Sesekali suara saya bergetar menjawab lebih dari 100 pertanyaan kuisioner tentang Abang Rashif melalui zoom conference bersama dr Rudy Sutadi. Konsultasi yang dimulai sejak jam 8 pagi pada Selasa, 29 Juli 2020 itu cukup menegangkan.
Saya duduk di depan laptop, mas di samping saya. Bersama kami menjawab isian lembar pertanyaan yang begitu detail, membuat saya ketakutan menebak hasil seperti apa yang akan keluar.
Setengah jam berlalu, saya diminta menunggu di meeting room (online) KID ABA. Dokter Rudy akhirnya muncul di layar, menyapa kami dengan ramah.
Beliau bertanya, “Bagaimana perasaan ibu? Apakah ibu masih ragu dengan diagnosa dokter sebelumnya di Surabaya yang menyatakan anak ibu memiliki Autism Spectrum Disorder (ASD)?”
Dokter Rudy melakukan skrining terhadap Rashif berdasarkan 12 kelompok gejala autisme. Hasil akhir ternyata Rashif memenuhi 7-8 kelompok gejala. Confirmed, putera kesayangan saya memiliki ASD.
Sedih? Kecewa? Hancur?
Perasaan ini sudah saya rasakan sejak pertama kali dr Andi mendiagnosa putera kami di Surabaya. Sekarang kali kedua saya harus menelan pil pahit sama. Ini kehendak Allah untuk putera kami. Saya terima sebagai hamba-Nya yang beriman, sembari berikhtiar untuk kesembuhan Rashif.
Mas menunduk di samping saya. Saya tahu dia juga sedih, berusaha tegar dan kuat.
Kami mendengarkan pemaparan demi pemaparan yang disampaikan dr Rudy, dokter anak yang dikenal sebagai Bapak Autisi Indonesia. Ratusan anak autis sembuh di tangannya. Saya menaruh harapan besar terhadap dr Rudy. Semoga doa-doa saya diijabah Allah SWT melalui perantara beliau. Amin.
Satu jam lebih saya konsultasi dengan dr Rudy. Begitu sambungan berakhir yang saya lakukan hanyalah ingin memeluk Rashif sepanjang hari.
Saya pergi melihat abang tertidur nyenyak di kamar belakang. Air mata pun mengalir. Leher saya tercekat, tak hendak terisak.
Saya tak ingin mimpi indah abang yang begitu sempurna terusik kehadiran saya. Saya tak ingin abang terbangun dan menyadari kondisinya yang tak sempurna.
Mas masuk ke kamar, mendapati saya bersedih. Saya memikirkan semua hal yang dikatakan dokter. Saat itu otak saya hanya dipenuhi keinginan Rashif sembuh. Saya rela berkorban apa saja, melakukan apa saja demi kesembuhan abang, termasuk pindah ke Bekasi.
Rashif adalah Hadiah dari Tuhan
Awalnya saya memandang autisme tak ubahnya seperti kanker yang menggerogoti tubuh anak saya. Kanker itu yang membuatnya membenci suara bising tiba-tiba, menggigiti benda-benda acak, memanjat semua yang bisa dia panjat, memutar roda sepeda atau roda mobil-mobilannya sepanjang hari, bergeming ketika namanya dipanggil, dan tak kunjung bisa berbicara meski hanya sepatah kata hingga usianya 1,5 tahun.
Namun, saat saya memandang bayi saya, saya memerhatikan wajahnya, tubuhnya dengan seksama. Lihatlah, betapa saya tak menyadari diagnosis autisme untuk Rashif sesungguhnya hadiah dari Tuhan.
Tidak setiap keluarga dianugerahi anak istimewa seperti Rashif. Memiliki anak dengan spektrum autisme memberi saya kesempatan untuk lebih mensyukuri nikmat Tuhan, belajar lebih menghargai waktu, lebih pengertian, dan lebih sabar.
Autisme memberi saya kesempatan menjadi orang tua, menjadi ibu melebihi peran yang saya jalankan saat ini. Rashif memberi saya kesempatan menerima tantangan ini dan menaklukkannya sampai berhasil.
Bukan cuma Rashif yang harus semangat dan bangkit. Semua orang di sekitarnya harus punya spirit yang sama, termasuk papa dan ibunnya, Kakak Mae, Rangin, om tante Rashif, dan kakek nenek Rashif.
Saya akan belajar saat Rashif belajar. Saya akan lebih semangat saat Rashif semangat. Kesembuhan Rashif bukan cuma ada di tangan dr Rudy, Ibu Liza, juga para terapisnya. Kesembuhan Rashif ada di tangan saya, di tangan kita semua.
