Sebagai orang tua dari autisi, saya pernah ada pada tahap bahwa mengajak anak autis sikat gigi itu seperti mengajak mereka pergi perang. Saya sudah siap dengan pasta gigi dan sikat gigi warna-warni, siap bernyanyi lagu-lagu lucu untuknya… tapi begitu sikat gigi mendekati mulutnya, anak langsung menutup bibir rapat-rapat seperti lem tembak. Atau langsung kabur. Atau tantrum. Atau menjerit seperti ada monster besar di kamar mandi.
Ternyata, saya bukan satu-satunya. Ada banyak orang tua autisi yang bercerita ke saya bahwa mereka mengalami hal sama.
Well, kesehatan gigi anak autisi memang punya tantangan tersendiri. Bukan karena mereka bandel. Bukan karena mereka “nggak bisa diberi tahu.” Dan bukan karena mereka ingin mempersulit orang tua. Kenyataannya, anak autisi sedang berjuang mengolah rasa takut dan sensorik yang bagi mereka terasa sangat mengganggu.
Dan lewat tulisan ini, aku ingin menulis tentang bagaimana menjaga kesehatan gigi anak autis itu bukan cuma soal gigi bersih dan senyum cantik, tapi memberi mereka kenyamanan, kualitas hidup, dan kemampuan tumbuh menjadi pribadi yang lebih sehat.
Jangan salah paham ya. Anak autis susah disuruh sikat gigi bukan karena sedang melawan kita. Ada sensasi yang tak bisa mereka kendalikan. Dari luar, ketika anak autis menolak sikat gigi, reaksinya bisa terlihat seperti tidak kooperatif, hiperaktif, tidak patuh, agresif, atau “susah diatur.”
Padahal, kalau kita masuk ke dunia sensorik mereka, kita akan sadar bahwa proses sikat gigi itu seperti serangan bertubi-tubi. Ada rasa dingin dari pasta gigi, tekstur busa yang aneh, tekanan sikat yang menusuk gusi, bau mint yang menyengat, suara gesekan sikat di telinga, dan cahaya terang kamar mandi.
Semua sensasi itu masuk bersamaan ke tubuh mereka tanpa filter. Jadi jangan heran kalau tubuh kecil mereka langsung masuk mode bertahan, misalnya menutup mulut, melepas sikat, hanya mengemut-emut tidak jelas, memukul tangan kita, atau kabur.
Lalu ketika harus ke dokter gigi? Wah… levelnya naik dua tingkat lebih menegangkan. Ruangan terang, bau alat steril, suara bor gigi yang berdenging, dan orang asing mendekatkan benda tajam ke mulut mereka. Sistem saraf mereka bisa langsung overload.
Makanya, anak autis jauh lebih rentan mengalami kecemasan saat pemeriksaan gigi, kesulitan membuka mulut, menolak disentuh, meltdown di ruang tunggu dokter. Dan kalau kondisi ini berlangsung lama, bukan cuma pengalaman traumatis yang mereka dapat. Kesehatan gigi mereka pun ikut menurun.
Kenapa Kesehatan Gigi Anak Autisi Sering Terabaikan?
Ini jujur harus kita bahas, karena banyak orang tua mungkin nggak sadar bahwa mulut anak autis sering menunjukkan tanda-tanda perawatan yang kurang optimal. Beberapa faktor penyebabnya antara lain sebagai berikut.
Pertama, masalah sensorik pada mulut (oral defensiveness). Mulut bagi anak autisi adalah area yang sangat sensitif. Sentuhan kecil saja bisa terasa berlebihan.
Kedua, kesulitan rutinitas. Anak autis membutuhkan pola yang konsisten. Kalau rutinitas berubah sedikit saja, mereka bisa menolak.
Ketiga, tantangan komunikasi. Mereka bisa merasakan sakit di gigi, tapi tidak bisa mengungkapkan dengan kata-kata.
Keempat, diet terbatas. Beberapa anak autis hanya mau makan makanan tertentu yang sering kali lunak, manis, atau tinggi karbohidrat.
