Aroma rendang yang khas menyeruak memenuhi ruangan dapur Ibu Suriana (53 tahun) sehari sebelum Hari Raya Idul Fitri 1436 H. Dua jam sudah wanita paruh baya ini setia mengaduk santan kelapa bercampur bumbu rempah segala rupa di dalam kuali dengan api kecil.
“Ini baru kalio namanya. Dua atau tiga jam lagi baru bisa jadi rendang,” kata Ibu Ana, demikian panggilannya.
Dalam tradisi Minangkabau, rendang adalah hidangan yang wajib disajikan pada setiap perhelatan istimewa, seperti Idul Fitri. Rendang sebetulnya bukan nama masakan, melainkan sebuah aktivitas, yaitu memasak santan kelapa sampai kering. Dalam bahasa minang, prosesnya disebut marandang.
Bila santan yang dimasak bewarna kuning kemerahan, maka masakannya disebut gulai. Jika gulai terus dimasak hingga kuahnya mengental dan berminyak menjadi kecoklatan, maka namanya kalio. Jika kalio terus dimasak dan berubah semakin coklat hingga menghitam maka ini baru disebut rendang. Rata-rata proses marandang dilakukan 5-8 jam.
Meski tengah berpuasa, Ibu Ana tanpa ragu menakar bumbu-bumbu rendangnya. Sudah lebih dari 30 tahun terakhir wanita yang tinggal di Jambak Jalur IV, Pasaman Barat ini rutin membuat rendang lokan. Ibu dua anak ini tidak membuka restoran, namun sering dimintai pesanan rendang lokan secara khusus oleh rekan-rekannya.
Apa Itu Lokan?
Lokan (Geloina erosa) adalah sejenis kerang yang ditemukan di muara sungai berlumpur atau vegetasi rawa yang berdekatan dengan laut. Cangkang lokan berwarna gelap, membulat dan agak cekung, berbeda dengan kerang laut yang bewarna kuning krem atau kerang hijau yang pipih. Ukuran lokan jauh lebih besar dari kerang, sehingga dagingnya lebih tebal.
Bumbu dasar rendang lokan tak berbeda dengan rendang daging. Bumbu kasarnya adalah sereh, daun jeruk, daun mangkokan, dan daun kunyit. Bumbu yang dihaluskan adalah jahe, lengkuas, kunyit, cabai merah, bawang merah, bawang putih, dicampur dengan santan kelapa.
Satu kilogram lokan dimasak dengan santan dari tiga butir kelapa. Hindari penggunaan santan kemasan, sebab tidak dapat menghasilkan bubuk rendang yang baik.
Perbedaan rendang daging dengan lokan terletak pada bahan utama dan perlakuan sebelum mencampur lokan dengan bumbu. Setelah membuka cangkangnya, Ibu Ana terlebih dahulu membuang kotoran lokan dan mencucinya dengan larutan air jeruk nipis sampai bersih.
Lokan kemudian direbus selama 30 menit dengan sedikit air. Ini untuk merangsang keluarnya kandungan air pada tubuh lokan sehingga bau amisnya hilang sempurna. Setelah direbus, lokan langsung dimasukkan ke dalam campuran santan dan bumbu. Karena proses memasaknya lama, Ibu Ana tidak menggunakan kompor gas, melainkan kompor minyak tanah atau tungku kayu.
Setelah empat jam memasak, Ibu Ana berhenti sejenak. Lokan pun sudah menjadi rendang yang langsung bisa dimakan, namun belum begitu kering. Ia berencana untuk memasak kembali rendang lokan tersebut setelah berbuka puasa supaya warnanya semakin menghitam.
“Memasak rendang itu harus sabar,” kata Ibu Ana.
Bumbu rempah yang beraneka rupa serta proses memasaknya nan perlahan membuat cita rasa rendang lokan sangat lezat. Semakin coklat warnanya, semakin nikmat rasanya.
Rahasia kelezatan rendang lokan menuntut kesabaran ekstra, sebab harus dimasak perlahan. Santan cair yang dimasak dengan api kecil akan mengeluarkan minyak santan. Minyak ini lah yang membuat rendang lokan bisa awet dalam waktu lama. Bumbu-bumbu pun meresap sempurna hingga ke dalam daging lokan.
