng. Sejak itu Marmar aktif membuat satu hingga dua ogoh-ogoh raksasa per tahun.
Ogoh-Ogoh Ramah Lingkungan
Ogoh-ogoh dibuat secara tradisional dengan teknik mengulat. Bahan utamanya adalah ulatan bambu atau gulungan bambu yang sudah diiris tipis-tipis, gedeg, potongan besi, kertas koran dan kertas semen bekas, cat, bahan untuk rambut. Bahan penunjang adalah kain, kayu balok, tali, dan amplas.




Potongan besi digunakan untuk membuat dasar ogoh-ogoh. Semua bagian tubuh, termasuk kepala, badan, tangan, paha, dan kaki dirangkai dari ulatan bambu yang dianyam beramai-ramai. Seluruh bagian ini ditempeli kertas koran, kemudian kertas semen supaya kuat dan tidak mudah robek. Proses selanjutnya adalah pengecatan.




Setelah diwarnai dan dihias, ogoh-ogoh kemudian dipasangi atribut sesuai karakternya, seperti pedang, pisau, tongkat, gada, atau panah. Aksesoris kain dan perhiasan lain, seperti mahkota dan kalung juga bisa ditambahkan. Terakhir, beri dasar bambu sebagai alasan atau sanan supaya ogoh-ogoh bisa diarak bersama.

Marmar adalah penggagas kampanye stop gabus (styrofoam) untuk ogoh-ogoh di Bali. Sejak akhir 2012, dia terus menyosialisasikan hal tersebut dengan tujuan mengembalikan budaya pembuatan ogoh-ogoh tradisional dengan teknik mengulat.
Ayah dari Putu Air Bhuana Pangrukti (3 tahun) ini menyusun seminar, menjadi tamu pembicara, dan berkampanye dari desa ke desa tanpa bayaran. Aksi positifnya tersebut berbuah manis dengan dikeluarkannya peraturan stop penggunaan gabus untuk lomba ogoh-ogoh di seluruh Kota Denpasar, diikuti kabupaten lainnya di Bali.

Biaya pembuatan ogoh-ogoh dengan teknik mengulat lebih murah dibanding gabus. Paksi Ireng dibuat dari 15 batang bambu atau setara tiga balok gabus. Satu balok gabus dihargai Rp 800 ribu, sementara satu batang bambu cukup Rp 15 ribu ditambah dua ikat anyaman bedeg Rp 50 ribu.

Proses pembuatan ogoh-ogoh dengan teknik mengulat memang lebih lama dari teknik gabus. Namun, ogoh-ogoh yang dihasilkan tentu saja tidak mencemari lingkungan.
Ogoh-Ogoh Robotik
Transformasi ogoh-ogoh Bali bukan hanya dari figur saja. Undagi ogoh-ogoh dari Banjar Tainsiat, Denpasar Utara, I Nyoman Gede Sentana Putra alias Kedux tahun ini memasukkan seni robotik ke dalam ogoh-ogoh buatannya, Sang Hyang Aji Ratu Sumedang.
Kedux tak hanya dikenal sebagai maestro ogoh-ogoh Bali, namun juga jago membuat motor custom. Keahliannya ini salah satunya dituangkan ke dalam konsep ogoh-ogoh robotik.
Banjar Tainsiat setiap tahunnya selalu memberi sentuhan baru pada ogoh-ogohnya. Sang Hyang Aji Ratu Sumedang kali ini bisa bergerak ke atas dan bawah dengan teknik tertentu, menggunakan kabel dan rangka besi elektrik, sehingga ogoh-ogoh terkesan hidup. Kedux mengangkat tema ilmu pengeleakan dengan memvisualisasikan tokoh Sang Hyang Aji Ratu Sumedang.
“Ini adalah semua rangkuman ilmu pengiwa bernama ajian Ratu Sumedang. Sang Hyang Aji Ratu Sumedang adalah dewa dari segala ilmu pengiwa yang sangat susah dan sangat angker untuk dipelajari dan dipuja,” ulas Kedux.
Kekuatan Sang Hyang Aji Ratu Sumedang menjadikan Bumi dan langit tempatnya tak terlihat. Semua desti, bhuta kala, dan seluruh leak terlahir dari spermanya yang hitam dan putih berkumpul menjadi satu.
Leak adalah ilmu kuno warisan nenek moyang umat Hindu Bali. Zaman sekarang orang cenderung memandang leak sebagai ilmu untuk menyakiti. Padahal, leak secara umum tidak menyakiti karena memiliki etika tersendiri, di antaranya hormat dan taat kepada ajaran yang diberikan, tidak boleh digunakan untuk menyakiti, tidak boleh memamerkan ilmu jika tidak dalam kondisi terdesak, dan selalu menjalankan dharma.
Ogoh-Ogoh Hidup
Saat seluruh banjar di Bali sibuk membuat ogoh-ogoh, Banjar Pekan di Desa Pakraman Renon, Denpasar sepi dari aktivitas tahunan tersebut. Warga desa ini pantang membuat ogoh-ogoh karena dalam beberapa kesempatan patung raksasa itu hidup dan menakuti pengaraknya. Jika pun ada yang membuat, ogoh-ogoh di sini tidak diarak, melainkan langsung dibakar.

