Orang tua anak autis
Orang tua anak autis

Penerimaan adalah jalan yang awalnya begitu sulit dilalui orang tua dari anak penyandang autis atau autisi. Saya tidak sedang berbicara bagaimana dunia luar bisa menerima anak saya yang berkebutuhan khusus, atau bagaimana orang-orang bisa maklum jika anak-anak autisi tampak berbeda dari anak-anak lainnya. TIDAK, bukan itu.

Saya berbicara bagaimana saya berjuang menerima kehendak Tuhan yang menganugerahi saya seorang anak istimewa. Saya bisa merasakan bagaimana hancurnya hati seorang ibu saat pertama kali mengetahui anaknya didiagnosis autisme. Rasanya seperti kepala kita ditimpuk batu besar dari belakang.

Begitu Rashif divonis autisme pertengahan Juli lalu, pada satu titik saya pikir hari-hari saya ke depan pasti penuh air mata. Mengapa ini harus terjadi pada Rashif? Perasaan takut mencengkeram saya, seolah diagnosis ini telah mencuri masa depan anak saya.

Hingga sebulan kemudian Rashif mulai menjalankan Smart ABA dan Smart BIT oleh dr Rudy Sutadi, sedikit demi sedikit terjadi perbaikan padanya. Ketika saya menoleh ke belakang, saya melihat ternyata apa yang saya rasakan sebelumnya adalah bagian dari proses penerimaan.

Ketika kita menerima apa yang Allah titipkan pada kita, muncul semacam kedamaian dan ketenangan di hati, bahkan ketika kita menceritakan kondisi anak kita kepada orang lain, apakah itu curhat ke teman, sharing pengalaman di grup Facebook, atau menulis di blog seperti yang saya lakukan sekarang.

Menerima berarti kita tak menyesali ketetapan Tuhan untuk kita. Menerima berarti kita berhenti mengkhawatirkan bagaimana orang lain memandang anak kita.

Hanya karena anak-anak autisi melihat dunia dari kacamata berbeda, bukan berarti ada yang salah dengan mereka. Itu berarti saya sebagai orang tua, atau saya sebagai anggota masyarakat perlu menemukan cara yang tak biasa untuk menjalin hubungan dekat anak-anak autisi.

Harapan Orang Tua Anak Autisi

Kita tidak hidup di lingkungan masyarakat yang bisa mengakomodasi anak-anak dengan gangguan autisme. Kenyataan ini kita dapati sejak zaman dulu sampai sekarang, mau itu di Indonesia, atau di negara-negara lainnya di dunia.

Wajar jika anak-anak autisi harus berusaha lebih keras untuk menunjukkan dirinya di segala aspek dan di mana pun berada. Anak-anak autisi perlu dibekali kemampuan tiga tingkat lebih tinggi dibanding anak-anak normal.

Tujuannya supaya mereka bisa menyeimbangkan diri dan mengejar ketertinggalan yang mungkin dihadapi seiring perjalanan hidup. Contoh sederhana adalah materi-materi pembelajaran di sekolah.

Sebagai orang tua dari anak autisi, saya berharap semua orang di dunia tahu akan hal ini.

1. Kami tahu yang terbaik untuk anak kami

Para orang tua dari anak autisi telah menghabiskan waktu berjam-jam, berhari-hari, bahkan sepanjang waktu untuk mencari tahu segala informasi tentang autisme. Mereka membaca hasil-hasil riset dan penelitian, juga berkonsultasi ke banyak dokter.

Saya tahu bagaimana memberi yang terbaik untuk anak saya. Saya berharap orang tua lain yang mungkin kenal saya, tahu saya, atau bahkan berkerabat dengan saya tak perlu menjejali saya dengan nasihat dan saran panjang lebar, sebab posisi kalian tidak sama dengan saya, kecuali kalian juga memiliki anak autisi.

Nasihat kiri kanan hanya membuat penuh kepala. So, berhentilah memberi nasihat jika tak diminta.

2. Kami tak perlu dikasihani

Saya bukan orang tua yang perlu diprihatinkan karena memiliki anak autis. Autisme bukan lah sesuatu yang perlu dikasihani.

Saya harap masyarakat Indonesia mau mengubah sudut pandang mereka. Simpan ekspresi kasihan kalian. Cukup doakan anak kami, maka kami akan sangat berterima kasih.

3. Autisme bukan penyakit menular

Saya tak bisa membayangkan bagaimana orang tua dengan anak autis, bahkan dr Rudy sendiri ketika berjuang menyembuhkan anaknya yang juga autisi puluhan tahun lalu, jauh sebelum beliau mengembangkan Smart ABA dan Smart BIT. Saya juga pernah membaca coretan dr Diana Dewi, dr Yulia Darmawi, dr Atik Ambarwati, dan dr Ramses yang anak-anaknya sembuh dari autisme berkat dr Rudy.

