Polusi udara di Sulawesi Tengah
Polusi udara di Sulawesi Tengah

Hari ini, kita membaca tentang booming nikel, tentang investasi triliunan pemerintah beserta swasta, tentang peluang ekonomi baru di era transisi energi, dan tentang bagaimana Indonesia disebut-sebut sebagai calon raksasa baterai dunia. Semua terdengar megah, glamor, dan menjanjikan masa depan cerah. Tapi di balik kilau itu, ada cerita lain yang tidak selalu naik ke permukaan.

Ada juga cerita tentang polusi udara yang menyebabkan warga yang batuk setiap hari. Cerita tentang anak-anak sekolah yang belajar sambil menghirup debu tak kasat mata. Cerita tentang laut yang tak lagi sejernih dulu, dan tentang orang-orang biasa yang setiap hari harus berdamai dengan kenyataan bahwa mereka tinggal hanya beberapa langkah dari kawasan industri raksasa.

Cerita itu datang dari Sulawesi Tengah. Dan sebagaimana yang diungkapkan WALHI Sulteng bersama Yayasan Tanah Merdeka dalam riset terbaru mereka, polusi udara dan pencemaran lainnya di sekitar kawasan industri pertambangan ini bukan lagi sekadar “isu.” Ini luka ekologis, luka sosial, luka yang diam-diam terus membesar.

Ketika Asap dari Cerobong Menjadi “Tetangga” Baru Warga

Kamu pernah tidak membayangkan tinggal hanya 100 meter dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)? Bukan 1 km loh jaraknya, juga bukan 500 meter, tapi 100 meter. Begitulah polusi udara yang memicu memburuknya kondisi warga di sekitar kawasan industri pertambangan ini. Saya yakin dinas lingkungan hidup https://dlhsulteng.org/struktur/ setempat juga mendapatkan data-data ini.

Di Desa Ambunu, misalnya, PLTU captive berdiri sangat dekat dengan pemukiman warga, bahkan berjarak sekitar 100 meter dari dua sekolah, yaitu Sekolah Dasar (Ibtidaiyah) dan Sekolah Menengah Pertama (Tsanawiyah). Anak-anak belajar sambil menghirup udara yang setiap harinya terpapar emisi dari pembakaran batu bara.

Dari luar, cerobong-cerobong tinggi itu mungkin terlihat seperti simbol kemajuan industri. Tapi bagi mereka yang tinggal di kaki cerobong itu, sesungguhnya itu adalah sumber keresahan.

Polusi udara berupa asap yang terlepas membawa partikel halus berbahaya, mengandung logam berat, dan zat kimia yang tidak bisa dilihat kasat mata. Tanpa disadari, itu masuk ke hidung, paru-paru, dan kemudian ke aliran darah. Dan yang paling menyedihkan, anak-anaklah yang paling rentan.

Polusi Udara Picu Lonjakan ISPA

Data tidak pernah bohong. Menurut data Puskesmas Wosu di Kecamatan Bungku Barat, kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) mengalami lonjakan mencolok dalam tiga tahun terakhir, yaitu 735 kasus pada tahun 2021, 1.200 kasus pada 2022, dan 1.148 kasus pada 2023.

Bayangkan, dalam waktu setahun saja, kasus ISPA naik hampir dua kali lipat. Dan siapa yang paling banyak datang berobat? Anak-anak.

WALHI Sulteng menegaskan bahwa angka akibat polusi udara ini bisa disebut sebagai indikator langsung bahwa polusi udara dari kawasan industri pertambangan memiliki dampak nyata terhadap kesehatan masyarakat.

Tidak perlu gelar dokter untuk menyimpulkannya. Ketika PLTU beroperasi tanpa henti, ketika debu-debu batubara beterbangan, ketika pipa-pipa cerobong tumbuh lebih cepat daripada pohon, tubuh manusia pasti kalah.

Bukan hanya udaranya saja yang kotor, laut dan sungai pun ikut menjadi korban. Sulawesi Tengah dikenal dengan garis pesisirnya yang indah dan lautnya yang kaya. Tapi pesona itu perlahan memudar ketika limbah industri mulai mengalir ke sungai dan laut.

Limbah pengolahan tambang nikel misalnya, apabila tidak dikontrol dengan baik, bisa mencemari laut, pesisir, sungai, dan tanah-tanah disekitarnya.

Ketika air-airnya berubah warna, ikan tak lagi banyak, dan biota laut perlahan menghilang. Siapa yang paling dulu merasakan dampaknya? Tentu saja para nelayan.

Nikel mungkin dianggap emas baru di negara ini, tapi bagi masyarakat pesisir, laut adalah kehidupan seumur hidup mereka. Ketika laut tercemar, bukan hanya lingkungan yang rusak akibat polusi udara, tapi ekonomi keluarga pun ikut runtuh.