Bandesa Adat Desa Pakraman Renon, I Made Sutama mengatakan pada 1986 masyarakat Renon terkejut karena ogoh-ogoh mereka hidup dan berjalan ketika diarak, disusul beberapa pengarak yang kesurupan.
“Pada 1995, masyarakat kembali mencoba membuat ogoh-ogoh, namun hal sama terulang kembali. Ogoh-ogoh tersebut akhirnya langsung dibakar begitu selesai diupacarai,” katanya.



Sebagai ganti ogoh-ogoh di malam Pengerupukan, masyarakat Renon membawa janur kuning, obor, kentungan, dan gamelan. Sebagian besar masyarakat Renon juga berkunjung ke desa lain jika ingin menyaksikan pawai ogoh-ogoh.
18 responses to “Petuah Ogoh-Ogoh Paksi Ireng”
Saya beberapa kali ke Bali, tapi gak pernah barengan sama festival ogoh-ogoh ini. Apa memang ogoh-ogoh ini digelar untuk menyambut Nyepi saja? Apa ada acara lain yang juga menampilkan ogoh-ogoh?
BTW, baca artikel ini jadi tahu lebih banyak tentang ogoh-ogoh. Sebelumny hanya dengar-dengar saja 🙂
LikeLike
Lengkap ulasannya… baru tau juga setiap ogoh2 punya cerita sendiri… selama ini hanya penikmat ogoh2 saja ketika berkunjung ke bali
LikeLike
Lumayan juga harga pembuatan ogoh-ogoh ya kak Mutia. Ada temen yang tinggal di Bali. Memang kalo setiap dekat nyepi, selalu update tentang ogoh-ogoh yang mulai ramai ada di jalan
LikeLike
Terniat ya bikin ogoh-ogoh tersebut. Bagus pula ujud akhir tokoh-tokohnya dan dibuat dari bahan yang ramah lingkungan. Sedih tuh kalua apa-apa dibuat dari sterofoam. Duh, bikin polusi kan…
LikeLike
Hiyy syerem yaa kl Ogoh Ogohnya bs hidup,, ntar nyari makanan pula ya.. Hihi…akhirnya masyarakat bawa janur kuning sebagai penggantinya ya. Kl dulu setau saya emg si Ogoh Ogoh ini dibakar per lambang manusia membakar sifat² jahatnya.
Nice info Mbak Mutia… Jd tau lbh banyak ttg Ogoh Ogoh.
LikeLike
Ogoh2 nama lainnya barongan bukan? Dulu waktu kecil di Bandung setiap Sabtu sore selalu ada atraksi barongan…anak kecil lain pd takut nangis kejer eeh sy lari ngejar barongan ..buat sy menarik dan bagus dengan warna warni yang ada pada barongan sy pernah ilang lho ngejar barongan sampe ga tau jln pulang ke rumah haha
LikeLike
Owh ternyata legenda ogoh-ogoh seperti itu ya. Yang bs dipetik kita mmg kudu sabar dan gak boleh ngomong kasar dimanapun dan kepada siapapun. Nice story…
LikeLike
Sekilas jika melihat bentuk ogoh-ogoh ini mungkin akan takut. Tapi ternyata ada nilai dan filosofi yang terkandung didalamnya. Juga menandakan bahwa Indonesia sangat kaya adat dan budaya.
LikeLike
Wah ternyata ogoh ogoh ini ramah lingkungan juga yaaa. aku suka deh cerita dan filosofi dibalik ogoh-ogoh. Banyak hal bagus yang bisa dipetik.
LikeLike
Indonesia itu kaya banget akan budaya seperti di Denpasar ini. Aku terakhir ke Bali malah belum pernah liat ogoh-ogoh ini, bentuknya cukup seram ya
LikeLike
Waktu ke Bali saya gak lihat Ogoh-ogoh ini. Ternyata ada pawainya juga ya. Terus, ogoh-ogohnya juga ramah lingkungan, seniman pembuatnya perhatian sama bumi ya
LikeLike
Entah kenapa, seringkali aku tuh lebih takut lihat ogoh-ogoh dibandingkan dengann ondel2.
Tapi ya namanya kebudayaan Bali itu emang bentuknya sering serem, tetapi sifatnya bagus2. Misal kayak Barong.
LikeLike
Jadi dulu ogoh-ogoh dibuatnya dari streoform lalu diganti yang ramah lingkungan dengan teknik mengulat ini ya. Salut deh. Tapi tetep aja aku suka takut ngelia ogoh-ogoh ehehe. Takut gerak sendiri gitu terutama bagian matanya
LikeLike
Dalam satu kali perayaan di seluruh Bali, jumlah ogoh-ogoh bisa mencapai ribuan ya, dan ternyata biaya pembuatannya lumayan besar juga.
LikeLike
Aku selalu penasaran deh mba pengen liat festival ogoh-ogoh ini. Festivalnya biasanya sebelum atau sesudah Nyepi ya? Pengen bgt liat akutu -shyntako
LikeLike
Inilah salah satu makna dari “jangan menilai buku dari sampulnya”, ogoh-ogoh memang terlihat menyeramkan, namun ada kisah dan filosofi yang mendalam dibaliknya..
LikeLike
komprehensif sekali ulasan tentang ogoh-ogohnya
saya baru kali ini melihat ulasan kisah dan filosofi mendalam disertai foto yang begitu bagus
makasih ya kak
LikeLike
oh ternyata seperti itu cara membuat ogoh ogoh, ku baru tau mba, dan ternyata ramah lingkungan yaa..
LikeLike