Saya tak terbayang perjuangan mereka menormalisasi anak-anaknya di lingkungan yang persis sama dengan mereka. Sebab faktanya sampai sekarang pun masih banyak masyarakat kita yang salah paham dengan menganggap autisme tak ubahnya seperti penyakit menular.

Mereka melarang anak-anaknya berteman dengan anak autisi. Mungkin mereka berpikiran jika anaknya bermain dengan anak autisi, maka bisa menjadi autisi juga.

Halo! Autisme tidak menular. Gangguan neurologis ini tidak menyebar dari satu orang ke orang lain, seperti virus flu, batuk, apalagi corona. TIDAK.

4. Mohon bersabar dengan anak kami

Anak-anak dengan spektrum autisme umumnya mengalami masalah sensorik. Mereka merespons berbeda hal-hal yang menurut kita biasa, misalnya suara klakson mobil, pengeras suara, dentuman musik dari speaker-speaker di pusat perbelanjaan, atau bahkan suara dentingan piring dan sendok dari abang tukang bakso yang lewat.

Saya masih ingat bagaimana histerisnya Rashif berteriak dan menangis di Trans Studio Mall Denpasar pada momen buka puasa 2019 lalu. Waktu itu saya masih belum menyadari Rashif autis. Alhasil sepanjang berada di mall saya harus menggendong Rashif dan menutup kedua telinganya supaya bisa lebih tenang.

Keramaian dan keributan bisa membuat perilaku anak-anak autisi berkali-kali lipat lebih buruk dibanding ketika berada di rumah. Mereka bisa tantrum luar biasa.

Ketika itu terjadi, pandangan orang-orang sekitar akan tertuju pada kita. Sebagai orang tua dari anak autisi, saya berharap masyarakat tak lantas berpikiran buruk soal anak yang sedang tantrum di tempat umum. Bisa jadi si anak penyandang autisme.

Berhenti berkomentar orang tuanya tak becus mengurus anak. Beri waktu dan ruang bagi anak autisi untuk bisa menenangkan dirinya, terlepas dimanapun mereka berada dan selama apa pun waktu yang mereka butuhkan.

5. Biarkan anak kami bermain dengan anak lain

Anak-anak autisi perasaannya sangat halus. Mereka bisa merasakan orang-orang yang tak berkenan atau memandang aneh mereka.

Inilah mengapa kebanyakan anak-anak autisi tidak nyaman meninggalkan rumah. Stigma masyarakat tentang autisme masih negatif.

Izinkan anak-anak autisi bermain dengan anak-anak lainnya. Mereka sebetulnya sangat suka bermain dengan teman sebayanya, meski pun ujung-ujungnya mereka asik dengan dunianya sendiri. Namun, penerimaan ini sangat bermanfaat untuk menunjang kesembuhan mereka.

6. Anak autis tidak bodoh

Anak autis itu tidak bodoh. Inilah alasan mengapa salah satu tolak ukur kesembuhan anak-anak autisi di mata dr Rudy adalah bisa bersekolah di sekolah reguler, bukan sekolan inklusi, apalagi Sekolah Luar Biasa (SLB).

Allah tak akan menyertakan kekurangan tanpa kelebihan. Anak-anak autisme dikenal jenius dan brilian. Mereka masing-masingnya dianugerahi bakat terpendam, sangat filosofis, dan kreatif. Tugas orang tua adalah menggali itu dan menemukan bakat anak.

Beberapa nama terkenal yang merupakan autisi, antara lain Albert Einstein, Michelangelo, Bill Gates, Mozart, bahkan Sir Isaac Newton.

7. Tak perlu tag kami di Facebook atau Twitter

Orang tua anak autisi itu seperti haus akan ilmu pengetahuan seputar autisme. Saya selalu mengupdate informasi tentang autisme, mau itu dari artikel berbahasa Indonesia atau asing. Saya juga berkenalan dengan banyak orang tua dari anak-anak autisi.

Kasarnya, nyaris tak ada artikel di Facebook atau cuitan di Twitter soal autisme yang luput dari pandangan orang tua. So, tidak perlu menandai atau nge-tag kami di setiap artikel tentang autisme yang muncul di media sosial. Insya Allah kami akan atau sudah membacanya lebih dulu.

8. Terima kasih mendengarkan curhat kami

Membesarkan anak-anak autisi itu sungguh sulit bahkan membuat frustasi. Sebagai ibu yang baru mulai membersamai anak autisi seperti Rashif, saya masih sering bersedih, masih sering menangis, masih belajar untuk kuat dan sabar.