Kelima, trauma masa lalu di dokter gigi. Satu pengalaman buruk bisa membuat mereka takut bertahun-tahun. Dan semua ini menjadikan perawatan gigi sebagai pekerjaan yang… ya, kadang lebih berat daripada yang kita bayangkan. Tapi kabar baiknya, kita bisa membantu mereka.
Bagaimana caranya?
1. Membangun Kebiasaan Makan yang Lebih Sehat
Kesehatan mulut itu 50% ditentukan oleh makanan. Dan pada anak autis, faktor ini justru lebih penting karena banyak dari mereka memiliki selective eating atau picky eating yang lumayan ekstrem.
Kurangi gula. Diet rendah gula bukan hanya sehat, tapi sering juga direkomendasikan bagi anak autis karena gula dapat memperburuk hiperaktivitas, memperparah sensitivitas, memicu peradangan, meningkatkan risiko karies (gigi berlubang).
Coba perlahan kurangi makanan manis seperti permen, cokelat, biskuit, minuman kemasan, es krim, kue manis. Ganti dengan alternatif alami seperti buah yang tidak terlalu manis.
Kita juga bisa melakukan vegetable crunching, trik sederhana memperkuat gigi. Ajak anak ngunyah sayuran tertentu untuk melatih kekuatan gigi, misalnya selada air, wortel kukus yang sedikit renyah, mentimun. Sayuran-sayuran ini tidak hanya sehat untuk tubuh, tapi juga membantu melatih motorik mulut dan mengurangi sensitivitas oral.
2. Latih Sikat Gigi dan Berkumur
Buat banyak anak, sikat gigi itu hal kecil. Buat anak autis, ini aktivitas yang bisa terasa seperti ujian hidup. Dan jujur, untuk orang tua pun kadang menguras energi. Tapi perlahan-lahan, dengan strategi yang tepat, mereka bisa belajar.
Berikut cara yang bisa dicoba. Pertama, jadikan sikat gigi sebagai ritual bersama. Anak belajar dari apa yang mereka lihat. Saat kita sikat gigi bareng, mereka merasa aman karena gerakannya bisa ditiru, suasananya lebih santai, mereka merasa tidak sendirian. Bisa coba 3–5 menit saja di depan cermin setiap pagi dan malam.
Kedua, berikan pilihan, bukan perintah. Anak autis lebih mudah menerima instruksi jika diberi pilihan, misalnya “Mau sikat gigi warna biru atau merah?” “Mau mulai bagian atas atau bawah dulu?” “Pakai pasta stroberi atau melon?” Memberi pilihan membuat mereka merasa berkuasa, bukan terpaksa.
3. Gunakan Visual Schedule
Bagi banyak anak autis, gambar lebih mudah dipahami daripada kata-kata. Buatlah urutan sederhana seperti ambil sikat gigi, kasih pasta gigi, sikat gigi, berkumur, selesai. Ini membantu anak tahu apa yang akan terjadi, tidak lagi merasa terjebak.
Kadang yang perlu kita latih bukan langsung “gosok gigi”, tapi mendekatkan sikat dulu. Contohnya, 0–5 detik, sikat gigi menyentuh bibir. 5–10 detik, menyentuh gigi depan. 10–20 detik, mulai gerakan kecil. Setiap tahap dirayakan, bukan dipaksa.
Anak saya sendiri baru benar-benar bisa menggosok gigi mandiri di usia tiga tahun lebih. Dan itu pun setelah ratusan percobaan. Tapi setiap progress, sekecil apa pun, tetap menang.
Periksa Rutin ke Dokter Gigi
Kunjungan pertama ke dokter gigi sering menjadi “mimpi buruk mini” baik bagi anak maupun orang tua anak autis. Tapi semakin sering ditunda, semakin besar potensi kerusakan gigi. Berikut adalah tips agar kunjungan lebih bersahabat.
1. Cari dokter gigi yang paham dunia anak autis
Ini penting banget. Tidak semua dokter gigi punya pengalaman menangani anak dengan kebutuhan sensorik khusus. Jadi, kalau bisa, cari dokter yang ramah anak, mau menjelaskan pelan-pelan,tidak mudah emosi, dan bersedia pakai slow approach (bertahap, tidak buru-buru langsung tindakan).