Rashif mengajarkan saya untuk menghargai waktu dengan komitmen kesembuhannya. Mimpi Rashif adalah mimpi saya. Harapan Rashif adalah harapan saya. Rashif adalah hadiah untuk saya. Rashif adalah masa depan saya.
Intervensi Dini Sembuhkan Autisme
Sebelum 1960-an, autisme dianggap sebagai penyakit tetap, tidak bisa disembuhkan. Dokter Rudy mengatakan mitos ini sebetulnya telah hilang sejak puluhan tahun lalu, tapi entah mengapa masih banyak dokter di Indonesia sampai saat ini berkaca pada cerita lama. Mungkin karena autisme dinilai kondisi langka, belum banyak ditangani intensif di Indonesia.
Pada 1962, Profesor Ole Ivar Lovaas dari University of California Los Angeles (UCLA) Amerika Serikat menerapkan Applied Behavior Analysis (ABA) untuk intervensi autisme. Penelitiannya ini dipublikasikan secara monumental pada 1967.
Temuan Profesor Lovaas menghasilkan perbaikan pada 89 persen penyandang autisme yang menjadi obyek penelitiannya. Persentase ini terdiri dari 47 persen dan 42 persen. Artinya, sebanyak 47 persen autisi yang ditanganinya sembuh sempurna. Tidak ada satu ahli pun yang hadir sebagai saksi di sana bisa membedakan mana anak autisme dan mana anak normal. Semua tampak sama.
Sebanyak 42 persen autisi sembuh, tapi dengan berbagai tingkat. Artinya masih perlu dilakukan beberapa perbaikan. Sisanya 11 persen hanya mengalami kemajuan sedikit.
Tiga dokter ahli, termasuk Profesor Lovaas kemudian mencari tahu penyebab masih ada 42 persen anak autisme yang mereka tangani tidak sembuh sempurna. Ketiga dokter ahli ini kebetulan juga orang tua yang memiliki anak autisi.
Mereka melakukan kajian pustaka dan kasus hingga akhirnya menemukan banyak sekali intervensi biomedis di dunia kedokteran bisa diterapkan untuk mengobati autisme. Ibaratkan komputer, ABA adalah software canggihnya, sedangkan Biomedical Intervention Therapy (BIT) adalah hardware-nya.
Dokter Rudy Sutadi adalah satu-satunya dokter spesialis anak di Indonesia yang menguasai dua terapi autisme sekaligus, yaitu ABA dan BIT. Saya bersyukur berkesempatan mengenal dan bertemu beliau 2016 lalu dalam sebuah acara memperingati Hari Autisme Dunia di Bali.
Puluhan tahun dr Rudy mengembangkan SMART ABA dan SMART BIT untuk menyembuhkan anak-anak autisi di Indonesia. SMART ABA mengajarkan berbagai kemampuan untuk dikuasai anak autisi, mulai dari kemampuan berbicara, kemampuan berbahasa, kemandirian, kemampuan sosial, dan mengatasi masalah perilaku anak autisi. SMART BIT terdiri dari diet komprehensif, pemberian obat, dan suplemen.
Rashif saat ini menjalani sembilan macam diet komprehensif, mulai dari diet gluten, diet casein, diet gula, diet jagung, diet soya, diet fenol, diet bahan kimia, diet rotasi makanan, hingga diet elektronik. Pada waktunya nanti saya akan menceritakan pengalaman abang menjalani itu semua.
Saya tahu ini berat. Namun, ini adalah ‘syarat tanpa tapi’ yang harus saya lakukan jika ingin Rashif sembuh sebagaimana anak-anak autisi lain yang sudah sembuh berkat dr Rudy.
Autisme membuat saya menyadari betapa uniknya anak-anak seperti Rashif. Kini hati saya tak lagi bertanya mengapa abang berbeda. Saya belajar lebih banyak berempati dan menghargai bahwa selalu ada alasan Allah menghadirkan abang di tengah-tengah kami.
Malam hari saat dia berbaring tidur sambil memeluk saya, saya berbisik padanya, “Abang autisi, tapi abang adalah sebuah keajaiban. Abang berhak menjalani hidup ini sepenuhnya, seperti anak-anak lain.”
Dunia boleh saja melihat autisme menakutkan, tapi itu hanya suara-suara sumbang yang tak perlu didengarkan. Anak saya tidak menakutkan. Anak saya bukan seorang yang perlu dikasihani. Dia akan berdiri dengan kakinya sendiri. Dia akan menyambut dunia yang luas ini dengan tangan terbuka.
Leave a Comment