Pencemaran ini membuka pintu konflik baru. Ketika warga bersuara, mereka dianggap perusuh. Ketika warga menolak, mereka dituduh menghalangi investasi. Tidak jarang, seperti laporan-laporan lembaga lingkunga hidup dan laporan-laporan penelitian berbagai kampus, bisa berisiko mengalami kriminalisasi terhadap warga yang memperjuangkan hak hidup di lingkungan yang sehat.

Bising Mesin yang Tak Pernah Tidur

Selain polusi udara dari asap dan limbah, warga juga menghadapi masalah kebisingan. Kawasan industri biasanya bekerja 24 jam. Mesin berat, conveyor, forklift, PLTU, jetty, semuanya menghasilkan suara yang terus-menerus menghantam telinga.

Bagi pekerja industri, pelindung telinga disediakan. Bagaiman dengan pelindung telinga bagi warga? Tidak ada. Sekarang coba kamu bayangkan, kamu tidur ditemani suara mesin yang tidak pernah berhenti, siang dan malam. Lama-lama, tubuh menganggap kebisingan itu sebagai ancaman. Tidurmu akan terganggu, stresmu akan meningkat, dan kualitas hidupmu menurun drastis.

Kebisingan bukan sekadar gangguan kenyamanan. Badan Kesehatan Dunia (WHO) bahkan mengaitkannya dengan risiko hipertensi dan penurunan kesehatan mental.

Retorika “Transisi Energi”

Pemerintah kita ini suka sekali bicara tentang energi bersih, kendaraan listrik, baterai masa depan, dan bagaimana Indonesia akan menjadi pemain utama dalam industri global. Sayangnya, di lapangan, transisi energi itu terasa seperti mimpi yang masih jauh.

Selama PLTU captive terus beroperasi, selama batubara terus dibakar untuk menopang industri pengolahan nikel, selama warga terus terpapar polusi udara akibat menghirup udara kotor setiap hari… maka retorika itu hanya akan menjadi jargon kosong.

Transisi energi bukan hanya soal teknologi, tetapi soal keberanian. Keberanian pemerintah untuk mengatakan, “Kami mendahulukan keselamatan rakyat.” Sayangnya, keberanian itulah yang belum terlihat.

Kawasan industri ini dibangun dengan nilai investasi fantastis, hingga belasan triliun rupiah. Kelihatannya seperti simbol kemakmuran baru. Tapi kenyataannya, kesejahteraan itu tidak benar-benar mengalir ke masyarakat sekitar.

Mirip dengan kemiskinan struktural, yaitu kondisi ketika masyarakat terjebak dalam penderitaan yang diciptakan oleh sistem ekonomi yang tidak berpihak. Mereka yang terdampak polusi, kehilangan mata pencaharian, atau hidup dalam kebisingan dan debu, justru tidak mendapatkan manfaat nyata dari industri yang berdiri megah di depan mata mereka sendiri.

Di Mana Pemerintah? Di Mana Pengawasan?

Pertanyaan terbesar dari semua ini adalah, siapa yang seharusnya melindungi warga? Saya yakin, regulasi ada, tetapi pengawasan lemah. Izin ada, tetapi evaluasi minim. Pencemaran dan polusi udara ini terjadi, tetapi tindakan korektif tidak pernah cukup keras.

Institusi seperti dinas lingkungan hidup ke depannya diperlukan untuk berada di garis depan pengawasan. Namun sering kali suara mereka kalah keras dibanding kepentingan industri yang jauh lebih kuat. Ada laporan, ada keluhan, ada data, tetapi tindakan tegas sering sulit dilakukan.

Selama kebijakan pembangunan masih bertumpu pada “kejar investasi,” suara lingkungan akan selalu berada di kursi belakang. Semoga kita tidak menunggu sampai makin banyak anak jatuh sakit. Semoga kita tidak menunggu sampai laut benar-benar kehilangan kehidupan. Semoga kita tidak menunggu sampai warga benar-benar menyerah.

Dan semoga dinas lingkungan hidup https://dlhsulteng.org/struktur/ di tingkat provinsi, kabupaten, kota di Sulawesi Tengah, serta seluruh institusi yang memiliki mandat perlindungan ekologis di sana, diberi ruang dan kekuatan untuk menjadikan keselamatan rakyat di atas segalanya.

Karena pembangunan yang melukai rakyat bukan pembangunan. Itu perampasan masa depan. Polusi udara, pencemaran air, kerusakan pesisir, kebisingan, semua ini tidak bisa hanya dianggap sebagai “harga yang harus dibayar” untuk kemajuan. Sulawesi Tengah bukan halaman belakang industri. Warganya bukan korban yang harus pasrah.

Tulisan saya ini mungkin tidak mengubah keadaan secara instan. Tapi jika cerita ini dibaca, dibicarakan, disebarkan… siapa tahu tekanan publik bisa menjadi titik balik. Karena pada akhirnya, lingkungan yang sehat bukanlah kemewahan, tapi hak dasar setiap manusia.

Dan untuk warga-warga yang masih hidup dalam bayang-bayang cerobong itu, semoga suara kalian semakin terdengar.

Share:

Leave a Comment