Banjir bandang dan longsor di Tapanuli Tengah
Banjir bandang dan longsor di Tapanuli Tengah

Betapa seringnya kita ribut setelah bencana terjadi. Setelah sungai menghitam, setelah banjir mengubur rumah, setelah laut penuh sampah, setelah udara terasa makin kotor untuk bernapas. Banyak daerah di Indonesia mengalami pola yang sama, mulai dari pesisir Jawa, perbukitan Sumatra, sampai Sulawesi dan Papua, yang juga menanggung akibat pengelolaan alam yang pincang.

Pertanyaannya sekarang bukan lagi “Bagaimana mencegah kerusakan?” Kerusakan sudah terjadi. Sudah nyata. Sudah menyentuh tubuh kita. Pertanyaannya berubah menjadi lebih dewasa.

“Kalau lingkungan ini sudah terlanjur rusak. Terus, bagaimana cara kita memperbaikinya?”

Jangan lagi kasih jawaban pakai teori manis, terlebih jargon seperti “ayo hijaukan bumi” ala kampanye musiman. Kita butuh langkah nyata, yang bisa dilakukan pemerintah, masyarakat, industri, peneliti, bahkan keluarga di rumah.

Berhenti Jadi Pemadam Kebakaran, Mulailah Jadi Arsitek Ekosistem

Kalau pemerintah cuma bergerak saat bencana sudah terjadi, itu bukan pengelolaan lingkungan, melainkan manajemen kepanikan. Padahal memperbaiki lingkungan itu kerja lintas generasi. Berikut strategi konkret yang sebenarnya realistis dan terbukti berhasil di negara lain.

1. Perbaiki Hulu

Banjir bandang dan tanah longsor seperti yang terjadi di Tapanuli Tengah https://dlhtapanulitengah.org/program/, sedimentasi danau, tanah longsor, dan kekeringan, semua punya ibu yang sama, yaitu hulu yang rusak. Kalau hulunya botak, nggak usah heran kalau air datang seperti peluru.

Solusi serius yang bisa dilakukan:

  • Reboisasi menggunakan tanaman asli, bukan monokultur cepat panen.
  • Larangan total pembukaan lahan di kemiringan ekstrem.
  • Audit ulang seluruh izin konsesi yang bersinggungan dengan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS)
  • Penegakan hukum atas aktivitas ilegal, bukan cuma teguran.

Jadi, solusinya bukan sekadar menanam pohon, tapi memulihkan struktur tanah dan ekologi.

2. Aturan Sempadan Sungai dan Danau Harus Saklek

Indonesia masih punya penyakit sama, di mana aturan pelestarian sempadan sungai cuma ada di kertas, bukan di lapangan. Padahal negara-negara maju sangat keras soal zona perlindungan riparian ini.

Di Jepang, jarak 50–100 meter bebas tebas dan dilarang membangun apapun dari bibir sungai. Di Finladia dan Swedia, ada larangan penebangan kayu di zona rawan longsor. Di Brasil, zona riparian adalah benteng terakhir ekosistem sungai

Kalau kita menerapkan aturan 50 meter sempadan sungai, 100 meter sempadan danau, 200 meter zona pantai, maka 30% masalah banjir dan pendangkalan akan berkurang signifikan.

3. Ecological Fiscal Transfer

India dan Portugal sudah menjalankan ini. Intinya adalah daerah yang menjaga hutan, air, dan keanekaragaman hayatinya akan mendapatkan dana insentif besar. Kebalikannya, daerah yang merusak alamnya, dananya dikurangi.

Bayangkan kalau kabupaten yang menjaga hutan hujannya diberi Rp 50–150 miliar per tahun sebagai reward. Motivasi pemerintah daerah pasti langsung berubah.

4. Industri tidak Boleh Lagi Murah Merusak, Mahal Memperbaiki

Industri kita harus naik kelas. Ini bukan zaman di mana perusahaan bisa menghasilkan limbah, lalu ngomong, “Kami sudah punya AMDAL kok.” 

Yang dibutuhkan adalah pajak lingkungan sesuai jumlah emisi, kewajiban offset karbon dan pemulihan lahan, audit independen (bukan audit titipan), serta transparansi data limbah. Perusahaan boleh untung, tapi tidak boleh gratisan merusak.

5. Masyarakat Jangan Lagi Menunggu Pemerintah, Mulai dari Hal yang Bisa Dikendalikan

Percaya atau tidak, 40% kerusakan lingkungan datang dari kebiasaan sehari-hari. Apa yang bisa dilakukan masyarakat?

Pertama, revolusi sampah rumah tangga. Ini penting banget karena kurang lebih 70 ribu ton sampah Indonesia setiap hari, setengahnya berasal dari rumah, setengah lagi masuk sungai lanjut laut dan kembali lagi ke tubuh kita.

Solusi sederhana tapi impactful adalah pisahkan sampah organik dan anorganik, buat komposter (bisa yang murah 40–50 ribu), kurangi belanja plastik sekali pakai, dorong pemilahan sampah di tingkat RT/RW. Sampah adalah “bencana kecil” yang terjadi setiap detik.

Kedua, jaga sungai mulai dari kebiasaan kecil. Sungai tidak rusak dalam sehari. Ia rusak oleh ribuan kebiasaan buruk kecil.