Menurut Ibu Ana, rendang lokan yang dimasak dalam waktu singkat, sekitar 3-4 jam akan berbeda rasanya dengan yang dimasak lebih lama, 5-8 jam.
Lokan Kaya Gizi
Rasa rendang lokan sangat unik, mulai dari gurih, pedas, kenyal, dan ada rasa manis alami dari daging lokan itu sendiri. Rendang lokan yang sudah menjadi coklat kehitaman biasanya memiliki rasa kaldu lebih kuat.
Bagi yang tidak suka pedas, lokan juga bisa dibuat dengan olahan bumbu tanpa cabai. Ibu Ana menyebut menunya dengan abuih lokan. Bumbu-bumbunya hampir sama dengan rendang lokan, hanya tidak menggunakan cabai dan kunyitnya lebih banyak. Sajian abuih lokan ini bisa dihidangkan dengan samba lado hijau khas Sumatra Barat. Rasanya juga tak kalah nikmat.
Menurut kepercayaan orang Minang, memasak rendang harus dilakukan dengan riang dan selalu bersyukur kepada Allah. Itulah sebabnya menu ini hanya disajikan pada acara-acara khusus yang penuh suasana gembira, seperti pernikahan, sunat Rasul, hingga Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Semakin riang orang yang membuatnya, semakin gurih rasa rendangnya.
Rendang lokan lebih rendah kolesterol dibandingkan rendang daging. Jika 100 gram rendang sapi mengandung 13,9 gram lemak, maka 100 gram rendang lokan hanya mengandung 1,1 gram lemak. Lokan menyediakan sumber protein hewani yang lengkap, mengandung semua jenis asam amino esensial, dan lebih mudah dicerna tubuh ketimbang daging.
Lokan kaya akan vitamin A, D, E, dan K yang larut dalam lemak, serta B1, B2, B6, dan B12 yang larut dalam air. Lokan juga menyediakan mineral-mineral yang dibutuhkan tubuh, seperti iodium, besi, seng, selenium, kalsium, fosfor, kalium, dan flour.
Lokan Bana dan Lokan Kopah
Menu rendang lokan jarang sekali dijumpai di restoran atau rumah makan. Ini adalah makanan khas orang pesisir. Kabupaten Pasaman Barat dan Pesisir Selatan terkenal sebagai penghasil lokan di Sumatra Barat.
Di Pasaman Barat, produksi lokan terkonsentrasi di Batang Kinali, Mandiangin, Sasak, Tiku, Sikilang, dan Maligi. Banyak warga di sini yang menggantungkan hidupnya sebagai pencari lokan. Mereka menyelami muara-muara sungai atau batang (dalam bahasa Minang) untuk mendapatkan hewan bercangkang ini.
Ade Syaifudin (56), warga Pasaman Barat yang 25 tahun terakhir menjadi penikmat lokan mengatakan ada dua jenis lokan, yaitu lokan bana dan lokan kopah. Lokan bana adalah lokan air tawar yang ditemukan hanya disatu tempat di Pasaman Barat, yaitu Batang Kinali. Air sungai Batang Kinali mengalir langsung ke Laut Mandiangin.
“Lokan bana dagingnya putih, sedangkan lokan kopah dagingnya lebih gelap. Lokan bana lebih disukai dari lokan kopah,” ujar Ade.
Penyebarannya yang terbatas di Batang Kinali membuat pencari lokan kesulitan untuk mendapatkan lokan bana dalam jumlah banyak. Pencari lokan, kata Ade lebih sering mendapatkan lokan kopah. Faktor alam menjadi penyebab utama, dimana semakin banyak anak-anak sungai Batang Kinali yang mengering akibat pembukaan areal perkebunan kelapa sawit sehingga populasi lokan bana semakin langka.
Lokan kopah hidup di muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, juga di vegetasi rawa yang menjadi habitat buaya. Oleh sebabnya, tantangan mendapatkan lokan tak mudah.