Kadang saya hanya perlu teman yang bersedia mendengar saya bercerita. Mohon jangan jejali saya dengan segudang pertanyaan apalagi nasihat. Saya hanya ingin berbagi kisah supaya isi kepala saya menjadi lebih ringan.

9. Tidak semua anak autisi sama

Autisme disebut spektrum karena mencakup berbagai gangguan kompleks di otak. Ada anak autis yang asperger, persasive developmental disorder (PDD), global developmental delay (GDD), ADHD, banyak lagi yang lain.

Ada anak autisi yang hiperaktif, ada yang hipoaktif. Ada yang lancar berkomunikasi, ada yang tidak mau ngomong sama sekali. Memang umumnya anak autisi itu non-verbal, tapi bukan berarti mereka gak bisa mikir, gak punya ide, gak bisa mengemukakan pendapat.

Beberapa anak autisi belajar bahasa isyarat untuk berkomunikasi. Ada yang mengetik, ada yang menulis, dan ada yang menggunakan alat lain. Namun, dr Rudy dan Ibu Liza selalu mengatakan anak autisi harus diajarkan berbicara secara verbal sesulit apapun itu. Alasannya ketika kemampuan verbalnya meningkat, maka kemampuan kognitifnya pun akan meroket luar biasa.

Ada anak autisi yang bisa berinteraksi sosial dengan yang lain, ada yang bahkan disentuh saja sudah ketakutan. Ini yang membuat anak autisi itu tidak semua sama. Anak autisi harus diperlakukan sebagai individu sesuai kemampuan dan preferensinya sendiri.

10. Orang tua adalah pengasuh terbaik

Orang tua pada umumnya mempunyai pengasuh anak di rumah, tapi hal ini tidak selalu berlaku untuk orang tua anak dengan spektrum autisme.

Saya teringat kata-kata Ibu Opet Safitri di Bali, terapis sekaligus ibu dari anak autisi yang sembuh dengan metode Smart ABA dan Smart BIT. Beliau mengatakan kebanyakan anak-anak autisi yang sembuh tanpa meninggalkan bekas justru bukan anak yang berasal dari keluarga kaya atau mampu secara finansial.

Mereka yang banyak sembuh justru kebanyakan dari keluarga biasa-biasa saja, bahkan keluarga tidak mampu. Alasan Bu Opet adalah anak-anak tersebut ditangani langsung oleh kedua orang tua, khususnya ibunya.

Ibu secara emosional lebih dekat dengan anak. Ini membuat anak-anak autisi sulit untuk tenang saat didampingi pengasuh ketika diterapi atau dalam kesehariannya di rumah.

Menjaga anak autisi itu ekstra ketat. Bayangkan, mereka harus menjalankan banyak diet, mulai dari diet susu, diet terigu, diet elektronik, diet bahan kimia, diet kedelai, diet jagung, diet fenol.

Makanan anak autisi harus dirotasi selama tujuh kali dalam seminggu. Artinya, dalam tujuh hari anak autisi tidak makan jenis ikan yang sama, tidak makan jenis daging yang sama, tidak makan sayur yang sama, tidak makan buah yang sama, bahkan minyak gorengnya pun tidak sama. Sekali saja ada kebocoran diet, maka penyembuhannya pun semakin lama.

Bayangkan, pengasuh mana yang bisa sesabar itu menangani anak autisi? Hanya kasih ibu yang benar-benar tulus, mau berkorban apa saja demi anaknya.

Saya terenyuh dengan keputusan dr Diana yang resign dari praktik kedokterannya demi fokus menyembuhkan Dastan Harahap, puteranya. Demikian juga beberapa ibu dari anak autisi yang disembuhkan oleh dr Rudy. Mereka semua melakukan hal sama.

Pada akhirnya saya belajar menghargai apa yang membuat Rashif unik. Raut wajahnya yang teduh, rambutnya yang tebal, senyumnya yang sangat manis, bibirnya yang mungil, dan sebagainya. Autisme hanya satu dari sekian banyak hal tak terduga dalam diri Rashif.

Bukan autisme yang menentukan bagaimana kehidupan Rashif ke depannya. Saya ingin mengajak seluruh ibu dari anak istimewa seperti Rashif untuk tidak terlalu fokus pada kekurangan anak kita.

Tidak ada orang tua yang mau mendengar ada yang salah dengan anaknya. Pun jika ternyata ada yang salah, kita menerima dengan ikhlas dan fokus memperbaikinya, bukan menyesalinya.

Inna ma’al usri yusra (إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا). Petikan firman Allah dalam Surat Al-Insyirah ini mengandung arti, “Sesungguhnya, sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” Ini yang menjadi penyemangat saya sampai hari ini. Insya Allah Rashif bisa sembuh tanpa bekas.

Share:

Leave a Comment