Yang bisa dilakukan masyarakat adalah tidak mencuci motor/mobil di sungai, tidak membuang sampah rumah (popok, puntung rokok, atau deterjen) di aliran air, membuat sumur resapan dan biopori, menanam pohon penyangga seperti bambu dan waru di bantaran sungai. Kalau semua desa melakukan ini? Sungai akan jauh berubah.

Ketiga, sedikit tekanan publik. Masyarakat punya kekuatan besar, mulai dari bikin petisi, aksi konsumen, boikot produk merusak, kampanye digital, pelaporan warga. Ketika tekanan publik terorganisir, perusahaan dan pemerintah pasti bergerak.

6. Kalau Mau Bertahan Lama, Pelaku Industri Harus Mulai Peduli Ekologi Hari Ini

Ada tiga jenis perusahaan di Indonesia ini, yaitu yang merusak tanpa peduli lingkungan, yang pura-pura hijau, yang sadar masa depan bisnis mereka bergantung pada lingkungan yang sehat. Nah, kita butuh lebih banyak kategori tiga.

Lalu, apa yang bisa dilakukan perusahaan atau pelaku industri ini?

Pertama, terapkan prinsip “no net loss.” Artinya, kalau membuka 1 hektare (ha) hutan, perusahaan harus memulihkan minimal 1 ha di tempat lain.

Kalau mengambil air tanah, harus mengganti melalui recharge. Kalau menghasilkan polusi, harus offset karbon secara transparan. Ini standar internasional loh.

Kedua, mengubah limbah jadi aset. Contohnya, limbah organik menjadi biogas atau pupuk. Limbah plastik menjadi biogas dan pupuk. Limba plastik menjadi bahan bakar via pyrolysis. Limbah industri cair bisa diolah hingga aman sebelum dibuang. Industri bisa jadi problema, atau bisa jadi bagian dari solusi.

7. Peneliti dan Akademisi Jangan Simpan Ilmunya di Rak, Bawa ke Lapangan

Indonesia punya riset hebat, tapi sering berhenti di seminar. Hal penting yang harus dibagikan ke masyarakat adalah peta rawan longsor, peta perubahan tutupan lahan, sistem early warning banjir dan gempa, panduan rehabilitasi DAS skala desa. Pengetahuan itu harus hidup, bukan cuma jadi PDF.

8. Rumah Tangga Lakukan Hal Kecil tapi Kolektif

Gerakan rumahan yang terlihat remeh, tapi efeknya besar kalau dilakukan berjamaah. Apa contohnya?

Pertama, simpan air hujan. Air itu bukan cuma turun, tapi bila perlu dia harus ditampung. Sumur resapan dan toren hujan bisa mengurangi banjir, menambah cadangan air tanah, menahan limpasan ekstrem.

Kedua, urban farming. Ini bukan sekadar tren, tapi bisa menurunkan suhu mikro, mengurangi jejak karbon dari sayuran, memberi ruang hidup serangga dan burung.

Ketiga, hidup lebih hemat energi. Bumi tidak butuh hero besar. Bumi butuh jutaan orang yang mengambil langkah kecil, seperti dengan sadar matikan listrik saat tidak digunakan, kurangi konsumsi energi yang tidak perlu, pilih produk lokal, pakai transportasi publik lebih sering.

Lakukan Pemulihan Lingkungan

Pemulihan lingkungan pascabencana jelas tidak bisa instan tapi bisa dilakukan. Setidaknya ada tiga tahap pemulihan, yaitu restorasi, rehabilitasi, dan konservasi.

Restorasi artinya mengembalikan ekosistem ke bentuk aslinya. Hutan ya jadi hutan, mangrove ya kembali jadi mangrove, sungai ya kembali menjadi sungai alami. Butuh waktu 10-20 tahun, tapi hasilnya pasti monumental banget.

Rehabilitasi artinya mengembalikan fungsi, meski tidak 100% bentuknya seperti semula. Kalau ada bukit bekas tambang, bisa dijadikan taman kota. Kalau ada danau dangkal, bisa dilakukan pengerukan sedimen. Kalau ada sungai terkubur, lakukan daylighting sungai.

Terakhir, konservasi, artinya menjaga yang masih tersisa agar tidak rusak lagi. Ini tahap paling murah, tapi paling sering diabaikan.

Sesungguhnya, alam bisa sembuh sendiri asal kita tidak mempersulitnya. Banyak orang lupa bahwa alam itu punya kemampuan pulih yang luar biasa. Yang membuatnya lambat pulih adalah penebangan ilegal, sampah, limbah industri, galian C, tata ruang yang ngawur, dan perizinan culas. Kalau itu dibereskan, alam bergerak cepat menjadi bentuk semula.

Dan ini berlaku di mana-mana, termasuk kawasan hutan, pesisir, dan daerah seperti Tapanuli Tengah https://dlhtapanulitengah.org/program/, yang punya beban ekologis akibat aktivitas ekstraktif. Alam bisa bangkit, asal diberi ruang untuk bernapas.

Kita mengelola lingkungan hidup itu karena kita butuh. Bayangkan kalau lingkungan rusak, kesehatan kita semua pasti ikut rusak, pengeluaran meningkat, pangan terancam, ekonomi stagnan, dan hidup pun makin melelahkan. Sebaliknya, kalau lingkungan pulih, semuanya ikut pulih.

Share:

Leave a Comment