Lokan sebagai Singgasana Buaya
Masyarakat pesisir Minangkabau percaya bahwa lokan dan buaya adalah dua hewan yang tak bisa dipisahkan. Lokan sering dijadikan tempat duduk atau singgasana oleh buaya. Sang reptil dengan gerakan kakinya mengumpulkan lokan-lokan yang awalnya menyebar di muara-muara sungai menjadi satu tumpukan, seperti layaknya rumah.
Marasaik (55) dan Ijaih (40), adalah pasangan suami istri di Desa Mandiangin. Keduanya telah menekuni profesi sebagai pencari lokan di Batang Masang selama puluhan tahun. Menurut kepercayaan masyarakat desanya, buaya adalah makhluk yang dihormati, sehingga mereka harus meminta izin setiap kali akan menyelam mencari lokan. Marasaik meyakini hanya orang yang salah niat lah yang digigit buaya.
“Yang jelas niat saya untuk mencari nafkah, bukan mengganggu buaya dan habitatnya,” katanya.
Jika si pencari lokan tak berniat mengganggu buaya, maka buaya pun tak akan mengganggu. Buaya yang mereka panggil inyiak itu juga tahu jika banyak warga Mandiangin yang mencari nafkah dengan mengumpulkan lokan.
“Inyiak, Ambo ka mancari lokan untuak makan anak jo bini. Jikok inyiak ado di dalam aia ko, manjauahlah sabanta (Artinya: Inyiak, saya akan mencari lokan untuk memberi makan anak dan istri. Jika sekiranya inyiak sedang ada di sungai ini, mohon menjauh sebentar),” demikian Marasaik mencontohkan kata-kata sopan dan santun yang diucapkannya setiap kali akan menyelam mencari lokan.
Pasangan suami istri yang juga nelayan ini tak pernah mengalami insiden digigit buaya, meskipun buaya pernah dilaporkan menerkam warga yang sedang mandi di sungai. Data Nagari Kinali menyebutkan bahwa korban yang jatuh akibat dimangsa buaya di sekitar Sungai Batang Kinali mencapai lima orang sejak 2010. Buaya-buaya tersebut juga pernah memangsa dua ekor sapi milik warga Mandiangin.
Populasi Lokan Kian Berkurang
Populasi lokan di Batang Kinali dan Batang Masang kini kian berkurang. Pada tahun 1990-an sampai 2000-an, seorang pencari lokan masih bisa mendapatkan 1.500-2.000 keping lokan per hari. Sekarang, mendapatkan 300-400 keping lokan sehari saja sudah terbilang banyak.
Pasaman Barat adalah salah satu sentra perkebunan kelapa sawit di Sumatra Barat. Semakin luasnya perkebunan kelapa sawit mengeringkan areal rawa di Mandiangin. Ini menyebabkan sumber makanan lokan terutama fitoplankton dan bahan-bahan organik lainnya mati.
Pola makan lokan dipengaruhi gerakan pasang surut air laut. Selama air pasang, lokan secara aktif menyaring makanan yang melayang dalam air muara, sedangkan saat surut, lokan akan berhenti makan. Lokan hidup dengan membenamkan diri ke dalam sedimen lumpur. Jika areal rawa mengering, maka sumber makanannya akan habis dan populasi lokan pun berkurang.
Marasaik dan istrinya mencari lokan menjelang tengah hari. Selain karena pada waktu itu air sedang surut, buaya-buaya biasanya sedang berjemur (basking) di daratan, sehingga risiko bertemu buaya di sungai sangat kecil. Mencari lokan juga bukan perkara mudah jika memasuki musim hujan. Para pencari lokan harus bekerja ekstra menyelam hingga kedalaman lima meter, dari rata-rata kedalaman 1-2 meter dihari biasa.
Oleh sebab itu harga lokan jauh lebih mahal dari daging. Satu kilogram lokan bisa dihargai hingga Rp 150 ribu. Kendati pun mahal, tetap saja dicari oleh pecinta kuliner di Sumatra Barat.
*Tulisan ini dimuat dalam halaman kuliner Harian Republika, Ahad (9 Agustus 2015)
Leave a Comment