Kamu boleh kok tanya dulu via chat atau telepon klinik, “Dokternya biasa menangani anak berkebutuhan khusus nggak?” Daripada nekat datang lalu anak trauma, lebih baik pilih tempat yang tepat sejak awal.
2. Lakukan “kunjungan tanpa tindakan” dulu
Ini semacam tur kenalan. Tujuannya bukan langsung periksa, tapi anak hanya datang, duduk di ruang tunggu, melihat kursi gigi, kenalan sebentar dengan dokter, lalu pulang tanpa apa-apa.
Memori tubuh anak akan mencatat, “Oh, dokter gigi tidak selalu berarti sakit.” Kunjungan-kunjungan kecil seperti ini membuat anak punya pengalaman netral atau positif dulu sebelum benar-benar ada tindakan.
3. Latihan di rumah sebelum hari H
Supaya anak tidak kaget, kita bisa “main dokter gigi” di rumah. Pakai cermin, pakai sarung tangan (biar mirip dokter), senter kecil, boneka mulut atau boneka biasa yang pura-pura diperiksa.
Lalu ajak anak latihan buka mulut 3 detik, lalu 5 detik, lalu 10 detik. Setiap keberhasilan sekecil apa pun, beri pujian. Jadi, ketika dokter bilang, “Boleh buka mulut sebentar?” tubuh anak sudah pernah mengalami sensasi itu sebelumnya.
4. Pilih jam yang tepat, jangan saat anak lelah
Ini sering luput. Anak yang sudah ngantuk, lapar, atau kelelahan jelas lebih mudah meltdown. Jadi usahakan pilih jadwal pagi, saat energi anak masih penuh, jangan setelah sekolah atau setelah aktivitas panjang, siapkan bekal kecil jika perlu, supaya dia tetap nyaman.
Ingat, gigi yang sakit pada anak autis bisa membuat mereka sulit makan, sulit tidur, lebih mudah meltdown, tampak agresif, dan sulit fokus di sesi terapi.
Makanya, walaupun kunjungan ke dokter gigi terasa menegangkan, justru dengan menyiapkan semuanya dengan baik, kita sedang membantu anak punya hidup yang lebih nyaman dalam jangka panjang.
Bagaimana Jika Anak Autis Benar Takut ke Dokter Gigi?
Anak autis punya hipersensitivitas tinggi. Jadi sangat wajar jika ruang dokter gigi terasa “menyeramkan.” Beberapa strategi tambahan, kamu bisa menggunakan weighted blanket saat menunggu, bawa sensory toy (misalnya squid, spinner, karet penggenggam), putarkan lagu favorit, gunakan headphone noise-cancelling, mintalah dokter bicara dengan suara lembut dan perlahan.
Kita tidak bisa menghilangkan ketakutan itu 100%, tapi kita bisa menyiapkan lingkungan yang lebih aman bagi mereka. Semua butuh waktu, butuh kesabaran, dan butuh pemahaman.
Kalau kamu sedang berada di fase ini, anak menolak sikat gigi, menangis setiap kali mau ke dokter gigi, atau sulit membuka mulut, percayalah, kamu tidak sendirian.
Setiap anak autis punya ritme sendiri. Ada yang bisa gosok gigi mandiri di usia 3 tahun. Ada yang baru nyaman ke dokter gigi di usia 8 tahun. Ada yang baru mau mencoba pasta gigi tertentu setelah berbulan-bulan desensitisasi. Yang terpenting bukan kecepatan, tapi konsistensi.
Setiap langkah kecil yang kamu ambil hari ini akan membangun kebiasaan besar untuk masa depan mereka. Anak autisi bukan menolak perawatan. Mereka hanya masih belajar memahami dunia yang bagi mereka jauh lebih keras, lebih terang, dan lebih intens daripada yang kita rasakan. Dan tugas kita adalah menemani mereka, pelan-pelan, penuh cinta, tanpa menyerah.

Leave a Comment